Latar Belakang

Perkembangan agama Buddha di kota dan kabupaten Blitar mulai terasa kembali sejak tahun 1966. Dipilih angka tahun 1966 ini jelas dengan mengabaikan satu fakta sejarah yang amat penting bahwa pada jaman Keprabuan Majapahit dikala Raja Brawijaya berkuasa, pusat kerajaan yang beragama negara Hindu dan Buddha itu terletak di kota Kediri. Jelaslah, sebagai akibat logis keberadaan suatu kerajaan besar, pengaruh agama Hindu dan Buddha melanda Blitar pula. Hal ini dimungkinkan karena jarak Kediri – Blitar tidaklah terlalu jauh, kurang lebih 60 Km saja.

Pada tahun 1966 para umat Buddha di kota Blitar, khususnya yang biasa hanya mengadakan
puja bhakti di rumah sendiri secara perseorangan dan sporadis, mulai berinisiatif untuk mengadakan puja bhakti secara “arisan”. Disebut sebagai “arisan” adalah karena sistem puja bhakti ini diadakan secara berpindah – pindah dari satu rumah ke rumah yang lainnya. Kebaktian arisan yang diadakan setiap hari Kamis malam ini dapat bertahan selama kurang lebih dua tahun. Ketidaktetapan lokasi puja bhakti ini ternyata mengetuk hati kedermawanan Bapak Viriyacitra Suroto sekeluarga. Mereka dengan tulus ikhlas menyediakan sebagian halaman depan rumah mereka untuk dijadikan cetiya tempat para umat Buddha berkumpul membaca paritta dan membahas Dhamma ajaran Sang Buddha.

Maka, mulai tahun 1968 sebuah cetiya berukuran 2 ½ x 7 meter berdiri di jalan Dr. Cipto No. 4 yang dalam pembangunannya telah direstui oleh Yang Mulia Bhikkhu Girirakkhito. Beliau berkesempatan hadir untuk menguncarkan paritta – paritta suci pada saat peletakan batu pertama pembangunan cetiya tersebut. Kiranya, dengan memperhatikan uraian di atas, tahun 1968 dapatlah dijadikan tonggak sejarah awal berdirinya tempat ibadah di kota Blitar.

Sejak itulah, cetiya kecil yang tidak memiliki nama ini berfungsi seakan – akan sebuah tempat ibadah yang besar, yaitu dengan mengadakan kebaktian rutin setiap hari Kamis malam dan Minggu pagi; termasuk pula selalu mengadakan perayaan hari – hari besar Agama Buddha, Hari Waisak misalnya. Disamping itu, pasangan pengantin yang akan diberkahi secara Buddhis juga dengan senang hati mempergunakan jasa cetiya ini. Kegiatan yang baik ini bisa bertahan selama dua tahun.

Kiranya kemajuan dan perkembangan pembangunan kota Blitar membawa pengaruh positif untuk perkembangan Agama Buddha di kota ini. Jalan Dr. Cipto, tempat cetiya tersebut berada, telah diputuskan oleh pemerintah untuk dilebarkan seluas 3 m ke arah kiri – kanan jalan itu. Akibatnya, pekarangan depan rumah keluarga Bapak Suroto tersebut sudah tidak memungkinkan lagi untuk dipertahankan sebagai cetiya. Namun, ternyata keluarga Bapak Suroto masih belum mengenal putus asa dalam menjaga kelestarian perkembangan Agama Buddha di kota Blitar. Kini, mereka menyediakan bagian belakang rumah tinggal mereka untuk dijadikan cetiya. Tentu saja, walaupun cetiya tersebut terletak di lantai dua yang tidak dipakai oleh keluarga, para umat Buddha merasa kurang pada tempatnya bila akan mengadakan puja bhakti haruslah mengganggu keluarga Suroto dengan melewati rumah tangga mereka. Akhirnya, para umat semakin jarang berkunjung ke cetiya dan bahkan tidak ada sama sekali.

Masa kosong dari kegiatan puja bhakti ini kembali mengetuk hati keluarga Bapak Suroto untuk mengusahakan tempat puja bhakti yang lebih sesuai. Pikiran mereka kemudian diarahkan pada pekarangan mereka yang masih belum diolah. Tanah ini terletak di jalan Slamet Riyadi No. 21, kira – kira 400 m Selatan makam Ir. Soekarno yang amat terkenal itu. Maka pada tahun 1972 dengan bantuan para umat Buddha, para tokoh umat dan juga para dermawan yang memberikan bantuan berupa pikiran, tenaga dan materi, berdirilah sebuah cetiya yang pada kenyataannya hanyalah sebuah ruangan berukuran 5 x 8 m. cetiya ini dinamakan “METTA KIRANA” yang diartikan sebagai SINAR CINTA KASIH. Istilah ‘cetiya’ ini tidak dapat dipertahankan lagi; hal ini sehubungan dengan peraturan pemerintah agar tempat ibadah mendaftarkan diri pada Departemen Agama. Prosedur pendaftaran ini hanya melayani tingkat vihara saja. Oleh karena itu, Cetiya Metta Kirana kini harus “naik tingkat” menjadi vihara. Pendaftaran ke Departemen Agama tersebut terjadi dalam tahun 1987.

Kenaikan tingkat menjadi Vihara Metta Kirana mempunyai konsekuensi logis. Bahwa suatu vihara haruslah memiliki kuti sebagai sarana tinggal para bhikkhu yang berkunjung ke vihara tersebut. Maka dengan semangat gotong royong para umat Buddha berjuang sepenuh tenaga untuk mewujudkan kuti tersebut. Akhirnya dengan melewati masa – masa yang cukup sulit, kuti idaman terbangun walau cukup sederhana. Kesederhanaan ini ternyata tidak mengurangi semangat para bhikkhu dan samanera untuk berkenan tinggal di Vihara Metta Kirana demi pembabaran Buddha Sasana.