PENGANTAR
AGAMA BUDDHA DAN POLITIK
Banyak terjadi perdebatan sengit dalam masyarakat tentang peranan umat Buddha pada kegiatan politik.
Dalam tatanan umat Buddha, dikenal adanya dua kelompok masyarakat yaitu:
1. Umat Buddha yang telah meninggalkan keduniawian dan hidup dalam vihara sebagai seorang samanera ataupun bhikkhu.
2. Umat Buddha yang berumah tangga dan tinggal dalam masyarakat sebagai upasaka dan upasika.
Perdebatan seru di atas akan timbul apabila ada seorang atau sekelompok bhikkhu mengikuti kegiatan politik ataupun ikut dalam salah satu partai politik.
Namun, apabila seorang umat Buddha aktif dalam kegiatan partai politik hal tersebut bukanlah merupakan sesuatu yang luar biasa.
Karena banyaknya pertanyaan yang timbul dalam masyarakat sehubungan dengan adanya bhikkhu yang bergerak dalam kepartaian, maka pada kesempatan ini diturunkan dua tulisan yang dikutip dari dua sumber. Diharapkan kedua naskah ini dapat dijadikan tambahan pemikiran dalam menentukan sikap umat Buddha terhadap pribadi bhikkhu yang aktif berpolitik.
Kedua karya tulis itu masing-masing disusun oleh seorang umat Buddha dan seorang bhikkhu. Dengan demikian, diharapkan dapat mewakili kedua sudut pandang yang sering saling berhadapan.
Adapun tulisan itu berjudul:
1. SAAT PARA BIARAWAN TERJUN DALAM POLITIK oleh Ang Choo Hong
2. BUDDHISME DAN POLITIK oleh Ven K. Sri Dhammananda
Semoga kedua tulisan ini dapat memberikan manfaat dan kebahagiaan.
Salam metta,
B. Uttamo
SAAT PARA BIARAWAN TERJUN DALAM POLITIK
Bolehkah para biarawan berpartisipasi dalam politik?
Untuk menjawab pertanyaan ini, kita harus memeriksa terlebih dahulu ajaran dan aturan Sang Buddha yang berkenaan dengan politik
Oleh: Ang Choo Hong*
The Dhamma Times, 5 Maret 2004
*Malaysia* – Buddha Gautama adalah biarawan Buddhis pertama. Pada mulanya Beliau adalah pewaris tahta kerajaan Kapilavastu. Dengan kata lain, Beliau semestinya dapat menjadi seorang politisi full-time. Tetapi, guna menemukan kebenaran dan mencari kebebasan sejati, Beliau melepaskan keluarga dan kerajaannya guna menjalani kehidupan sebagai seorang pertapa.
Setelah melepaskan keduniawian, Beliau berkonsentrasi dalam pengejaran tujuan muliaNya. Walaupun Raja Bimbisara membujukNya untuk kembali ke kehidupan berumah tangga dengan menawarkan separuh dari kerajaannya, Beliau dengan tegas menolaknya.
Setelah mencapai Kebuddhaan, Beliau menempuh perjalanan ke banyak tempat di India untuk membabarkan Dhamma. Selama proses pembabaran Dhamma, Beliau terlibat dalam berbagai peristiwa yang berkenaan dengan politik. Beliau menyelesaikan perselisihan serta memberikan pendidikan nilai-nilai spiritual para raja dan para menteri. Beliau tidak terlibat dalam pengendalian dan pelaksanaan kekuasaan politik. Beliau juga tidak terlibat dalam pergulatan kekuasaan politik.
Misalnya, saat suku Koliya dan Sakya hendak berperang demi penggunaan air sungai, Sang Buddha membujuk mereka agar tidak melakukannya.
Saat raja Ajattasattu mencoba menaklukkan suku Vajji, Sang Buddha menyampaikan pesan dengan cara melakukan percakapan dengan Ananda di depan menteri raja Ajattasattu, bahwa suku Vajji tidak dapat ditaklukkan. Dengan demikian Sang Buddha meyakinkan Raja untuk membatalkan rencananya.
Dalam dua kesempatan, Sang Buddha menghentikan majunya bala tentara raja Vadidabu yang hendak menghancurkan suku Sakya dengan bermeditasi di bawah pohon kering.
Sang Buddha membabarkan tujuh cara tanpa agresi dalam memerintah suatu negara republik dan sepuluh kebajikan para raja dalam memerintah suatu negara kerajaan.
Keterangan singkat di atas menunjukkan dua poin penting:
1. Para biarawan dapat mendidik para raja dan menteri ( para politisi ) dengan mengajarkan Dhamma kepada mereka, menjadi penengah dalam berbagai permasalahan politik dan melindungi hak-hak para warganegara pada saat diperlukan.
2. Para biarawan tidak terlibat sebagai pribadi dalam pengendalian dan pelaksanaan kekuasaan politik. Mereka juga tidak terlibat dalam pergulatan kekuasaan politik. Dengan kata lain, para biarawan boleh terlibat dalam politik tetapi harus dibatasi. Mereka tidak boleh menjadi politisi.
Beberapa orang berusaha menggambarkan Sang Buddha sebagai orang yang meninggalkan politik kerajaan untuk menjadi politisi demokratik massa. Hal seperti ini tidaklah ditemukan. Mereka yang mengenal Buddhisme akan mengetahui bahwa Sang Buddha menghabiskan seluruh hidupNya dalam peningkatan batin dan pengajaran. Beliau mengajarkan tentang penyucian pikiran, ucapan dan perbuatan. Inti ajaranNya adalah di pencapaian kesucian dan bukan salah satu bentuk ideologi politik apapun.
Sang Buddha menganggap diriNya sendiri sebagai seorang “Tathagatha”, dan bukan seorang raja atau politisi. Saat kita membaca paritta tentang kebajikan seorang Buddha, kita menyebut sebagai Bhagava (Yang Patut Dimuliakan), Arahat (Yang Maha Suci), Sammasambuddha (Yang Telah Mencapai Penerangan Sempurna), vijja-carana-sampano (Sempurna pengetahuan dan tindak tandukNya), sugato (Sempurna menempuh Sang Jalan ke Nibbana), lokavidu (Pengenal Segenap Alam), anutara purisa dhamma sarathi (Manusia yang tiada taranya), satta deva manusanam (Guru para dewa dan manusia), buddho (Yang Sadar).
Kita tidak menyebut Nya sebagai seorang raja, politisi atau seorang yang hendak memperbaiki keadaan sosial walaupun telah dikenal bahwa Beliau adalah salah satu pembaharu sosial terbesar dalam sejarah manusia.
Beberapa orang memperdebatkan bahwa karena tidak adanya peraturan dalam Vinaya yang melarang para biarawan menjadi politisi, maka mereka boleh saja menjadi politisi. Perdebatan ini harus ditentang. Kita harus mengerti bahwa peraturan atau Vinaya dibuat berdasarkan keadaan saat itu. Karena pada saat itu tidak ada biarawan berjubah yang mau menjadi raja dan menteri, tentu saja peraturan semacam itu tidak dibuat. Pada saat itu, semua raja dan menteri yang hendak menjadi biarawan dengan otomatis melepaskan jabatan-jabatan duniawi mereka. Bagaimanapun juga, tujuan seorang biarawan adalah pelepasan; oleh karena itu berpikiran tentang pelepasan keduniawian di saat mereka masih melekat pada kekuasaan politik adalah sesuatu yang tidak sesuai dengan Ajaran Sang Buddha.
Dhammapada ayat 75 menyebutkan: “Satu jalan menuju keuntungan duniawi; satu jalan yang lain menuju Nibbana – pembebasan sejati.” Untuk melepaskan keduniawian, dan pada saat yang sama hendak mendapatkan kekuasaan politik serta berusaha memenangkan pemilihan umum adalah keinginan berjalan di dua jalan yang bertentangan. Yang Mulia Sangarasita dengan tepat berkata, “Bagi para biarawan yang hendak menguasai dan mempergunakan kekuasaan politik, satu-satunya jalan yang terhormat bagi mereka adalah melepaskan jubah.”
Dalam Buddhisme, umat Buddha perumah tangga dapat berpartisipasi dalam semua aspek kehidupan politik, termasuk menguasai dan mempergunakan kekuasaan politik. Hal seperti ini bukanlah merupakan persoalan yang kontroversi. Kontroversi baru muncul pada saat para biarawan hendak berpartisipasi dalam politik. Kontroversi ini bukan karena tidak adanya nasihat yang jelas tercantum dalam Kitab Suci tentang hal ini, melainkan karena gagasan awal dan penafsiran terhadap makna politik serta partisipasi seseorang di dalamnya. Misalnya, wawancara saya yang diterbitkan dalam satu majalah Buddhis dikutip oleh Kwong Min Poh sebagai “tidak ada kerugian bagi para biarawan untuk berpartisipasi dalam politik”’ dan dikutip oleh penulis majalah lain sebagai “tidak ada keberatan bagi para biarawan berpartisipasi dalam politik”.
Pandangan Yang Mulia Dr. K. Sri Dhammanada bahwa tidak ada kerugian bagi para biarawan berpartisipasi dalam politik telah disalahartikan pula menjadi para biarawan dapat ikut serta dalam pemilihan umum, bergabung dengan partai-partai, dan mencari kekuasaan. Ketika saya melakukan klarifikasi dengannya, beliau berkata, “Sebelum pemilihan umum 1990 di Malaysia, saya pergi ke Penang untuk membujuk seorang bhikkhu menghentikan niatnya ikut serta dalam pemilihan umum. Pada tahun 1995, saya memberitahu ribuan bhikkhu di depan Presiden dan Perdana Menteri Sri Lanka bahwa demi kepentingan Buddhisme dan Negara, “Anda tidak seharusnya bergabung dalam partai-partai politik dan ikut serta dalam pemilihan umum.” Jelas bahwa saat Yang Mulia Dr. K. Sri Dhammananda berbicara tentang “tidak ada kerugian bagi para biarawan berpartisipasi dalam politik”, ia berbicara tentang pendidikan Dhamma dan menjadi penengah dalam permasalahan politik namun bukan ikut dalam perebutan kekuasaan politik.
Dalam Buddhisme belakangan ini, ada beberapa biarawan yang terlibat dalam politik, tetapi kebanyakan terbatas pada aspek pendidikan dan bagaimana mereka membantu para pemimpin politik menyelesaikan berbagai perselisihan. Bagaimanapun juga, para biarawan adalah pekerja full-time yang sepenuhnya terlibat dalam peningkatan kualitas diri serta pengajaran Dhamma. Mereka hampir tidak ada waktu dan tenaga untuk urusan – urusan keduniawian. Dalam konteks terminologi moderen, politik adalah suatu profesi, demikian juga kebiarawanan. Sesungguhnya adalah hal yang sulit dipikirkan bila seseorang secara bersamaan terlibat dalam dua profesi yang berbeda tujuannya.
Jaman sekarang sesekali kita melihat para biarawan bergabung dengan partai-partai politik, ikut serta dalam pemilihan umum ataupun memegang jabatan-jabatan politik. Namun hal ini bukan berarti bahwa perbuatan mereka diperkuat oleh Kitab Suci. Menurut analisa saya, tingkah laku orang-orang ini disebabkan adanya alasan-alasan berikut:
1. Hal itu disebabkan oleh sejarah politik sosial seperti dalam kasus para Dalai Lama di Tibet.
2. Mereka yang tidak mempunyai pilihan lain karena lingkungan politik tempat mereka berada. Misalnya, apabila mereka dipilih oleh pihak-pihak yang berwenang untuk menjabat sebagai menteri, wakil rakyat, anggota badan legislatif, dll.
3. Mereka yang dengan tulus hendak mengabdi pada kepentingan Buddhisme tetapi mereka tidak mempunyai pengertian yang mendalam tentang Ajaran Sang Buddha dan pengertian tentang politik. Maka hal ini membingungkan peran mereka sendiri.
4. Mereka yang mengenakan jubah kuning tetapi mempunyai karakter yang egois. Mereka menginginkan perhatian dari orang lain.
Apapun alasannya, seharusnya kita tidak menyalahgunakan nama Buddhisme ataupun memutarbalikkan Ajaran Sang Buddha untuk membenarkan keterlibatan mereka dalam politik.
Beberapa orang berpendapat bahwa adalah hak seorang warganegara untuk ikut serta dalam pemilihan umum. Para biarawan adalah warganegara pula, mereka seharusnya diperbolehkan ikut serta. Perdebatan ini berdasarkan pada hak-hak kewarganegaraan, bukan pada Ajaran Sang Buddha. Walaupun demikian, argumentasi ini bukan tanpa cela. Para hakim, pejabat pemerintah senior serta para penguasa juga warganegara, tetapi mereka tidak diperbolehkan ikut serta dalam pemilihan umum. Oleh karena itu, dari sudut hak-hak kewarganegaraanpun tidak tepat bagi para biarawan untuk ikut serta dalam pemilihan umum.
Para biarawan yang ingin ikut serta dalam politik seharusnya bertanya kepada diri sendiri tujuan dari keikutsertaan mereka. Memang benar bahwa beberapa biarawan mempunyai tujuan yang tulus untuk menegakkan hak-hak umat Buddha dan mengabdi untuk kepentingan Buddhisme saat mereka bergabung dengan partai-partai politik guna ikut serta dalam pemilihan umum. Tetapi mereka gagal melihat bahwa dengan demikian mereka lebih banyak melakukan kerusakan daripada kebaikan pada Buddhisme. Hal ini karena sifat alami dari politik adalah pemecahan; partisipasi dari satu grup biarawan dalam partai politik akan menyebabkan grup biarawan lainnya bergabung dengan partai politik yang berlawanan; pada akhirnya kondisi ini akan menyebabkan suatu perpecahan dalam Sangha. Saat para biarawan dalam partai politik yang berbeda, mereka membela kepentingan mereka sendiri dan mengutuk partai berlawanan, semua pihak mengutip referensi-referensi dan dukungan dari doktrin-doktrin Ajaran Sang Buddha, kita dapat membayangkan kerusakan yang dilakukan kepada Buddhisme. Hal ini telah terjadi di agama yang lain.
Mungkin kita dapat belajar sesuatu dari kecerdikan Gereja Katolik di Philipina. Gereja di sana tidak terlibat dalam partai politik apapun. Tetapi mereka aktif menyuarakan penderitaan rakyat dan mengangkat berbagai persoalan yang terkait. Dengan melakukan tindakan seperti itu, Gereja menjadi suatu grup yang sangat berpengaruh. Partai-partai politik pemerintah dan oposisi semuanya harus memperhatikan tekanan yang digunakan oleh Gereja. Umat-umat awam mungkin dapat terpecah dalam penafsiran mereka atas pesan Gereja, selanjutnya bergabung dan mendukung partai-partai yang berbeda, tetapi mereka semua akan setuju dengan Gereja. Sementara itu Gereja tidak terpecah belah.
*Ang Choo Hong adalah wakil ketua Konferensi Buddhisme Dunia 2002 dan Presiden Perkumpulan Misionari Buddhist Malaysia. Beliau telah terlibat dalam penyebarluasan Dhamma selama lebih dari 25 tahun.
Diterjemahkan oleh: Jenny H.
Editor: Bhikkhu Uttamo
BUDDHISME DAN POLITIK
Oleh: Ven K. Sri Dhammananda
Sang Buddha berasal dari sebuah kasta ksatria yang mengkondisikan Beliau banyak bergaul dengan para raja, pangeran, dan menteri. Walaupun demikian, Beliau tidak pernah memaksakan pengaruh kekuatan politik untuk memperkenalkan ajaranNya. Ataupun memperbolehkan ajaranNya disalahgunakan untuk memperoleh kekuatan politik. Tetapi saat ini banyak politisi mencoba menyeret nama Agama Buddha ke dalam politik dengan memperkenalkan Beliau sebagai komunis, kapitalis, atau bahkan seorang imperialis. Mereka telah lupa bahwa filosofi politik baru yang telah kita kenal berkembang di dunia Barat jauh setelah masa Sang Buddha.
Usaha untuk mencampuradukkan agama dengan politik pun sering terjadi.
Padahal, kalau dilihat agama berdasarkan pada moralitas, kemurnian, dan keyakinan, sedangkan dasar politik adalah kekuatan. Dilihat dari sejarah masa lalu, agama telah sering digunakan untuk memberi hak bagi orang-orang yang berkuasa. Agama digunakan untuk membenarkan perang dan penaklukan, penganiayaan, kekejaman, pemberontakan, penghancuran karya-karya seni dan kebudayaan.
Ketika agama digunakan sebagai perantara tindakan-tindakan politik, agama tidak lagi dapat memberikan keteladanan moral yang tinggi dan derajatnya direndahkan oleh kebutuhan-kebutuhan politik duniawi.
Tujuan Buddha Dhamma tidak diarahkan pada penciptaan lembaga-lembaga
politik baru dan menyusun rencana-rencana politik. Pada dasarnya, agama mencari pendekatan masalah-masalah kemasyarakatan dengan memperbaiki individu-individu dalam masyarakat tersebut dan menganjurkan beberapa prinsip umum untuk dituntun ke arah nilai-nilai kemanusiaan yang tinggi. Memperbaiki kesejahteraan anggota-anggotanya dan lebih adil dalam membagi sumber daya-sumber daya.
Sistem politik dapat menjaga kebahagiaan dan kesejahteraan masyarakat, tapi ada batasannya. Bagaimanapun idealnya suatu sistem politik, tidak dapat menimbulkan kedamaian dan kebahagiaan selama orang-orang dalam sistem tersebut dikuasai keserakahan, kebencian, dan kebodohan. Sebagai tambahan, tidak peduli sistem politik apa yang diambil, ada faktor-faktor universal tertentu yang harus dialami anggota-anggota masyarakat, yaitu pengaruh-pengaruh kamma baik dan buruk, kurangnya kepuasan sejati atau kebahagiaan abadi dalam dunia yang bersifat dukkha (ketidakpuasan), anicca (ketidakkekalan), anatta (tanpa keakuan). Bagi umat Buddha tiada tempat dalam samsara di mana ada kebebasan sejati bahkan tidak di surga-surga atau dunia para Brahma.
Meskipun suatu sistem politik yang baik dan adil menjamin hak asasi manusia dan mengawasi keseimbangan, penggunaan kekuatan adalah suatu kondisi penting bagi suatu kehidupan bahagia dalam masyarakat. Masyarakat seharusnya tidak membuang-buang waktunya dengan pencarian tanpa akhir bagi sistem politik muktahir di mana manusia dapat bebas sepenuhnya. Karena kebebasan penuh tidak dapat ditemukan dalam sistem apapun melainkan hanya dalam batin yang bebas. Untuk menjadi bebas, orang-orang harus mencari ke dalam pikiran mereka sendiri dan bekerja ke arah pembebasan diri mereka sendiri dari belenggu kebodohan dan keinginan.
Kebebasan dalam arti sebenarnya hanya mungkin ketika manusia menggunakan Dhamma untuk mengembangkan sifatnya melalui perkataan,
perbuatan yang baik dan melatih pikirannya sedemikian rupa untuk mengembangkan potensi mentalnya dan mencapai tujuan akhir yaitu penerangan.
Sementara mengetahui manfaat memisahkan agama dari politik dan keterbatasan sistem politik dalam menimbulkan kedamaian dan kebahagiaan. Ada beberapa aspek dari ajaran Sang Buddha yang mempunyai hubungan dekat dengan perencanaan politik masa kini.
Pertama-tama, Sang Buddha berbicara tentang kesamaan dari semua manusia jauh sebelum Abraham Lincoln. Dan kelas-kelas juga kasta-kasta adalah pembatas buatan yang didirikan oleh masyarakat. Satu-satunya klasifikasi manusia, menurut Sang Buddha, adalah berdasarkan pada kualitas perbuatan moral mereka.
Kedua, Sang Buddha mendorong jiwa kerjasama sosial dan partisipasi aktif dalam masyarakat modern.
Tiga, karena tak seorang pun ditunjuk oleh Sang Buddha sebagai penerus, anggota-anggota Sangha dituntun oleh Dhamma dan Vinaya, atau singkatnya, Aturan Hukum. Hingga hari ini setiap anggota Sangha mematuhi Aturan Hukum yang menentukan dan menuntun perbuatan mereka.
Keempat, Sang Buddha mendorong jiwa konsultasi dan proses demokrasi.
Ini diperlihatkan dalam kelompok Sangha yang semua anggotanya mempunyai hak untuk memutuskan masalah-masalah umum. Ketika suatu pernyataan serius timbul dan membutuhkan perhatian, persoalan- persoaian dihadapkan kepada para bhikkhu dan dibahas dalam sikap demokrasi sistem Dewan Perwakilan Rakyat yang digunakan masa kini. Prosedur pemerintahan ini mungkin mengejutkan bagi banyak orang yang mengetahui bahwa dalam majelis Agama Buddha di India lebih dari 2500 tahun yang lalu dapat ditemukan dasar praktek Dewan Perwakilan Rakyat masa kini. Seorang petugas khusus yang serupa dengan “Tuan Pembicara” ditunjuk untuk menjaga martabat majelis. Petugas kedua, yang berperan serupa dengan kepala penggerak Dewan Perwakilan Rakyat juga ditunjuk untuk melihat apakah kuorum tercapai. Masalah-masalah diajukan dalam bentuk suatu mosi yang terbuka untuk diskusi. Dalam beberapa kasus hal itu dilakukan satu kali, dalam kasus lain tiga kali. Demikian praktek Dewan Perwakilan Rakyat, suatu rancangan dibaca tiga kali sebelum menjadi hukum. Jika diskusi memperlihatkan suatu perbedaan pendapat, hal itu harus diselesaikan dengan pengambilan suara mayoritas melalui pemungutan suara.
Pendekatan Agama Buddha terhadap politik adalah kemoralan dan tanggung jawab penggunaan kekuatan masyarakat. Sang Buddha mengkotbahkan Tanpa Kekerasan dan Kedamaian sebagai pesan universal. Beliau tidak menyetujui kekerasan atau penghancuran kehidupan dan mengumumkan bahwa tidak ada satu hal yang dapat disebut sebagai suatu perang ‘adil’. Beliau mengajarkan, “Yang menang melahirkan kebencian, yang kalah hidup dalam kesedihan. Barang siapa yang melepaskan keduanya baik kemenangan dan kekalahan akan berbahagia dan damai”.
Sang Buddha tidak hanya mengajarkan Tanpa Kekerasan dan Kedamaian,
Beliau mungkin guru agama pertama dan satu-satunya yang pergi ke medan perang secara pribadi untuk mencegah pecahnya suatu perang. Beliau menguraikan ketegangan antara suku Sakya dan suku Koliya yang siap berperang atas air Sungai Rahini. Beliau juga meminta Raja Ajatasattu supaya jangan menyerang Kerajaan Vajji.
Sang Buddha mendiskusikan penting dan perlunya suatu pemerintahan yang baik. Beliau memperlihatkan bagaimana suatu negara dapat menjadi korup, merosot nilainya dan tidak bahagia ketika kepala pemerintahan menjadi korup dan tidak adil. Beliau berbicara menentang korupsi dan bagaimana suatu pemerintahan harus bertindak berdasarkan pada prinsip- prinsip kemanusiaan.
Suatu kali Sang Buddha berkata, “Ketika penguasa suatu negara adil dan baik para menteri menjadi adil dan baik; ketika para menteri adil dan baik, para pejabat tinggi adil dan baik; ketika para pejabat tinggi adil dan baik, rakyat jelata menjadi baik; ketika rakyat jelata menjadi baik, orang-orang menjadi adil dan baik”. (Anguttara Nikaya)
Di dalam Cakkavatti Sihananda Sutta, Sang Buddha berkata bahwa kemerosotan moral dan kejahatan seperti pencurian, pemalsuan, kekerasan, kebencian, kekejaman, dapat timbul dari kemiskinan. Para raja dan aparat pemerintah mungkin menekan kejahatan melalui hukuman, tetapi menghapus kejahatan melalui kekuatan, takkan berhasil.
Dalam Kutadanda Sutta, Sang Buddha menganjurkan pengembangan ekonomi
sebagai ganti. Kekuatan untuk mengurangi kejahatan. Pemerintahan harus menggunakan sumber daya negara untuk memperbaiki keadaan ekonomi negara. Hal itu dapat dimulai pada bidang pertanian dan pengembangan daerah pedalaman, memberikan dukungan keuangan bagi pengusaha dan perusahaan, memberi upah yang cukup bagi pekerja untuk menjaga suatu kehidupan yang layak sesuai dengan martabat manusia.
Dalam Jataka, Sang Buddha telah memberikan 10 aturan untuk pemerintahan yang baik, yang dikenal sebagai “Dasa Raja Dhamma”. Kesepuluh aturan ini dapat diterapkan bahkan pada masa kini oleh pemerintahan manapun yang berharap dapat mengatur negaranya.
Peraturan-peraturan tersebut sebagai berikut :
01. Bersikap bebas / tidak picik dan menghindari sikap mementingkan diri
sendiri.
02. Memelihara suatu sifat moral tinggi.
03. Siap mengorbankan kesenangan sendiri bagi kesejahteraan rakyat.
04. Bersikap jujur dan menjaga ketulusan hati.
05. Bersikap baik hati dan lembut.
06. Hidup sederhana sebagai teladan rakyat.
07. Bebas dari segala bentuk kebencian.
08. Melatih tanpa kekerasan.
09. Mempraktekkan kesabaran, dan
10. Menghargai pendapat masyarakat untuk meningkatkan kedamaian dan
harmoni.
Mengenai perilaku para penguasa, Beliau lebih lanjut menasehatkan:
1. Seorang penguasa yang baik harus bersikap tidak memihak dan tidak berat sebelah terhadap rakyatnya.
2. Seorang penguasa yang baik harus bebas dari segala bentuk kebencian terhadap rakyatnya.
3. Seorang penguasa yang baik harus tidak memperlihatkan ketakutan apapun dalam penyelenggaraan hukum jika itu dapat dibenarkan.
4. Seorang penguasa yang baik harus memiliki pengertian yang jernih akan hukum yang diselenggarakan. Hukum harus diselenggarakan tidak hanya karena penguasa mempunyai wewenang untuk menyelenggarakan hukum. Dan dikerjakan dalam suatu sikap yang masuk akal dan dengan pikiran sehat, (Cakkavati Sihananda Sutta)
Dalam Milinda Panha dinyatakan: Jika seseorang yang tidak cocok, tidak mampu tidak bermoral, tidak layak, tidak berkemampuan, tidak berharga atas kedudukan sebagai raja, telah mendudukkan dirinya sendiri sebagai seorang raja atau seorang penguasa dengan wewenang besar, dia akan menjadi sasaran penyiksaan. Menjadi sasaran berbagai macam hukuman oleh rakyat. Karena dengan keberadaannya yang tidak cocok dan tidak berharga, dia telah menempatkan dirinya secara tidak tepat dalam kedudukannya. Sang penguasa seperti halnya orang lain yang kejam dan melanggar moral etika dan aturan dasar dari semua hukum-hukum sosial umat manusia, adalah sebanding sebagai sasaran hukuman dan lebih lagi, yang pantas menjadi kecaman adalah penguasa yang berbuat sendiri sebagai seorang perampok masyarakat. Dalam suatu cerita Jataka, disebutkan bahwa seorang penguasa yang menghukum orang yang tidak bersalah dan tidak menghukum orang telah melakukan kejahatan, tidak cocok untuk mengatur suatu negara.
Raja yang selalu memperbaiki dirinya sendiri dan secara hati-hati memeriksa tingkah lakunya baik perbuatan, ucapan dan pikiran, mencoba untuk menemukan dan mendengar pendapat publik apakah dia telah bersalah atau tidak dalam mengatur kerajaannya. Jika ditemukan bahwa dia telah mengatur secara tidak benar, masyarakat akan mengeluh bahwa mereka telah dihancurkan oleh penguasa yang jahat dengan perlakuan yang tidak adil, hukuman, pajak, atau tekanan-tekanan lain termasuk korupsi dalam segala bentuk, dan mereka akan bereaksi menentangnya dalam satu atau lain cara.
Sebaliknya, jika seorang penguasa mengatur dengan cara yang benar mereka akan memberkahinya dengan “Panjang umur Yang Mulia” (Majjhima Nikaya)
Penekanan Sang Buddha pada tugas moral seorang penguasa untuk memperbaiki kesejahteraan rakyat telah mengilhami Raja Asoka pada abad ketiga Sebelum Masehi untuk berbuat demikian. Raja Asoka, contoh seorang raja berhasil dengan prinsip ini, berketetapan untuk hidup menurut Dhamma dan mengkhotbahkan Dhamma serta melayani rakyatnya dan semua umat manusia. Dia mengajarkan tanpa kekerasan kepada tetangga-tetangganya, meyakinkan mereka dan mengirim utusan kepada para raja membawa pesan perdamaian dan tanpa agresi. Dengan penuh semangat mempraktekkan kebajikan moral, kejujuran, ketulusan, welas asih, kebaikan hati, tanpa kekerasan, penuh perhatian dan toleransi terhadap semua manusia, tidak tinggi hati, tidak tamak, dan melukai binatang. Beliau mendorong kebebasan beragama dan secara berkala membabarkan Dhamma kepada orang-orang di pedalaman. Beliau menangani pekerjaan kebutuhan masyarakat, seperti: mendirikan rumah-rumah sakit untuk manusia dan binatang, memasok obat-obatan, menanam hutan-hutan kecil dan pohon-pohon di tepi jalan, menggali sumur-sumur, dan membangun tanggul-tanggul air dan rumah-rumah peristirahatan. Beliau juga melarang bertindak kejam terhadap binatang-binatang.
Kadang-kadang Sang Buddha dikatakan sebagai pembaharu sosial. Antara
lain Beliau mencela sistem kasta, memperkenalkan persamaan manusia, berbicara akan kebutuhan untuk memperbaiki kondisi sosial ekonomi, memperkenalkan pentingnya pembagian kekayaan yang lebih pantas diantara yang kaya dan yang miskin, meningkatkan status wanita, menganjurkan memasukkan kemanusiaan dalam pemerintahan dan administrasi, dan mengajarkan bahwa suatu masyarakat harus dijalankan tanpa keserakahan. Tetapi dengan penuh pertimbangan dan welas asih bagi rakyat.
Meskipun demikian, kontribusiNya terhadap umat manusia jauh lebih besar. Karena Beliau mulai pada titik yang tidak pernah dilakukan oleh pembaharuan sosial lain, yaitu, dengan masuk ke akar yang terdalam dari penyakit manusia yang ditemukan dalam batin manusia. Hanya di dalam batin manusia pembaharuan sejati dapat berpengaruh. Pembaharuan yang dipaksakan mempunyai usia yang sangat pendek karena tidak mempunyai akar atau pondasi. Tetapi pembaharuan yang bersemi sebagai hasil transformasi kesadaran dalam (diri) manusia tetap berakar. Sementara cabang-cabangnya menyebar keluar, menarik makanan dari sumber yang tak pernah gagal yaitu bawah sadar yang penting sekali bagi aliran kehidupan itu sendiri. Jadi pembaharuan muncul ketika pikiran manusia telah menyiapkan jalan untuk mereka, dan mereka hidup selama manusia menghidupkannya kembali dengan sumber cinta mereka sendiri akan kebenaran dan keadilan, terhadap sesama manusia.
Doktrin yang dikhotbahkan Sang Buddha tidak berdasarkan pada filosofi politik. Bukan pula sebuah doktrin yang mendorong manusia menuju kesenangan duniawi. Doktrin tersebut menyiapkan jalan ke Nibbana.
Dengan kata lain tujuan akhirnya adalah untuk mengakhiri keinginan
(tanha) yang membuat manusia tetap terikat pada dunia. Dhammapada 75 menyarikan dengan baik pernyataan ini, “Jalan yang menuntun kepada perolehan duniawi adalah satu, dan jalan yang lain menuntun ke Nibbana (dengan menjalani suatu kehidupan agama) “.
Betapapun, ini tidak berarti bahwa agama Buddha tidak dapat atau harus tidak terlibat dalam proses politik, yang merupakan suatu realitas sosial. Bagaimanapun kehidupan anggota masyarakat dibentuk oleh hukum-hukum dan peraturan-peraturan, aturan-aturan ekonomi, lembaga-lembaga, yang dipengaruhi oleh penataan politik dari masyarakat tersebut. Namun, jika seorang umat Buddha berharap untuk terlibat dalam politik, dia harus tidak menyalahgunakan agama untuk memperoleh kekuatan politik. Juga tidak dianjurkan bagi mereka yang telah melepaskan kehidupan duniawi untuk menjalani suatu kehidupan agama yang murni untuk secara aktif terlibat dalam politik.
Sumber: What Buddhist Believe, Kuala Lumpur, Buddist Misionary
Society, 1987, pp 229-236.
Diterjemahkan dari Buddhism and Politics, Buddhist Digest English
Series 25 Oleh: Ven. K. Sri Dhammananda
Dimuat di dalam Majalah “Buddha Cakkhu” No. 05/XVII/96.