Sang Buddha

INTISARI AGAMA BUDDHA

Merupakan karya tulis Ven. Narada Mahathera
dengan judul asli “ Buddhism in Nutshell.”
Penerbit : Yayasan Dhamma Phala, Semarang

SANG BUDDHA

Berdasarkan Tipitaka sebelum beliau lahir ke dunia ini. Beliau terlah terlahir berulang kali untuk menyempurnakan Paramithanya selama 4 Asakhayakappa dan 100.000 kappa. Terakhir beliau lahir sebagai Vessantara dan akhirnya menjadi Raja Vessantara dan Beliau mengabdikan waktu, tenaga, pikiran dan kekayaannya demi untuk kepentingan Nusa dan Bangsa dengan mengembangkan Dana Paramitha. Setelah Beliau wafat karena kekuatan kebajikannya. Itulah mendorong Beliau terlahir di Surga Tusita yang lamanya – + 576 juta tahun.

Deva Vessantara hidupnya penuh dengan kebahagiaan dan kecerahan batin di Surga Tusita dan sangat lama sekali. Ketika waktu dan kondisi telah memungkinkan. Para Deva Brahma dan Deva memohon, Beliau untuk lahir ke dunia untuk menjadi Buddha.

Pada saat bulan purnama di bulan Wesak 623 tahun sebelum masehi, di taman Lumbini dekat perbatasan Nepal, lahirlah putra dari Raja Suddhodana dari suku Sakya yang diberi nama Siddhattha Gotama.

Pangeran dibesarkan dalam kemewahan dan mendapat pendidikan tinggi sesuai dengan kedudukan seorang putra raja. Sebagaimana lazimnya pada zaman itu, dalam usia enam belas tahun ia dinikahkan dengan Putri Yosodhara dan memperoleh seorang putra yang diberi nama Rahula. Ketika Pangeran mencapai usia dua puluh sembilan tahun, cahaya kebenaran mulai menyinari batinnya. Pribadinya yang penuh cinta kasih tidak menyenangi kehidupan mewah dalam istana. Ia sendiri tak pernah mengenal kesusahan, tetapi ia memiliki rasa belas kasihan yang dalam terhadap penderitaan orang lain. Istana megah dengan segala kemewahan materi tidak dapat menyenangkan hati dan pikiran Pangeran yang berwatak welas asih itu. Ia menyadari bahwa semua makhluk di dunia tanpa kecuali harus tunduk pada hukum kelahiran, kelapukan dan kematian. Kesenangan duniawi hanya merupakan awal dari kesakitan dan kesedihan.

Setelah mengerti dengan baik bahwa penderitaan dan kesedihan merupakan kejadian yang jamak di alam kehidupan manusia, maka ia ingin memperoleh penawar yang dapat menyembuhkan penyakit umum ini yang menghinggapi semua makhluk. Untuk mencapai cita – cita tersebut ia melepaskan diri dari segala kesenangan duniawi. Hanya dengan mengenakan jubah kuning sederhana seorang pertapa, tanpa bekal apapun dan seorang diri, ia meninggalkan keluarga dan berkelana mencari kebenaran dan kedamaian.

Ini merupakan suatu sikap “ pelepasan “ yang tak pernah terjadi di dunia sebelumnya. Seorang dalam masa jaya, kaya raya, rela melepaskan kedudukannya yang mulia. Hal ini bukan karena putus asa, kesukaran atau dipaksa oleh keadaan, melainkan atas kesadaran sendiri. Menurut kepercayaan pada waktu itu, kebebasan tidak akan dapat dicapai kecuali jika seseorang menempuh jalan kehidupan sebagai pertapa. Maka dengan penuh semangat Pangeran Siddattha mulai melakukan penyiksaan diri. Ia berpuasa siang malam, tidak makan, tidak tidur, bermeditasi terus serta menjalani berbagai bentuk penyiksaan diri secara silih berganti. Ia menjalankan semuanya itu dengan kekuatan melebihi manusia biasa selama enam tahun.

Tubuhnya menjadi kurus kering hingga menyerupai sebuah kerangka. Semakin keras ia menyiksa badan jasmaninya, semakin jauh ia dari tujuan akhirnya. Praktek – praktek penyiksaan diri yang ia jalankan itu terbukti sia – sia.

Mulai pengalaman yang pahit ini, ia sadar akan sia – sianya praktek penyiksaan diri yang menjadikan tubuh dan semangat lemah.

Setelah memperoleh pelajaran dari pengalaman yang amat berharga ini, akhirnya ia memutuskan untuk memilih jalannya sendiri dengan menghindari dua praktek ekstrim, yaitu pemuasan nafsu – nafsu indria dan penyiksaan diri secara berlebihan. Pemuasan nafsu – nafsu indria akan menghalangi perkembangan batin manusia dan penyiksaan diri akan melemahkan kesadaran. Jalan baru yang ia temukan itu dinamakan Jalan Tengah ( Majjhima Patipada ), yang kemudian menjadi salah satu corak utama ajaran-Nya.

Pada suatu hari yang cerah, sewaktu khusyuk dalam meditasi di bawah pohon Bodhi, tanpa memperoleh bantuan atau bimbingan dari suatu kekuatan apapun, Ia berhasil menghancurkan semua kekotoran batin-Nya. Dan dengan memahami segala sesuatu ( fenomena alam semesta ) sebagaimana apa adanya, menembus 4 Kesunyataan Mulia dengan jelas dan terang.

•  Pikiran Yang terarah keluar melalui ke 6 Indra merupakan penyebab timbulnya dari semua macam nafsu keinginan. Yang merupakan sumbernya penderitaan ( Dukkha Samudaya Ariya Sacca ).

•  Karena sebabnya telah ada, timbullah penderitaan pada saat itu juga ( kebingungan, kekhawatiran, ketakutan, kegelisahan, frustasi dan strees dll ) ( Dukkha Ariya Sacca )

•  Pikiran melihat pikiran. Disinilah jalannya untuk melenyapkan semua penderitaan, karena kita sadar yang menderita adalah pikiran kita sendiri. ( Magga Ariya Sacca : Sila, Samadhi dan Panna ).

•  Pikiran melihat pikiran dengan jelas dan terang, lalu menyatu masuk ke dalam Inti Sang Batin. Disinilah padamnya penderitaan ( Nirodha Ariya Sacca ). Saat inilah Beliau mencapai Penerangan Sempurna ( tingkat kebuddhaan ).

Ia mencapai Penerangan Sempurna ( tingkat kebuddhaan ) pada usia tiga puluh lima tahun. Beliau tidak dilahirkan sebagai seorang Buddha, tetapi Beliau menjadi seorang Buddha melalui usaha sendiri. Sisa hidup-Nya dibaktikan untuk menolong umat manusia dengan membabarkan ajaran – ajaran-Nya, serta memberi contoh tauladan yang tanpa noda.

Setelah berhasil menyebarluaskan ajaran-Nya selama empat puluh lima tahun, Sang Buddha, seperti juga manusia lain harus tunduk pada hukum perubahan ( anicca ) yang mutlak, yang tak dapat dihindari. Akhirnya Beliau wafat ( parinibbana ) pada usia delapan puluh tahun, dengan meninggalkan pesan agar para siswa-Nya memandang ajaran Beliau sebagai guru mereka.

Sang Buddha adalah seorang manusia, terlahir sebagai manusia, hidup sebagai manusia dan sebagai manusia pula hidup-Nya berakhir. Walaupun sebagai seorang manusia luar biasa ( acchariya manussa ), namun Beliau tak pernah menyombongkan diri dengan menyatakan bahwa diri-Nya seorang “ dewa “. Sang Buddha amat menekankan hal ini agar orang – orang tidak salah menganggap Beliau sebagai dewa yang tak dapat mati.

Sang Buddha bukan merupakan penjelmaan Dewa Wisnu seperti yang dinyatakan oleh sebagian orang, ataupun seorang juru selamat yang memberikan keselamatan pada orang – orang lain melalui diri-Nya. Beliau menasehati agar para pengikut-Nya bergantung kepada diri sendiri dalam usaha mencapai kebebasan, karena suci atau tidak suci seseorang tergantung pada diri sendiri. Menjelaskan hubungan-Nya dengan para siswa-Nya serta untuk menekankan pentingnya sikap bergantung kepada diri sendiri dan perjuangan pribadi, Sang Buddha menyatakan :

“ Engkau sendirilah yang harus berusaha, Sang Tathagata hanya penunjuk jalan. “ ( Dhammapada 276 )

Para Buddha hanya menunjukkan jalan, selanjutnya terserah kepada kita untuk mengikuti jalan tersebut dalam usaha memperoleh keselamatan. Berhasil atau tidak itu tergantung pada usaha diri sendiri.

Bersandar pada orang lain untuk memperoleh keselamatan menandakan sifat yang lemah, sedangkan mengandalkan pada usaha sendiri menandakan sifat yang kuat. Bergantung pada orang lain berarti melepaskan diri dari usaha dan tanggung jawab. Ketika menasehati para siswa-Nya untuk bergantung pada diri sendiri, Sang Buddha dalam kitab Maha Parinibbana Sutta menyatakan :

“ Jadilah pulau bagi dirimu sendiri, jadilah perlindungan bagi dirimua sendiri ; janganlah mencari perlindungan di luar dirimu sendiri “.

Hal ini menyatakan betapa pentingnya usaha diri sendiri untuk mencapai suati tujuan dan betapa sia – sianya mencari keselamatan melalui para “ Juru Selamat “ atau mengharapkan kebahagiaan dengan mengucapkan doa – doa pada dewa – dewa.

Sang Buddha sendiri tidak pernah menyatakan monopoli atas kebuddhaan-Nya, karena sesungguhnya itu bukanlah suatu kedudukan yang hanya dapat dicapai oleh beberapa orang tertentu saja. Beliau mencapai tingkat kesempurnaan terluhur, yang juga dapat dicapai oleh semua orang. Tanpa berlaku sebagai seorang guru yang biasanya merahasiakan sesuatu, Beliau menunjukkan jalan satu – satunya yang terbaik untuk menuju ke arah itu. Menurut ajaran Sang Buddha, setiap orang dapat mencapai tingkat kesempurnaan jika ia mau berusaha. Sang Buddha tidak mencela manusia dengan menyebut mereka orang – orang berdosa ; sebaliknya, Beliau menggembirakan hati mereka dengan menyatakan bahwa pada dasarnya pikiran manusia itu bersih. Menurut pandangan Beliau dunia ini tidak jahat, tetapi digelapi oleh kebodohan. Hal tersebut tidak membuat kecil hati para pengikut-Nya dan tidak memonopoli tingkat kesempurnaan bagi diri-Nya sendiri, Beliau mengajarkan dan mendorong mereka untuk mencapai apa yang telah Beliau capai, karena tingkat kebuddhaan ada dalam diri semua orang. Secara singkat, semua orang memiliki potensi untuk menjadi Buddha.

Orang yang bercita – cita untuk menjadi seorang Buddha disebut Bodhisatta, yang secara harfiah berarti makhluk bijaksana. Cita – cita Bodhisatta ini merupakan cara hidup yang paling indah dan mulia yang pernah dipersembahkan kepada dunia yang bersifat mementingkan diri sendiri ini ; karena apakah yang lebih mulia daripada hidup dalam pengabdian dan kesucian ?

Sebagai manusia, Sang Buddha mencapai tingkat kebuddhaan dan menyatakan kepada dunia tentang kemungkinan – kemungkinan yang dapat dicapai oleh tenaga kreatif manusia yang bersifat tersembunyi. Beliau meninggikan harkat dan martabat manusia dengan menerangkan bahwa manusia dapat membebaskan dan menyucikan dirinya melalui usahanya sendiri tanpa bersandar pada suatu kekuatan diluar dirinya. Beliau mengajar kepada dunia yang bersifat mementingkan diri sendiri dengan pengabdian mulia tanpa pamrih. Beliau menentang sistem kasta yang merendahkan derajat manusia serta menyatakan bahwa semua makhluk sama kedudukannya. Semua makhluk mempunyai kesempatan yang sama untuk memuliakan diri dalam hidupnya.

Beliau menyatakan bahwa pintu keberhasilan dan kesejahteraan terbuka bagi semua orang dalam segala kondisi kehidupan : tinggi atau rendah, suci atau jahat, mereka yang bermaksud membuka lembaran baru dalam hidupnya dan bertujuan mencapai tingkat kesempurnaan. Tanpa membedakan kasta, warna kulit atau kedudukan, Beliau membentuk persaudaraan hidup suci ( Sangha ) yang tertib dan demokratis bagi pria dan wanita. Beliau tidak memaksa para pengikut-Nya untuk menjadi budak, baik terhadap ajaran – ajaran maupun terhadap pribadi Beliau, tetapi memberikan kebebasan berpikir sepenuhnya. Beliau memberi semangat dan harapan kepada mereka yang sengsara dengan kata – kata yang penuh welas asih. Beliau merawat mereka yang sakit dan hidupnya terlantar ; menolong kaum miskin yang disia – siakan ; meluruskan jalan hidup mereka yang sesat, korupsi dan jahat. Beliau memberi semangat untuk mereka yang lemah dan putus asa ; mempersatukan mereka yang bercerai ; menerangi batin mereka yang gelap ; membersihkan pengaruh – pengaruh mistik yang jahat, mengangkat orang – orang yang hina dan papa, serta memuliakan orang – orang bangsawan, raja – raja lalim dan bajik ; pangeran – pangeran yang termasyhur ; jutawan – jutawan yang murah hati dan kikir ; ilmuwan – ilmuwan yang sombong dan rendah hati ; kaum jembel yang papa ; golongan masyarakat yang tertindas ; pembunuh – pembunuh kejam ; serta pelacur – pelacur yang hina. Semuanya memperoleh manfaat dari sabda – sabda Sang Buddha yang bijaksana dan penuh welas asih.

Contoh tauladan Sang Buddha merupakan sumber inspirasi bagi semua orang. Wajah Beliau yang tenang dan damai merupakan pandangan yang menentramkan bagi mereka yang menatapnya. Kedamaian dan toleransi yang dibabarkan-Nya diterima oleh semua orang dengan rasa syukur yang luar biasa, karena memberi manfaat kepada setiap orang yang mendengar dan melaksanakannya.

Dimanapun Beliau membabarkan ajaran-Nya, disana Beliau pasti meninggalkan kesan mendalam kepada semua Pendengar-Nya. Perkembangan kebudayaan dari semua negara Buddhis terutama disebabkan oleh ajaran – ajaran-Nya yang mulia. Kenyataannya, semua negara Buddhis seperti Srilanka, Birma, Thailand, Nepal, Tibet, Tiongkok, Mongolia, Korea, Jepang dan lain – lain tumbuh dalam pangkuan agama Buddha. Walaupun lebih dari 2.500 tahun telah lewat sejak wafatnya Guru Agung ini, tetapi kepribadianNya yang unik masih tetap memberi pengaruh yang besar kepada semua orang yang menghayati ajaran Beliau.

Tekad yang kuat, kebijaksanaan yang dalam, cinta kasih yang universal, welas asih yang tidak terbatas, pengabdian tanpa pamrih, kesucian yang sempurna, kepribadian yang menarik, metoda – metoda yang dipergunakan untuk menyebarkan Dhamma nan agung dan keberhasilan-Nya yang dicapai ; semua faktor – faktor ini mengakibatkan kurang lebih seperlima penduduk dunia sekarang mengakui Sang Buddha sebagai Guru Agung mereka.

Sebagai pujian terhadap pribadi Sang Buddha, Sri Radhakrisnan menyatakan : “ Dalam pribadi Buddha Gotama kita dapatkan seorang ahli pikir dunia timur yang tak ada duanya sejauh berkenaan dengan pengaruhnya terhadap pikiran dan kehidupan umat manusia. Beliau dianggap sebagai pendiri suatu agama tradisi yang ajaran – ajaran-Nya luas dan dalam. Pikiran Beliau adalah milik dunia, warisan bagi semua orang yang berbudaya, karena bila dinilai dengan integritas intelektual, semangat moral dan wawasan spiritual, tak dapat diragukan lagi. Beliau sesungguhnya merupakan salah seorang dari tokoh – tokoh sejarah itu. “

Dalam buku, “ The Greatest Men in History, “ H.G. Wells menulis : “ Dalam pribadi Sang Buddha kita temukan seorang manusia sederhana yang cinta damai, seorang pencari kebenaran, suatu pribadi yang nyata, bukan suatu mitos. Beliau memberikan pesan yang bercorak universal pada umat manusia. Banyak gagasan – gagasan modern kita masih selaras dengannya. Beliau mengajarkan bahwa semua kesengsaraan dan ketidakpuasan disebabkan oleh sifat mementingkan diri sendiri. Sebelum seseorang dapat menjadi tenang, ia harus menghentikan cara hidupnya yang hanya mementingkan diri sendiri dan mengejar kesenangan – kesenangan indrianya. Sang Buddha telah mengajak umat manusia untuk menghilangkan sifat keakuan sejak 500 tahun sebelum Jesus lahir. “

St. Hilare menyatakan : “ Contoh sempurna didalam semua kebajikan yang Beliau ajarkan adalah bahwa tidak ada satu nodapun yang mengotori kehidupan Sang Buddha. “

Fausboll mengatakan : Semakin aku mengenal-Nya, semakin aku mencintai-Nya. “

Pengikut Beliau yang rendah hati juga akan berkata : “ Semakin aku mengenal-Nya, semakin aku mencintai-Nya ; semakin aku mencintai-Nya, semakin aku mengenal-Nya.