Pengantar:
Ada suatu usaha keras yang beredar dalam masyarakat Buddhis di dunia dan juga termasuk di Indonesia yang bertujuan untuk menimbulkan opini massa agar dapat membenarkan kemunculan kembali bhikkhuni Theravada di dunia tanpa kehadiran kembali seorang Sammasambuddha. Kelompok ini mempercayai bahwa penabhisan para bhikkhuni Mahayana di Tiongkok di awal abad ke lima adalah berasal dari tradisi Theravada yang belum terputuskan sejak jaman Sang Buddha. Dengan demikian, mendapatkan penabhisan dari para bhikkhuni Mahayana di masa sekarang, dianggapnya telah dapat menjadikan dan bahkan membenarkan sekelompok wanita untuk mendirikan Sangha Bhikkhuni Theravada. Hal ini tentu saja tidaklah benar.
Keterangan tentang ketidakbenaran berita yang telah banyak beredar dalam masyarakat tersebut bisa dibaca dalam naskah berikut ini yang ditulis oleh Hema Goonatilake seorang Doktor Filasafat dari Universitas London. Naskah tersebut diambil seperlunya dari Buddhist and Pali University of Sri Lanka, Sri Lanka Journal of Buddhist Studies, Volume 11, 1988. Semoga dengan menyimak naskah terjemahan Sdri. Susy Limantara di bawah ini dapatlah meluruskan pandangan salah tentang keberadaan dan keabsahan bhikkhuni Theravada dewasa ini.
PERKEMBANGAN DASA-SILA-MATA DI SRILANKA
Hema Goonatilake
Sejarah Para Bhikkhuni Srilanka: Sebuah Kasus Yang Dekat Dengan Kesamaan Hak Berpartisipasi
Tidak lama setelah terbentuknya organisasi bhikkhu di Srilanka sekitar tahun 250 Sebelum Masehi oleh Mahinda Thera, anak laki-laki Raja Asoka India, organisasi bhikkhuni didirikan oleh saudara perempuan Mahinda Thera, bernama Sanghamitta, yang diundang datang ke sana. Tercatat bahwa Putri Anula dan 500 orang wanita berkeinginan keras untuk menjadi bhikkhuni setelah mendengarkan ceramah dari Mahinda Thera. Anula dan wanita-wanita tersebut mencapai tingkat kesucian pertama pada saat itu. (Mhv. XV, 18f.) Ketika Devanampiyatisa mengirim utusannya untuk membawa Sanghamitta, Anula dan pelayan-pelayannya yang menjalankan 10 sila dan beristirahat di vihara yang dibangun oleh raja sambil menunggu kedatangan Sanghamitta (Mhv. XVIII, 9f.). Pentahbisan putri-putri raja dan 500 orang wanita bangsawan beserta 500 wanita-wanita muda yang tidak menikah itu menandai awal terbentuknya organisasi bhikkhuni di Srilanka. Disebutkan bahwa mereka berhasil mencapai tingkat kesucian arahat dalam waktu singkat (Mhv. XIX, 65).
Organisasi bhikkhuni berkembang begitu pesat dan terkenal sehingga upacara pemberkahan Vihara Maricavatti dihadiri oleh seratus ribu bhikkhu dan 90 ribu bhikkhuni.1 18 ribu bhikkhu dan 14 ribu bhikkhuni mencapai tingkat kesucian arahat ketika sedang mendengarkan kotbah pada saat permulaan pembangunan Mahacetiya itu.2 Satu hal penting adalah bahwa organisasi bhikkhuni berkembang menyebar bukan hanya di ibukota Anuradhapura, tetapi juga di daerah-daerah lain di negara Srilanka. Lima orang bhikkhuni yang terkemuka, yaitu Mahila, Samanta, Girikali, Dasi, dan Kali berasal dari Rohana, daerah bagian Selatan, dengan 20 ribu bhikkhuni untuk mengajar Dhamma di Anuradhapura.3 Bhikkhuni lain yang terkenal adalah Sumana, yang mempunyai kemampuan khusus untuk melihat kehidupan lampau, juga disebutkan berasal dari daerah Srilanka bagian selatan.4
Satu hal yang juga menonjol adalah bahwa organisasi bhikkhuni ini mampu menarik para wanita dari lingkungan yang mempunyai status sosial tertinggi namun juga tetap terbuka untuk para wanita yang paling rendah status sosialnya sekalipun. Misalnya Mahila dan Samanta adalah putri Raja Kakavannatissa; Girikali adalah putri Perdana Menteri Raja Kakavannatissa; dua orang lainnya, yaitu Dasi dan Kali adalah putri seorang perampok. Sumana adalah istri seorang perdana menteri. Mahatissa yang terkemuka di bidang pengajaran vinaya di Anuradhapura adalah putri seorang penduduk desa.
Sumbangan/dana dari kalangan kerajaan yang diberikan kepada para bhikkhuni dan vihara-viharanya terus berlangsung sampai abad ke sepuluh adalah bukti dari banyaknya walaupun singkat, sumber-sumber sejarah. Vihara bhikkhuni Hatthalhaka, Upasikavihara dan ruang makan Mahapali yang dibangun di Anuradhapura pada masa pertumbuhan organisasi bhikkhuni yang mendapat sokongan besar-besaran. Pada masa pemerintahan Lanjaka Tissa (119-109 SM) Mahaculimahatissa (76-62 SM) dan Mahadathikamahanaga (9-21 M) banyak diberikan persembahan barang-barang mahal seperti bahan makanan, kain dan kebutuhan lainnya. Satu hal yang menarik adalah Raja Mahasena (277-304 M) yang merupakan penyokong Mahayana membangun 2 vihara bhikkhuni bernama Uttara dan Abhaya. Moggalana I (497-515 M) membangun sebuah vihara bhikkhuni bernama Rajini dan menyerahkannya kepada para bhikkhuni dari kelompok Sagalika. Vajira, istri dari Sakkasenapati, putra dari Kassapa V (913-923 M) mempersembahkan sebuah vihara bhikkhuni kepada para bhikkhuni golongan Theravada. (Hal ini juga menunjukkan bahwa seperti halnya para bhikkhu, para bhikkhuni pun juga berasal dari aliran yang berbeda). Menurut tulisan di atas lempengan batu dari Kassapa V yang terdapat di Anuradhapura, sebuah vihara bhikkhuni dibangun di dalam kompleks vihara-vihara dan pemerintah melarang petugas/pegawai negara mengambil apapun juga yang merupakan milik tanah-tanah tersebut. Tulisan yang diukir di atas pilar Ayitigewewa oleh raja yang sama menganugerahkan hak-hak istimewa atas tanah-tanah yang sebelumnya telah dipersembahkan untuk vihara Tisara di Anuradhapura. Berdasarkan Culavamsa, para bhikkhuni di vihara ini dipercaya untuk merawat pohon Bodhi yang ada di Vihara Maricavatti. Tulisan yang ada di pilar Kukurumahandamana dari abad ke sepuluh mencatat bahwa dulu pernah terdapat sebuah rumah sakit (ved-hal) di depan vihara bhikkhuni yang dikenal dengan nama Mahindarama di Jalan Tinggi (Mahaveya) di Tengah Kota Anuradhapura. Ada kemungkinan para bhikkhuni erat berhubungan dengan rumah sakit tersebut, jika memang merekalah yang mengurusnya.
Organisasi bhikkhuni berkembang dengan baik sampai akhir masa Anuradhapura di abad ke sepuluh dan sungguh-sungguh musnah pada saat pendudukan Cola. Bahkan organisasi bhikkhu pun tidak stabil pada zaman itu dan setelah pengusiran Cola, Raja Vijayabaha I (1045-1111) membentuk kembali organisasi sangha dan mengadakan pentahbisan bhikkhu dengan bantuan para bhikkhu dari Birma namun tidak disebutkan adanya organisasi bhikkhuni pada saat itu. Sekarang ini sudah tidak ada lagi organisasi bhikkhuni di Srilanka. Satu-satunya kelompok keagamaan kaum wanita adalah anagarika (orang yang tidak memiliki rumah) yang dapat ditemukan di tengah-tengah umat Buddha saat ini. Mereka adalah kelompok yang menjalankan 10 sila, terkenal dengan nama dasa-sila-mata, yang mungkin berfungsi mirip seperti sikkhamana yaitu wanita yang menunggu masa pentahbisan dan menjalankan latihan dalam masa seleksi.
Para Bhikkhuni Srilanka di Tiongkok
Satu hal yang penting adalah para bhikkhuni Srilanka terlibat dalam kegiatan misi penyebaran agama Buddha di negara-negara asing. Sebuah tulisan berbahasa Sansekerta yang terdapat di lempengan sebuah batu yang ditemukan di Nagarjunikonda di India Selatan, yang diberikan pada abad ketiga dan keempat, menunjuk para bhikkhuni Sinhala dari Tamraparni (Srilanka) yang membawa misi penyebaran agama Buddha. Menurut Pi-chiu-ni-chuan, riwayat hidup para bhikkhuni yang disusun oleh Pao-chang pada 520 M dan riwayat-riwayat hidup Gunavarman dan Sanghavarman, disebutkan bahwa para bhikkhuni Srilanka menelusuri seluruh tempat di Tiongkok pada tahun 429 M untuk menahbiskan para bhikkhuni Tiongkok. Bukti-bukti terdahulu juga menyebutkan hal itu bahwa para bhikkhuni Tiongkok telah menerima pentahbisan dari seorang bhikkhu. Jadi pada tahun 433 M, 300 bhikkhuni Tiongkok menerima pentahbisan mereka untuk kedua kalinya dengan dihadiri oleh lebih dari 10 bhikkhuni Sinhala yang dikepalai oleh Tie-so-ra di Kuil Nanking.
Ada satu alasan yang dapat dipercaya yaitu para bhikkhuni Sinhala yang pergi ke Tiongkok tersebut berasal dari Vihara Abhayagiri, sebuah pusat kegiatan kelompok Mahayana pada waktu itu. Kelompok pertama para bhikkhuni Sinhala tiba di kota Nanking kira-kira 10 tahun setelah seorang pengelana Tiongkok Fa-hsien meninggalkan Srilanka yang telah ditinggalinya selama 2 tahun. Kedua peristiwa ini terjadi pada masa pemerintahan Raja Mahanama (410-431 M). Fa-hsien menunjukkan perhatian yang sangat besar dalam penggambaran berbagai kegiatan Vihara Abhayagiri dalam tulisan-tulisannya dan juga dicatat bahwa Fa-hsien bertempat tinggal di Nanking dan menerjemahkan berbagai naskah Sansekerta ke dalam bahasa Mandarin, terutama buku-buku mengenai Vinaya. Ada kemungkinan, walaupun tidak pernah disebutkan, dialah yang pertama kali mempelopori misi penyebaran agama Buddha para bhikkhuni Sinhala ke Tiongkok. Tulisan-tulisan Fa-hsien menyebutkan adanya seorang pedagang Tiongkok yang berdana ke Vihara Abhayagiri dan disebutkan bahwa para bhikkhuni Sinhala berangkat ke Tiongkok dengan menumpang sebuah kapal dagang. Bukti lainnya yang mendukung hubungan dekat antara Vihara Abhayagiri dan Tiongkok adalah bahwa Raja Mahanama (Mo-ho-non) mengirim sebuah surat ke Raja Tiongkok bersama sebuah model altar Relik Gigi pada tahun 428 M dan pada saat itu altar Relik Gigi tersebut dirawat di Vihara Abhayagiri. Perlu disebutkan juga di sini bahwa Nagarjunikonda, sehubungan dengan keterangan di atas, adalah sebuah pusat belajar dan pengembangan Mahayana di abad ketiga dan keempat.
Jadi ada kemungkinan bahwa para bhikkhuni Sinhala tersebut menemukan sebuah lingkungan yang lebih bersahabat dengan kelompok bhikkhu golongan Mahayana untuk kesinambungan mereka, jika dibandingkan dengan golongan Theravada, karena Mahayana cenderung lebih terbuka terhadap hal-hal baru dan lebih fleksibel.
Apakah Para Bhikkhuni Menandai Sejarah Awal Srilanka?
Dipavamsa yang mencatat sejarah Srilanka sampai masa pemerintahan Mahasena (334-362 M) adalah buku yang lebih tua daripada Mahavamsa dan banyak dikenal dalam sejarah dan kegiatan para bhikkhuni. Hugh Nevill memperdebatkan bahwa Dipavamsa adalah sebuah buku yang mencatat banyak informasi tentang para bhikkhuni dengan tujuan untuk mengajarkan sejarah agama. “Yang pasti buku tersebut bukanlah sebuah catatan dari golongan Theravada dari Mahavihara atau sekte Dhammaruci dari masyarakat Abhayagiri karena buku tersebut tidak menyebutkan sejarah organisasi kerajaan yang kaya itu, dengan perhitungan yang cermat tetapi tidak banyak diketahui sehingga tidak menyinggung pihak lain. Tetapi hal ini menjadi lebih terbuka pada organisasi yang ketiga yaitu kelompok bhikkhuni Theravada.”5 Catatan peristiwa sejarah yang lebih belakangan dari Mahavamsa dan penjelasan berikutnya dari sejarah organisasi di Srilanka sama sekali mengabaikan cerita para bhikkhuni maupun tentang Mahayana6 dan hanya memberikan sejarah kaum pria dari golongan Theravada.
-
Catatan Kaki
-
Mahavamsa, XXVI, 14.
-
Ibid. XXIX, 70.
-
Dipavamsa, XVIII, 20 ff.
-
Saddharmaratnavaliya, hal. 851.
-
Catalogue of Manuscripts di Museum Inggris.
-
Untuk diskusi pengaruh kuat Mahayana di Sri Lanka, lihat Goonatilake, Hema, The Impact of Some Mahayana Concepts on Sinhalese Buddhism, Unpublished Ph.D Thesis, University of London, 1974.