DHAMMA-SARI
Disusun oleh : Maha Pandita Sumedha Widyadharma
Penerbit : Yayasan Dana Pendidikan Buddhis Nalanda
Cetakan Kesembilan, 1994
BAB X
AJARAN SANG BUDDHA DAN DUNIA DEWASA INI
Ada orang yang beranggapan bahwa agama Buddha demikian tinggi dan sempurna, sehingga tidak mungkin dilaksanakan secara benar oleh orang awam yang masih sibuk dengan pekerjaannya sehari-hari. Oleh karena itu mereka yang benar-benar ingin menjadi pengikut agama Buddha yang baik harus menyingkir ke dalam vihara atau ke tempat lain yang sepi.
Hal tersebut merupakan tafsiran salah yang menyedihkan yang timbul karena orang kurang mengerti, akan ajaran Sang Buddha; mereka dengan tergesa-gesa menarik kesimpulan yang salah mengenai apa yang mereka dengar dan baca sepintas lalu saja tentang agama Buddha, yang ditulis oleh orang yang mungkin sendirinya belum mengerti seluruh persoalannya. Oleh karena itu, mereka hanya dapat memberi gambaran dari satu segi saja dan segi yang lain, tidak disinggung, sehingga dengan demikian gambaran yang hendak diberikan menjadi kabur.
Ajaran Sang Buddha sebenarnya tidak dimaksudkan bagi para bhikkhu di vihara-vihara saja, melainkan diperuntukkan bagi semua orang, pria dan wanita biasa yang sudah berkeluarga di rumah masing-masing. Ajaran Sang Buddha yang dinamakan Delapan Jalan Utama merupakan “way of life” seorang Buddhis dan berguna bagi semua orang tanpa ada yang terkecuali.
Tidaklah mungkin kita menginginkan agar sebagian besar penduduk dunia menjadi bhikkhu atau mengasingkan diri ke dalam goa atau ke hutan-hutan. Biar bagaimanapun bagus dan cemerlangnya ajaran Sang Buddha, kalau Ajaran tersebut tidak dapat dilaksanakan dalam penghidupan sehari-hari dalam masyarakat ramai, maka tidaklah berguna ajaran tersebut untuk dipelajari dan dianut. Tetapi, kalau Anda benar-benar mengerti akan sari agama Buddha dengan baik, Anda pasti akan dapat mempraktekkannya dalam kehidupan sehari-hari sebagai orang biasa.
Mungkin saja ada penganut agama Buddha yang menganggap lebih mudah untuk mempelajari dan mempraktekkan ajaran Sang Buddha bila tinggal di tempat yang sunyi dan jauh dari dunia yang ramai. Mungkin ada orang lain lagi yang berpendapat bahwa pengasingan diri dari dunia yang ramai adalah perbuatan yang tidak berfaedah, bahkan menekan seluruh pribadinya baik badaniah maupun batiniah, dan hal tersebut tidak mungkin berguna bagi perkembangan kehidupan intelektual dan spiritual yang tinggi.
Penglepasan sejati bukanlah berarti menyingkirkan diri secara fisik dari dunia ramai. Ayasma Sariputta, siswa utama Sang Buddha pernah berkata: “Ada orang yang menyingkir dari penghidupan ramai dan pergi ke hutan untuk menjalankan penghidupan suci, tetapi pikirannya masih penuh noda dan kekotoran batin; dan ada orang lain yang tinggal di desa atau kota dan menjalankan disiplin hidup yang suci, sehingga pikirannya terbebas dari noda dan kekotoran batin. Dari dua orang tersebut di atas, sudah teranglah bahwa orang yang menjalankan disiplin hidup yang suci di desa atau kota yang lebih unggul dibandingkan dengan orang yang menyingkir dari penghidupan ramai dan tinggal di hutan.”
Pendapat umum bahwa untuk dapat menjalankan ajaran Sang Buddha dengan baik orang harus menyingkir dari dunia ini merupakan tafsiran salah yang menyedihkan. Pendapat yang salah tersebut merupakan pembelaan yang tidak disadari dari orang yang tidak berhasil mempratekkan ajaran Sang Buddha dalam penghidupannya sehari-hari di desa atau kota tempat ia tinggal.
Dalam kitab-kitab Buddhis terdapat banyak sekali contoh bahwa pria dan wanita yang hidup berkeluarga dengan sukses dapat melaksanakan ajaran Sang Buddha dan memperoleh kedamaian Nibbana.
Pertapa Vacchagotta pada suatu hari secara langsung bertanya kepada Sang Buddha, apakah di antara para upasaka/upasika yang masih hidup berkeluarga ada yang telah berhasil melaksanakan ajaran Sang Buddha dan mencapai keadaan batin yang luhur? Sang Buddha secara blak-blakan menerangkan, bahwa bukan satu atau dua, bukan seratus atau dua ratus atau lima ratus, tetapi lebih banyak lagi upasaka/upasika yang hidup dalam lingkungan keluarga yang dapat melaksanakan ajaran-Nya dengan hasil yang baik dan mencapai keadaan batin yang luhur.
Mungkin bagi orang-orang tertentu lebih menyenangkan apabila ia dapat menyingkirkan diri ke tempat yang sunyi, jauh dari keributan dan keramaian kota; tetapi lebih terpuji dan perkasa adalah mereka yang melaksanakan ajaran Sang Buddha justru di tengah-tengah masyarakat ramai, sehingga mereka memperoleh kesempatan untuk membantu meringankan penderitaan orang lain, menolong mereka sesuai dengan tenaga dan kemampuannya serta selalu siap untuk mengabdikan dirinya guna kebahagiaan dan kesejahteraan orang banyak.
Tidak dapat disangkal bahwa dalam hal-hal tertentu berguna sekali untuk mengasingkan diri pada saat-saat tertentu untuk memperbaiki pikiran dan watak sebagai permulaan dari latihan moral, spiritual dan intelektual. Namun, setelah mendapat kemajuan orang harus kembali ke penghidupan di antara masyarakat ramai untuk memberi pertolongan kepada mereka yang membutuhkan. Tetapi, kalau orang seumur hidupnya mengasingkan diri dan hanya berpikir untuk kebahagiaan dan keselamatan dirinya saja tanpa menghiraukan orang lain, maka pastilah hal tersebut tidak sesuai dengan ajaran Sang Buddha yang berdasarkan cinta kasih universal, berbelas kasihan kepada makhluk-makhluk yang sedang menderita dan pengabdian diri untuk selalu berusaha meringankan penderitaan orang lain.
Mungkin ada yang bertanya, kalau orang dapat menganut agama Buddha sebagai seorang upasaka/upasika (umat biasa) dalam penghidupan berkeluarga, untuk apa Sang Buddha mendirikan Sangha (Pasamuan para bhikkhu).
Sangha ini mempunyai sifat khusus karena Sangha bukan saja memberi kesempatan kepada mereka untuk mendapatkan kemajuan dalam bidang spiritual, tetapi juga kesempatan untuk mengabdikan diri memberi penerangan dan menolong orang lain. Seorang umat biasa yang masih berkeluarga tidaklah dapat diharapkan bahwa ia seumur hidup akan membaktikan dirinya untuk kepentingan orang lain. Sedangkan seorang bhikkhu yang tidak mempunyai tanggung jawab rumah tangga atau ikatan-ikatan duniawi lain berada dalam kemungkinan yang baik untuk dapat mengabdikan seluruh hidupnya “untuk kepentingan dan kebahagiaan orang banyak”. Itulah sebabnya mengapa dalam sejarah, vihara itu bukan saja merupakan pusat kegiatan keagamaan, tetapi juga pusat dari ajaran dan kebudayaan Buddhis.
Dalam Sigalovada-sutta (Digha Nikaya 31) diceritakan bagaimana Sang Buddha sendiri menaruh penghargaan besar terhadap penghidupan para upasaka/upasika, keluarga dan sahabat-sahabatnya.
Seorang anak muda bernama Sigala mempunyai kebiasaan untuk memuja enam arah, yaitu. Timur, Selatan, Barat, Utara, Nadir (bawah) dan Zenith (atas) sebagai bakti dan penghormatan kepada pesan ayahnya yang diberikan pada saat hendak meninggal dunia. Sang Buddha memberitahukan orang muda itu bahwa dalam ajaran-Nya tentang Ariyassa vinaya (tata tertib para Ariya), enam penjuru itu mempunyai arti sbb.:
Timur | berarti | : | orang tua |
Selatan | „ | : | guru |
Barat | „ | : | istri dan anak-anak |
Utara | „ | : | sahabat, sanak keluarga dan para tetangga |
Nadir | „ | : | pelayan, buruh, dan pegawai |
Zenith | „ | : | para brahmana dan pertapa lainnya |
“Orang harus memuja enam penjuru itu”, berkata Sang Buddha sambil memberikan tekanan khusus pada kata memuja (Namasseyya). Kalau orang memuja, tentu memuja sesuatu yang keramat, sesuatu yang ada harganya untuk dihormat dan dipuja. Enam kelompok orang-orang yang disebut di atas, dalam agama Buddha diperlakukan sebagai keramat, berharga untuk dihormat dan dipuja.
Tetapi, bagaimana orang harus memuja mereka? Sang Budddha bersabda bahwa orang hanya dapat memuja mereka dengan jalan melakukan kewajiban kita terhadap mereka. Kewajiban ini diterangkan dalam pembicaraan Beliau dengan Sigala.
1. Orang tua adalah keramat untuk anak-anaknya
Sang Buddha bersabda: “Orang tua disebut Brahma (Brahmati Matapitaro).” Istilah Brahma mempunyai arti yang luhur dan keramat dalam alam pikiran orang India dan istilah ini menurut Sang Buddha mencakup juga “orang tua”.
Dari itu dalam keluarga Buddhis pada waktu sekarang ini anak-anak tiap hari memuja orang tua mereka, baik pagi hari maupun malam hari. Menurut “tata tertib para Ariya” mereka harus melakukan kewajiban-kewajiban tertentu terhadap orang tua mereka.
Mereka harus memelihara orang tua mereka yang sudah lanjut usia, harus melakukan segala sesuatu untuk keperluan orang tua mereka; harus mempertahankan kehormatan keluarga dan meneruskan tradisi-tradisi keluarga; harus melindungi harta benda yang telah dihimpun orang tua mereka dan harus melakukan persembahyangan sebagaimana layaknya pada waktu orang tua mereka meninggal dunia.
Sebaliknya, orang tua mempunyai tanggung jawab terhadap anak-anak mereka: mereka harus dapat menghindarkan anak-anak mereka dari perbuatan-perbuatan yang tidak baik; harus menganjurkan mereka untuk melakukan perbuatan-perbuatan baik dan berguna, harus memberi anak-anak mereka pendidikan yang baik; harus menikahkan mereka dengan anak-anak dari keluarga yang baik dan selanjutnya harus menyerahkan harta benda mereka pada saat yang tepat.
2. Hubungan antara guru dengan murid
Murid harus menghormat dan mendengar kata-kata gurunya; harus mengurus keperluannya kalau ada; harus belajar dengan tekun dan sungguh-sungguh.
Sebaliknya, guru harus melatih dan mendidik muridnya secara seksama; harus memberikan muridnya satu pegangan hidup dan berusaha untuk mencarikan pekerjaan yang layak kalau pendidikan mereka sudah selesai.
3. Hubungan antara suami-istri
Cinta kasih antara suami istri dianggap sebagai sesuatu yang suci dan keramat. Hal ini dinamakan Sadara-Brahmacariya (penghidupan keluarga yang keramat).
Di sini pun tekanan diberikan kepada istilah “Brahma” dan penghormatan tertinggi diberikan kepada hubungan tersebut di atas. Suami istri harus setia, saling mencintai, saling berbakti dan mempunyai kewajiban tertentu terhadap satu sama lain. Suami harus selalu menghormati istrinya dan menjaga jangan sampai kekurangan apa-apa. Ia harus mencintainya dan setia kepadanya, harus memberikan kedudukan dan kesenangan kepada istrinya dan harus memberikan pakaian dan perhiasan.
Fakta-fakta di atas yang memperlihatkan bahwa Sang Buddha tidak lupa untuk menyebut hal-hal yang kecil seperti hadiah dari seorang suami kepada istrinya merupakan bukti betapa halus dan simpatik perasaan prikemanusiaan Sang Buddha terhadap perasaan orang biasa.
Sebaliknya istri harus mengawasi dan mengurus rumah tangga; harus menjamu sahabat-sahabat, tamu-tamu, keluarga dan pegawai suami; harus mencintai dan setia kepada suaminya; harus melindungi pencaharian suami, serta harus pintar dan rajin dalam semua pekerjaannya.
4. Hubungan antara sahabat, keluarga dan para tetangga
Mereka harus saling memberikan tempat menedu dan saling tolong menolong. Mereka harus berbicara sopan dan menyenangkan; harus bekerja untuk kejayaan bersama; harus bekerja satu sama lain dengan syarat yang sama. Harus menjauhi perselisihan; harus tolong menolong dalam keadaan darurat dan tidak melakukan sesuatu yang dapat menimbulkan kesulitan bagi yang lain.
5. Hubungan antara majikan dan pegawai
Majikan mempunyai beberapa kewajiban terhadap pelayannya, buruhnya atau pegawainya. Ia harus memberikan pekerjaan yang dapat dan mampu dikerjakan oleh pegawainya, harus membayar gaji yang sesuai, menjamin perawatan kesehatan; sewaktu-waktu harus memberikan uang tambahan atau hadiah.
Sebaliknya, pelayan, buruh atau pegawai harus bekerja rajin dan tidak bermalas-malasan, jujur dan dengar kata serta tidak mendustai majikannya; ia harus tekun dalam pekerjaannya.
6. Hubungan antara para brahmana/pertapa dan umatnya
Umat dari satu agama harus mengurus semua keperluan para brahmana dan pertapa dengan cinta kasih dan penuh rasa hormat. Para brahmana dan pertapa harus dengan penuh cinta kasih memberikan pengetahuan dan ajaran kepada umatnya dan membimbing mereka melalui jalan yang benar dan menjauhkan mereka dari segala sesuatu yang tidak baik.
Dari uraian di atas dapat kita lihat dengan jelas bahwa penghidupan seorang upasaka/upasika dengan keluarga dan sahabat-sahabatnya termasuk dalam “tata tertib para Ariya” dan berada dalam rangka “way of life” seorang umat Buddha. Dalam Samyutta Nikaya, salah satu kitab agama Buddha yang tertua, diceritakan bahwa Sakka, raja para dewa, bukan saja memuja para bhikkhu yang telah melaksanakan penghidupan bersih dan suci, tetapi juga para upasaka/upasika yang telah melakukan pekerjaan yang terpuji, yang menuntut penghidupan bersih dan yang memelihara keluarganya dengan semestinya.
Kalau orang ingin menjadi umat Buddha, tidaklah diperlukan satu upacara pentahbisan (untuk menjadi bhikkhu, anggota dari Sangha, orang harus menjalankan satu proses latihan disiplin dan pendidikan).
Sebenarnya, kalau orang mengerti ajaran Sang Buddha dan kalau orang itu merasa yakin bahwa ajaran-Nya merupakan Jalan yang benar, dan ia ingin menjalankan dalam penghidupannya sendiri, maka ia dengan sendirinya sudah menjadi umat Buddha.
Tetapi, menurut tradisi kuno, orang dianggap menjadi umat Buddha, kalau ia mencari perlindungan dalam Sang Tri Ratna (Tiga Mestika: Buddha, Dhamma, Sangha) dan menjadi upasaka/upasika jika berjanji untuk menjalankan Panca-Sila dalam penghidupannya sehari-hari di hadapan seorang anggota Sangha.
Panca Sila yang merupakan syarat minimum untuk diterima sebagai upasaka/ upasika, merupakan janji kepada diri sendiri:
- untuk tidak membunuh
- untuk tidak mencuri
- untuk tidak berzinah
- untuk tidak berdusta
- untuk tidak memakai atau minum barang-barang yang dapat memabukkan atau yang dapat menimbulkan ketagihan.
Janji kepada diri sendiri di hadapan seorang anggota Sangha harus diucapkan dalam bahasa Pali. Dalam upacara persembahyangan Buddhis, paritta ini biasanya diucapkan bersama-sama mengikuti pimpinan seorang anggota Sangha. Umat Buddha tidak diharuskan untuk melakukan ritus-ritus atau upacara yang biasa dilakukan. Buddha Dhamma adalah suatu “way of life.” dan yang penting ialah menjalankan dalam penghidupan sehari-hari Delapan Jalan Utama secara benar.
Di dalam vihara dilakukan upacara keagamaan yang kadang-kadang bersifat sederhana dan kadang-kadang bersifat mewah. Juga di cetiya (sanggar/shrine), stupa atau pagoda, bahkan di bawah pohon Bodhi umat Buddha melakukan upacara-upacara keagamaan dengan mempersembahkan bunga, lilin dan dupa. Pemujaan tradisional ini, meskipun tidak begitu penting mempunyai kegunaan juga yaitu untuk memberi kepuasan kepada emosi-emosi keagamaan tertentu dan kebutuhan dari mereka yang belum begitu maju dalam penghayatan ajaran Sang Buddha. Sebagaimana kita tahu, Sang Buddha selalu memperingatkan para siswa Beliau bahwa ajaran-Nya bukan hanya harus dimengerti secara intelektual saja, namun yang lebih penting bahwa ajaran tersebut harus dipraktekkan dalam penghidupan sehari-hari. Dengan perkataan lain, ajaran Sang Buddha harus dijadikan “way of life” dari setiap umat Buddha.
Ada orang yang salah mengerti bahwa ajaran Sang Buddha hanya menaruh perhatian kepada cita-cita yang luhur, moral tinggi dan pikiran yang mengandung filsafat tinggi, dengan mengabaikan sama sekali kesejahteraan sosial ekonomis dari umat manusia. Padahal Sang Buddha menaruh perhatian besar terhadap kesejahteraan umat manusia. Beliau berpendapat bahwa kebahagiaan tidak mungkin diperoleh tanpa menjalankan penghidupan yang bersih berdasarkan prinsip-prinsip moral dan spiritual; namun, Beliau tahu bahwa menuntut penghidupan yang demikian itu sukar sekali dalam keadaan materiil dan sosial yang tidak baik.
Agama Buddha tidak memandang kesejahteraan materiil sebagai tujuan terakhir; kesejahteraan materiil hanya merupakan alat untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi dan luhur, yaitu memperoleh kebahagiaan Nibbana. Oleh karena itu agama Buddha mengakui perlunya suatu kesejahteraan materiil yang minimum untuk mencapai sukses yang diharapkan. Hal ini pun berlaku bagi para bhikkhu yang ingin melakukan meditasi di tempat-tempat yang jauh dan sunyi.
Sang Buddha sama sekali tidak bermaksud menarik orang keluar dari penghidupan yang mempunyai latar belakang keadaan-keadaan sosial dan ekanomi. Beliau melihatnya sebagai satu keseluruhan dari semua seginya yang bersifat sosial, ekonomis dan politis. Ajaran-Nya mengenai hal-hal yang sosial, ekonomis dan politis tidak banyak diketahui di Indonesia. Tetapi, banyak sekali sutta yang tersebar dalam buku Tipitaka yang menulis mengenai hal ini.
Cakkavattisihanada-sutta dari Digha Nikaya (No. 26) secara terang-terangan menyatakan bahwa kemiskinan yang sangat (daliddiya) adalah sebab utama dari perbuatan-perbuatan yang tidak bermoral dan kejahatan seperti pencurian, penipuan, pemerasan, kebencian, kekejaman, dll. Raja-raja di zaman dulu dan juga Pemerintah zaman sekarang mencoba menindas kejahatan itu dengan menggunakan hukuman berat, namun sebagaimana juga dijelaskan dalam Kutadanta-Sutta dari Digha Nikaya (No. 5) hukuman berat saja kurang tepat dan akhirnya tidak akan menolong.
Untuk melenyapkan kejahatan agama Buddha menganjurkan agar keadaan perekonomian rakyat diperbaiki, misalnya kepada pak tani disuplai bibit dan alat-alat pertanian, perdagang-pedagang dan mereka yang ada hubungannya dengan perdagangan diberikan modal kerja, kaum buruh harus mendapatkan gaji yang layak dan cukup. Kalau rakyat mendapat kesempatan bekerja dan mendapat penghasilan yang cukup, mereka akan merasa puas dan tidak lagi dirundung oleh kegelisahan hidup. Akibatnya ialah negara menjadi aman dan terbebas dari kejahatan-kejahatan.
Oleh karena itu, Sang Buddha sering menekan pentingnya perbaikan perekonomian mereka. Harap Anda jangan salah mengerti bahwa Sang Buddha menyetujui pengumpulan kekayaan dengan keserakahan atau terikat erat-erat dengan kekayaan tersebut yang bertentangan sekali dengan dasar ajaran-Nya. Ini juga bukan berarti bahwa Beliau menyetujui setiap cara untuk mencari uang. Misalnya, beberapa usaha seperti membuat dan juga memperdagangkan senjata untuk perang dengan dinyatakan sebagai mata pencaharian yang tidak baik.
Seorang bernama Dighajanu suatu waktu mengunjungi Sang Buddha dan berkata: “Bhante Yang Mulia, hamba adalah upasaka biasa yang mempunyai keluarga, istri dan anak. Hamba harap Bhante berkenan memberikan kami satu ajaran yang berguna untuk mendapatkan kebahagiaan di dunia dan di alam baka.”
Sang Buddha bersabda bahwa ada empat hal yang berguna untuk mendapatkan kebahagiaan di dunia ini :
- Utthana-sampada
Ia harus ahli, efisien, tekun dan giat dalam setiap pekerjaan dan mengerti pekerjaan yang dilakukannya dengan baik. - Arakkha-sampada
Ia harus pandai melindungi penghasilannya yang diperoleh dengan pekerjaan yang halal dan dengan mengucurkan banyak keringat. - Kalyana-mitta
Ia harus mencari pergaulan yang baik, yang setia kepadanya, terpelajar, baik-budi, tidak kikir dan cerdas, yang akan dapat membantunya melalui jalan yang benar, jauh dari kejahatan. - Samajivikata
Ia harus dapat hidup di dalam batas-batas kemampuannya.
Sesudah itu, Sang Buddha menerangkan empat hal yang baik dan berguna untuk mendapatkan kebahagiaan di alam baka:
- Saddha
Ia harus mempunyai kepercayaan dan keyakinan yang kuat terhadap nilai-nilai moral, spiritual dan intelektual. - Sila
Ia harus menjauhkan diri dari pembunuhan, dari pencurian dan penipuan, dari perzinahan, dari ucapan-ucapan yang tidak baik dan dari minuman keras. - Caga
Ia harus suka menolong orang lain, baik hati dan tidak kikir. - Pañña
Ia harus melatih diri dan mengembangkan kebijaksanaan yang akan membawanya ke arah pemusnaan dukkha, yaitu Nibbana.
Pada suatu waktu Sang Buddha juga membahas hingga yang sekecil-kecilnya, tentang bagaimana orang harus menyimpan dan mengeluarkan uang. Misalnya pernah Beliau memberitahukan kepada Sigala bahwa ia harus mengeluarkan seperempat dari penghasilannya untuk biaya sehari-hari, setengah bagian dimasukkan ke dalam perusahaannya dan seperempat bagian lagi untuk pengeluaran yang tidak terduga.
Pada suatu hari Sang Buddha bersabda kepada Anathapindika, seorang bankir kaya-raya dan siswa yang sangat bakti dan yang telah mendirikan vihara Jetavana yang megah di Savatthi, bahwa seorang upasaka biasa yang menempuh kehidupan berkeluarga, mempunyai empat macam kebahagiaan:
- Atthi-sukha
Ia bahagia karena terjamin keadaan ekonominya atau harta benda yang cukup yang didapat dari usaha/pekerjaan yang halal. - Bhoga-sukha
Ia dapat menggunakan kekayaannya dengan tidak usah terlalu kikir untuk keperluan diri sendiri, keluarganya, sahabat-sahabatnya dan untuk keperluan sosial - Anana-sukha
Ia terbebas dari hutang - Anavajja-sukha
Ia dapat hidup secara bersih dah tidak tenoda, tanpa melakukan sesuatu yang tidak benar, dalam pikiran, perkataan dan perbuatan.
Harap diperhatikan bahwa tiga di antaranya bersifat ekonomis dan akhirnya Sang Buddha memperingati bankir tersebut bahwa kebahagiaan ekonomi dan materiil tidaklah merupakan 1/16 bagian dari kebahagiaan spiritual yang didapat dengan hidup secara bersih dan tidak ternoda.
Dari beberapa contoh yang diberikan di atas orang dapat melihat bahwa Sang Buddha menganggap kesejahteraan ekonomi perlu untuk mendapatkan kebahagiaan, tetapi Beliau tidak menganggap kematian ini sebagai sesuatu yang benar kalau hanya didasarkan atas kebendaan dengan mengabaikan dasar-dasar spiritual dan moral.
Biarpun menganjurkan kemajuan materiil, agama Buddha selalu menekankan pentingnya perkembangan watak, moral dan spiritual untuk menghasilkan satu masyarakat yang bahagia, aman dan sejahtera.
Sang Buddha juga mempunyai pengertian yang mendalam tentang politik, perang dan damai. Sudah terlalu terkenal bahwa Sang Buddha selalu membela dan mengkhotbahkan cara-cara tanpa-kekerasan dan perdamaian sebagai ajaran universal dan tidak dapat dibenarkan dengan dalil apa pun juga penggunaaan kekerasan dan penghancuran penghidupan. Menurut agama Buddha, tidaklah ada apa yang dinamakan peperangan yang adil, yang sebenarnya hanya merupakan istilah palsu dan disebarluaskan untuk membenarkan dilancarkannya kebencian, kekejaman, kekerasan dan penyembelihan.
Siapakah yang menentukan apakah suatu peperangan itu adil atau tidak adil? Yang kuat dan yang menang ialah yang benar dan yang adil dan yang lemah dan yang kalah adalah yang tidak benar dan tidak adil. Peperangan dilihat dari pihak sini selalu benar dan peperangan dilihat dari pihak sana selalu tidak benar. Agama Buddha dengan tegas menolak penafsiran ini.
Sang Buddha bukan saja mengajar tentang tanpa-kekerasan dan perdamaian, tetapi pada suatu ketika Beliau sendiri pergi ke medan perang dan menjadi orang penengah untuk menghindari peperangan seperti halnya dengan perselisihan antara kaum Sakya dan kaum Koliya, yang sudah bersiap-siap dan saling berhadapan untuk melakukan peperangan perihal air sungai Rohini.
Pada kesempatan lain, nasehat Sang Buddha telah dapat membatalkan niat dari Raja Ajatassatu untuk menyerbu wilayah kerajaan Vajji.
Pada zaman Sang Buddha seperti juga jaman sekarang ini, banyak penguasa yang memerintah negaranya secara tidak adil. Rakyat ditekan dan dihisap, disakiti dan diburu-buru, pajak dipertinggi, korupsi merajalela dan hukuman-hukuman di luar batas prikemanusiaan dilaksanakan. Sang Buddha ingin berbuat sesuatu terhadap keadaan yang tidak berperikemanusiaan itu.
Dalam Dhammapadatthakatha ditulis bahwa Beliau mencurahkan perhatiannya kepada persoalan pemerintahan yang baik. Pandangannya harus dilihat dari keadaan sosial, ekonomi dan politik pada zaman itu. Beliau dapat membuktikan, bagaimana rakyat dari suatu negara akan tidak bahagia, korup, rusak akhlaknya, kalau saja, menteri dan pejabat pemerintah lainnya korup dan tidak jujur.
Rakyat dari suatu negara baru mendapatkan kebahagiaan, apabila raja dan pejabat pemerintah lainnya jujur. Cara untuk mendapatkan satu pemerintah yang jujur dan bersih diterangkan dalam ajarannya tentang “Sepuluh kewajiban seorang raja” (dasa-raja-dhamma) seperti dapat kita baca dalam kitab Jataka. Tentu saja istilah raja sekarang harus diganti dengan istilah pimpinan pemerintah secara umum.
Sepuluh kewajiban dari seorang raja adalah sbb.:
- Dana (suka menolong orang, tidak kikir dan ramah tamah).
Seorang raja tidak boleh terlalu terikat kepada harta kekayaannya, tetapi pada waktu diperlukan ia harus berani/bersedia mengorbankannya demi kepentingan rakyat. - Sila (moralitas yang tinggi)
Ia seharusnya jangan membinasakan makhluk hidup, menipu, mencuri, korupsi, melakukan perbuatan asusila, berbicara tidak benar dan minum minuman keras. - Pariccaga (mengorbankan segala sesuatu demi kepentingan rakyat)
Ia harus bersedia mengorbankan semua kesenangan pribadi, nama dan keagungan, sampaipun nyawa demi kepentingan rakyat. - Ajjava (jujur dan bersih)
Ia harus jujur, bebas dari rasa takut dan tidak boleh mempunyai kepentingan pribadi sewaktu menjalankan tugas, bersih tujuannya dan jangan sekali-sekali menipu rakyat. - Maddava (ramah tamah dan sopan santun)
Ia harus mempunyai watak yang simpatik dan selalu ramah tamah terhadap siapapun. - Tapa (sederhana dalam penghidupan)
Ia harus membiasakan diri untuk hidup sederhana dan menjauhkan diri dari penghidupan yang berlebih-lebihan. - Akkodha (bebas dari kebencian, keinginan jahat dan sikap bermusuhan)
Ia seharusnya tidak mempunyai rasa dendam terhadap siapa pun juga. - Avihimsa (tanpa kekerasan)
Ini bukan saja berarti bahwa ia tidak boleh menyakiti orang lain, tetapi ia harus pula memelihara perdamaian dengan mengelakkan peperangan dan semua hal yang mengandung unsur kekerasan dan penghancuran hidup. - Khanti (sabar, rendah hati, dapat memaafkan kesalahan orang lain)
Ia harus dapat menghadapi halangan, kesulitan-kesulitan dan ejekan-ejekan dengan hati yang sabar, penuh pengertian dan dapat memaafkan perbuatan orang lain yang menyakiti hatinya. - Avirodha (tidak menentang, tidak menghalang-halangi)
Ini berarti bahwa ia tidak boleh menentang kemauan rakyat, tidak boleh menghalang-halangi usaha untuk memperbaiki kesejahteraan rakyat. Dengan perkataan lain, ia harus hidup bersatu dengan rakyat sesuai dengan tuntutan hati nurani rakyat.
Kalau suatu negara mempunyai raja yang berwatak seperti yang disebut di atas, maka tak usah diragukan lagi bahwa rakyatnya akan menjadi bahagia. Hal di atas bukan merupakan khayalan belaka, sebab pada zaman yang lampau memang terdapat seorang raja agung di India, Sri Baginda Raja Asoka, yang telah mempraktekkan dasa-raja-dhamma tersebut.
Dunia dewasa ini senantiasa hidup dalam ketakutan, perasaan curiga mencurigai dan ketegangan. Ilmu pengetahuan menciptakan senjata-senjata ampuh yang mempunyai kemampuan menghancurkan yang maha dahsyat. Dengan menonjol-nonjolkan senjata maut tersebut, negara besar saling menakut-nakuti dan menantang satu sama lain dan dengan tidak malu-malu menggembar-gemborkan bahwa yang satu dapat menimbulkan lebih banyak penghancuran dan malapetaka dari yang lain.
Mereka berjalan sedemikian jauh, sehingga satu langkah lagi ke depan bukan saja mereka dapat saling memusnahkan, melainkan seluruh dunia akan menghadapi kehancuran total dari kehidupan. Manusia yang sekarang berada dalam ketakutan oleh keadaan yang mereka sendiri ciptakan dengan sekuat tenaga berusaha untuk mencari jalan keluar dan pemecahan dari persoalan ini.
Tetapi, tidak terdapat jalan keluar atau pemecahan, kecuali atas dasar yang Sang Buddha telah ajarkan tentang “non-violence” (tanpa-kekerasan) dan perdamaian, cinta kasih dan belas kasihan, toleransi dan pengertian, kebenaran dan kebijaksanaan, penghormatan dan sayang terhadap segala sesuatu yang hidup; bebas dari perasaan mementingkan diri sendiri, kebencian dan kekerasan.
Sang Buddha pernah bersabda : “Tidak pernah kebencian dapat dihilangkan dengan membalas membenci; tetapi kebencian akan hilang dengan cinta-kasih. Ini merupakan Kebenaran Abadi”. (Dhammapada 5 atau Majjhima Nikaya 128)
Orang dapat menaklukkan kemarahan dengan cinta kasih, kejahatan dengan kebaikan, mementingkan diri sendiri dengan suka menolong orang, dan kepalsuan dengan kebenaran.
Tidak mungkin akan ada perdamaian dan kebahagiaan, selama negara-negara besar masih saja haus akan kemenangan dan ingin menguasai negara lain, Sang Buddha pernah bersabda : “Yang menang akan mendapat kebencian dan yang kalah akan jatuh dalam kemelaratan. Ia yang menolak kemenangan dan kekalahan adalah bahagia dan penuh perdamaian. Satu-satunya kemenangan yang dapat membawa perdamaian adalah kemenangan atas nafsu-nafsu sendiri. Orang dapat saja menaklukkan berjuta-juta orang dalam peperangan, namun orang yang telah dapat menaklukkan nafsu-nafsunya sendiri adalah yang paling mulia”.
Anda mungkin mengatakan bahwa hal-hal di atas ini bagus sekali, mulia dan sempurna, tetapi sayangnya tidak dapat dipraktekkan. Sekarang saya ingin bertanya, apakah baik untuk mendendam kepada orang lain? Untuk saling membunuh? Untuk hidup dalam ketakutan dan perasaan curiga-mencurigai dengan tidak ada habisnya seperti binatang liar di hutan?
Apakah ini lebih menyenangkan?
Apakah kebencian dapat dihilangkan dengan membalas membenci pula?
Apakah pernah ada kejahatan ditaklukkan dengan kejahatan pula?
Tetapi, terdapat contoh, sedikitnya dalam hal perorangan, di mana kebencian dapat dihilangkan dengan cinta kasih dan pengertian dan kejahatan dimenangkan dengan kebaikan.
Anda mungkin akan berkata bahwa hal-hal ini dapat dijalankan dalam hal perorangan tetapi tidak mungkin dalam hal nasional dan internasional.
Anda seperti juga dihipnotis, dihadapkan kepada teka-teki psikologis; mata anda seolah-olah ditutup dan terpengaruh oleh istilah-istilah “nasional”, “internasional” dan “negara” yang digunakan hanya untuk maksud-maksud politik dan propaganda.
Marilah sekarang kita kaji istilah-istilah tersebut.
Apakah sebenarnya “negara” itu?
Negara sebenarnya adalah sekelompok besar individu (orang). Satu negara tidak dapat berbuat apa-apa, tetapi individulah yang dapat berbuat. Apa yang dipikir dan diperbuat oleh individu itu merupakan juga pikiran dan perbuatan negara itu. Oleh karena itu, sesuatu yang dapat berlaku bagi satu individu, berlaku juga bagi satu negara. Jika kebencian dapat dihilangkan dengan cinta kasih dan pengertian oleh seseorang, maka sudah pasti hal ini pun dapat dilaksanakan dalam hubungan nasional dan internasional. Dalam hal perorangan, untuk dapat menaklukkan kebencian dengan cinta kasih memerlukan keberanian yang luar biasa, ketabahan, kepercayaan dan keyakinan yang kuat. Apalagi mengenai hal-hal internasional. Kalau dengan perkataan “tidak dapat dipraktekkan” Anda maksudkan “tidak mudah”, maka dalam hal ini Anda benar. Tentu saja hal ini tidak mudah. Tetapi apakah hal ini tidak dapat dicoba? Anda mungkin menjawab, bahwa berbahaya sekali untuk mencobanya. Tetapi, rasanya hal ini tidak lebih berbahaya daripada kemungkinan akan meletusnya satu perang nuklir.
Tetapi, baiknya di zaman ini kita terhibur sedikit bahwa setidak-tidaknya terdapat seorang pemimpin besar, yang termashur dalam sejarah, yang mempunyai keberanian, keyakinan dan pandangan jauh untuk mempraktekkan ajaran “non-violence”, damai dan cinta kasih di dalam pemerintahan kerajaannya yang besar dan agung mengenai hal-hal yang menyangkut keadaan dalam dan luar negeri. Raja itu tidak lain daripada Raja Asoka, Kaisar Buddhis yang terbesar dari India (tiga abad S.M.), yang juga mendapat nama kehormatan “Kekasih para dewa”.
Pada mulanya ia mengikuti jejak ayahnya (Bidusara) dan kakeknya (Chandragupta) dan ingin menyempurnakan penaklukan dari seluruh daratan India. Ia menyerbu dan menaklukkan negara Kalinga dan menggabungkan dengan negerinya. Ratusan ribu orang yang mati, luka, cacat dan ditawan. Tetapi, sesudah ia memeluk agama Buddha, berubahlah ia seluruhnya dan seakan-akan menjadi orang baru.
Dekritnya yang terkenal dipahat pada batu cadas dan dikenal sebagai Rock Edict XIII, mengenai penaklukan negara Kalinga. Kaisar Asoka secara terbuka menyatakan penyesalannya dan sedih hati kalau teringat akan penyembelihan itu. Ia menerangkan kepada umum bahwa ia tidak akan menggunakan pedangnya lagi untuk menaklukkan negara-negara lain dan ia berharap agar semua makhluk yang hidup dapat melakukan “non-violence”, hidup bersih dan ramah tamah. Ini tentu saja dapat dianggap sebagai kemenangan yang terbesar dari “Yang dikasihi oleh para dewa”, yaitu penaklukkan dengan cinta kasih.
Bukan saja ia menolak peperangan untuk dirinya sendiri, tetapi juga menyatakan keinginannya agar juga “anak-anaknya dan cucu-cucunya” tidak lagi berpikir tentang penaklukan negara-negara lain sebagai sesuatu yang ada harganya untuk dilakukan. Mereka harus berpikir tentang penaklukan dengan cinta kasih yang berguna untuk di dunia ini dan juga untuk di alam sana.
Ini merupakan satu-satunya contoh dalam sejarah kemanusiaan dari seorang Kaisar pada puncak kejayaannya, yang masih memiliki kemampuan untuk menaklukkan daerah-daerah baru, tetapi menolak peperangan dan sebaliknya menginginkan perdamaian dengan mempraktekkan “non-violence”. Hal ini dapat dijadikan contoh bagus bagi pemimpin-pemimpin dunia pada zaman sekarang. Ia, pemimpin satu kerajaan agung dan besar, yang secara terbuka menolak peperangan dan kekerasan, tetapi sebaliknya menjalankan ajaran tentang perdamaian dan tanpa kekerasan. Juga tidak terdapat bukti dari sejarah bahwa negara-negara tetangganya telah mengambil manfaat dari cinta-kasih Raja Asoka dan menyerbu dengan kekuatan tentara mereka atau telah terjadi pemberontakan atau kerusuhan dalam negeri semasa ia masih hidup. Sebaliknya, negeri-negeri berada dalam keadaan aman dan damai dan negara tetangganya ternyata telah menerima kepemimpinannya.
Juga, Raja Asoka terkenal sebagai raja yang telah mempraktekkan toleransi beragama di negerinya. Dalam bagian lain dari pahatan di atas batu cadas dapat dibaca tulisan sbb.:
” … janganlah kita menghormat agama kita sendiri dengan mencela agama orang lain tanpa sesuatu dasar yang kuat …
Sebaliknya, agama orang lain pun hendaknya dihormat atas dasar-dasar tertentu. Dengan berbuat demikian, kita telah membantu agama kita sendiri untuk berkembang, di samping menguntungkan pula agama lain.
Dengan berbuat sebaliknya, maka kita akan merugikan agama kita sendiri di samping merugikan agama orang lain. Oleh karena itu, barang siapa menghormat agamanya sendiri dengan mencela agama orang lain semata-mata karena dorongan rasa bakti kepada agamanya sendiri dengan berpikir: ‘Bagaimana aku dapat memuliakan agamaku sendiri’, malah amat merugikan agamanya sendiri.
Oleh karena itu, kerukunanlah yang dianjurkan, dengan pengertian bahwa semua orang hendaknya mendengarkan dan bersedia juga mendengarkan ajaran yang dianut oleh orang lain …”.
Membicarakan perdamaian dunia melalui imbangan kekuatan atau dengan ancaman bom nuklir adalah sinting. Kekuatan senjata hanya dapat menciptakan ketakutan dan bukan perdamaian. Tidaklah mungkin terdapat perdamaian yang kekal abadi atas dasar ketakutan. Ketakutan hanya dapat menimbulkan kebencian, keinginan jahat dan permusuhan yang mungkin dapat ditekan untuk beberapa waktu lamanya, tetapi pada suatu saat ia pasti akan meledak. Perdamaian yang kekal abadi hanya dapat dicapai dalam alam metta, cinta kasih, bebas dari ketakutan, curiga mencurigai dan ancaman bahaya.
Agama Buddha bertujuan menciptakan suatu masyarakat dunia yang dengan tegas menolak adu kekuatan yang gila-gilaan, yang dapat memusnahkan segala sesuatu di dunia ini; dunia di mana ketenangan dan perdamaian dapat menggantikan kemenangan dan kekalahan; di mana orang yang dapat menaklukkan dirinya sendiri lebih dihargai dari orang yang menaklukkan berjuta-juta orang melalui peperangan secara militer dan ekonomis; di mana kebencian dikalahkan oleh keramahtamahan dan kejahatan oleh kebaikan; di mana permusuhan, iri hati, keinginan jahat dan keserakahan tidak lagi mengotori batin manusia; di mana cinta kasih dan belas kasihan merupakan satu-satunya pendorong untuk berbuat; di mana semua makhluk yang hidup di dunia ini diperlakukan dengan adil, penuh pengertian dan cinta kasih; di mana orang hidup dalam perdamaian dan persesuaian di dunia yang keadaan materiil serba cukup; dan semua usaha seharusnya ditujukan kepada satu tujuan yang tertinggi dan mulia, yaitu penyelaman dari Kesunyataan Mutlak, Nibbana.
Sabbe satta avera hontu!
Semoga semua makhluk hidup damai sejahtera!
Sadhu! Sadhu! Sadhu!