Tepat satu tahun setelah upacara peletakan batu pertama itu pembangunan Vihara Samaggi Jaya dinyatakan telah selesai semua.
Vihara Samaggi Jaya memiliki gedung – gedung :
- Dhammasala (ruang sembahyang utama); 81 m2
- Ruang Serbaguna (kantor, perpustakaan); 72 m2
- Kuti (ruang khusus bhikkhu); 50 m2
- Ruang Service (dapur, km/wc, gudang); 51 m2
- Wisma Tamu (dua lantai); 124 m2
- Ruang Duduk, Taman, Plaza, Parkir; 1117 m2
Kembali undangan disebar. Sekarang untuk menghadiri upacara peresmian yang semula direncanakan akan diresmikan oleh Bapak Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Propinsi Jawa Timur, Soelarso. Undangan juga disebar keberbagai penjuru tanah air jauh lebih banyak daripada sewaktu peletakan batu pertama. Hal ini karena jumlah donatur yang diundang meningkat tajam. Panitia penyambutan kembali disusun. Panitia terdiri dari umat Blitar, Tulung Agung, Wlingi, Surabaya dan Yogyakarta. Semuanya bekerja bahu – membahu dengan sepenuh hati demi terselenggaranya upacara peresmian ini.
Waktu berjalan dengan cepat tanpa dapat ditunda lagi. Hari yang dinanti akhirnya tiba juga, 9 September 1991 (9-9-1991) pukul 09.09. umat Buddha sejak tanggal 7 September telah mulai berdatangan dan menempati penginapan – penginapan yang telah dipesan oleh panitia. Terdapat tujuh belas hotel dan penginapan yang dipesan disamping rumah – rumah umat yang disediakan untuk menampung luapan umat yang datang. Ternyata umat yang bermalam sekitar 800 orang.
Pada hari peresmian, 9 September 1991, mendadak panitia memperoleh berita bahwa Bapak Gubernur berhalangan hadir. Hal itu karena bersamaan waktunya dengan kunjungan Bapak Wakil Presiden ke Jawa Timur. Kedatangan Bapak Wapres tentu saja mengharuskan Bapak Gubernur menemaninya. Sebagai gantinya, Walikota Kotamadya Blitar berkenan hadir dan memotong karangan bunga yang melintang di tengah pintu gerbang utama sebagai tanda diresmikannya Vihara Samaggi Jaya tepat pada pukul 09.09.
Tahun peresmian Vihara Samaggi Jaya ditandai dengan suryosengkolo dan condrosengkolo. Suryosengkolo adalah penanggalan berdasarkan perhitungan peredaran matahari, sedangkan condrosengkolo adalah penanggalan berdasarkan perhitungan bulan. Menurut perhitungan suryosengkolo tahun peresmian vihara adalah 1991 yang dirumuskan dalam kalimat berbahasa Jawa sebagai MANUNGGAL MANJING GAPURO ADHI. Menurut perhitungan dalam kebudayaan Jawa disepakati bahwa MANUNGGAL mempunyai nilai SATU (1), MANJING = 9, GAPURO = 9 dan ADHI = 1. Pembacaan suryosengkolo biasanya dimulai dari belakang, hanya saja untuk tahun ini pembacaan dari depan maupun dari belakang adalah sama yaitu 1991. Suryosengkolo ini mempunyai makna, BERSAMA (BERSATU) MEMASUKI PINTU GERBANG YANG INDAH, yang digambarkan pada gapura utama bagian dalam tengah. Gambar suryosengkolo itu berupa sebuah lingkaran dengan gambar gapura vihara dilihat dari dalam dan tampak beberapa orang bersama – sama berjalan masuk. Tampak pada gambar itu seorang bhikkhu memimpin para umatnya. Gambar ini seakan memberitakan pada kita akan tugas mulia seorang bhikkhu dalam membimbing para umat untuk berjalan memasuki satu kehidupan baru, kehidupan yang mulia dalamberpikir, berbicara dan bertindak.
Sedangkan condrosengkolo tahun Buddhis peresmian ini adalah 2535 yang dihitung mulai Sang Buddha wafat (parinibbana). Tahun 2535 digambarkan dengan dua arca raksasa membawa gada/pemukul penjaga pintu gerbang (DWARAPALA). Condrosengkolo ini dirumuskan dalam bahasa Jawa sebagai PONCO GUNO RAKSESO KEMBAR (Ind. = Lima kegunaan / manfaat raksasa kembar / sepasang). Dalam kebudayaan Jawa, PONCO = 5, GUNO = 3, RAKSESO = 5, KEMBAR = 2. Bila dibaca dari belakang tersusunlah angka tahun 2535 yang dimaksud. Memang kalau ditinjau dari kegunaan kedua arca raksasa tersebut ada lima hal yang dapat kita sebutkan yaitu:
-
Melestarikan kebudayaan warisan nenek moyang,
-
Menjaga vihara dari pengaruh yang tidak baik,
-
Menyambut kehadiran para tamu pengunjung vihara,
-
Menarik perhatian pengunjung akan manfaat vihara,
-
Menambah keindahan lingkungan vihara.