Bab I – Pendahuluan Intisari Agama Buddha

INTISARI AGAMA BUDDHA

Penyusun : Pandita S. Widyadharma

BAB I – PENDAHULUAN

1. RIWAYAT HIDUP BUDDHA GAUTAMA

Ayah dari Pangeran Siddharta adalah Sri Baginda Raja Suddhodana dari Suku Sakya dan ibunya adalah Sri Ratu Mahä Mäyä Dewi. Ibunda Ratu meninggal dunia tujuh hari setelah melahirkan Sang Pangeran. Setelah meninggal, beliau terlahir di alam Tusita, yaitu alam sorga luhur. Sejak itu maka yang merawat Pangeran Siddharta adalah Mahä Pajäpati, bibinya yang juga menjadi isteri Raja Suddhodana.

Pangeran Siddharta dilahirkan pada tahun 623 Sebelum Masehi di Taman Lumbini. Oleh para pertapa di bawah pimpinan Asita Kaladewala diramalkan bahwa Pangeran Siddharta kelak akan menjadi Maharaja Diraja atau akan menjadi Seorang Buddha. Hanya pertapa Kondañña yang dengan pasti meramalkan bahwa Sang Pangeran kelak akan menjadi Buddha. Mendengar ramalan tersebut Sri Baginda menjadi cemas, karena apabila Sang Pangeran menjadi Buddha, tidak ada yang akan mewarisi tahta kerajaannya. Oleh pertanyaan Sang Raja, para pertapa itu menjelaskan agar Sang Pangeran jangan sampai melihat empat macam peristiwa, atau ia akan menjadi pertapa dan menjadi Buddha. Empat macam peristiwa itu adalah : 1. Orang tua, 2. Orang sakit, 3. Orang mati, 4. Seorang pertapa.

Sejak kecil sudah terlihat bahwa Sang Pangeran adalah seorang anak yang cerdas dan sangat pandai, selalu dilayani oleh pelayan-pelayan dan dayang-dayang yang masih muda dan cantik rupawan di istana yang megah dan indah. Dalam usia 16 tahun Pangeran Siddharta menikah dengan Puteri Yasodhara yang dipersuntingnya setelah memenangkan berbagai sayembara. Ternyata akhirnya Sang Pangeran melihat empat peristiwa yang selalu diusahakan agar tidak berada di dalam penglihatannya, setelah itu Pangeran Siddharta tampak murung dan kecewa melihat kenyataan hidup yang penuh dengan derita ini.

Ketika beliau berusia 29 tahun, putera pertamanya lahir dan diberi nama Rahula. Setelah itu Pangeran Siddharta meninggalkan istana, keluarga, kemewahan, untuk pergi berguru mencari ilmu sejati yang dapat membebaskan manusia dari usia tua, sakit dan mati. Pertapa Siddharta berguru kepada Alära Käläma dan kemudian kepada Uddaka Ramäputra, tetapi tidak merasa puas karena tidak memperoleh yang diharapkannya. Kemudian beliau bertapa menyiksa diri dengan ditemani lima orang pertapa. Akhirnya beliau juga meninggalkan cara yang ekstrim itu dan bermeditasi di bawah pohon Bodhi untuk mendapatkan Penerangan Agung.

Dalam usia 35 tahun pertapa Siddharta memperoleh Penerangan Agung, menjadi Buddha di bawah pohon Bodhi di hutan Uruvela (kini tempat tersebut disebut Buddha Gaya). Untuk pertama kalinya Beliau mengajarkan Dhamma yang maha sempurna kepada lima orang pertapa kawan Beliau di Taman Rusa Isipatana di dekat Benares. Adapun kelima orang pertapa itu adalah Kondañña, Bodhiya, Vappa, Mahanama dan Assaji.

Setelah mendengarkan khotbah Sang Buddha, Kondañña, segera menjadi Sotapanna dan kemudian menjadi Arahat. Yang lainnya pun menyusul menjadi Arahat. Khotbah pertama ini kemudian dikenal sebagai Khotbah Pemutaran Roda Dhamma (Dhamma Cakka Pavattana Sutta). Selanjutnya Sang Buddha sangat giat mengajarkan Dhamma kepada para siswaNya sampai Beliau mangkat di Kusinara dalam usia 80 tahun.

TIMBULNYA DUA ALIRAN BESAR
Segera setelah Buddha Gautama mencapai Pari-Nibbana, maka diadakanlah Sidang Agung (Sangha-samaya) yang pertama di kota Rajagaha (543 S.M.). Sidang ini dipimpin oleh Y.A. Kassapa dan dihadiri oleh 500 orang bhikkhu yang semuanya telah mencapai tingkat Arahat.

Maksud dari sidang ini ialah untuk menghimpun Ajaran-ajaran dari Buddha Gautama yang diberikan di tempat-tempat yang berlainan, kepada orang-orang yang berlainan dan pada waktu yang berlainan pula selama 45 tahun. Dalam sidang tersebut Y.A. Upali mengulang tata-tertib bagi para bhikkhu dan bhikkhuni (Vinaya) dan Y.A. Ananda mengulang khotbah-khotbah (Sutta) dari Buddha Gautama. Ajaran-ajaran dan khotbah-khotbah ini dihafalkan di luar kepala dan diajarkan lagi kepada orang lain dari mulut ke mulut.

Sidang Agung ke-dua diadakan di kota Vesali lebih kurang 100 tahun kemudian (l.k. 443 S.M.). Sidang ini diadakan untuk membicarakan tuntutan segolongan bhikkhu (golongan Mahasangika), yang menghendaki agar beberapa peraturan tertentu dari Vinaya, yang dianggap terlalu keras, dirobah atau diperlunak. Dalam sidang ini golongan Mahasangika dikalahkan dan sidang memutuskan untuk tidak merobah Vinaya yang sudah ada.

Sidang Agung ke-tiga diadakan lebih kurang 230 tahun setelah Sidang Agung pertama (l.k. 313 S.M.), di ibu kota kerajaan Asoka, yaitu Pataliputta. Sidang ini dipimpin oleh Y.A. Tissa Moggaliputta dan bertujuan menertibkan beberapa perbedaan pendapat yang menyebabkan perpecahan di dalam Sangha. Di samping itu sidang memeriksa kembali dan menyempurnakan Kanon (Kitab Suci) Pali. Di Sidang Agung ke-tiga ini Ajaran Abidhamma diulang secara tersendiri, sehingga dengan demikian lengkaplah sudah Kanon Pali yang terdiri dari tiga kelompok besar, meskipun masih belum dituliskan dalam kitab-kitab dan masih dihafal di luar kepala. Golongan bhikkhu-bhikkhu yang terkena penertiban meninggalkan golongan Sthaviravada (pendahulu dari golongan yang sekarang dikenal sebagai Theravada) dan mengungsi ke arah Utara.

Sidang Agung ke-empat diadakan di Srilangka pada 400 tahun setelah Buddha Gautama meninggal dunia dan dipimpin oleh seorang anak dari Raja Asoka, yaitu Mahinda. Sidang ini berhasil untuk secara resmi menulis Ajaran-Ajaran Buddha Gautama di daun-daun lontar yang kemudian dijadikan buku Tipitaka dalam bahasa Pali.

Sidang Agung ke-lima diadakan di Kanishka oleh Raja Kanishka pada kurang lebih 600 tahun setelah Buddha Gautama meninggal dunia. Sidang ini diadakan oleh mereka yang memisahkan diri dari golongan Sthaviravada dan di sidang ini buku Tipitaka menurut pandangan golongan Mahayana secara resmi ditulis dalam bahasa Sansekerta.

Catatan :
Buddha Gautama bukanlah Buddha yang pertama di dalam masa-dunia ini (masa-dunia atau kalpa ; satu kalpa lamanya kurang lebih 4.320.000.000 tahun). Buddha-Buddha sebelumnya adalah Buddha Kakusandha, Buddha Konagamana, Buddha Kassapa, Buddha yang akan datang adalah Buddha Mettaya (Maitreya). Menurut Buddha Gautama, Ajaran Beliau akan dapat bertahan selama lebih kurang 5.000 tahun; setelah itu Ajaran Beliau akan demikian diselewengkan, sehingga mungkin masih ada yang menggunakan nama Agama Buddha, tetapi ajarannya akan jauh sekali berbeda dengan Ajaran Beliau yang asli. Karena itu akan datang kembali Seorang Buddha lain yang akan dikenal sebagai Buddha Mettaya (Maitreya).

2. SEJARAH PERKEMBANGAN AGAMA BUDDHA DI INDONESIA

Pada jaman dahulu orang-orang di Indonesia menyembah dan memuja roh leluhurnya. Leluhur dianggap sebagai yang telah berjasa dan mempunyai banyak pengalaman. Roh leluhur, Hyang atau Dahyang namanya, menurut kepercayaan pada waktu itu dianggap mempunyai kekuatan gaib yang dapat digunakan oleh orang-orang yang masih hidup. Kekuatan gaib itu diperlukan jika orang akan memulai suatu pekerjaan yang penting, misalnya akan berangkat perang, akan memulai mengerjakan tanah dan lain sebagainya.

Mereka juga percaya bahwa benda-benda seperti pohon besar, batu besar, gunung dan sebagainya dihuni oleh roh-roh. Ada kalanya benda-benda senjata-senjata dianggap bertuah, sakti dan dijadikan jimat oleh pemiliknya.

Upacara pemujaan roh leluhur harus diatur sebaik-baiknya agar restunya mudah diperoleh. Dan pertunjukkan wayang, suatu bentuk kebudayaan Indonesia, erat hubungannya dengan upacara tersebut. Kepercayaan kepada “HYANG” masih dapat juga kita lihat sampai saat ini.

Jaman Sriwijaya.
Sriwijaya bukan saja termashyur karena kekuatan angkatan perangnya, melainkan juga karena merupakan pusat ilmu dan kebudayaan Buddha. Di sana terdapat banyak vihara yang dihuni oleh ribuan bhikkhu. Pada Perguruan Tinggi Agama Buddha di Sriwijaya orang dapat mengikuti selain kuliah-kuliah tentang Agama Buddha juga kuliah-kuliah tentang bahasa Sansekerta dan Bahasa Indonesia Kuno. Pujangga-Pujangga Agama Buddha yang terkenal seperti Dharmapala dan Sakyakirti pernah mengajar di Perguruan Tinggi tersebut. Pada waktu itu Sriwijaya merupakan mercusuar Agama Buddha di Asia Tenggara yang memancarkan cahaya budaya manusia yang cemerlang.

Tentang Agama Buddha di Sriwijaya juga banyak diceritakan oleh seorang sarjana Agama Buddha dari Tiongkok yang bernama I-Tsing. Dalam tahun 672 ia bertolak untuk berziarah ke tempat-tempat suci Agama Buddha di India. Waktu pulang dalam tahun 685 ia singgah di Sriwijaya dan tinggal di sana sampai 10 tahun lamanya untuk mempelajari dan menyalin buku-buku suci Agama Buddha dalam bahasa Sansekerta ke dalam bahasa Tionghoa.

Sriwijaya yang berada di pulau Sumatera didirikan pada kira-kira abad ke-7 dan dapat bertahan terus hingga tahun 1377.

Jaman Sailendra di Mataram.
Pada tahun 775 hingga tahun 850 di daerah Bagelen dan Yogyakarta berkuasalah raja-raja dari wangsa Sailendra yang memeluk Agama Buddha. Jaman ini adalah jaman keemasan bagi Mataram, dan negara di bawah pemerintahannya aman dan makmur. Ilmu pengetahuan, terutama ilmu pengetahuan tentang Agama Buddha sangat maju. Dan kesenian, terutama seni pahat, mencapai taraf yang sangat tinggi.

Pada waktu itu seniman-seniman bangsa Indonesia menghasilkan karya-karya seni yang mengagumkan. Hingga sekarang pun masih dapat kita saksikan betapa indahnya candi-candi yang mereka buat misalnya :

    1. Candi Kalasan. Candi ini terletak di sebelah timur laut kota Yogyakarta dan didirikan di tahun 778 oleh Rakai Panakaran atas perintah Raja Sailendra.
    2. Candi Sewu. Candi ini terletak di Prambanan (perbatasan Solo – Yogya) dan didirikan di tahun 800.
    3. Candi-candi Borobudur, Pawon, Mendut. Candi-candi ini terletak dekat kota Muntilan dan didirikan di tahun 825 atas perintah Raja Sailendra yang bernama Samarotungga.

Kecuali candi-candi tersebut di atas masih banyak lagi candi-candi yang didirikan atas perintah Raja-Raja Sailendra, tetapi yang paling besar dan paling indah adalah candi Borobudur. Setelah Raja Samarotungga meninggal dunia, Mataram kembali diperintah oleh raja-raja dari wangsa Sanjaya yang beragama Hindu, namun Agama Buddha dan Agama Hindu dapat berkembang terus
berdampingan dengan rukun dan damai.

Jaman Majapahit.
Di dalam masa pemerintahan raja-raja Majapahit (tahun 1292 s/d tahun 1476), Agama Buddha berkembang dengan baik bersama-sama dengan Agama Hindu. Toleransi (saling harga-menghargai) di bidang keagamaan dijaga baik-baik, sehingga pertentangan agama tidak pernah terjadi.

Di waktu pemerintahan Raja Hayam Wuruk, seorang pujangga terkenal, Mpu Tantular, telah menulis sebuah buku yang berjudul “Sutasoma”, di mana terdapat kalimat Bhinneka Tunggal Ika yang kini dijadikan lambang negara Republik Indonesia yang melambangkan motto toleransi dan persatuan. Setelah Majapahit runtuh pada tahun 1478, maka berangsur-angsur agama Buddha dan Hindu digeser kedudukannya oleh agama Islam.

Kebangkitan kembali Agama Buddha di Indonesia.
Agama Buddha mulai bangkit kembali di pulau Jawa dengan datangnya Bhikkhu Narada Thera dari Sri Lanka (Ceylon) di bulan Maret tahun 1934. Selama berada di pulau Jawa, Bhikkhu Narada Thera antara lain telah melakukan kegiatan-kegiatan sbb. :

    1. Memberikan khotbah-khotbah dan pelajaran-pelajaran Buddha-Dhamma di beberapa tempat di Jakarta, Bogor, Jawa-Barat dan Jawa-Tengah.
    2. Memberkahi penanaman pohon Bodhi di pekarangan candi Borobudur pada tanggal 10 Maret 1934.
    3. Membantu dalam pendirian Java Buddhist Association (Perhimpunan agama
      Buddha yang pertama) di Bogor dan Jakarta.
    4. Menjalin kerja-sama yang erat dengan bhikshu-bhikshu (hweshio-hweshio) dari kelenteng-kelenteng Kim Tek Ie, Kwan Im Tong dan Toeng San Tong di Jakarta, kelenteng Hok Tek Bio di Bogor, kelenteng Kwan Im Tong di Bandung, kelenteng Tin kok Sin di Solo dan perhimpunan-perhimpunan Theosofie di Jakarta, Bogor, Jawa-Barat dan Jawa-Tengah.
    5. Melantik upasaka-upasaka dan upasika-upasika di tempat-tempat yang Beliau kunjungi. Bapak Maha Upasaka S. Mangunkowotjo, tokoh umat Buddha Jawa-Tengah dan anggota MPR telah dilantik menjadi upasaka di Yogyakarta oleh Bhikkhu Narada Thera pada tanggal 10 Maret 1934.

Nama-nama dari para perintis bangkitnya kembali Agama Buddha di pulau Jawa
pada waktu itu adalah antara lain :

  1. Pandita Josias van Dienst, Deputy Director General Buddhist Mission, Java Section.
  2. Kwee Tek Hoay, Direktur dan Redaktur Kepala dari Majalah Moestika Dharma, Jakarta.