Fa Hien

FA HIEN

Ia berjalan dari Cina bagian tengah melintasi gurun Gobi, Hindu Kush kemudian melintasi India Utara dan tiba dan tiba di kota pelabuhan di teluk benggala. Dari tempat ini ia melanjutkan perjalanannya melalui laut ke srilangka untuk selanjutnya kembali ke daratan Cina dengan membawa kitab-kitab Suci Agama Buddha beserta patung-patung dari para Bodhisatva yang terdapat dalam Agama Buddha Mahayana.

Kisah perjalanan

Fa Hien sangat sedih melihat para bhiksu tidak lagi mematuhi vinaya dengan baik, sehingga ia bersama-sama dengan beberapa kawan memutuskan untuk mengembara ke India dengan tujuan memperoleh buku-buku tentang Ajaran Sang Buddha yang benar.

Ia berangkat dari Chang An dan tiba di kota Tun Huang di ujung Tembok Besar. Gubernur dari wilayah tersebut melengkapi Fa Hien dengan segala macam keperluan untuk dapat melihat Gurun Gobi dengan selamat. Menurut catatan Fa Hien di gurun ini terdapat banyak siluman jahat disamping adanya angin panas yang mematikan. Di udara tidak terdapat burung dan di tanah tidak pula terdapat makhluk-makhluk hidup. Di gurun sulit sekali untuk menentukan arah dan tidak terdapat petunjuk-petunjuk tentang jalan mana yang harus dilalui, kecuali terdapat tulang-belulang manusia yang sudah lapuk yang berserakan dimana-mana.

Setelah melakukan perjalanan yang melelahkan ia tiba di negara-negara di Asia Tengah. Di sini terlihat sekali pengaruh dari kebudayaan India. Di Shan-Shan (di selatan dari Lop-Nor) terdapata kira-kira empat ribu bhikkhu dari aliran Theravada dan rakyat jelata mempraktikan Ajaran dari India ini dengan perubahan kecil di sana-sini. Dari tempat ini berjalan ke Barat ia melihat keadaan yang hampir mirip satu dengan lain. Semua bhikkhu dan samanera mempelajari buku-buku India dan mereka berbicara bahasa India. Mereka singgah selama lebih dari empat bulan di Kara Shahr, di mana terdapat lebih dari empat ribu orang bhikkhu dari aliran Theravada.

Selanjutnya ia tiba di Khotan, sebuah negara yang makmur dan sejahtera dengan lebih dari sepuluh ribu orang bhiksu dari aliran Mahayana. Fa Hien dengan kawan-kawan dijamu di Vihara Gomati yang besar dan megah. Tata tertib di vihara sangat baik. “Ketika suara gong berbunyi, tiga ribu bhiksu berkumpul di ruang makan. Ketika memasuki ruang makan mereka melihat serius dan bersungguh-sungguh; mereka duduk di tempat yang sudah ditentukan; semuanya diam; mereka tidak mengeluarkan suara berisik dengan piring makan mereka dan apabila menghendaki tambahan mereka tidak memanggil denga suara keras tetapi hanya dengan memberi isyarat dengan tangan mereka.

Fa Hien meninggalkan Khotan dan tiba di Kashgar setelah berjalan lebih dari dua bulan. Kashgar lebih kecil dari Khotan namun penduduknya terlihat bakti sekali. Tentang Kashgar Fa Hien menulis: “ Negara ini memiliki tempayan yang dulu pernah dipakai oleh Sang Buddha. Tempayan ini dibuat dari batu dan mempunyai warna yang sama dengan tempat mengumpulkan makanan (bowl) dari Sang Buddha. Selain itu terdapat juga relik gigi dari Sang Buddha yang disimpan di sebuah pagoda.

Kemudian perjalanannya dilanjutkan ke Udayana, Ia berangkat l;agi ke Gandhara dan Taksasila yang terkenal karena di tempat ini Sang Buddha di pemghidupannya yang lampau pernah memotong kepalanya sendiri untuk menolong orang lain. Di tempat ini pula Sang Buddha pernah mengeluarkan ramalan bahwa pada suatu hari kelak Raja Kaniska akan mendirikan pagoda di Peshawar. Mengenai pagoda ini seorang musafir Cina lain, Yuang Chwang, menulis “ Dari semua pagoda dan vihara yang pernah dikunjungi oleh para musafir tidak ada yang dapat menandingi keagungan dan wibawa dari pagoda ini. Dan sejarah telah membuktikan bahwa dari semua pagoda yang terdapat di dunia ini tidak ada yang dapat menandingi keagungan pagoda ini “.

Dari Peshawar Fa Hien berjalan ke Nagarahara. Kota ini memiliki tempat pemujaan dimana terdapat tengkorak kepala Sang Buddha. Tiap malam tempat penyimpanan tengkorak kepala ini di segel dengan delapan buah segel dari oprang-orang terkemuka di kota itu. Tiap pagi Raja sendiri dating untuk melakukan persembahan dan bersujud dihadapan relik tersebut.

Perjalanan dilanjutkan ke Afganistan dimana terdapat tiga ribu bhikkhu dari aliran Theravada. Jumlah bhikkhu yang sama juga terdapat di Bannu, semua dari aliran Theravada. Kemudian dengan melintasi Pinjab Fa Hien tiba di negara Mathura. Di negara ini terdapat banyak vihara dengan jumlah bhikkhu sekitar sepuluh ribu orang.

Agama Buddha sangat popular di negara ini dan para bhikkhu sangat dihormati oleh rakyat dan pejabat istana yang sering melayani para bhikkhu ketika makan. Setelah makan selesai mereka meletakan karpet di tanah dan tidak ada seorang pun yang berani duduk di atas kursi atau dipan. Kebiasaan ini sudah ada sejak zaman Sang Buddha masih hidup.

Kemudian Fa Hien tiba di kerajaan Tengah, jantung dari kekaisaran Gupta. Tentang negara ini Fa Hien menulis “ Negara ini mempunyai iklim sedang, tidak ada es atau salju. Rakyatnya makmur dan sejahtera tanpa harus mendaftarkan diri atau ada hambatan resmi lainnya. Hanya mereka yang mengerjakan tanah milik Raja harus membayar sebagian dari keuntungan mereka. Dalam pemerintahannya Raja tidak pernah memberikan hukuman denda sesuai dengan berat ringannya kejahatan mereka. Bahkan bagi mereka yang memberontak untuk kedua kalinya hukumannya hanya berupa pemotongan tangan kanannya. Para pengawal Raja semua diberi gaji tetap. Selanjutnya Fa Hien menulis tentang negara itu yang dilihatnya di vihara, yaitu: “Di seluruh negeri tidak terdapat pembunuhan binatang, mereka tidak minum anggur, juga tidak makan bawang merah dan bawang putih.”

Selanjutnya di negra ini penduduknya tidak memelihara babi atau ayam dan mereka juga tidak memperdagangkan sapi, tidak ada kedai penjual daging atau minuman keras di pasar.

Tetapi rupanya Fa-Hien tidak memperhatikan para candala yang hidup terpencil dan yang harus memukul-mukul sepotong kayu apabila berada di jalanan umum di kota atau di dekat pasar. Mereka inilah satu-satunya kasta yang hidup dengan berburu atau yang memperjual belikan daging.

Kamar dengan tempat tidur disertai kasur, makaan dan pakaian disediakan untuk bhikkhu setempat atau mereka yang dating dari tempat jauh; dan keadaan ini di semua tempat sama.

Fa Hien kemudian mengunjungi Kaptha, Kanau, Sha-ki dan Saketa, dimana terdapat cetiya bernama Taman Emas, yaitu tempat dimana Sang Buddha di zaman dulu memperlihatkan berbagai kekuatan gaib. Tempat ini sangat disenangi oleh para penziarah. Kemudian dikunjunginya Kapilavastu yang dulu menjadi ibu kota dan tempat tinggal dari ayah Sang Buddha. Sayang tempat ini sekarang sangat tidak terawat, kecuali tempat yang dihuni oleh para bhikkhu dan puluhan rumah biasa.

Kemudian ia mengunjungi Vaisala (Besarh) dan tiba di negara Magadha dan melihat Pataliputta di mana tyerdapat sebuah istana besar dari Raja Asoka yang “ di bangun oleh para dewa”. Ia sangat memuji Magadha. “Dari semua negari yang terletak di India Tengah, Magadha, yang mempunyai kota-kota yang terbesar. Rakyatnya kaya dan saling bersaing dalam hal berdana dan melakukan perbuatan baik untuk sesamanya. Dan menjadi kebiasaan pula untuk tiap tahun di bulan kedua tanggal delapan mereka mengadakan pawai patung para dewa”. Ia sangat kagum dengan terdapatnya rumah sakit gratis di kota-kota, Dari sini ia pergi ke Nalanda, Rajagaha, Gaya dan tiba di Benares, termasuk Taman Rusa di Sarnath, dimana Sang Buddha untuk pertama kali memberikan khotbah, dan selanjutnya tiba di Kosambi dengan taman Ghociravana (Ghositarama) yang baru ditemukan.

Dari Benares Fa Hien kembali ke Patalipitta. Mengenai usahanya untuk memperoleh buku-buku suci Agama Buddha sangat mengesankan. Biasanya Ajaran Sang Buddha diberikan dari mulut ke mulut, hanya di Cetiya Taman Emas si Savatthi di sebuah vihara Mahayana ia memperoleh salinan dari hasil Maha Samaya Pertama yang umumnya dipraktikan ketika Sang Buddha masih hidup. Pertanyaan ini sekarang mendapat tantangan dari para cendikiawan modern.

Selama tiga tahun Fa Hien belajar menulis dan berbicara Sanskrit (atau Pali) dan menyalin Vinaya Pitaka. Kemudian ia berangkat ke Tamluk di dekat Campa dan berdian di tempat ini selama dua tahun untuk menyalin sutradan melukis gambar-gambar patung untuk selanjutnya menyeberang ke Srilangka. Ia berlayar selama empatbe;las hari dan tiba di Srilangka dan berdiam di sini selama dua tahun untuk menyalin buku-buku suci yang tidak dikenal di Cina.

Ketika berada disini Fa Hien dihinggapi perasaan rindu kepada tanah airnya. Ia sudah bertahun-tahun berkelana, anggota rombongannya banyak yang sudah meninggal dunia dan selebihnya telah meninggalkannya. Sekarang ia hanya tinggal seorang diri. Ketika berada di samping patung Buddha yang terbuat dari batu jade di Vihara Abhayagiri di Anurudhapura, ia melihat seorang peziarah mempersembahkan sutra putih Cina, mendadak ia merasa sangat terharu dan menangis. Fa Hien juga menulis tentang Vihara-vihara di Srilangka, tentang upacata menghormat gigi Sang Buddha dan tentang perkembangan Agama Buddha di Srilangka pada umumnya dengan sangat menarik.

Dari Srilangka Fa Hien kembali berlayar di tengah laut mereka diserang badai yang ganas selama tiga belas hari. Fa Hien terus menerus bersembahyang dan mohon kepada dewi Kuan Yin yang dipercaya selalu mendengar permohonan orang yang sedang ditimpa kemalangan. Ia juga sangat kuatir kalau-kalau buku-buku dan patung-patung yang dibawanya akan dibuang ke laut, tetapi untung saja hal ini tidak terjadi. Mereka kemudian singgah di suatu pulau untuk memperbaiki kebocoran dan kemudian melanjutkan pelayaran selama sembilan puluh hari dan tiba di pulau Jawa. Fa Hien berdiam di Jawa sekitar lima bulan. Di tempat ini ia melihat agama Brahma (Hindu) sangat berkembang. Sebaliknya agama Buddha berada dalam keadaan yang sangat menyedihkan.

Ia kembali dengan kapal ke Ching-chou di Cina dan kemudian pergi ke Nanking di mana ia lalu mempersembahkan buku-buku suci mengenai Sutra dan Vinaya yang telah berhasil dikumpulkannya kepada pimpinan Sangha. Sangat menyedihkan bahwa para bhiksu tidak mau mendengar tentang Vinaya yang benar dari Sang Buddha dan memusuhi Fa Hien. Untung saja ia dilindungi oleh Kaisar yang memerintah sehingga ia berkesempatan untuk menulis pengalamannya di atas potongan bamboo dan kain sutra dengan harapan agar yang membacanya dapat mengetahui pengalaman-pengalamannya, mengenai kisah perjalanan dan tentang Sutra dan Vinaya yang benar dari Sang Buddha. Fa Hien telah berkelana selama limabelas tahun.

Sumber :
PAHLAWAN DHAMMADUTA
Disusun oleh Maha Pandita Sasanacariya Sumedha Widyadharma
Diterbitkan oleh Sekolah Tinggi Sangha Dhammacakka, Jakarta
Cetakan Pertama, 1993