AGAMA BUDDHA DAN PERKEMBANGANNYA
DI INDONESIA
Penyusun : Sumedha Widyadharma, Maha Pandita Sasanacariya;
Penerbit : P.C. MAPANBUDHI, Tangerang;
Cetakan Kelima, 1995
NAMO TASSA BHAGAVATO ARAHATO SAMMA–SAMBUDDHASA
Bab I
AGAMA BUDDHA
1. RIWAYAT HIDUP YMS BUDDHA GOTAMA
Ayah dari Pangeran Siddharta adalah Sri Baginda Raja Suddhodana dan ibunya adalah Sri Ratu Maha Maya Dewi. Ibunda Ratu meninggal dunia setelah tujuh hari melahirkan Sang Pangeran. Setelah meninggal, beliau dilahirkan di dalam Tusita, yaitu alam sorga luhur. Sejak itu yang merawat Pangeran Siddharta adalah Maha Pajapati, bibinya yang juga menjadi isteri Raja Suddhodana.
Pangeran Siddharta dilahirkan pada tahun 623 SM di Taman Lumbini. Oleh para pertapa di bawah pimpinan Asita Kaladewala diramalkan, bahwa Pangeran Siddharta kelak akan menjadi Maharaja-diraja atau akan menjadi Buddha. Hanya pertapa Kondanna yang dengan pasti meramalkan bahwa Sang Pangeran kelak akan menjadi Buddha.
Mendengar ramalan tersebut Sri Baginda menjadi cemas, karena apabila Sang Pangeran menjadi Buddha, tidak ada yang akan mewarisi tahta kerajaannya. Oleh pertanyaan Sang Raja, para pertapa itu menjelaskan, agar Sang Pangeran jangan sampai melihat empat macam peristiwa, atau ia akan menjadi pertapa dan menjadi Buddha.
Empat macam peristiwa itu adalah :
1. orang tua
2. orang sakit
3. orang mati
4. seorang pertapa
Sejak kecil sudah terlihat bahwa Sang Pangeran adalah seorang anak yang cerdas dan sangat pandai, selalu dilayani oleh pelayan-pelayan yang masih muda dan cantik rupawan di istana yang megah dan indah.
Dalam usia 16 tahun Pangeran Siddharta menikah dengan putri Yasodhara yang dipersuntingnya setelah memenangkan sayembara.
Ternyata akhirnya Sang Pangeran melihat empat peristiwa yang selalu diusahakan tidak berada dalam penglihatannya. Setelah itu Pangeran Siddharta tampak murung dan kecewa melihat kenyataan hidup yang penuh dengan derita ini.
Ketika beliau berusia 29 tahun, putera pertamanya lahir dan diberi nama Rahula. Setelah itu Pangeran Siddharta meninggalkan istana, keluarga, kemewahan untuk pergi berguru mencari ilmu sejati yang dapat membebaskan manusia dari usia tua, sakit dan mati.
Pertapa Siddharta berguru kepada Alara Kalama dan kemudian kepada Uddhaka Ramaputra, tetapi tidak merasa puas, karena tidak memperoleh yang diharapkannya. Kemudian beliau bertapa menyiksa diri dengan ditemani lima orang pertapa. Akhirnya beliau juga meninggalkan cara yang ekstrim itu dan bermeditasi seorang diri.
Dalam usia 35 tahun pertapa Siddharta memperoleh Penerangan Agung dan menjadi Buddha sewaktu bermeditasi di bawah pohon Assatha (yang kemudian hari dikenal sebagai pohon Bodhi), di tepi sungai Neranjara di Buddha Gaya (dekat Gaya di Bihar).
Untuk pertama kalinya beliau mengajarkan Dhamma yang maha sempurna kepada lima orang pertapa kawan beliau di taman rusa Isipatana (sekarang Sarnath), dekat kota Banares. Adapun kelima orang pertapa itu adalah Kondanna, Bodhiya, Vappa, Mahanama, dan Assaji.
Setelah medengar khotbah Sang Buddha, Kondanna segera menjadi Sotapanna dan kemudian menjadi Arahat. Yang lainnya pun menyusul menjadi Arahat. Khotbah pertama ini kemudian dikenal sebagai Khotbah Pemutaran Roda Dhamma (Dhamma Cakka Pavatthana Sutta).
Selanjutnya Sang Buddha sangat giat mengajarkan Dhamma kepada para siswaNya sampai beliau mangkat di Kusirana (sekarang Utar Pradesh) pada usia 80 tahun.
2. AJARAN SANG BUDDHA
Kitab-kitab suci agama Buddha aslinya ditulis dalam bahasa Pali dan dinamakan TIPITAKA, terdiri dari:
-
Vinaya Pitaka, yang berisikan tata-tertib bagi para bhikkhu/bhikkhuni.
-
Sutta Pitaka, yang berisikan khotbah-khotbah Sang Buddha.
-
Abhidhamma Pitaka, yang berisikan Ajaran tentang Metafisika dan Ilmu Kejiwaan
Di bawah ini akan dibahas beberapa Ajaran yang penting dari YMS Buddha Gotama.
A. EMPAT KESUNYATAAN MULIA
1. Kesunyataan Mulia tentang Dukkha
Hidup dalam bentuk apapun adalah Dukkha (penderitaan) misalnya:
a. dilahirkan, usia tua, mati adalah penderitaan
b. berhubungan dengan orang yang tidak disukai adalah penderitaan.
c. ditinggalkan oleh orang yang dicintai adalah penderitaan.
d. tidak memperoleh yang dicita-citakan adalah penderitaan.
e. masih memiliki lima khandha adalah penderitaan.
2. Kesunyataan Mulia tentang Asal mula Dukkha
Sumber dari penderitaan adalah Tanha, yaitu nafsu keinginan yang tidak ada habis-habisnya.
3. Kesunyataan Mulia Tentang Lenyapnya Dukkha
Kalau Tanha dapat disingkirkan, maka semua penderitaan pun akan berakhir. Keadaan ini dinamakan Nibbana (Nirwana).
4. Kesunyataan Mulia tentang Jalan Menuju Lenyapnya Dukkha
Untuk melenyapkan Dukkha kita harus melaksanakan Delapan Jalan Utama (Jalan Beruas Delapan), yang terdiri dari:
P a n n a
1. Pengertian Benar (samma-dhitti)
2. Pikiran Benar (samma-sankappa)
S i l a
3. Ucapan Benar (samma-vaca)
4. Perbuatan Benar (samma-kammanta)
5. Pencaharian Benar (samma-ajiva)
S a m a d h i
6. Daya-upaya Benar (samma-vayama)
7. Perhatian Benar (samma-sati)
8. Konsentrasi Benar (samma-samadhi)
B. TIGA CORAK UMUM (TILAKKHANA)
Di mana pun kita berada di dunia dan di alam semesta raya, kita akan menemui Tiga Corak Umum ini yang terdiri dari :
1. Sabbe sankhara anicca
Segala sesuatu dalam alam semesta ini yang terdiri dari paduan unsur-unsur adalah tidak kekal.
2. Sabbe sankhara dukkha
Apa yang tidak kekal sebenarnya tidak memuaskan dan oleh karena itu adalah penderitaan
3. Sabbe dhamma anatta
Segala sesuatu yang tercipta dan tidak tercipta adalah tanpa inti yang kekal abadi.
C. KAMMA DAN TUMIMBAL LAHIR
Hukum Kamma disebut juga Hukum Perbuatan. Hukum ini mengatur hubungan antara adanya suatu perbuatan dan terjadinya akibat karena perbuatan tadi. Dengan demikian Tumimbal-Lahir adalah konsekwensi dari proses Hukum Kamma itu. Menurut Agama Buddha, kelahiran kita di dunia ini bukanlah hanya satu kali saja, tetapi sudah berkali-kali kita mengalami Tumimbal-Lahir di dunia ini, dan juga akan terus berulang lagi sebelum kita mecapai Nibbana.
Secara sederhana Hukum Kamma mengatakan :
“Sesuai dengan benih yang telah ditabur,
“Begitulah pula buah yang akan dipetiknya,
“Pembuat kebaikan akan mendapat kebaikan,
“Pembuat kejahatan akan memetik kejahatan pula,
“Tertaburlah olehmu biji-biji benih,
“Dan engkau pulalah yang akan merasakan buah-buah dari padanya.”
(Samyutta Nikaya, jilid I hal. 227)
Jadi karena adanya proses Kamma yang masih berjalan terus yang membentuk lingkaran Samsara, maka orang akan mengalami Tumimbal-Lahir terus-menerus pula. Dan bila proses Kamma itu dapat dihentikan, maka Tumimbal-Lahir pun akan berhenti pula dan tercapailah Nibbana (Nirwana).
D. PATICCA SAMUPPADA
Paticca Samuppada adalah hukum yang mengatakan bahwa segala sesuatu yang pernah tercipta adalah saling bergantungan. Segala sesuatu di alam semesta ini tidak berdiri sendiri-sendiri, melainkan saling bergantungan pada hal-hal yang terjadi sebelumnya dan proses ini berlangsung mempengaruhi keadaan-keadaan lain, dan menjadi sebab pula dari kejadian-kejadian yang lain pula.
E. TIGA AKAR KEJAHATAN
Tiga hal di bawah ini dapat disebut sebagai tiga akar atau sumber kecenderungan-kecenderungan untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang tidak baik, yaitu :
-
lobha – kemelekatan yang sangat terhadap sesuatu, sehingga menimbulkan keserakahan.
-
dosa – penolakan yang sangat terhadap sesuatu, sehingga menimbulkan kebencian.
-
moha – kebodohan; tidak dapat membeda-bedakan mana yang baik dan mana yang buruk.
F. MEDITASI BRAHMA – VIHARA
Brahma-Vihara berarti “Tempat Kediaman Brahma”, dan cara meditasi ini yang sangat dipujikan oleh Sang Buddha terdiri dari :
-
Metta-bhavana – meditasi cinta-kasih kepada semua makhluk secara menyeluruh.
-
Karuna-bhavana – meditasi welas asih terhadap semua makhluk yang sedang menderita.
-
Mudita-bhavana – meditasi yang mengandung simpati terhadap kebahagiaan orang lain.
-
Upekkha-bhavana – meditasi keseimbangan batin.
3. KETUHANAN YANG MAHA ESA DI DALAM AGAMA BUDDHA
Sang Buddha mengetahui bahwa ada suatu kekuatan gaib yang maha dasyat di alam semesta ini yang mengatur segala isi dari alam semesta ini. Siapa yang berbuat sesuai dengan kekuatan gaib ini akan selamat, dan siapa yang berbuat sesuai bertentangan dengan kekuatan gaib ini akan celaka. Sang Buddha sendiri tidak pernah memberi nama kepada kekuatan gaib tersebut. Pada waktu ini umat Buddha di Indonesia menyebutnya “Tuhan Yang Maha Esa” atau “Yang Maha Esa”, sesuai dengan keputusan yang diambil di Pasamuan I Majelis Buddha Dharma Indonesia di Lawang (12 s/d 14 Maret 1976).
Bab II
SEJARAH PERKEMBANGAN AGAMA BUDDHA DI INDONESIA
1. Pendahuluan
Pada zaman dahulu orang-orang di Indonesia menyembah dan memuja rokh leluhurnya. Leluhur dianggap sebagai yang telah berjasa dan mempunyai banyak pengalaman. Rokh leluhur, Hyang atau Dahyang namanya, menurut kepercayaan pada waktu itu dianggap mempunyai kekuatan gaib yang dapat digunakan oleh orang-orang yang masih hidup. Kekuatan gaib itu diperlukan jika orang mulai suatu pekerjaan yang penting, misalnya akan berangkat perang, akan mulai mengejarkan tanah dan lain sebagainya.
Mereka percaya juga bahwa benda-benda seperti pohon besar, batu besar, gunung dan sebagainya dihuni oleh rokh-rokh.
Ada kalanya benda-benda atau senjata-senjata juga dianggap bertuah, sakti dan dijadikan jimat oleh yang memilikinya.
Upacara pemujaan rokh leluhur harus diatur sebaik-baiknya, agar restunya mudah diperoleh. Dan pertunjukkan wayang suatu bentuk kebudayaan Indonesia, erat hubungannya dengan upacara tersebut. Kepercayaan kepada Hyang masih dapat juga kita lihat sampai saat ini.
2. Jaman Sriwijaya
Sriwijaya bukan saja termashur karena kekuatan angkatan perangnya, melainkan juga karena merupakan pusat ilmnu dan kebudayaan Buddha. Di sana terdapat banyak vihara dan dihuni oleh ribuan bhikkhu. Pada Perguruan Tinggi Agama Buddha di Sriwijaya orang dapat mengikuti selain kuliah-kuliah tentang agama Buddha juga kuliah-kuliah tentang bahasa Sansekerta dan bahasa Jawa Kuno (Kawi). Pujangga-pujangga agama Buddha terkenal seperti Dharmapala dan Sakyakirti pernah mengajar di Perguruan Tinggi tersebut. Pada waktu itu Sriwijaya merupakan mercusuar agama Buddha di Asia Tenggara dan memancarkan cahaya budaya manusia yang cemerlang.
Tentang agama Buddha di Sriwijaya juga banyak diberitakan oleh sarjana agama Buddha dari Tiongkok yang bernama Itsing. Dalam tahun 672 ia bertolak untuk berziarah ke tempat-tempat suci agama Buddha di India. WAKTU pulang dalam Tahun 685 ia singgah di Sriwijaya dan tinggal di sana sampai 10 tahun lamanya untuk mempelajari dan menyalin buku-buku suci agama Buddha dalam bahasa Sansekerta ke dalam bahasa Cina.
Sriwijaya yang berada di pulau Sumatera didirikan pada ± abad ke-7 dan dapat bertahan terus hingga tahun 1377.
3. Jaman Sailendra di Mataram
Pada ± tahun 775 sampai dengan ± tahun 850 di daerah Bagelan dan Yogyakarta berkuasalah raja-raja dari wangsa Sailendra yang memeluk agama Buddha. Jaman ini ialah jaman keemasan bagi Mataram dan negara di bawah pemerintahannya aman dan makmur.
Ilmu pengetahuan, terutama ilmu pengetahuan tentang agama Buddha sangat maju, dan kesenian – terutama seni pahat mencapai taraf yang sangat tinggi. Pada waktu itu seniman-seniman bangsa Indonesia telah menghasilkan karya seni yang mengagumkan, misalnya candi Borobudur, Pawon, Mendut, Kalasan dan Sewu.
Kecuali candi-candi tersebut di atas masih banyak lagi candi-candi yang didirikan atas perintah raja-raja Sailendra, tetapi yang paling besar dan paling indah adalah candi Borobudur. Setelah raja Samarottungga meninggal dunia, Mataram kembali diperintah oleh raja-raja dari wangsa Sanjaya yang beragama Hindu, namun agama Buddha dan agama Hindu dapat berkembang terus berdampingan dengan rukun dan damai.
4. Jaman Majapahit
Di bawah raja-raja Majapahit (tahun 1292 s/d tahun 1478) yang menganut agama Hindu, agama Buddha pun dapat berkembang dengan baik. Toleransi dalam bidang keagamaan dijaga baik-baik, sehingga pertentangan agama tak pernah terjadi. Di waktu pemerintahan Raja Hayam Wuruk, seorang pujangga terkenal, Mpu Tantular, telah menulis buku yang berjudul “Sutasoma”, dimana terdapat kalimat Ciwa Buddha Bhinneka Tunggal Ika Tanhang Dharma Mandrawa. Dari kata-kata inilah kemudian diambil semboyan “Bhinneka Tunggal Ika” yang kini dijadikan lambang negara Republik Indonesia yang melambangkan motto toleransi dan persatuan. Setelah Majapahit runtuh pada tahun 1478, maka berangsur-angsur agama Buddha dan Hindu digeser kedudukannya oleh agama Islam.
5. Jaman Abad ke-20
Agama Buddha mulai bangkit kembali di pulau Jawa dengan datangnya bhikkhu Narada Thera dari Sri Lanka (Ceylon) di bulan Maret tahun 1934. Selama berada di pulau Jawa, bhikkhu Narada antara lain telah melakukan kegiatan-kegiatan sebagai berikut :
-
Memberikan khotbah-khotbah dan pelajaran-pelajaran Buddha Dhamma di beberapa tempat di Jakarta, Bogor, Jawa Barat dan Jawa Tengah.
-
Memberkahi penanaman pohon Bodhi di pekarangan candi Borobudur pada tanggal 10 Maret 1934.
-
Membantu dalam pendirian Java Buddhist Association (Perhimpunan agama Buddha yang pertama) di Bogor dan Jakarta.
-
Menjalin kerja sama yang erat dengan bhikshu-bhikshu (hweshio-hweshio) dari kelenteng-kelenteng Kim Tek Ie, Kwan Im Tong dan Toeng San Tong di Jakarta, kelenteng Hok Tek Bio di Bogor, kelenteng Kwan Im Tong di Bandung, kelenteng Tin Kok Sih di Solo dan perhimpunan-perhimpunan Theosofie di Jakarta, Bogor, Jawa Barat dan Jawa Tengah.
-
Melantik upasaka-upasaka dan upasika-upasika di tempat-tempat yang beliau kunjungi. Bapak Maha Upasaka S. Mangunkawotjo, tokoh umat Buddha Jawa Tengah dan anggota MPR telah dilantik menjadi upasaka di Yogyakarta oleh bhikkhu Narada pada tanggal 10 Maret 1934.
Nama-nama dari para perintis bangkitnya kembali agama Buddha di pulau Jawa pada waktu itu adalah antara lain :-
Pandita Josias Van Dienst, Deputy Director General Buddhist Mission, Java Section (Headquarter-nya berada di Thaton, Birma).
-
Kwee Tek Hoay, Direktur dan Redaktur Kepala dari Majalah Moestika Dharma, Jakarta.
-
Tahun 1938 berdirilah Sam Kauw Hwee di beberapa tempat di Indonesia. Pada tahun 1952 Sam Kauw Hwee-Sam Kauw Hwee tersebut bergabung menjadi Gabungan Sam Kauw Indonesia (GSKI), kemudian mengganti nama menjadi Gabungan Tri Dharma Indonesia.
Pada tahun 1953 The Boan An dari Bogor ditahbiskan menjadi bhikkhu Theravada di Birma oleh Ven. Mahasi Sayadaw dan diberi nama Ashin Jinarakkhita. Sekitar tahun 1955-1956 berdiri Persaudaraan Upasaka-Upasika Indonesia (PUUI).
Pada tanggal 3 Mei 1958 dibentuk Perhimpuan Buddhis Indonesia (disingkat PERBUDI) yang berkedudukan di Semarang, tetapi sejak tahun 1965 dipindahkan ke Jakarta. Ketua umum berturut-turut dijabat oleh Sosro Utomo, Sadono, Soemantri MS dan Suraji Ariakertawijaya. Tahun 1970 menjadi PERBUDDHI sebagai gabungan dari PERBUDI, PUUI (Persaudaraan Upasaka-Upasika Indonesia), GPBI (Gerakan Pemuda Buddhis Indonesia) dan Wanita Buddhis Indonesia.
Pada tahun 1959 Narada Mahathera kembali datang ke Indonesia disertai 12 (dua belas) bhikkhu senior dari beberpa negara yaitu :
-
H.E. Samdach Choun Nath Mahathera dari Kamboja.
-
Ven. Ung Mean Chanavanno Mahathera dari Kamboja.
-
Ven. Agga Maha Pandita Mahasi Sayadaw dari Birma.
-
Ven. Narada Mahathera dari Sri Lanka.
-
Ven. Tudawe Arivawangsa Nayaka Thera dari Sri Lanka.
-
Ven. Piyadasi Mahathera dari Sri Lanka.
-
Ven. Walane Satthisara Mahathera dari Sri Lanka.
-
Ven. Kamburugamuwe Mahanama Mahathera dari Sri Lanka.
-
Ven. Ransegoda Saranapala Thera dari Sri Lanka.
-
Ven. Phra Visal Samanagun dari Thailand.
-
Ven. Phra Sumreng Arnuntho Thera dari Thailand.
-
Ven. Phra Kru Champirat Thera dari Thailand.
-
Ven. Phra Kaveevorayan dari Thailand.
Tanggal 21 Mei 1959 Ong Tiang Biauw (dari Tangerang) ditahbiskan menjadi bhikkhu di “International Sima” di Kassap, Semarang oleh H.E. Somdach Choun Nath Mahathera dari Kamboja dengan nama Jinaputta.
Pada hari yang sama I Ktut Tangkas (dari Mengwi, Bali) ditahbiskan menjadi Samanera Jinapiya, dan Sontomihardjo (dari Kutoarjo) menjadi Samanera Jinananda. Dan pada tanggal 3 Juni 1959 di Pura Besakih, Samanera Jinapiya ditahbiskan menjadi bhikkhu oleh Ven. Narada Mehathera (pada tanggal 12-2-1976 telah lepas jubah dan kembali menjadi umat Buddha biasa). Tanggal 26 Juli 1988 ditahbiskan kembali di WAT BOVORANIVES, Bangkok dan diberi nama THITAKETUKO.
Antara tahun 1963 sampai dengan 1965 terdapat perbedaan pendapat dan pandangan di kalangan pimpinan umat Buddha, sehingga di sana-sini didirikan organisasi-organisasi Buddhis baru yang dalam prakteknya satu dengan yang lain saling menjatuhkan.
Pada tanggal 15 Nopember 1966 Samanera Jinagiri (dari Banjar, Singaraja Bali) ditahbiskan menjadi bhikkhu di Wat Benchamabophit, Bangkok oleh Ven. Chau Kun Dhammakittisophon dan diganti namanya menjadi Girirakkhito. Pada kesempatan yang sama juga ditahbiskan Samanera Jinaratana menjadi bhikkhu. (Pada tanggal 18 Desember 1976 ikut menyusul rekannya bhikkkhu Jinapiya, lepas jubah, dan kembali menjadi umat Bhuddha biasa).
Pada tahun 1967 Soenaryo (dari Solo) ditahbiskan menjadi bhikkhu di Sri Lanka diberi nama Sumanggalo. Wafat di Negeri Belanda tanggal 2 September 1987.
Pada tanggal 14 Mei 1967 di Lawang dibentuk Perhimpunan Tempat Ibadah Tri Dharma (PTITD) untuk seluruh Jawa Timur dengan Ketua Umum Ong Kie Tjay dari Surabaya.
Pada tahun 1969 datang Ven. Chau Kun Phra Dhepvoravethi dari Wat Paknam, Thonburi, Bangkok. Setelah kembali ke Bangkok Ven. Chau Kun Phra Dhepvoravethi mangirim melalui bhikkhu Jinaratana buku-buku suci TIPITAKA dalam bahasa Pali dan Inggris dan patung-patung Buddha dari kuningan untuk vihara-vihara di Banten, Bogor, Garut, Muntilan, Purworejo, Bali, Ujung Pandang, Samarinda, Palembang, Jambi dan lain-lain tempat lagi.
Pada tahun 1969 itu juga dating di Indonesia 4 (empat) orang Dhammaduta dari Thailand untuk membantu mengembangkan agama Buddha di Indonesia, yaitu :
-
Ven. Phra Kru Pallad Attachariya Nukich (sekarang memakai nama Chau Kun Vidhurdhammabhorn).
-
Ven. Phra Kru Pallad Viriyacarya.
-
Ven. Phra Maha Prataen Khemadasi.
-
Ven. Phra Maha Sujib Khemacharo.
Pada tahun itu pertama kalinya mahasiswa Buddhis di Jakarta mengadakan Upacara Asadha di Gandhi School, Jakarta. Tahun 1971 terbentuk Keluarga Mahasiswa Buddhis Jakarta (KMBJ).
Menjelang perayaan Waisak tahun 1971 telah datang rombongan bhikkhu dari Thailand untuk meresmikan ‘Brahma-Vihara’ yang terletak di Banjar, Singaraja Bali. Rombongan tersebut terdiri dari :
-
Ven. Chau Kun Phra Dhammakittisophon dari Wat Benjamabophit.
-
Ven. Chau Kun Phra Dhepgunaphon dari Wat Sraket.
-
Ven. Chau Kun Phra Patrasaramuni dari Wat Prabatmingmaung, Prae.
-
Ven. DR. Phra Maha Singhaton Narasabho dari Wat Prajetubon.
Pada tanggal 12 Januari 1972 terbentuk Sangha Indonesia yang terdiri dari bhikkhu-bhikkhu Jinapiya, Girirakkhito, Jinaratana, Sumanggalo dan Subhato.
Pada tanggal 28 Mei 1972 dicetuskan ikrar persatuan dan kesatuan dari 7 (tujuh) organisasi Buddhis menjadi satu organisasi tunggal dengan nama Buddha Dharma Indonesia (BUDHI) dengan Suraji Ariakertawijaya sebagai Ketua Umum dan sebuah Majelis yang diberi nama Mejelis Buddha Dharma Indonesia yang kelak akan menetapkan pedoman-pedoman mengenai segala sesuatu yang berhubungan dengan agama Buddha di Indonesia. Ketujuh organisasi yang mendatangani ikrar tersebut di atas adalah :
-
Perhimpunan Buddhis Indonesia (PERBUDDHI).
-
Buddhis Indonesia.
-
Musyawarah Umat Buddha Seluruh Indonesia (MUBSI).
-
Gabungan Tri Dharma Indonesia.
-
Persaudaraan Umat Buddha Salatiga.
-
Majelis Ulama Agama Buddha Indonesia (MUABI).
-
Dewan Wihara Indonesia.
Di sini perlu kiranya dicatat, bahwa Gabungan Tri Dharma Indonesia dan Majelis Ulama Agama Buddha Indonesia (MUABI), karena sesuatu hal, tidak meleburkan diri ke dalam Buddha Dharma Indonesia (BUDHI).
Atas prakarsa Dirjen Bimas Hindu dan Buddha pada tahun 1974 terbentuk Sangha Agung Indonesia (SAI).
Pada tanggal 23 Juli 1975 Ibu Tien Suharto meresmikan Arya Dwipa Arama di Taman Mini Indonesia Indah dan menyerahkan penggunaannya kepada umat Buddha Indonesia yang diterima oleh Suraji Ariakertawijaya.
Pada tanggal 12 s/d 14 Maret 1976 diselenggarakan persamuan ke-I Majelis Buddha Dharma Indonesia di Lawang dan berhasil membuat beberapa Ketepatan mengenai berbagai aspek agama Buddha di Indonesia. Juga telah terbentuk Badan Pekerja Majelis Buddha Dharma Indonesia yang terdiri dari:
-
Suraji Ariakertawijaya, Sekretaris Jendral.
-
Mulyadi SH, Anggota.
-
Susilo, Anggota.
-
Seno Sunoto, Anggota.
-
K. Karbono, Anggota.
Pada tanggal 29 September 1976 terbentuk Gabungan Umat Buddha Seluruh Indonesia (GUBSI) dengan Ketua Umum Rd. Eko Sasongko Praptomo, SH., dan Sekjen Drs. Pannajiwa AT. GUBSI terdiri dari gabungan umat dari 7 (tujuh) organisasi, yaitu :
-
Buddha Dharma Indonesia (BUDHI).
-
Gabungan Tri Dharma Indonesia (GTI).
-
Gabungan Vihara Buddha Mahayana Indonesia.
-
Majelis Agama Buddha Nichiren Shoshu Indonesia.
-
Majelis Pandita Buddha Maitreya Indonesia (MAPANBUMI).
-
Pamong Umat Buddha Kasogatan.
-
Perhimpunan Buddha Dharma Indonesia (PERBUDHI).
Pada tanggal 3 Oktober 1976 di Bandung terbentuk Majelis Pandita Buddha Dhamma Indonesia (MAPANBUDHI), dengan Sekjen MPU Khemanyana Karbono dan Wakil Sekjen MPU Sumedha Widyadharma.
Pada tanggal 11 Oktober 1976 terbentuk Mejelis Agung Buddha Indonesia (MABI) sebagai forum konsultasi dari Majelis Agama Buddha yang ada, yaitu:
-
Majelis Ulama Agama Buddha Indonesia (MUABI).
-
Majelis Pandita Buddha Maitreya Indonesia (MAPANBUMI).
-
Majelis Buddha Dharma Indonesia.
-
Gabungan Tri Dharma Indonesia (GITI).
-
Majelis Kasogatan.
-
Nichiren Shoshu.
-
Perhimpunan Tempat Ibadah Tri Dharma (PTITD).
Pada tanggal 7 dan 8 Mei 1978 telah dilangsungkan Kongres Umat Buddha di Yogyakarta dan terbentuklah Perwalian Umat Buddha Indonesia (WALUBI) sebagai WADAH TUNGGAL umat Buddha di Indonesia dengan Suparto Hs. sebagai ketua dan anggota-anggotanya :
Suwarto Kolopaking, S.H.,
Ir. T. Soekarno,
Gunawan Sindhumarto, S.H.,
Drs. Oka Diputhera,
Bhaggadewa Siddharta,
Herman S. Endro, S.H.,
Hartanto Kulle.
Adapun Dewan Pembina WALUBI terdiri dari :
Soemantri M.S.,
Pandita S. Widyadharma,
Giriputra Soemarsono,
I.S. Susilo,
Zen Dharma,
Sasanaputra, dan
Seno Soenoto.
Sedangkan organisasi Buddhis yang tergabung dalam WALUBI adalah :
-
Majelis Pandita Buddha Dhamma Indonesia (MAPANBUDDHI).
-
Majelis Buddha Mahayana Indonesia.
-
Majelis Dharma Duta Kasogatan.
-
Majelis Pandita Buddha Maitreya Indonesia (MAPANBUMI).
-
Majelis Rokhaniwan Tridharma Seluruh Indonesia (MARTRISIA).
- Majelis Upasaka Pandita Agama Buddha Indonesia (MARTRISIA)
- Majelis Nichiren Shoshu Indonesia.
- Sangha Theravada Indonesia.
- Sangha Mahayana Indonesia.
- Sangha Agung Indonesia.
Pada tanggal 27 dan 28 Februari 1982 telah diadakan Kongres Luar Biasa WALUBI di Jakarta dan di kongres tersebut terpilih sebagai Ketua Umum Sumantri M.S. dan Seno Soenoto sebagai Sekjen.
Pada tanggal 8 s/d 11 Juli 1986 di Jakarta diadakan Kongres I WALUBI yang dibuka oleh Bapak Presiden Soeharto.
Di Kongres ini telah tersusun pengurus yang baru, yaitu :
Dewan Pimpinan Pusat
Ketua Umum : Bh. Girirakkhito Maha Thera
Wakil Ketua Umum : Drs. Aggi Tjetje, SH
Widyeka Sabha
Ketua : Bh. Ashin Jinarakkhita Maha Thera
Wakil Ketua : Maha Pandita Sumedha Widyadharma
Pada tanggal 9 Maret 1981 telah dibentuk Yayasan Jakarta Dhammacakka Jaya dengan Ketua: Bapak O.P. Koesno (alm) dan Sekretaris: Drs. Teja SM Rashid.
Pengukuhan Uposathagara dilakukan pada tanggal 24 Agustus 1985 dan upacara dipimpin oleh Somdet Phra Nyayasamvara dari Wat Bovoranives, Bangkok, yang untuk keperluan ini datang bersama lebih dari sepuluh orang bhikkhu dari Thailand. Harap diketahui, bahwa seorang Dhammaduta dari Thailand, Phra Sombat Pavito Thera banyak sekali perannya dalam memberi nasehat dan pengarahan dalam pembangunan Uposathagara tersebut.
Di vihara ini pada tanggal 6 Desember 1987 ditahbiskan tiga orang bhikkhu Indonesia dengan Bh. Sukhemo Thera sebagai Upajjhaya. Tiga orang bhikkhu tersebut adalah Bh. Jagro, Bh. Gandhako (alm.) dan Bh. Khantidharo. Bh. Sukhemo Thera juga menjabat sebagai direktur dari Sekolah Tinggi Sangha Dhammacakka.
Tanggal 16 Oktober 1988 untuk pertama kali di Indonesia divisudhi 3 (tiga) orang Sarjana Agama Buddha (jurusan Dharmacariya) lulusan Sekolah Tinggi Agama Buddha NALANDA. STAB NALANDA ini dikelola oleh Yayasan Dana Pendidikan Buddhis Nalanda dan terdaftar di Direktorat Jendral Bimas Hindu dan Buddha No. H/9/SK/1988.
Bapak Mulyadi Wahono, SH adalah direktur dari STAB NALANDA, jabatan mana yang dipegangnya sejak diresmikannya Akademi Buddhis Nalanda (pandahulu dari STAB NALANDA) oleh Dirjen Bimas Hindu & Buddha, Bapak Drs. Gde Puja, SH pada tanggal 11 Juni 1979.
Di tahun 1988 sesuai dengan Keputusan Persamuan III/1988 Sangha Theravada Indonesia No. 01/Pasamuan III/XI/88 telah terbentuk susunan pengurus Sangha yang baru yang antara lain terdiri dari :
Penasehat : Girirakkhito Mahathera
Ketua Umum : Sri Pannavaro Thera
Sekjen : Subalaratano Thera
Pada tanggal 4 Desember 1990 diadakan upacara peletakan batu pertama di Vihara Mahavira Graha Pusat, Jalan Lodan Jakarta, yang a.l. dihadiri oleh Bapak Dirjen Bimas Hindu dan Buddha, Duta Besar Myanmar, Ketua Umum DPP WALUBI, Ketua Harian WALUBI, Romo MP Sumedha Widyadharma (Wkl. Ketua Widyeka Sabha WALUBI), anggota Sangha serta pimpinan Majelis-majelis Agama Buddha Indonesia.
Pada tanggal 20 Juli 1991 Sangha Theravada Indonesia menyerahkan upadi (tanda penghargaan) kepada tiga orang tokoh umat Buddha, bertempat di Vihara Jakarta Dhammacakka Jaya, Sunter Jakarta, yaitu :
– Sumedha Widyadharma mendapat gelar SASANA CARIYA
– Anton Haliman mendapat gelar SASANA PALA
– Visakha Hartati Tjakra Murdaya gelar SASANA PALA
Gelar penghargaan ini merupakan gelar kehormatan tertinggi untuk masa ini dan juga yang pertama kali diberikan oleh Sangha Theravada Indonesia.
Munas WALUBI II dibuka oleh Bapak Presiden Soeharto di Istana Negara pada tanggal 7 Desember 1992 dan kemudian rapat-rapat di Hotel Horizon, Jakarta sampai tanggal 9 Desember 1992.
Munas berhasil memilih :
– Bhikkhu Girirakkhito Mahathera sebagai Ketua Umum WALUBI, dan
– Drs. Budi Setiawan sebagai Sekretaris Jendral.
Beberapa waktu kemudian diangkat dr. R. Surya Widya sebagai Ketua Harian DPP WALUBI dengan tugas untuk melaksanakan pekerjaan sehari-hari DPP WALUBI yang bersifat intern.
Pada tanggal 12 Juli 1994 untuk pertama kali dalam sejarah umat Buddha Indonesia, Bapak Presiden dan Ny. Tien Soeharto berkenan menghadiri Dharmasanti Waisak 2538/1994 di Hotel Hilton Convention Center bersama-sama dengan Bapak Wakil Presiden dan Ny. Tuti Try Sutrisno, para Menteri, undangan dan umat Buddha Indonesia.
Pada tanggal 18 Agustus 1994 telah dibentuk satu lembaga Buddhis baru yang diberi nama Keluarga Cendekiawan Buddhis Indonesia (KCBI) dengan susunan pengurus :
Ketua Umum : Drs. Siti Hartati Murdaya, MBA
Sekjen : Drs. Oka Diputhera.
Tanggal 1 Maret 1995 dr. R. Surya Widya mengundurkan diri sebagai Ketua harian DPP WALUBI dan Bapak Anton Haliman diangkat menjadi Ketua Harian DPP WALUBI.
Pada tanggal 2 April 1995 bertempat di Vihara Mendut, Jawa Tengah, Sangha Theravada Indonesia menganugerahkan tanda penghormatan kepada tiga orang Pengurus Pusat Majelis Pandita Buddha Dhamma Indonesia (MAPANBUDHI) untuk pengabdian terus menerus disertai dedikasi yang tinggi selama lebih dari dua puluh lima tahun dan turut aktif mengembangkan Agama Buddha Theravada di bumi Indonesia. Mereka adalah :
– Drs. Teja S.Mochtar Rashid mendapat gelar DHAMMA VISARADA
– Herman Satriyo Endro, SH mendapat gelar DHAMMA LANKARA
– dr. R.Surya Widya mendapat gelar SASANA DHAJA
Pada tanggal 19 Juli 1995 Bapak Presiden dan Ny. Tien Soeharto dan Bapak Wakil Presiden dan Ny. Tuti Try Sutrisno untuk kedua kali berkenan menghadiri Dharmasanti Waisak 2539/1995 di Hotel Hilton Convention Center bertepatan pula negara kita akan merayakan peringatan 50 tahun proklamasi Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1995.
Bab III
CANDI–CANDI YANG TERKENAL DI JAWA TENGAH
1. MENDUT
Dahulu bernama Veluvana (hutan bambu) dan menghadap ke Barat Laut (ke arah Buddha Gaya). Didirikan oleh Raja Indra Gananatha pada tahun 809, prasastinya dikeluarkan tahun 810.
Kalau menaiki tangga sampai di serambi muka, maka terlihat dinding-dinding sebelah belakang serambi dihias dengan relief-relief pohon Kalpavreksa (pohon untuk memohon sesuatu) disertai dewi Hariti (simbol kesuburan) di sebelah Utara dan dewi Kuwera (simbol kemakmuran) di sebelah Selatan.
Di Mendut terdapat tiga patung besar. Di tengah-tengah adalah patung Buddha Gotama dengan mudra “Dharmacakra” (memutar Roda Dharma). Di sebelah kanannya adalah patung Bodhisatva Avalokitesvara dangan mudra “Vara” (di daerah Tengger disebut Buddha Kesvara). Di sebelah kirinya adalah patung Bodhisatva Vajrapni dengan mudra “Simhakarna”. Ketiga patung tersebut dalam Mahayana dikenal sebagai “Sang Ratnatraya” atau “Tri Ratna”.
Di sebelah luar candi terdapat patung dewi Tara (cakti dari Sang Buddha) yang dipahat di dinding Utara, Bodhisatva Avalokitesvara di dinding Timur dan Bodhisatva Manjusri di dinding Selatan.
Di candi Mendut diadakan upacara kebaktian dan khotbah-khotbah sebelum bermeditasi di Borobudur.
2. PAWON
Didirikan oleh raja Samarottungga (anak dari Raja Indra) pada tahun 826, prasastinya dikeluarkan tahun 824. Candi Pawon merupakan pintu gerbang dari candi Borodudur, dimana umat membersihkan badan dan pikirannya dari kekotoran-kekotoran (batin) sebelum menginjak tempat yang dianggap suci itu.
Desa sekitar candi Pawon bernama Vajranalan. “Vajra” berarti senjata ampuh dari dewa Indra dan “Nala” berarti api kerajaan, sehingga besar sekali kemungkinan bahwa dahulu kala ada patung dewa Indra di candi Pawon.
3. BOROBUDUR
A. Keterangan Umum
Nama aslinya adalah “Dasabhumi Sambhara Budara” yang berarti “Bukit dari sepuluh tingkatan Kerokhanian”, yang kemudian disingkat menjadi Sambhara Budara, lalu Bharabudara dan dengan logat Jawa manjadi Borobudur.
Borobudur menghadap ke arah Timur dan dirikan di atas bukit pada tahun 826, prasastinya dikeluarkan tahun 824.
Pembuatannya dipercayakan kepada seorang arsitek dari India yang bernama Gunadharma. Dahulu kala Borobudur seluruhnya dicat putih dan berada di tengah-tengah sebuah danau. Borobudur berukuran 123 x 123 m; tinggi aslinya 42 m. (ujungnya telah patah ± 8 m.) dan terdiri atas empat bagian :
-
alas bawah.
-
5 (lima) lapis lingkaran persegi yang berlekuk sehingga berbentuk segi 20.
-
3 (tiga) lapis lingkaran bundar.
-
1 (satu) stupa besar di tengah-tengah.Kesemuanya itu melambangkan “Dasa Bhumi” atau 10 (sepuluh) Kesempurnaan (Paramita) yang harus dimiliki oleh seorang Bodhisatva untuk dapat menjadi Buddha.
Lapisan-lapisan yang berbentuk segi 20 diberi serambi, sehingga merupakan lorong-lorong. Dinding dari serambi-serambi ini, baik di bagian luar maupun di bagian dalam diberi relief-relief (gambar-gambar pahat) yang mengkisahkan cerita-cerita tertentu. Pada dinding dalam dari lorong pertama terdapat relief-relief tentang riwayat Buddha Gotama berdasarkan naskah “Lalita Vistara”.
Pada dinding luarnya terdapat cerita tentang kelahiran dari Pangeran Siddharta sebagai Bodhisatva menurut kitab “Jatakumala”.
Pada lorong-lorong yang lain terdapat cerita-cerita dari para Bhodisatva lain dari kitab “Gandavyuha”; sedang di kaki candi yang tertutup terdapat lukisan-lukisan yang berhubungan dengan hukum Karma dari kitab “Karma Vibhanga”.
Dari lapisan pertama sampai keempat terdapat patung-patung Dhyani Buddha (masing-masing 92 buah), yaitu :
-
menghadap ke Timur : Aksobya dengan mudra “Bhumisparsa” (mununjuk bumi sebelah saksi).
-
menghadap ke Selatan : Ratnasambhava dengan mudra “Vara” atau “Varada” (memberi anugerah).
-
menghadap ke Barat : Amitabha dengan mudra “Dyana” (meditasi).
-
menghadap ke Utara : Amogasidhi dengan mudra “ Abhaya” (jangan takut).
Pada baris ke-5 menghadap ke-4 jurusan terdapat 64 buah patung dari Dhyani Buddha Vairocana dengan mudra “Vitarka” (meyakinkan).
Pada lingkaran bundar yang terdiri dari 3 lapisan terdapat 72 buah patung-patung Vajrasatva dengan Dharma cakra-mudra dalam stupa-stupa yang dindingnya berlubang. Lubang-lubang stupa pada lapisan ke satu dan ke dua (masing-masing 32 dan 24 buah) berbentuk “belah ketupat” sebagai lambang “masih belum dalam keseimbangan sempurna”; pada lapisan ketiga lubangnya berbentuk persegi sebagai lambang “mantap dalam keseimbangan”.
Jumlah patung yang terdapat di Borobudur ialah 368 + 64 + 72 = 504 buah.
Stupa besar di tengah-tengah, dindingnya tidak tembus dan di dalamnya terdapat rongga yang sekarang kosong, dimana mungkin sekali dahulu tempat reliek dari Sang Buddha.
Ketiga candi di atas setelah selesai, dikeramatkan oleh puteri dan Raja Samarottungga, yaitu Rajaputeri Pramodawardhani pada tahun 843 (prasasti tahun 840). Dari akhir abad ke-15 untuk lebih dari 300 tahun lamanya Borobudur ditelantarkan.
B. Usaha-usaha menyelamatkan Candi Borobudur
Pada tahun 1815 atas perintah Gubernur Jenderal Inggris, Sir Thomas Stanford Raffles, maka opsir zeni Ir. H.C. Cornelius memimpin pembersihan wajah candi yang masih disebut-sebut dalam “Babad Tanah Jawi” seabad sebelumnya. Lebih dari 200 penduduk dipaksa kerja rodi selama 45 hari menebang pohon, membabat dan membakar belukar serta mengelupas tanah yang sudah menyelimuti candi yang kakinya sudah melesak 10 meter ke dalam tanah. Dan Borobudur pun terjaga dari tidurnya yang pulas ± 3 abad lamanya. Sayang Raffles tidak dapat meneruskan usahanya karena sudah harus pergi dari Indonesia.
Pada tahun 1835 pekerjaan untuk menyelamatkan candi Borobudur baru dapat dilanjutkan kembali. Seorang seniman Jerman, A. Shaefer, pada tahun tersebut untuk pertama kalinya mengabadikan Borobudur di atas celluloid. Ada 5000 foto yang telah dibuatnya, yang kemudian dilanjutkan dengan penggambaran relief-reliefnya di atas kertas oleh F.C. Wilson dan Schonberg Mulder, dari tahun 1849 sampai dengan tahun 1953
Pada tahun 1873 monografi pertama tentang Borobudur diterbitkan oleh Museum Purbakala Leiden, negeri Belanda. Di tahun itu pula seorang akhli potret kenamaan, I. van Kinsbergen diberi tugas untuk memperbaharui potret-potret Borobudur. Saking telitinya kerja I. van Kinsbergen (dia sendiri ikut membersihkan sudut-sudut candi), sehingga 200 relief yang selama ini terpendam dalam tanah ikut tersingkap.
Pada tahun 1885 kaki candi yang ditelan bumi itu “ditemukan” oleh J.W. Ijzerman. Ternyata di belakang kaki candi yang nampak masih ada lagi kaki candi lain yang dihiasi pahatan relief. Kaki yang tersembunyi ini diabadikan oleh Cephas selama setahun (1890-1891), untuk mana 12.500 meter kubik batu dipindahkan dan kemudian dikembalikan lagi ke tempatnya semula. Penemuan ini penting artinya, yang disebut “Khamadhatu” (lingkaran hawa nafsu) yang sebelumnya tersembunyi dari pandangan mata. 160 panel dalam lingkaran ‘Hawa Nafsu’ itu menggambarkan ajaran Karma (Hukum sebab dan akibat setiap perbuatan baik dan buruk), sebagaimana tertera dalam kitab “Karmavibhangga”.
Pada tahun 1834 Residen Kedu melakukan pemugaran secara tambal sulam dan memerintahkan pembersihan lebih lanjut, agar wajah candi kelihatan cantik. Batu-batu yang berserakan di sekeliling candi disingkirkan ke kaki bukit, sedangkan stupa-stupanya dibenarkan letaknya.
Pada tahun 1844 stupa induknya diperbaiki, namun ia pun melakukan perbuatan yang merusak, yaitu :
-
di atas candi Borobudur diberi bangunan bambu sebagai tempat para pembesar Belanda dan nyonyanya minum teh dengan santainya sambil menikmati panorama senja tatkala sang surya berpamitan dengan seisi bumi.
-
tatkala seorang Raja Siam (Thailand) datang pada peretengahan abad 19, Residen kedu menghadiahkan kepada beliau 8 (delapan) gerobak batu-batu candi Borobudur dan 50 (lima puluh) relief, disamping 5 (lima) patung Sang Buddha sendiri, 2 (dua) patung singa penjaga candi, 1 (satu) pancuran berwujud “makara” (kepala gajah berbentuk kambing, bertelinga kerbau dengan singa mini di dalam moncongnya), sejumlah kepala “kala” (raksasa dan “dewa waktu” dalam motologi jawa) dari pangkal tangga dan gapura, serta sebuah patung raksasa dari bukit sebelah Barat-Laut candi Borobudur.
Hampir saja pengrusakan elemen-elemen Borobudur itu makin menjadi-jadi, ketika para akhli di negeri Belanda mengusulkan, agar relief-reliefnya dipindahkan saja ke museum Leiden, mengingat kondisi candi yang semakin rusak. Untunglah gagasan itu penentangnya dari kalangan akhli sendiri, sehingga tidak jadi.
Pada tahun 1900 setelah dokumentasi dan penelitian dianggap memadai, maka oleh Pemerintah Belanda dibentuk panitia khusus untuk pemugaran Borobudur yang diketuai oleh Dr. J.L.A. Brandes.
Dan seperti halnya operasi pertama di zaman Raffles, kembali seorang opsir zeni, letnan Ir. Th. van Erp, memainkan peranan utama sebagai penyelamat candi Borobudur.
Ada tiga hal yang dibebankan kepada Ir. van Erp dalam usaha menyelamatkan Borobudur :
-
menanggulangi bahaya runtuh dengan cara memperkokoh sudut-sudut bangunannya, menegakkan kembali dinding-dinding yang miring pada teras (tingkat) pertama, serta memperbaiki gapura, relung dan stupa, termasuk stupa induk.
-
mengekalkan keadaan yang sudah diperbaiki itu dengan pengawasan yang ketat dan pemeliharaan yang cermat. Untuk itu saluran airnya perlu disempurnakan dengan jalan memperbaiki lantai lorong dan pancuran air.
-
memperlihatkan bangunan candi sejelas-jelasnya, bersih dan utuh
Ir. van Erp pun telah telah membuat satu warning system (petunjuk pengamanan), yakni lapisan beton pengaman di antara 2 (dua) buah batu pada bagian dinding yang paling miring di sebelah Barat tangga Utara tingkat pertama. Bilamana sambungan itu patah, maka Borobudur berada dalam keadaan bahaya.
Pada bulan Januari 1926 telah dapat diketahui adanya kerusakan yang disengaja oleh turis asing yang ingin menyimpan tanda mata dari Boroudur. Peristiwa ini menjadi pendorong bagi penelitian yang lebih intensif terhadap batu-batu dan terutama relief-relief candi. Dan nyatanya banyak relief yang menampakkan tanda-tanda retak. Tangan jahil? Bukan! Setelah diamati dan dibanding-bandingkan kiri-kanan ternyata bukan karena tangan jahil, melaikan karena suhu yang sangat cepat berganti; dari panas yang menyengat kemudian disusul hujan terus-menerus. Ternyata dari 120 panel relief “Lalita Vistara” yang menceritakan riwayat Sang Buddha sejak direncanakan lahir dari sorga Tusita sampai khotbahnya yang tersohor di Banares, ada 40 buah yang rusak.
Pada tahun 1929 dibentuk panitia baru untuk melakukan pengamatan dan pengamanan. Dari hasil penyelidikan panitia, diketahuilah penyebab kerusakannya, yakni : korosi kimiawi, kerja mekanis dan kekuatan tekanan.
Korosi disebabkan oleh pengaruh iklim yang merusak batu-batu candi yang jelek kwalitasnya. Lapisan oker kuning yang dulunya dimaksudkan meratakan warna relief untuk keperluan pemotretan, ternyata berhasil melindungi batu-batu yang keras. Tetapi terhadap batu-batu yang lunak akibatnya jadi lain, yaitu terkelupas. Cendawan dan lumut terang menambah korosi pula. Namun sebab pokok korosi yang paling sadis adalah derasnya air yang merembes ke luar bangunan candi melalui celah-celah dan pori-pori batu-batuan candi itu sendiri.
Adapun kerusakan mekanis terutama disebabkan oleh tangan dan kaki manusia atau penyebab lainnya di luar candi.
Kerusakan lain ialah, karena tekanan bobot batu-batuan candi itu sendiri.
Pada tahun 1948 Pemerintah Republik Indonesia mengundang seorang akhli purbakala India, tetapi belum sempat memberi laporan.
Pada tahun 1965 atas prakarsa Menteri P & K, Ny. Artati M. Sudirdjo SH, maka untuk mencegah kerusakan yang lebih fatal, telah dilakukan pembongkaran atas dinding-dinding Utara dan Barat yang miring oleh Dr. R. Soekmono.
Pada tahun 1967 Dr. R. Soekmono ketika mengikuti Kongres Orientalis International di Ann Arbor (AS) minta perhatian kongres atas nasib Borobudur. Unesco tertarik kepada nasib Borobudur dan berjanji untuk memberi bantuan.
Pada tahun 1968 Pemerintah Republik Indonesia membentuk Panitia Nasional Penyelamat Borobudur dan beberapa akhli luar negeri dihubungi antara lain :
-
Prof. C. Voute, akhli geologi kenamaan.
-
Dr. G. Hyvert, akhli pengawetan patung relief.
-
Prof. Benard Philipe Groslier, arkeologi perancis kenamaan yang namanya tidak dapat dipisahkan dari penyelamatan candi-candi Angkor di Kamboja.
Pada bulan Juni 1971 Panitia pemugaran Borobudur dibentuk dengan diketuai oleh Prof. Ir. R. Rooseno dan didampingi oleh Dr. R. Soekmono. Pada tahun ini pula Dirjen Unesco, Rene Maheu datang ke Indonesia untuk menandatangani bantuan Unesco sebesar US $ 6 juta dari biaya pemugaran yang diperkirakan US $ 7,75 juta (menurut perkiraan tahun 1975 biaya tersebut telah membumbung sampai US $ 16 juta).
Pada tanggal 11 Agustus 1973 Borobudur mulai dipugar dengan mengikutsertakan akhli-akhli dari Unesco, Lembaga Purbakala, Fakultas Sastra UI, Dept. Geologi ITB dan Fakkultas Teknik & Pertanian UGM.
Menurut perkiraan pemugaran Borobudur akan makan waktu delapan tahun.
C. Keterangan dari relief-relief tentang riwayat Buddha Gautama menurut naskah “Lalita Vistara”, yang terdapat di lorong pertama (bagian Rupadhatu) pada dinding sebelah dalam.
Dari pintu timur sampai ke pintu Selatan
-
Sang Bodhisattva di sorga Tusita sedang menerima penghormatan dari para dewa dengan berbagai alat musik.
-
Sang Bodhisattva memberitahukan para dewa tentang keinginannya turun ke dunia menjadi Buddha dan untuk memberi bimbingan kepada mereka yang telah tersesat dan menolongnya mendapatkan Jalan Yang Benar.
-
Seorang Brahmana mengajar para muridnya tentang kebijaksanaan duniawi dan memberitahukan kepada mereka bahwa dua belas tahun kemudian akan turun ke dunia Seorang Buddha yang akan membebaskan umat manusia dari Samsara (lingkaran tumimbal-lahir).
-
Para Pratyeka Buddha, setelah mendengar tentang akan turunnya Sang Bodhisattva ke dunia, terbang ke Sorga untuk menyambut dan mengiringkannya.
-
Sang Bodhisattva mengajar para dewa tentang Dharma.
-
Sebelum Sang Bodhisattva turun ke dunia, terlebih dulu Beliau menyerahkan Mahkotanya (Tyara) kepada penggantinya, yaitu Bodhisattva Maitreya.
-
Bodhisattva Maitreya mengajar Dharma kepada para dewa.
-
Raja Suddhodana bersuka-cita dengan permaisurinya, Ratu Maya Dewi di istana Kapilawastu.
-
Para bidadari mengunjungi Ratu Maya Dewi di istana.
-
Para dewa mempersiapkan diri untuk mengiringi Sang Bodhisatva turun ke dunia.
-
Pemberian hormat terakhir di sorga Tusita sebelum Sang Bodhisattva turun ke dunia.
-
Di Pavilyun Sri Garbha, Sang Bodhisattva duduk bermeditasi dan selanjutnya turun ke dunia diusung oleh para dewa.
-
Ratu Maya Dewi, sewaktu tidur di istana, bermimpi seekor gajah putih memasuki perutnya dan kemudian Ratu menjadi hamil.
-
Sang Ratu tidak usah kuatir apa-apa, karena Dewa Cakra melindungi Beliau.
-
Sang Ratu pergi ke taman Asoka untuk menemui Raja Suddhodana.
-
Raja Suddhodana ketika tiba di taman Asoka dengan menunggang gajah.
-
Raja Suddhodana berjumpa dengan Sang Ratu di serambi. Sang Ratu menceritakan tentang mimpi beliau dan bertanya tentang arti dari mimpi tersebut.
-
Karena Raja Suddhodana tidak dapat menerangkan arti dari mimpi Sang Ratu, maka beliau minta pendapat dari seorang Brahmana yang bernama Asita. Asita menerangkan bahwa Ratu akan hamil dan akan melahirkan seorang bayi laki-laki. Putera ini mempunyai bakat untuk menjadi seorang pemimpin dunia.
-
Raja Suddhodana gembira sekali mendengar ramalan tersebut dan memberikan hadiah yang berlimpah-limpah kepada Asita dan para Brahmana lainnya.
-
Para dewa yang mendengar berita yang menggembirakan ini, membangun tiga buah istana untuk Ratu Maya Dewi.
-
Para dewa telah membuat Ratu Maya Dewi serempak terlihat di tiga alam.
-
Sebelum bayi dilahirkan, Ratu telah melakukan hal-hal yang mujizat : beliau dapat menyembuhkan orang-orang sakit dan orang-orang yang cacat badannya.
-
Raja Suddhodana memberikan hadiah-hadiah kepada orang-orang miskin.
-
Raja Suddhodana memberikan khotbah di hadapan para wanita.
-
Satu hal yang aneh terjadi sewaktu Raja sedang bermeditasi : seekor anak gajah masuk ke istana dan memberi hormat kepada Raja.
-
Persiapan untuk mengunjungi taman Lumbini.
-
Ratu dengan kereta menuju ke taman Lumbini. Setelah tiba, kereta berhenti dan Ratu dengan gembira berjalan-jalan di taman.
-
Di taman Lumbini dengan berdiri berpegangan pada cabang pohon Sal, Ratu melahirkan seorang bayi laki-laki.
Segera setelah dilahirkan Sang bayi sudah dapat berjalan tujuh tindak dan di atas tiap tapak kaki muncul bunga teratai.
Sehabis melahirkan seminggu Ratu meninggal dunia. -
Setelah Ratu meninggal dunia, maka Sang Pangeran diasuh oleh bibinya yang bernama Pajapati. Sang bayi diberi nama Siddharta.
-
Pangeran Siddharta di pangkuan ibu tirinya.
Dari pintu Selatan sampai ke pintu Barat
-
Seorang Brahmana bernama Asita mengunjungi Pangeran Siddharta.
-
Dewa-dewa dari alam Suddhavasa mengunjungi Pangeran Siddharta.
-
Para penduduk yang karyaraya mempersembahkan hadiah-hadiah kepada Pangeran Siddharta.
-
Pangeran Siddharta pergi ke Vihara untuk mendapatkan pendidikan.
-
Setibanya di Vihara, gurunya pingsan melihat wajah Pangeran Siddharta yang demikian cemerlang.
-
Sang Pangeran berhias dengan memakai berbagai macam permata.
-
Para penduduk memberi hormat kepada Sang Pangeran.
-
Pangeran Siddharta dan gurunya di ruang belajar.
-
Pangeran Siddharta mengunjungi desa-desa untuk melihat sendiri penghidupan rakyatnya di desa-desa.
-
Pangeran Siddharta bermeditasi di bawah pohon jambu.
-
Para sesepuh di istana Kapilawastu mendesak Pangeran Siddharta untuk menikah.
-
Sang Pangeran minta para gadis dari Kapilawastu untuk datang ke istana. Pilihannya ternyata jatuh kepada Yasodhara. Untuk menghibur gadis-gadis lain yang kecewa, Sang Pangeran membagi-bagikan hadiah-hadiah.
-
Menurut kebiasaan pada zaman itu, maka sebelum upacara perkawinan dilaksanakan, terlebih dahulu calon pengantin pria harus membuktikan kemampuannya secara fisik dan mental. Maka oleh karena itu Sang Pangeran diharuskan mengambil bagian dalam satu sayembara.
-
Dewadatta, saudara sepupu dari Sang Pangeran, juga turut dalam sayembara tersebut. Ia harus berkelahi dengan seekor gajah yang besar. Gajah tersebut dibunuhnya dengan sekali pukul dan sekali tendang.
-
Di relief hanya terlihat roda kereta dan seorang prajurit.
Pangeran Siddharta dengan duduk di kereta menyeret bangkai gajah itu dengan memakai kaki kiri ke luar kota sejauh delapan yojana (1 yojana = 8 mil). -
Pangeran Siddharta dicoba kemurniannya dengan digoda oleh wanita-wanita cantik.
-
Tidak diketahui. (Mungkin relief sayembara menunggang kuda).
-
Tidak diketahui. (Mungkin relief sayembara menggunakan pedang).
-
Sayembara memanah batang pohon Tala.
Hanya Pangeran Siddharta yang lulus dalam pertandingan ini; anak panahnya manembus batang pohon Tala dan menghilang di tanah. -
Pemberkahan pernikahan dari Pengeran Siddharta dengan Puteri Yasodhara.
-
Puteri Yasodhara memasuki istana setelah menikah.
-
Di istana, mempelai disambut dengan musik.
-
Pangeran Siddharta mendapat petunjuk dari para dewa untuk meninggalkan istana.
-
Untuk mencegah agar Pangeran Siddharta jangan meninggalkan istana, maka Raja Suddhodana memerintahkan untuk mendirikan istana-istana untuk Sang Pangeran dengan dilayani oleh wanita-wanita cantik.
-
Pangeran Siddharta sedang dimanjakan oleh wanita-wanita.
-
Pangeran Siddharta melihat seorang tua renta.
-
Pangeran Siddharta melihat orang sakit keras.
-
Pangeran Siddharta melihat orang mati.
-
Pangeran Siddharta melihat seorang pertapa.
-
Pangeran Siddharta mendapat impian buruk.
Dari pintu Barat sampai ke pintu Utara
-
Pangeran Siddharta mohon diri dari ayahnya, Raja Suddhodana.
-
Raja Suddhodana tidak memperkenankan Sang Pangeran untuk pergi bertapa dan memerintahkan kepada wanita-wanita cantik untuk terus menghibur Sang Pangeran.
-
Tengah malam wanita-wanita yang menghibur Pangeran Siddharta telah tertidur. Dan Pangeran Siddharta yang merasa jemu sekali, membulatkan tekad untuk meninggalkan istana.
-
Pangeran Siddharta memanggil kusirnya yang bernama Channa dan memerintahkan untuk menyiapkan kudanya, Kanthaka.
-
Pangeran Siddharta melakukan perjalanan jauh untuk mulai bertapa.
-
Sampai di tempat tujuannya, Pangeran Siddharta mengucapkan selamat berpisah kepada para dewa yang mengiringinya.
-
Pangeran Siddharta memotong rambutnya.
-
Pangeran Siddharta menukar pakaiannya dengan jubah seorang pertapa.
-
Para dewa memberi hormat kepada Pangeran Siddharta.
-
Pangeran Siddharta tiba di pertapaan Padmapani.
-
Berkunjung ke tempat seorang pertapa bernama Uddaka Ramaputra.
-
Berkunjung ke tempat seorang pertapa yang lain bernama Alara Kalama.
-
Berkunjung ke tempat Raja Bimbisara di Rajagaha.
-
Raja Bimbisara berkunjung ke tempat Pangeran Siddharta.
-
Berkunjung ke Gunung Gaya dan bertemu dengan para pertapa dari tempat itu.
-
Para pertapa yang tersebut di atas berkunjung kepada Pangeran Siddharta.
-
Pangeran Siddharta berbincang-bincang dengan para pertapa tentang persoalan “Panna” (Kebijaksanaan).
Karena selisih pendapat, para pertapa meninggalkan Pangeran Siddharta. -
Ibunda Pangeran Siddharta, yaitu Ratu Maya Dewi almarhumah, turun ke dunia dari sorga untuk membujuk anaknya mengakhiri penyiksaan diri dan makan minum seperti biasa lagi, agar dapat memulihkan kembali kekuatan tubuhnya.
-
Para dewa mendesak Pangeran Siddharta untuk kembali makan dan minum.
-
Pangeran Siddharta mengajar para dewa.
-
Seorang wanita bernama Sujata mempersembahkan bubur kepada Pangeran Siddharta.
-
Pangeran Siddharta mempersiapkan diri untuk mandi.
-
Pangeran Siddharta menukar pakaian.
-
Para wanita dari Uruvela mempersembahkan makanan kepada Pangeran Siddharta.
-
Pangeran Siddharta pergi ke tepi sungai Nairayana dengan membawa jubahnya yang sudah bekas pakai.
-
Pangeran Siddharta membuang jubahnya ke sungai.
-
Jubah tersebut diterima oleh Raja Naga Mucilinda.
-
Pangeran Siddharta memberi makanan dari Mucilinda.
-
Pangeran Siddharta memberi berkah kepada Mucilinda.
-
Pangeran Siddharta minta diberi rumput yang empuk untuk duduk.
Dari pintu Utara sampai pintu Timur
-
Pangeran Siddharta dalam perjalanan ke Buddha Gaya.
-
Pohon Bodhi diberi panghiasan.
-
Pangeran Siddharta bermeditasi di bawah pohon Bodhi.
-
Mara, iblis yang jahat, datang mengganggu Pangeran Siddharta dan mengancam untuk membunuhnya.
-
Mara mengirim anak-anaknya berupa wanita-wanita yang cantik sekali untuk menggoda Pangeran Siddharta.
-
Mara mencoba untuk membujuk Pangeran Siddharta dengan membisikkan godaan-godaan di telinganya.
-
Godaan-godaan oleh Mara dengan memakai kekuatan gaib dan wanita-wanita cantik. Sang Pangeran duduk dengan sikap Bhumisparsa-Mudra (simbol dari tekad yang bulat).
-
Para dewa membasuh Pangeran Siddharta dengan air suci.
-
Pangeran Siddharta berhasil mencapai Panerangan Agung; Mara tidak berhasil untuk menggagalkan usaha Pangeran Siddharta.
Sekarang Pangeran Siddharta menjadi Buddha (Beliau memakai sikap Abaya-Mudra = Janganlah takut). -
Buddha Gotama mendapat tempat duduk di taman Menjangan.
-
Raja Naga Mucilinda menjumpai Buddha Gotama.
-
Para pertapa dari Bodhi-manda minta diberi berkah oleh Buddha Gotama.
-
Buddha Gotama mengajar cara melakukan Samadhi (Beliau memakai Dyana-Mudra = Sedang bermeditasi).
-
Para Raja mempersembahkan makanan kepada Buddha Gotama dan diberi pelajaran tentang “bermurah hati”.
-
Buddha Gotama sedang memberi pelajaran Dhamma.
-
Berkunjung ke kota Savatthi untuk mengajar Dhamma.
-
Berkunjung ke Uruvela untuk mengajar Dhamma.
-
Berkunjung ke bekas guruNya Uddaka Ramaputta.
-
Berkunjung ke Raja Bimbisara di Rajagaha.
-
Berkunjung ke para pertama.
-
Bertemu dengan para dewa.
-
Mengunjungi sebuah kota dan dijamu makan.
-
Berkunjung ke bekas guruNya Alara Kalama.
-
Berkunjung ke kota Maghada dan disambut dengan upacara yang meriah.
-
Dalam perjalanan ke Banares, Buddha Gotama menyeberangi sungai Gangga dengan terbang di atas air. (Tukang perahu penyeberang tidak mau menyeberangkan Buddha Gotama tanpa pembayaran lebih dulu. Sebelum tukang perahu tahu apa yang terjadi, Buddha Gotama sudah ada di seberang sungai).
-
Buddha Gotama sedang dijamu.
-
Di sebuah bukit bernama Gaya, Buddha Gotama berjumpa kembali dengan para pertapa yang dulu telah meninggalkannya. Sekarang mereka menjadi murid-murid Buddha Gotama.
-
Buddha Gotama diberi hormat oleh para pertapa lain.
-
Buddha Gotama diperciki air suci oleh para dewa.
-
Memberi khotbah di taman Menjangan dekat Banares.