Nama-Nama Orang Suci : A

Nama-nama Buddhis – A

ADINNAPUBBAKA – Sotapatti:

Suatu hari diwaktu pagi sekali ketika Sang Buddha selesai bermeditasi, dengan mata ke Buddhaan Beliau melihat Matthakundali sedang berbaring sekarat di beranda. Beliau datang ke rumah Adinnapubbaka yaitu ayah dari Matthakundali, seorang brahmana yang kikir. Ketika Matthakundali melihat Sang Buddha yang menancarkan sinar dari tubuhNya, maka timbul keyakinan yang kuat dalam batinnya. Setelah Sang Buddha pergi, ia meninggal dunia dengan penuh keyakinan terhadap Sang Buddha dan terlahir kembali di surga Tavatimsa. Dari kediamannya di surga, ia melihat bahwa keluarganya sedang berduka cita atas meninggalnya dirinya. Matthakundali menampakkan dirinya seperti sebelum meninggal dan memberitahu orang tua dan sanak keluarganya bahwa ia terlahir di alam surga Tavatimsa karena keyakinannya kepada Sang Buddha. Maka Adinnapubbaka mengundang Sang Buddha untuk menanyakan kebenaran tentang hal tersebut. Setelah Sang Buddha memanggil dewa Mattakundali untuk menyatakan kebenaran tersebut, maka dengan rasa kepercayaannya kepada Sang Buddha maka Matthakundali dan Adinnapubbaka mencapai kesucian Sotapatti.

Pada kejadian ini Sang Buddha membabarkan syair:

Pikiran adalah pelopor dari segala sesuatu, pikiran adalah pemimpin, pikiran adalah pembentuk. Bila seseorang berbicara atau berbuat dengan pikiran murni, maka kebahagiaan akan mengikutinya bagaikan bayang-bayang yang tak pernah meninggalkan bendanya.

( Dhammapada I . 2 )

ANOJA – Arahatta :

Mahakappina adalah raja dari Kukkutavati. Permaisurinya bernama Anoja. Suatu hari raja bersama seribu menteri pergi ke taman dan mereka bertemu dengan para padagang dari Savatthi dan mendengar tentang Buddha, Dhamma dan Sangha. Kemudian raja dan menterinya pergi ke Savatthi. Ketika Sang Buddha mengamati dunia dengan kemampuan batin luar biasa Nya, Beliau melihat raja dan menterinya sedang menuju ke Savatthi, maka Sang Buddha menemui mereka di tepi Sungai Candabhaga di bawah pohon Bayan. Raja dan menterinya datang ke tempat dimana Sang Buddha menunggu, mereka langsung menghormat kepada Sang Buddha begitu melihat enam warna terpancar dari tubuh Beliau. Sang Buddha kemudian memberikan khotbah kepada mereka. Setelah mendengar khotbah itu, raja dan menteri-menterinya mencapai tingkat kesucian Sotapatti. Mereka memohon kepada Sang Buddha untuk diterima menjadi bhikkhu. Ketika permaisuri mengetahui apa yang dlakukan oleh raja, ia lalu memanggil istri dari seribu orang menterinya dan mengikuti jejak sang raja. Sang Buddha berkata kepada ratu dan rombongannya utnuk menunggu karena tak lama lagi raja akan datang bersama para menterinya. Kemudian Sang Buddha memberikan khotbah kepada mereka. Pada saat khotbah berakhir raja dan para menterinya mencapai tingkat kesucian Arahat, ratu dan para istri menteri mencapai tingkat kesucian Sotapatti. Ratu dan rombongannya melihat bahwa bhikkhu yang baru ditahbiskan adalah suami mereka, kemudian wanita-wanita itu mohon kepada Sang Buddha untuk diterima sebagai bhikkhuni dan mereka langsung pergi ke Savatthi. Kemudian tidak berapa lama ratu dan para istri menteri mencapai kesucian Arahat. Sang Buddha kemudian kembali ke Vihara Jetavana bersama seribu bhikkhu.

Pada kejadian ini Sang Buddha membabarkan syair :

Ia yang mengenal Dhamma akan hidup berbahagia dengan pikiran tenang. Orang bijaksana selalu bergembira dalam ajaran yang dibabarkan oleh para Ariya.

( Dhammapada VI. 4 )

ANATHAPINDIKA – Sotapatti :

Anathapindika adalah pendana Vihara Jetavana dan ia benar-benar berbakti kepada Sang Buddha. Tiga kali sehari ia memberikan penghormatan kepada Sang Buddha. Setelah beberapa lama Anathapindika menjadi miskin, tetapi sebagai seorang yang telah mencapai kesucian Sotapatti, batinnya tidak terguncang oleh kemiskinannya, dan ia terus melakukan perbuatan rutinnya setiap hari, yaitu berdana. Suatu hari mahluk halus penjaga rumahnya berujud manusi mempengaruhinya, dengan mengatakan bahwa dia miskin itu karena sering berddana kepada Samana Gotama, lebih baik memperhatikan urusannya sendiri sehingga menjadi kaya kembali. Anathapindika menghalau penjaga pintu tersebut keluar dari rumahnya. Penjaga pintu tersebut tidak mempunyai tujuan, kemudian ia mendekati Raja Sakka. Sakka memberi saran, supaya penjaga pintu itu mengembalikan kekayaan Anathapindika dan setelah melakukan itu dia boleh minta maaf pada Anathapindika. Mahluk halus penjaga pintu tersebut melakukan petunjuk Sakka dan Anathapindika kembali menjadi kaya. Ketika mahluk halus penjaga pintu memberi tahu Anathapindika mengenai keterangan dan petunjuk yang diberikan oleh Sakka perihal pengumpulan kekayaan dari dalam bumi, dari dasar samudra dan dari peminjam-peminjamnya maka Anathapindika terkesan dengan perasaan kagum, kemudian membawa mahluk halus penjaga pintu tersebut menghadap Sang Buddha. Dan mahluk halus penjaga pintu rumah itu mencapai kesucian Sotapatti.

Pada kejadian ini Sang Buddha membabarkan syair :

Pembuat kejahatan hanya melihat hal yang baik selama buah perbuatan jahatnya belum masak, tetapi bilamana hasil perbuatannya itu telah masak, ia akan melihat akibat-akibatnya yang buruk.

Pembuat kebajikan hanya melihat hal yang buruk selama buah perbuatan bajiknya belum masak, tetapi bilamana hasil perbuatannya itu telah masak, ia akan melihat akibat-akibatnya yang baik.

( Dhammapada IX. 4 – 5 )

ATTADATTHA – Arahatta :

Ketika Sang Buddha mengumumkan bahwa Beliau akan mencapai Parinibbana dalam waktu empat bulan lagi, para bhikkhu merasa cemas karena banyak yang belum mencapai tingkat kesucian. Lalu mereka berusaha dekat dengan Sang Buddha. Seorang bhikkhu yang bernama Attadattha bertekad mencapai tingkat kesucian Arahat selama Sang Buddha masih hidup dan berusaha keras dalam latihan meditasi. Sehingga ia tidak pergi kehadapan Sang Buddha. Para bhikkhu lain tidak memahami cara Attadattha, lalu ia membawanya kehadapan Sang Buddha dan menceritakan masalah Attadattha. Sang Buddha memberitahukan kepada para bhikkhu bahwa barang siapa yang mencintai dan menghormati Beliau seharusnya berkelakuan seperti Attadattha.

Pada kejadian ini Sang Buddha membabarkan syair :

Janganlah karena demi keuntungan orang lain yang bagaimanapun besar, lalu seseorang melalaikan kesejahteraan sendiri. Setelah memahami tujuan akhir bagi diri sendiri, hendaklah ia teguh melaksanakan tugas kewajibannya.

( Dhammapada XII . 10 )

Attadattha mencapai tingkat kesucian Arahat setelah Sang Buddha membabarkan syair tersebut diatas.

ANGULIMALA – Arahatta :

Ahimsaka adalah putera seorang pendeta di istana Raja Pasenadi. Ketika ia sudah cukup umur, ia dikirim ke Taxila untuk belajar. Ahimsaka sangat pandai sehingga ia disenangi gurunya. Murid-murid yang lain menjadi iri hati kepadanya, lalu ia menghasut gurunya dan mengatakan bahwa Ahimsaka menjalin hubungan gelap dengan istri gurunya. Gurunya sangat marah dan membuat rencana yang lebih buruk dari pembunuhan. Dia mengajar Ahimsaka untuk membunuh seribu orang dengan imbalan pengetahuan yang tak ternilai. Ahimsaka melakukan pembunhuhan dengan merangkai setiap jari dari setiap orang yang dibunuhnya, oleh karena itu ia dikenal dengan nama Angulimala dan menjadi pengacau di daerah itu. Raja mendengar perihal Angulimala, lalu ia membuat persiapan penangkapannya. Pada waktu itu kalung jari di leher Angulimala kurang satu sudah seribu. Pagi-pagi sekali pada hari itu Sang Buddha melihat Angulimala dalam penglihatanNya. Dengan perasaan cinta kasih, Sang Buddha menuju hutan dimana Angulimala berada. Angulimala sangat letih dan lelah setelah lama tidak tidur, ia memutuskan untuk membunuh orang pertama yang dijumpainya. Ketika ia tiba-tiba melihat Sang Buddha, ia mengejarnya dengan pedang terhunus. Tetapi Sang Buddha tidak dapat dikejar, sehingga dirinya sangat lelah. Sambil memperhatikan Sang Buddha ia menangis, ” Oh, bhikkhu, berhenti, berhenti!” Sang Buddha menjawab, “Aku telah berhenti, kamulah yang belum berhenti. Aku telah berhenti menyiksa sesama mahluk hidup, karena aku telah mengembangkan diriku dalam cinta kasih, kesabaran dan pengetahuan yang tanpa cela.” Begitu mendengar kata-kata dari mulut Sang Buddha, dia berpikir bahwa itu adalah kata-kata yang bijaksana, pasti Beliau adalah Sang Buddha yang datang kemari khusus untuk membuat saya sadar. Ia kemudian melemparkan senjatanya dan meminta kepada Sang Buddha untuk diterima sebagai bhikkhu. Ketika raja dan prajuritnya datang untuk menagkap Angulimala, mereka menemukannya di Vihara Sang Buddha dan sudah menjadi seorang bhikkhu. Raja dan perjuritnya kembali pulang. Selama tinggal di vihara, Angulimala dengan rajin melatih meditasi, dalam waktu yang singkat dia mencapai tingkat kesucian Arahat. Pada suatu hari ketika Angulimala berjalan untuk menerima dana makanan, dia melewati sekelompok orang-orang yang bertengkar dengan saling melempar batu. Beberapa batu mengenainya dan melukai kepalanya. Angulimala pulang menemui Sang Buddha, kemudian Sang Buddha berkata, ” Angulimala anakku! Bersabarlah, saat ini kamu sedang menerima akibat perbuatan-perbuatan jahat yang telah kamu lakukan.” Segera setelah itu, Angulimala meninggal dunia dengan tenang, dia telah merealisasi ‘ kebebasan akhir’.

Pada kejadian ini Sang Buddha membabarkan syair :

Barang siapa meninggalkan perbuatan jahat yang pernah dilakukan dengan jalan berbuat kebajikan, maka ia akan menerangi dunia ini bagaikan bulan yang bebas dari awan.

( Dhammapada XIII . 7 )

AGGIDATTA – Arahatta :

Aggidatta adalah seorang kepala pendeta selama pemerintahan Raja Mahakosala, ayah Raja Pasenadi. Setelah kematian Raja Mahakosala, Aggidatta menjadi pertapa non Buddhis. Ia tinggal di perbatasan antara Anga, Magadha dan Kuru dengan 10.000 orang pengikutnya. Tempat tinggalnya itu tidak jauh dari bukit pasir, dimana tinggal seekor naga yang buas. Aggidatta menyuruh pengikutnya dan orang-orang 3 kerajaan untuk menyembah hutan-hutan, gunung-gunung, kebun-kebun, dan pohon-pohon. Suatu hari, Sang Buddha melihat Aggidatta dan pengikutnya dalam pandanganNya, kemudian mengutus Maha Moggallana Thera untuk menemui Aggidatta dan mengatakan bahwa ia sendiri akan menjadi pengikutnya. Maha Moggallana pergi ketempat Aggidatta dan meminta untuk memberikan tempat menginap semalam. Aggidatta memberikan penginapan di tempat Sang naga. Sang naga tidak senang, maka terjadilah adu kekuatan antara Maha Moggallana dan Sang naga. Akhirnya Sang naga dapat ditaklukkan. Pagi-pagi sekali, Aggidatta dan pertapa lainnya datang ke bukit pasir, dan mereka terkejut ketika mengetahui Sang naga telah jinak dan membiarkan kepalanya seperti sebuah payung diatas tubuh Maha Moggallana Thera. Sesaat kemudian Sang Buddha tiba dan Maha Moggallana berdiri dari tempat duduknya untuk memberi penghormatan. Maha Moggallana mengumumkan kepada para pertapa bahwa Sang Buddha adalah gurunya, Guru Agung Yang Suci. Sang Buddha kemudian berkata kepada Aggidatta bahwa benda-benda yang disembah tidak dapat memberikan perlindungan. Hanya mereka yang berlindung kepada Buddha, Dhamma dan Sangha akan terbebas dari proses lingkaran kehidupan.

Pada kejadian ini Sang Buddha membabarkan syair :

Karena rasa takut, banyak orang pergi mencari perlindungan kegunung-gunung, ke arama-arama (hutan buatan), ke pohon-pohon dan ke tempat-tempat pemujaan yang dianggap keramat.

Tetapi itu bukanlah perlindungan yang aman, bukanlah perlindungan yang utama. Dengan mencari perlindungan seperti itu, orang tidak akan bebas dari penderitaan.

Ia yang telah berlindung kepada Buddha, Dhamma dan Sangha dengan bijaksana dapat melihat Empat kebenaran Mulia yaitu:

Dukkha, sebab dari dukkha, akhir dari dukkha, serta Jalan Mulia Berfaktor Delapan yang menuju pada akhir dukkha.

Sesungguhnya itulah perlindungan yang utama. Dengan pergi mencari perlindungan seperti itu, orang akan bebas dari segala penderitaan.

(Dhammapada XIV. 10 – 14 )

Pada akhir khotbah Dhamma itu, Aggidatta dan seluruh pengikutnya mencapai tingkat kesucian Arahat.

ANITTHIGANDHA KUMARA – Sotapatti :

Anitthigandha tinggal di Savathi. Dia akan menikah dengan gadis cantik dari negara Maddas. Ketika pengantin wanita dalam perjalanan menuju Savathi dia jatuh sakit dan meninggal dunia. Mendengar kabar tentang kematian pengantin wanita, Anitthigandha menjadi putus asa. Sang Buddha datang ke rumah Anitthigandha. Orang tua Anitthigandha memberikan dana makanan kepada Beliau. Setelah bersantap, Sang Buddha meminta Anitthigandha untuk menghadapNya. Kemudian Sang Buddha menanyakan mengapa dia sedih dan putus asa, dia lalu menjelaskan tentang kematian pengantin wanitanya. Sang Buddha berkata kepadanya,”O Anitthigandha! Dari nafsu timbul kesedihan; tergantung dari nafsu terhadap barang-barang dan kesenangan duniawi, kesedihan serta ketakutan muncul.”

Pada kejadian ini Sang Buddha membabarkan syair:

Dari nafsu timbul kesedihan, dari nafsu timbul ketakutan; bagi orang yang telah bebas dari nafsu, tiada lagi kesedihan maupun ketakutan.

(Dhammapada XVI. 7 )

Anitthigandha mencapai tingkat kesucian Sotapatti setelah khotbah Dhamma itu berakhir.

ATULA – Sotapatti :

Suatu saat Atula bersama dengan 500 orang temannya mengunjungi Revata Thera, Sariputha Thera, dan Ananda Thera, dengan harapan dapat mendengarkan Dhamma. Tapi Atula tidak puas dengan ajaran ketiga Thera tersebut. Akhirnya mereka menghadap Sang Buddha dan menjelaskan semuanya. Setelah mendengarkan penjelasan Atula, Sang Buddha berkata “Murid- muridKu, mencela orang itu bukan hal yang baru., orang-orang akan mencela walaupun itu seorang raja bahkan seorang Buddha. Dicela atau dipuji orang bodoh, tidaklah berarti. Tapi benar-benar terpuji bila ia dipuji oleh orang bijaksana.”

Pada kejadian ini Sang Buddha membabarkan syair:

O Atula, hal ini telah ada sejak dahulu dan bukan baru saja ada sekarang, dimana mereka mencela orang yang duduk diam, mereka mencela orang yang yang banyak bicara, mereka juga mencela orang yang sedikit bicara. Tak ada seorangpun di dunia ini yang tak dicela.

Tidak pada zaman dahulu, waktu yang akan datang ataupun waktu sekarang, dapat ditemukan seseorang yang selalu dicela maupun yang selalu dipuji.

Setelah memperhatikan secara seksama, orang bijaksana memuji ia yang menempuh kehidupan tanpa cela, pandai serta memiliki kebijaksanaan dan sila.

Siapakah yang layak merendahkan orang tanpa cela, seperti sepotong emas murni? Para dewa akan selalu memujinya, begitu pula para brahmana.

(Dhammapada XVII. 7- 10 )

Atula dan teman-temannya mencapai tingkat kesucian Sotapatti setelah khotbah Dhamma itu berakhir.

ARIYA – Sotapatti :

Ariya adalah seorang nelayan yang tinggal di dekat gerbang Utara kota Savatthi. Dalam perjalanan pulang dari berpindapatta Sang Buddha bersama dengan para bhikkhu, berhenti didekat tempat dimana Ariya sedang menangkap ikan. Ketika nelayan melihat Sang Buddha, ia melemparkan alat penangkap ikannya kemudian datang dan berdiri di dekat Sang Buddha. Beliau menanyakan nama nelayan itu. Ketika nelayan menjawab bahwa namanya adalah Ariya, Sang Buddha berkata bahwa para orang mulia (Ariya) tidak melukai makluk hidup apapun, tetapi karena si nelayan membunuh ikan-ikan, maka ia tidak layak menyandang nama Ariya.

Pada kejadian ini Sang Buddha membabarkan syair:

Seseorang tidak dapat disebut Ariya (orang mulia) apabila masih menyiksa makhluk hidup. Ia yang tidak lagi menyiksa makhluk-makhluk hiduplah yang dapat dikatakan mulia.

(Dhammapada XIX. 15 )

Nelayan Ariya mencapai tingkat kesucian Sotapatti setelah khotbah dhamma itu berakhir.