Pengkotbah Baptis Menjadi Rohaniawan Buddhis
The Commercial Appeal,
Tennessee, Amerika Serikat – Bagi Thomas Dyer, ada sebuah pengajaran. ”Ada sebuah gagasan bahwa ada satu tuhan pemarah dan entah bagaimana anda dapat membuatnya sangat marah.”
Dyer dibesarkan untuk takut akan tuhan. Ia dulu adalah seorang Cumberland Presbyterian, kemudian menjadi seorang Kristen Baptis. Ia memiliki harapan bahwa keyakinan agama akan mengarahkannya pada kepuasan. Ia mengikuti seminari dan mengajar sebagai seorang pendeta Baptis Selatan.
Nampaknya beberapa waktu lalu, Dyer yang berusia 43 tahun, duduk di sebuah bantal di sebuah ruangan di Pusat Meditasi Pema Karpo di lingkungan Raleigh di Memphis, Tennessee. Dengan enam rupang Buddha yang berbaris pada dinding. Gurunya yang seorang bhikkhu dari Tibet yang merupakan pendiri vihara tersebut, mendengarkan saat Dyer menjelaskan keluarnya ia dari mimbar agama terdahulu untuk mencari nirvana.
“Pertanyaan yang muncul dalam pikiran saya adalah, ‘Mengapa begitu banyak penderitaan?’ Kekristenan tidak memiliki sebuah jawaban yang memuaskan. Saya ingin menjadi bahagia. Gagasan bahwa kita harus hidup dengan penderitaan sampai kita mati – gagasan bahwa tuhan menginginkan engkau menderita sehingga engkau kemudian dapat menikmati surga tidaklah masuk akal bagi saya.” Dyer terus bertanya, “Apakah semuanya ini ada untuk kehidupan?”
Sebagai seorang Kristen, ia telah tertarik dengan hal-hal kebatinan, yang kemudian mengarahkannya kepada meditasi. Dyer mempelajari Buddhisme, kemudian ia mengunjungi vihara dekat rumahnya di Raleigh. Dengan segera ia mengatakan, “ Ini seperti, ‘Wow, saya pulang.”
Beralih keyakiannnya juga berarti menukar kotbah di mimbar Kristen dengan medan perang. Untuk mendukung keluarganya setelah meninggalkan jabatan pendeta Kristen, Dyer bergabung dengan Korps Pendeta Tentara Amerika Serikat dan menjadi salah seorang pandita Buddhis yang pertama. Ia mengatakan bahwa ia akan berangkat ke Irak pada bulan Januari sebagai Pasukan Penjaga Nasional.
“Ada sejumlah penderitaan bagi para prajurit, penduduk sipil dan bagi orang-orang yang sekarang adalah musuh tapi tidak selamanya menjadi musuh,” kata Dyer yang ditugaskan sebagai pandita pada tahun 2008.
Ia meninggalkan sepatunya di pintu vihara, tetapi di dalam vihara ia mengenakan seragam standar kamuflase Angkatan Darat. Bukannya mengenakan sebuah salib di dada kanan seragamnya, ia justru mengenakan “Roda Dharma” sebagai sebuah simbol keyakinan Buddhis.
Pendeta Tentara Carleton Birch, juru bicara Kantor Kepala Pendeta Tentara di Washington, mengatakan bahwa ada sekurang-kurangnya 3.300 Buddhis di Pasukan Amerika Serikat. “Di Timur Tengah, pasukan kami menghadapi ketegangan dan stres lebih dari biasanya,” katanya. “Kami melihat kebutuhan yang lebih dari biasanya untuk menjaga para prajurit untuk bertahan.”
Ia mengatakan dua calon pandita Buddhis sekarang sedang dalam pelatihan di Carolina Selatan.
Militer sebagai jalan keluar bagi keyakinan Dyer bukanlah suatu kebetulan. Setelah menyelesaikan Sekolah Menengah Atas, ia berpikir ingin berada di pasukan khusus militer, mungkin sebagai penembak jitu. Ia bergabung dengan Pasukan Cadangan Marinir dan dengan segera dilatih menjadi seperti seorang “pembunuh”. Bagian dari pelatihan tesebut bertujuan untuk melemahkan “hati nurani”.
Saat itu dalam tempat pelatihan menembak di Hawaii ketika Dyer mengetahui bahwa ia merasa cukup. Ketika seorang marinir lain kembali memasangkan target tembak, Dyer melihat melalui lubang senapannya. “Saya menempatkannya pada garis bidik, dan saya berpikir, ‘Saya bisa membunuhnya.’ Saya kemudian berpaling. Saya berdiam diri. Saya tidak menginginkan seorang pun tahu pikiran seperti ini berkembang dalam diri saya.”
Dyer meninggalkan marinir dan mendaftarkan diri ke Seminari Teologi Baptis Amerika Tengah. Setelah seminari, ia menjadi pendeta di gereja di Senatobia, Mississippi, dan Brownsville, Tennessee.
Keluar dan masuk gereja, Dyer mengatakan bahwa ketidakbahagiaan dan ketidakpuasan tampak meresap. Kekayaan dan kesuksesan tidak membuat perbedaan. “Setiap orang pada dasarnya merasakan penderitaan yang sama. Rata-rata pada setiap orang, engkau dapat melihat kebahagiaan di kehidupan mereka, tapi hal itu tidaklah berlangsung lama dimana engkau akan melihat kebingungan dan ketidakpuasan. Saya ingin menjelajahi gagasan dimana engkau dapat menemukan sebuah solusi untuk penderitaan,” katanya.
Beralihkeyakinan pada Buddhisme bukanlah tanpa rasa sakit. “Ketika engkau tumbuh dewasa dalam lingkungan Injil, dimana ajarannya begitu kuat. Hampir lebih baik menjadi seorang pecandu narkoba, seorang pezina ataupun seorang bandit daripada untuk mengatakan, ‘Saya seorang Buddhis.’”
Pernikahan dan dua anaknya juga menjadi sebuah masalah. Isteri Dyer, Sidney, dan anak-anaknya adalah anggota sebuah gereja Kristen evangelis. “Hal ini menantang kami ke titik yang membuat kami bertanya-tanya apakah kami bisa bertahan,” kata isterinya.
Kepercayaan Sidney Dyer bahwa “Tuhan merencanakan ini semua” membantu masalah ini. “Dalam hal ini saya benar-benar berterima kasih kepada tuhan karena saya tidak akan mendalami iman saya jika saya tidak mendapatkan tantangan,” katanya. Alih-alih menolak penderitaan yang dipertanyakan oleh suaminya, Sidney mempercayai: ”Saya pikir setiap penderitaan individu secara personal dirancang untuk individu tersebut agar mengarahkan dirinya pada tuhan.”
Sidney menggambarkan suaminya sebagai “seorang yang sangat spiritual” dan berharap bahwa perjalanan spiritual suaminya akan mengarahkan suaminya kembali ke Kristenan.
Dyer yang mengatakan bahwa ia tetap menghargai ajaran Injil, mengatakan ia tidak berpikir bahwa Buddhisme sebagai suatu penolakan atas Kekristenan.
Tetapi kebahagiaan yang pernah ia cari sebagai seorang Kristen, tampaknya tidak lagi berada diluar jangkauannya. “tanpa sebuah keraguan, tanpa ketidakmenentuan, telah menjadi suatu kesinambungan, berkurangnya penderitaan secara konstan dan bangkitnya kedamaian dan kebahagiaan,” kata Dyer. [oleh: Michael Lollar]
Sumber: