Tata Peribadatan

 

 

 

 

LATIHAN KEJIWAAN

Tata Cara peribadatan

125. Selain Jalan Berunsur Delapan yang telah kita pelajari, agama Buddha juga mengajarkan tata cara peribadatan, yang biasanya disebut sebagai puja. Istilah ‘puja’ berarti menghormat atau memuja, dan mengacu pada upacara sebagai sarana untuk menguatkan dan menuangkan keyakinan serta mengingatkan kita sehari-hari akan janji kita pada Tiratana – Tiga Permata; Buddha, Dhamma serta Sangha. Ada pendapat yang menganggap ‘puja’ adalah ‘suatu upacara ritual tak berarti’, berdasar pengertian bahwa dalam agama Buddha, tidak diakui adanya makhluk-agung atau dewa-agung yang padanya kita harus bermohon dan dengan demikian upacara adalah mubazir. Pandangan diatas jelas salah. Pertama, tidak ada upacara yang ‘tak punya arti’ bila kita berusaha mencari makna artinya; ke dua, keikutsertaan dalam upacara tidak perlu bertentangan dengan keberadaan kita sebagai manusia yang kritis. Upacara ritual memang ganjil bila dikaitkan dengan ilmu gaib, tapi upacara agama Buddha bukanlah hal yang demikian. Pelaksanaan ‘puja’ mempunyai nilai yang tinggi karena mampu menguatkan keyakinan dan menanamkan pengertian yang khusus dalam batin kita. Pemujaan (pelaksana Puja) bukan keharusan dalam pelaksanaan keagamaan Buddha, tapi karena sebagian besar orang dapat melihat dampak positif-nya, maka kita akan mempelajari arti dan pelaksanaannya secara terinci. Ada bermacam-macam cara pemujaan tergantung budaya dimana tata pemujaan itu berkembang, ada yang sederhana dan anggun, ada yang rumit dan ramai. Mari kita teliti Nava Puja (lihat appendiks I). Istilah ‘nava‘ berarti ‘baru’ dan juga berarti ‘sembilan’, karena Nava Puja adalah penyesuaian moderen dari Puja Buddha yang kuno di Sri Lanka, dan karena Nava Puja terdiri atas sembilan bagian. Seperti ‘puja’ yang lain, maka Nava Puja dapat dilaksanakan dalam bahasa sehari-hari kita ataupun dalam bahasa Pali.

126. Pemujaan paling tepat dilakukan di depan meja-sembahyang (Inggris: shrine) di vihara ataupun di rumah. Ada umat yang salah mengartikan dengan menyamakan serta menyebut meja-sembahyang dirumahnya sebagai ‘altar’. Pada kenyataannya secara harfiah, altar berarti tempat pelaksanaan korban, yang tentunya tidaklah tepat untuk menggambarkan meja-sembahyang agama Buddha. Meja-sembahyang terdiri dari suatu meja atau panggung yang agak ditinggikan, yang diatasnya diletakkan patung Buddha (Buddha rupa) dan obyek-obyek lain yang digunakan pada pemujaan tersebut. Meja-sembahyang secara estetis hendaknya terawat, menyenangkan dan senantiasa rapih. Pada dasarnya, kita hendaknya merawat meja-sembahyang seperti hati kita – bersih, indah dan rapih. Meja-sembahyang hendaknya dibersihkan setiap hari dari debu, abu dupa dan guguran bunga. Meja-sembahyang hendaknya indah, ditempati peralatan sembahyang terbaik, diletakkan simetris agar baik dipandang mata. Lebih jauh, meja-sembahyang hendaknya tidak menjadi kacau karena adanya foto-foto para bhikkhu, guru kebatinan, patung dewa-dewa Tao ataupun segala macam obyek yang tak ada hubungannya dengan puja.

127. Sekarang mari kita lihat setiap bagian dari sembilan bagian Naya Puja tersebut. Bagian 1 adalah pernyataan Penghormatan (Vandana), suatu pendahuluan yang secara tradisional juga dilaksanakan pada tata sembahyang agama lain, yang biasanya diulangi tiga kali. Bagian 2 adalah Tiga Perlindungan (Tisarana), yang maknanya telah kita pelajari. Walau, ketika pertama kali menjadi Buddhis, kita mengakui Tiga Perlindungan, tapi tentunya amat baik bila diulangi setiap hari untuk mengokohkan janji dan senantiasa mengingatkan kita kembali padanya. Pembacaan Tiga Perlindungan diulangi tiga kali untuk meyakinkan, lebih meyakinkan kita pada apa yang kita lakukan. Bagian ke 3 dari Nava Puja adalah Lima Janji (Pañca sila), pelaksanaan yang adalah sangat penting bagi setiap insan Buddhis. Setiap janji atau aturan mempunyai dua aspek menghindar (varitta), kita berjanji pada diri kita sendiri untuk menghindari kelakuan yang negatif, dan berperilaku (caritta), kita berjanji untuk berbicara dan bertindak dengan cara yang positif.

128. Bagian ke 4 terdiri atas Pujian (kittisadda) pada Buddha, Dhamma dan Sangha. Bagian 4 A terdiri atas ucapan Sang Buddha sendiri untuk menggambarkan nilai-nilai dalam diri-Nya sendiri.1 Berpengetahuan dan bertindak tanduk Sejati (vijja carana sampanno) mengacu pada kenyataan bahwa tidak ada pertentangan antara yang diajarkan-Nya dengan tindak-tanduk-Nya sendiri; Beliau melaksanakan apa yang Beliau ajarkan. Beliau juga mencapai Mencapai dengan Sempurna (sugato), dalam hal ini mencapai Nibbana, yang menyebabkan Beliau selalu bergembira dan berbahagia. Sang Buddha juga disebut sebagai Pengenal Alam Semesta – mengetahui dunia-dunia (lokavidu), sebab Beliau dapat melihat semua alam-alam keberadaan dan melihat bagaimana makhluk-makhluk terlahir pada alam-alam itu. Sebagai guru yang paling ahli dan sangkil yang pernah ada, Sang Buddha juga penuntun tiada taranya dari para manusia (anuttaro purisa damma sarathi). Telah kita pelajari di depan bahwa para dewa masih diliputi kekotoran batin seperti halnya manusia, sedang Sang Buddha telah bersih dari kekotoran batin; sebagai dampak dari keberadaan Beliau tersebut, maka baik manusia maupun para dewa dapat memanfaatkan Dhamma Sang Buddha. Dengan demikian Sang Buddha adalah guru para dewa dan manusia (satta devamanusanam). Pada bagian 4 B, kita mengukuhkan penghormatan kita pada semua Buddha, dan bahwa Sang Buddha adalah pelindung tertinggi kita dan akan demikian selama hidup kita.

129. Di bagian 4 C, juga adalah penggambaran Sang Buddha sendiri pada ajaran-Nya.2 Dhamma dibabarkan dengan indah dan sempurna (svakkhato) dengan lengkap, relevan, jelas dan digambarkan dengan perumpamaan yang menggena. Karena kita tidak perlu harus menunggu kematian untuk membuktikan kebenaran Dhamma, maka Dhamma disebut sebagai ‘tampak-seketika’ (sanditthiko). Dhamma adalah abadi (akaliko) dalam dua pengertian. Pertama, Sang Buddha mengajarkan tentang sifat alami dari batin manusia dan karena batin manusia berubah sedikit saja selama berabad-abad ini, maka Dhamma tetap relevan, sekarang seperti halnya pertama kali diajarkan. Pula, Dhamma tidak melibatkan waktu sebab bila dalam agama lain, seorang harus mempercayai sesuatu yang terjadi pada masa lampau atau akan terjadi pada masa yang akan datang, maka Dhamma adalah pengertian tentang diri kita saat ini. Dhamma, seperti yang diajarkan, secara alami mengundang atau secara lebih harfiah sesuatu yang hendaknya didatangi dan dilihat sendiri (ehipassiko). Agama Buddha tidak pernah memaksakan, menjanjikan hadiah, melakukan sulapan-sulapan, apalagi menakut-nakuti agar orang-orang menerima ajaran Sang Buddha. Dhamma tersedia bagi setiap orang yang berharap menyelidikinya, dan dengan demikian setiap orang bebas menerima atau menolaknya. Dhamma senantiasa berkembang menuntun (opanayiko) sebab akan menuntun kita ke depan atau ke atas bila kita menerapkannya dalam hidup kita. Agama Buddha mengajarkan bahwa kebahagiaan Nibbana dicapai melalui pemahaman oleh diri sendiri, sama sekali bukan sesuatu yang dapat dikerjakan oleh orang atau makhluk lain untuk kita. Tidaklah mungkin ada seorang yang bisa mengerti sesuatu untuk kita, sama halnya tidak ada seorang yang bisa menempuh dan lulus ujian untuk kita, sama halnya tidak ada seorang yang bisa makan untuk kita. Sang Buddha mengajar kita, menjelaskan pada kita, menuntun kita, dan memberi dorongan pada kita, tapi pada akhirnya, kita sendiri yang harus mengerti. Jadi Dhamma hendaknya dicapai oleh para bijaksana bagi dirinya sendiri (paccattam veditabho viññuhiti). Pada bagian 4 D, sekali lagi kita mengukuhkan pengabdian kita pada Dhamma dan berlindung padanya seumur hidup.

130. Pada bagian 4 E, Sang Buddha menggambarkan sifat-sifat dari Sangha, yang terdiri atas Yang Memenangi-Arus, Yang Kembali-Sekali, Yang Tak-Kembali dan Arahat (lihat 191,199).3 Para Siswa Sang Buddha bertindak dengan gembira (supatipanno), dikarenakan telah mencapai Nibbana atau telah di ambang Nibbana, hidup mereka ditandai kegembiraan dan kebahagiaan. Para Siswa bertindak secara lurus (ujupatipanno) dalam arti mereka bebas dari kepalsuan, tipu muslihat dan kelicikan. Mereka bertindak dengan benar (nayapatipanno) dan secara metodik (samici) yang berarti mereka berjalan lurus mantap di Jalan, tidak menyimpang. Secara tradisional, mereka yang telah mencapai salah satu dari empat tingkat diatas, dibagi masing-masing atas dua bagian, mereka yang mencapai jalan (magga) dan mereka yang telah mengalami dan menikmati buah (phala) dari pencapaian tersebut; oleh karena itu kesemuanya menjadi empat pasang pribadi (cattari purisayugani) dan delapan tipe dari manusia (attapurisa puggala).

Setelah mencapai keadaan Nibbana melalui usaha sendiri, Siswa-siswa Sang Buddha adalah patut untuk menerima persembahan (ahuneyyo), menerima keramahtamahan (pahuneyyo), menerima pemberian (dakkhineyyo) dan patut menerima ‘anjali’ (añjalikaraniyo) yang adalah salam tradisional Buddhis dan sekaligus untuk menunjukkan rasa hormat, dengan cara mengatupkan kedua telapak tangan didepan dada.

Karena telah menjalani Jalan lebih jauh dari kita, Siswa-siswa ini dapat menjadi pembimbing yang berpengalaman bagi kita, dengan demikian mereka adalah sumber kebajikan tak ada bandingannya di dunia ini (annutaram puññakkhetam lokassati). Sekali lagi di bagian 4 F kita mengukuhkan pengabdian kita pada Sangha dan menjadikannya pelindung selama hidup kita.

131. Akan sangat bermanfaat membacakan empat bagian pertama dari Nava Puja setiap pagi. Tapi sekali dalam seminggu adalah baik untuk menjalankan bagian 5 dari Nava Puja – Persembahan Utama. Masing-masing dari persembahan itu adalah simbol kekuatan, yang padanya kita dapat mencerminkan diri, pada waktu kita mempersiapkannya, meletakkannya di meja-sembahyang dan membacakan paritta yang sesuai dengan persembahan itu. Persembahan Utama yang pertama adalah cahaya (lilin) yang secara universal dikenal sebagai lambang kebijaksanaan, sedangkan halnya kegelapan yang dihalaunya adalah lambang universal dari ketidak tahuan. Sementara meletakkan lilin diatas meja-sembahyang, kita membacakan paritta sambil mengungkapkan cita-cita atau niat kita untuk mengembangkan pengertian dan kejernihan batin. Persembahan Utama yang berikut adalah bunga, yang dapat berartikan beberapa hal. Dalam agama Buddha, bunga melambangkan kepemilikan dan kesenangan duniawi sebab seperti kedua hal itu, walau indah bagaimanapun bunga akan segera layu dan mati. Kita membayangkan hal itu sambil meletakkan bunga diatas meja-sembahyang, dengan harapan membantu kita mengembangkan sikap ketakterikatan pada kepemilikan dan kesenangan duniawi. Persembahan Utama yang terakhir adalah dupa. Pada zaman India kuno, kebajikan selalu dilambangkan wangi-wangian, karena sama halnya dengan wangi-wangian, kebajikan selalu harum dan dapat menyebar kemana-mana walau jauh sekalipun. Di dalam Dhammapada, sebagai contoh, Sang Buddha bersabda:

Bukanlah keharuman kayu cendana, tagara atau melati
Yang menyebar menentang angin
Tapi keharuman dari kebajikanlah
Menyebarkan bau yang harus ke segala penjuru.4

Dupa, karenanya, melambangkan kebajikan akan mengingatkan kita betapa pentingnya kebajikan; mengingatkan kita untuk menambah kebajikan setiap kali kita mempersembahkan dupa. Persembahan bunga, lilin dan dupa hendaknya dilaksanakan sekurang-kurangnya seminggu sekali.

132. Bagian ke 6 dari Nava Puja terdiri dari Persembahan Khusus yang dapat dilaksanakan pada kesempatan yang khusus. Persembahan Khusus yang pertama adalah makanan yang melambangkan kekuatan, kesejahteraan dan pemberi kehidupan. Sewaktu kita mempersembahkan makanan hendaknya kita memikirkan mereka yang lapar pada makanan, pada cinta dan pada Dhamma, dan berharap agar mereka dapat terbebas dari kelaparan-kelaparan itu. Makanan yang dipersembahkan dapat dalam bentuk buah-buahan atau biji-bijian, beras misalnya; daging tentu saja tidak digunakan. Persembahan Khusus yang ke dua adalah air, yang adalah lambang kebersihan dan kemurnian. Sewaktu mempersembahkan air, kita berharap agar mereka yang batinnya ternodai oleh keserakahan, kemarahan dan iri hati akan bersih, terbebas dari keadaan itu. Persembahan Khusus yang ke tiga adalah obat-obatan, yang melambangkan pulihnya kesehatan jasmani dan rohani. Sewaktu kita mempersembahkan obat-obatan (ramuan jamu dan madu juga dapat digunakan) hendaknya kita membayangkan mereka yang rohani dan atau jasmaninya sakit dan berharap agar mereka dapat sembuh seperti sediakala. Bila pada Persembahan Utama kita memikirkan diri kita dan pengembangkan batin kita, maka pada waktu melaksanakan Persembahan Khusus kita memikirkan orang lain serta berharap agar mereka sejahtera.

133. Bagian ke 7 dari Puja adalah Pemurnian yang terdiri atas perenungan kesalahan-kesalahan kita, kesalahan-kesalahan orang lain serta kebajikan dan nilai-nilai yang baik dari orang lain. Bagian pertama adalah Pengakuan. Mengaku pada seseorang berarti kita menyadari kesalahan-kesalahan kita dan berniat merubahnya. Pengakuan juga akan mengurangi perasaan penyesalan yang dalam, dengan demikian membebaskan kita dari masa lalu dan memungkinkan kita memulai lagi sesuatu yang baru. Karena alasan-alasan inilah maka Sang Buddha selalu memaafkan atau pelanggaran seseorang, bila si pelaku mengakui kesalahannya kepada Beliau. Sewaktu melaksanakan bagian pertama dari Pemurnian, dengan jujur dan terbuka kita melihat kesalahan-kesalahan kita, dan mengharapkan maaf. Setelah itu, selanjutnya kita kemudian mengingat kesalahan-kesalahan yang seorang telah perbuat pada kita, memaafkannya, lalu menghapus sakit-hati, dendam dan kemarahan dari batin kita (lihat 77). Bila ternyata, kita sulit memaafkan seseorang, maka hendaknya kita merenungkan kembali bahwa kita sendiri baru saja mohon dimaafkan, pula bagaimana mungkin bisa menjadi seorang siswa Sang Buddha bila kita masih dipenuhi perasaan jahat, tidak rela memberi maaf, seperti itu.

Pada bagian terakhir dari Pemurnian, kita mengingat kembali perbuatan-perbuatan baik yang telah kita perbuat, dan merasakan kebahagiaan karenanya. Adalah penting merenungkan kebajikan diri sendiri, sebab akan menjadi keseimbangan sehat bagi perenungan kesalahan. Pula, keingatan pada perbuatan baik diri sendiri dan berbahagia karenanya, akan menggairahkan keinginan untuk menambah kebaikan. Sang Buddha bersabda:

Si Pembuat kebaikan bahagia disini, bahagia disana,
Berbahagia baik disini, juga disana
Dia berbahagia dan gembira
Begitu mengingat perbuatan-perbuatan baiknya.5

134. Bagian ke 8 dari Nava Puja adalah Berbagi-Jasa; secara batiniah kita membagi kebajikan yang telah kita perbuat juga membagi kebahagiaan yang diperoleh dari perbuatan baik itu, pada semua makhluk. Bagian terakhir Puja adalah pengucapan kata ‘sadhu‘ sebanyak tiga kali, yang adalah cara tradisional untuk mengucapkan rasa bahagia dan gembira karena berbuat sesuatu yang berharga.