YUAN CHWANG
Yuan Chwang dilahirkan dikota Lo yang pada tahun 602. Ketika berumur delapan tahun ia membuat ayahnya terheran heran karena kepatuhannya kepada tata cara yang dilakukan menurut aajaran Nabi Kong Hu Cu. Diperkirakan, apabila ia besar kelak akan menjadi seorang sastrawan yang termasyur mengikuti jejak dari para leluhurnya. Tetapi contoh yang diberikan kakaknya yang menjadi Bhiksu Buddha mempengaruhi jalan hidupnya, sehingga pada usia tigabelas tahun ia mengucapkan janji sebagai seorang calon bhiksu di vihara Lo Yang.
Ia mulai dengan studinya tentang filsafat India yang dalam waktu singkat sudah dikuasai semua seluk beluknya. Pada tahun 617 Masehi, tahun terakhir dari pemerintah Sui, negara dalam keadaan kacau balau dan hal ini berlangsung hingga Kaisar T’ang T’ai tsung mengambil alih pemerintahan setelah melakukan operasi-operasi pembersihan yang gilang gemilang di tahun 618 Masehi.
Ditahun itu Yuan Chwang melarikan diri dari anarki dan berdiam di pegunungan Spu-ch’auan, Meskipun terjadi kekacauan di dalam negara Yuan Chwang berhasil menguasai dengan baik ajaran Sang Buddha dan sering mengadakan dhammadesana yang menjadikannya sangat popular. Dengan cepat ia memiliki kemahiran yang sangat popular. Dengan cepat ia memiliki kemahiran yang menonjol dalam perdebatan mengenai filsafat dan ajaran Sang Buddha dalam Bahasa Sangsekerta. Namanya menjadi terkenal dari Deccan sampai ke Jepang dan dari Turfan sampai Sumatra.
Ibukota dari dinasti baru yaitu Ch’ang-an (sekarang Si-am-fu), salah satu dari pusat utama mengenai agama Buddha di Timur Jauh, juga merupakan pusat kegiatan dari Yuan Chwang sejak tahun 662 Masehi. Namun kemudian ia merasa sangat terpukul dengan perbedaan yang sangat banyak di antara sekte-sekte agama Buddha dan juga mengenai ketidakpastian tentang ajaran Sang Buddha yang benar. Ia lalu bersumpah untuk berkelana ke barat dan akan belajar dari orang-orang bijaksana disana mengenai hal-hal yang sangat mengganggu pikirannya.
Tetapi ketika memohon perkenan untuk meninggalkan Cina, Kaisar menolaknya. Meskipun demikian, dengan mengandalkan keyakinannya yang kuat terhadap perlindungan yang tidak terlihat dari para Bodhisatva, bhiksu pemberani ini tetap ingin melaksanakan rencananya itu. Ketika ia berusia duapuluh enam tahun; wajahnya tampan dan badannya tinggi sebagaimana layaknya orang Cina dari utara. Banyak orang yang mencoba menghalanginya karena berbagai sebab, tetapi mereka semua terpesona dengan penampilannya yang tenang dan berani sehingga akhirnya mereka turut membantu dalam batas-batas kemampuan mereka.
Ia melakukan perjalanan dengan diam-diam, berteduh waktu siang hari dan melanjutkan lagi perjalanan apabila malam tiba. Kejadian-kejadian yang aneh serta hantu-hantu seringkali mencoba merintang-rintangi perjalanannya. Misalnya ketika ia mendekati benteng perbatasan, ia ditembaki dengan panah sehingga hampir saja tamat riwayatnya. Meskipun mendapat banyak rintangan ia berhasil melintasi gururn pasir seorang diri dan mencapai kota Ha-mi, di mana ia menerima undangan dari raja Turfan (ketika itu dikenal sebagai Kao-ch’ang), seorang pemeluk agama Buddha yang saleh.
Turfan terletak di tengah gurun Gobi (Sekarang satu daerah yang mati) yang ketika itu merupakan daerah yang ramai dilihat dari segi ekonomi, politik dan kebudayaan dari satu masyarakat Buddhis yang bahasanya merupakan dialek dari Tocharia. Penguasanya bernama Ch’u-Wen-Tai (620-640 M) seorang keturunan Cina. Turfan adalah negara taklukan dari Turkish Khan dan juga mempunyai hubungan dengan T’ai-tsung.
Undangannya kepada Yuan Chwang sebenarnya merupakan pemerintah, sebab sang musafir dapat dikatakan dibawa dengan cara kasar ke Turfan . Ch,u-Wen-tai, meskipun kelihatannya sangat ramah dan hormat terhadap Yuan Chwang, bermaksud untuk menahannya berdiam di istana dan menjadikannya kepala urusan keagamaan. Ia berkata: “Aku berketetapan hati untuk menahan Anda, dan lebih mudah untuk menggeser gunung Pamir dari pada mengubah niatku ini”. Tetapi Yuan Chwang menjawab: “ Kedatanganku ke sini adalah demi Dhamma Sang Buddha yang maha mulia. Baginda raja dapat sajamenahan tulang-tulangku, tetapi raja tidak dapat menguasai jiwa dan pikiranku.” Setelah itu ia menampik untuk makan selama tiga hari. Raja menjadi sangat ketakutan dan akhirnya menyerah.
Yuan Chwang bersedia untuk berdiam satu bulan untuk memberikan khotbah Dhamma kepada penghuni istana, dan pada akhir bulan raja memperkenankan Yuan Chwang melanjutkan perjalanannya dengan diberi perbekalan yang banyak disertai surat perkenalan untuk semua raja-raja dari daerah-daerah yang akan dilewati oleh Yuan Chwang, termasuk kepada Turkish Khan yang surat perintahnya berlaku sampai ke daerah dekat perbatasan dengan India. Sekarang Yuan Chwang bukan lagi seorang musafir yang tidak dikenal tetapi menjadi sorang musafir terhormat yang mempunyai kedudukan resmi.
Dari Turfan ia berjalan ke Kara-shahr, sebuah kota yang juga berbicara dengan dialek Tocharia, dimana terdapat lebih dari sepuluh buah vihara yang dihuni dengan duaribu bhikkhu dari sekte agama Buddha Theravada. Penduduk disini sangat bersahabat dengan Yuan Chwang, tetapi tidak dengan pengawalnya dari Turfan. Di tempat ini ia hanya bermalam satu malam dan melanjutkan perjalanannya ke Kucha (Skt.Kuchi), mungkin merupakan kota yang terpenting di Asia Tengah di zaman itu dan sebuah kota perbatasan India yang sedikit banyak terpengaruh oleh kebudayaan Iran. Kota yang makmur dan berkebudayaan tinggi ini sangat mempesona Yuan Chwang.
Penggalian dari dinas kepurbakalaan yang dilakukan di abad ke dua puluh telah memberi peluang kepada para ilmuwan sehingga memberi gambaran yang jelas keadaan kota yang pernah dikunjungi oleh Yuan Chwang. Tetapi Kucha hanya merupakan sebuah oase di gurun Gobi, dikelilingi oleh suku Turko Mongol yang penuh iri hati, sehingga kaum bangsawan terpaksa menjadi tentara dan siap untuk berperang. Tahta dari kerajaan Kucha diduduki oleh penguasa dari suku Tocharia yang bernama Suvarnadeva, anak dan ahliwaris dari Suvarna-puspa. Di kerajaannya terdapat 5.000 orang bhikkhu yang diberi perlindungan seksama. Ia mempunyai hubungan diplomatic dengan Kaisar T’ang.
Di Kucha, Yuang Chwang terlibat dalam perdebatan seru antara bhikkhu dari aliran Theravada yang tidak dapat menyetujui Yoga-sastra yang menjadi sastra favorit dari Yuan Chwang. Tetapi perbedaan pendapat itu tidak menjurus menjadi permusuhan dan hubungan bersahabat terpelihara dengan baik dengan seorang petapa tua bernama Moksagupta, selama Yuan Chwang terpaksa harus berdiam dua bulan lebih di Kucha karena keadaan iklim buruk. Ketika ia berangkat, raja membekalinya dengan budak-budak, onta, kuda dan satu kalifah lengkap; sedangkan raja bersama-sama dengan para bhikkhu dan umat mengantarnya sampai ke perbatasan kota.
Dua hari setelah meningglakan Kucha ia bertemu dengan sekelompok penyamun dan juga harus menhadapi rintangan dari gletser (es sunagi) di lereng yang curam dari pegunungan T’ien-Shan. Ia berjalan masuk kedaerah Issiq-kul (telaga panas) dimana Khan Agugng dari Turkestan Barat sedang berkemah. Ketika itu permulaan tahun 630 Masehi. Khan ini tidak terlalu asing terhadap kebudayaan dan ajaran Sang Buddha, karena lima puluh tahun sebelumnya para leluhurnya pernah diberi bimbingan mengenai agama Buddha oleh seorang bhikkhu dari Gandara yang bernama Jinagupta. Khan telah menegakkan kekuasaannya hingga Gandhara. Ia menyambut Yuan Chwang dengan penuh rasa hormat dan mengundangnya untuk menghadiri pesta makan dengan utusan dari Cina dan duta dari Raja Turfan. Di pesta ini kepada Yuan Chwang disuguhkan “makanan bersuh” yang terdiri dari kue beras, cream, susu, gula batu,madu dan kismis. Pada akhir pesta ia memberi uraian tentang ajaran Sang Buddha dan Khan membuat pernyataan bahwa beliau menerima baik ajaran Sang Buddha dan bersedia untuk menjadi pemeluk yang baik. Setelah usahanya gagal untuk meminta agar Yuan Chwang berdiam saja dengannya, ia lalu memberikan Yuan Chwang perlindungan resmi dalam perjalannya ke India sehingga memudahkan Yuan Chwang untuk melalui jalan kecil di pegunungan Pamir dan Bactria dengan selamat.
Samarkand (Marakanda) di abad ke 7 sudah menjadi kota kuno yang merupakan ibukota dari Sogdiana dan menjadi tempat persinggahan dari karavan dalam perjalanan ke India dan Cina pulang pergi dan kaya dengan barang dagangan yang aneh-aneh dan berharga. Kepercayaan yang dianut penduduk adalah Zoroaster dan ajaran Sang Buddha, dan kunjungan sang guru banyak membantu untuk meningkatkan status dari agama Buddha di kerajaan Turko Iran itu. Ia mengadakan pertemuan-pertemuan, mentahbiskan beberapa orang bhikkhu dari memperbaiki vihara-vihara tua untuk kembali dipakai sebagai tempat persembahyangan. Dari Samarkand sang musafir berjalan ke arah Selatan melalui perjalanan di lereng-lereng gunung yang sulit dan tiba di “Pagar Besi” yaitu perbatasan Selatan dari kerajaan Turkestan Barat.
Di Selatan “Pagar Besi” Yuan Chwang melewati Oxus dan tiba di Bactria yang ketika itu diperintah oleh Tardu Shad, anak dari Khan Agung dari Turkestan dan ipar dari Raja Turfan yang menjadi pemeluk agama Buddha yang saleh. Bactria mungkin mengenal agama Buddha sejak lama, yaitu melalui dhammaduta-dhammaduta yang dulu dikirim oleh Raja Asoka. Ketika Yuan Chwang tiba, Putri Turfan meninggal dunia. Tardu Shad lalu mengambil seorang istri baru, tetapi istri baru ini lebih mencintai anak tirinya dari pada suaminya. Akibatnya ia memberi raja racun dan mengangkat anak tirinya menjadi raja. Raja baru ini bersikap bersahabat kepada Yuan Chwang dan membujuknya untuk mengunjungi Balkh dan Bactria yang masih memiliki banyak vihara meskipun sebelumnya dirusak hebat oleh suku Hun di abad ke 5 dan ke 6. Di Vihara-vihara tersebut berdiam bhikkhu-bhikku dari aliran Theravada, tetapi sang guru dapat bergaul dengan mereka dan memperoleh banyak faedah, yaitu mengadakan diskusi dengan seorang dokter bernama Prajnakara.
Setelah itu Yuan Chwang melanjutkan perjalanan yang dengan susah payah melintasi pegunungan Hindu Kush dan tiba di Bamiyan, satu tempat persinggahkan penting di perjalanan dari Asia Tengah menuju India. Para ahli purbakala merasa terkejut tentang ketelitian Yuan Chwang menggambarkan tempat tersebut. Ia menulis : “Di sebelah utara, kota itu menyandar kepada batu gunung yang curam. Negara ini menghasilkan gandum, tetapi hanya sedikit bunga-bungaan dan buah-buahan. Sangat cocok untun mengusahakan peternakan sedangkan ternak kambing dan kuda ditemukan dalam jumlah yang melimpah. Iklim sangat dingin sedangkan adat istiadatnya kasar. Pakaiannya terdiri dari bahan yang terbuat dari bulu binatang dan wol kasar yang memang menjadi hasil penting dari negara itu.
Di sana terdapat sepuluh buah vihara yang dihuni oleh beberapa ribu orang bhikkhu. Yuan Chwang juga menyebut tentang gua-gua yang terkenal dan tentang dua buah patung Buddha yang kolosal yang tingginya kira-kira 170 dan 115 kaki. Namun tidak menyebut tentang ukiran dinding yang zaman sekarang banyak menarik perhatian. Lapisan berkilat yang dapat dilihat di salah satu patung tersebut membuat ia menduga bahan patung tersebut terbuat dari perunggu.
Ia meninggalkan Bamiyan dan menuju ke Kapisa melalui jalan di lereng gunung Shibar (8.000 kaki). Di tempat ini ia diserang oleh angin topan sehingga tersesat. Untung ia dapat kembali ke jalan yang benar setelah mendapat bantuan dari para pemburu binatang setempat. Kapisa (sekarang desa Begram) berada di sebelah Utara Kabul dan menguasai jalan-jalan kecil utama di pegunungan Hindu Kush, sehingga dengan demikian juga menguasai perjalanan perdagangan besar antara India dan Bactria. Di tempat ini dapat diketemukan berbagai macam barang dagangan dalam jumlah yang melimpah.
Raja Kapisa adalah seorang penganut agama Buddha Mahayana yang saleh. Tetapi untuk menyenangkan hati Prajnakara, kawan seperjalanannya dari Balkh, Yuan Chwang menginap di vihara yang diurus oleh Bhikkhu Theravada, tetapi atas permohonan raja Yuan Chwang juga melakukan diskusi dalam pertemuan-pertemuan dengan sekte-sekte lain yang berlangsung selama lima hari. Setelah melewati musim panas di tempat itu (630 Masehi) Yuan Chwang mengambil jalan kembali ke arah Timur dan tiba di Jalalabad, kota kuno Nagarahara, melalui Lampaka. Di tempat ini ia menampakkan kakinya di bumi India yang sebenarnya dan ia juga melihat perbedaan yang sangat mencolok dari daerah pegunungan yang barusaja ia lewati dengan penduduknya yang kekar dan kuat dengan daerah lembah yang panas dan penduduknya yang lebih kurus dan kurang bersemangat.
Di Lampaka tanahnya sangat cocok untuk menanam padi dan tebu. Iklimnya sejuk, sewaktu-waktu terdapat embun beku tetapi tidak pernah turun salju. Penduduknya hidup santai dan bahagia dan menyukai nyanyi-nyanyian. Mereka agak kewanita-wanitaandan bersifat tertutup. Mereka berbadan pendek dan jalannya lincah seperti terburu-buru. Mereka kebanyakan mengenakan jubah dari katun putih dan senang menghiasinya dengan ornamen-ornamen yang berwarna terang.
Daerah ini dulu pernah diperintahkan oleh raja keturunan Yunani yang beragama Buddha yang sangat kaya dengan tradisi seni, namun yang terluhat ketika itu hanya reruntuhan dari vihara-vihara dan benda-benda seni yang telah dirusak hebat oleh suku Hun. Penyerbuan kaum Muslim duapuluh tahun kemudian merupakan pukulan lain yang mematikan. Dari tempat ini Sang guru memulai perjalan darmawisata yang penuh resiko melalui daerah penuh penyamun untuk mengunjungi sebuah gua, di mana Sang Buddha menaklukkan Naga Gopala dan kemudian meninggalkan bayangan dirinya. Yuan Chwang memberikan gambaran yang mendebarkan hatinya tentang cara ia menghadapi para penyamun dan tentang mukjizat yang ia alami ketika berada di gua, satu kejadian yang luar biasa tentang keberanian, ketekunan dan keyakinan yang kuat.
Dari Lampaka sanh musafir memasuki Gandhara melalui Khyber Pass Negeri ini merupakan tanah suci kedua dari agama Buddha di mana kesenian berkembang dengan subur selama hampir enam abad terus menerus bawah pengaruh kuat peradaban Yunani dan Roma. Peshawar, Ibukota dari Kaniska, menjadi tempat kelahiran dari Asanga dan Vasubhandhu, dua orang penulis terkenal mengenai idealisme yang berlatar belakang mistik (mystical idealism) yang sangat disenangi Yuan Chwang. Tetapi ketika tiba di Peshawar, tempat ini juga tempat-tempat lain menderita hebat oleh ulah suku Hun. Dengan sedih hati ia menulis : “Kaum bangsawan telah dimusnahkandan negara telah digabungkan dengan kerajaan Kapisa. Kota-kota dan desa-desa hampir semuanya kosong dan ditingglkan oleh penduduknya; hanya beberapa orang penduduk saja yang terlihat di negeri itu. Satu bagian dari Peshawar dulu pernah dihuni oleh sekitar seribu keluarga. Di sana terdapat banyak vihara Buddha yang sudah menjadi reruntuhan dan tidak berpenghuni lagi. Gundukan tanah itu dipenuhi dengan rumput dan semak belukar sehingga menimbulkan gambaran yang sangat menyedihkan. Sebagian besar stupa juga sudah merupakan reruntuhan”.
Meskipun demikian san musafir masih memerlukan waktu untuk mengunjungi tempat-tempat itu yang sekarang sudah menjadi tanah kosong. Ia meninggalkan jalan utama ke India untuk mengadakan perjalanan darmawisata ke arah Utara masuk ke daerah pegunungan dari Udyana (atau Uddiyana), yang ternyata menderita lebih hebat lagi dari penyerbuan suku Hun. Dulu di tempat itu terdapat 1.400 buah vihara dan18.000 0rang bhikkhu. Meskipun begitu penduduk daerah itu masih tetap beragama Buddha dan terbagi dalam aliran Theravada dan Mahayana yang lebih condong ke arah Tantrayana.
Meninggalkan Uddiyana dan Gandhara san guru melintasi sungai Indus di Udabhanda (Udakakhanda, di Utara Attock) dan mengujungi Taksasila. Di tempat inipun banyak terdapat reruntuhan dari vihara yang telah dimusnahkan oleh suku Hun. Dari tempat ini ia mengunjungi Kashmir di mana agama Buddha masih dapat bertahan. Di sini masih terdapat seratus buah vihara yang dihuni oleh lima-ribu bhikkhu dan negara masih menhhargai kena-kenangan kepada Raja Asoka dan Kaniska.
Raja Kashmir menyambut tamunya dengan penuh hormat di ibukota Pravapura (Srinagar). Yuan Chwang telah bertemu dengan seorang dokter Mahayana yang sudah berusia tujuhpuluh tahun. Dari beliau inilah Yuan Chwang berhasil menerima secara murni tradisi filsafat Buddha yang dipraktikkan oleh kelompok idealis (idealist school of Buddhist philosophy).
Ia bermukim dua tahun di Kashmir, yaitu dari bulan mei 631 sampai April 633 Masehi untuk mempelajari filasafat agama Buddha dan untuk membuat salinan sutra dan sastra yang kelak akan dibawanya kembali ke Cina.
Setelah meninggalkan Kashmir ia tiba di kota Sakala (Sialkot), dulu tempat tinggal dari raja Menander ( Milinda) dan di kemudian hari menjadi tempat tinggal dari dictator suku Hun yang bernama Mahirakula.
Dalam perjalanan ke Cinabhukti di tepi kiri Sungai Beas ia bertemu dengan seorang brahmana tua yang mempunyai pengetahuan mendalam mengenai ajaran Sang Buddha (Madhyamika). Di tempat ini ia berdiam selama satu bulan. Ia bermukim lebih dari satu tahun di Cinabhukti dan kemudian pergi ke Jalandhara waktu musim hujan tahun 634 Masehi.
Ia melanjutkan perjalanan ke Mathura, yang terkenal karena tradisi Hindu dan kesenian Buddhis. Di duga bahwa ia melihat dan mengagumi patung Buddha dalam posisi berdiri yang sangat terkenal, suatu karya besar dari kesenian Gupta (sekarang terdapat di National Museum, New Delhi). Dari Mathura ia berlayar di sungai Yamuna ke arah hulu ke Sthanesvara di Kurusetra. Para ilmuwan setuju bahwa apa yang ia katakana tentang Kurusetra merupakan bukti bahwa ia dapat menghayati perang Mahabharata dan intisari dari Bhagavadgita.
Berjalan ke arah Timur ia tiba di sungai bagian atas dan di sini ia melihat agama Hindu berkembang pesat dan kemunduran dari agama Buddha. Ia mengunjungi Kapitha ( dulu Sankasya) dan seperti juga Fa Hien ia menyaksikan keajaiban-keajaiban yang dihubungkan dengan tempat itu. Meskipun ia berdiam beberapa bulan di Kanyakubja, yang dijadikan ibukota politik di bagian Utara, ia tidak bertemu dengan Raja Harsa sebab raja sedang berada di wilayah timur. Harsa di kemudian hari menjadi kawan akrabnya dan menyokongnya yang kuat. Mengenai Harsa ia memberi catatan dengan kata-kata penuh kekaguman : “ Pemerintahannya adil dan manusiawi. Ia bahkan sampai lupa makan dan minum dalam melaksanakan perbuatan yang mulia”.
Setelah mengunjungi Ayodhya ia pergi ke Prayag dan kemudian melanjutkan perjalanannya ke Kausambi. Di tempat ini ia diperlihatkan tempat-tempat yang dulu di kunjungi oleh Sang Buddha. Ia juga membaca tulisan dari Vasubandhu dan tentang riwayat hidup dari Asanga. Di sini pun ia melihat bahwa penduduk yang menganut agama Brahmanisme merupakan mayoritas.
Dari tempat ini Yuan Chwang berketetapan hati untuk mengunjungi tempat kelahiran Sang Buddha dan ia mengambil jalan yang menuju ke Utara. Ia tiba di Sravati (dusun kecil dari Sabet-Mahet) di pantai sebelah kanan dari sungai Rapti yang tidak berpenghuni namun penuh dengan tempat-tempat suci dan kenang-kenangan yang indah. Setelah itu ia mengunjungi Kapilavastu, ibukota kerajaan Sakya dan kemudian Taman Lumbini, tempat kelahiran Pangeran Sidharta ( Buddha Gautama). Kemudian ia mengunjungi Ramagrama dan terakhir Kusinagara (Kasia, di tepi kanan dari Gandak tengah) dimana Sang Buddha parinibbana. Semua tempat-tempat ini dengan sangat memuaskan dapat dikenali kembali oleh para ahli pirbakala, dan ini memberi arti yang meyakinkan tentang cerita darisang musafir mengenai apa yang dilihat dan di dengar. Dari tempat ini Yuan Chwang mengambil jalan melalui hutan unutk tiba di Benares, satu tempat suci bagi agama Hindu dan agama Buddha.
Cerita Yuan Chwang mengenai Benares secara aneh sama dengan apa yang kita ketahui sekarang ini. “ Sebagian besar penduduk memuja Siva. Ada yang memotong rambutnya, ada juga yang menggulung rambutnya di bagian atas kepalanya. Ada yang telanjang bulat, ada juga yang melaburi tubuhnya dengan abu, atau mempraktikkan penyiksaan diri agar dapat terbebas dari samsara…” Ia menyebut tentang adanya sebuah patung Siva yang besar dan megah. Ia juga melihat di Sarnath patung Sang Buddha dalam posisi duduk sedang memutar roda Dhamma, satu wujud murni dari cita-cita Gupta dalam bidang kesenian. Kota penuh dengan legenda-legenda yang penuh perasaan dan mengagumkan. Dari Benares sang Musafir melanjutkan perjalanan kearah Utara dan tiba di Vaisali (Besarh), kota yang terkenal karena seorang pelacur bernama Ambapali mempersembahkan kebun mangganya kepada Sang Buddha. Dan di Vaisali juga diselenggarakan Sangha Samaya Kedua seratus tahun setelah Sang Buddha mangkat.
Magadha di sebelah selatan Bihar merupakan daerah suci yang sejati bagi umat Buddha, tempat yang penting bagi para peziarah. Ibu kotanya, Pataliputta, pusat dari dua kerajaan besar di zaman lalu, sekarang tinggal reruntuhan, dan para peziarah dapat melihat reruntuhan dari istana-istana dan vihara-vihara. Hanya dua atau tiga vihara yang masih berdiri. Ia menulis dengan penuh emosi perjalanannya dari Pataliputta ke Bodh Gaya, tempat di mana San Buddha memperoleh Penerangan Agung dan dimana hampir tiap inci tanah menjadi saksi dari peristiwa-peristiwa suci yang terjadi di tempat itu. Yuan Chwang bukan saja seorang ahli filsafat yang terpelajar dalam bidang agama Buddha, tetapi juga memiliki perasaan bakti yang kuat sebagaimana terbukti dari cerita mengenai kunjungannya ke tempat-tempat suci di atas.
Du sebelah Timur Utara Bodh Gaya terdapat sebuah universitas yang bersifat international, yang pada zaman itu termasuk salah satu yang terbesar. Yuan Chwang memberikan gambaran terperinci tentang lembaga, yang banyak mendapat bantuan dari para raja dan kaum bangsawan selama beberapa generasi terus menerus. Hal ini dengan jelas terungkap ketika di zaman sekarang para ahli purbakala melakukan penggalian di tempat tersebut. Telah diketemukan satu deretan dari sepuluh vihara besar yang dibangun dengan memakai batu bata model India. Vihara-vihara tersebut dihuni oleh sepuluh ribu orang bhiksu dari aliran Mahayana. Selain ajaran Sang Buddha mereka juga dengan tekun mempelajari pengetahuan tentang Veda, ilmu pengobatan, matematika, ilmu pengetahuan tentang occultisme dan beberapa ilmu pengetahuan lainnya.
Yang menjadi kepala dari lembaga raksasa ini bernama Silabhadra, seorang bjiksu tua yang sangat dihormati dan dianggap menjadi murid langsung dari Asanga dan Vasubandhu. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Silabhadra telah menghimpun dalam dirinya hasil pemikiran dari para ahli agama/filsafat India selama tujuh abad. Sebelum Yuan Chwang tiba ia sudah mendapat impian bahwa seorang ahli agama Buddha dari Cina akan mengunjunginya. Dengan demikian ia sudah siap menerima kedatangan Yuan Chwang yang kemudian selama lima belas bulan belajar mengenai ajaran Yogacara. Hasil belajarnya kemudian di buat buku yang diberi judul Siddhi.
Yuan Chwang juga mempelajari filsafat Brahmanaisme dan menyempurnakan pengetahuan mengenai bahasa Sansekerta. Dalam kurun waktu belajar ini Yuan Chwang masih menyempatkan diri untuk mengunjungi Rajagraha, satu tempat yang jaman dulu sangat terkenal, karena di tempat itulah diadakan Sangha Samaya Pertama segera setelah Sang Buddha parinibbana. Setelah meninggalkan segera Nalanda di tahun 638, Yuan Chwang singgah di Benggal dan Campa dan akhirnya tiba di Tamralipti dengan maksud berlayar ke Srilangka untuk mempelajari agama Buddha Theravada.
Tamralipti di zaman itu merupakan pusat perniagaan yang besar dan san musafir bertemu dengan banyak awak kapal dan pedagang yang dating dari negara-negara Timur. Ia selanjutnya memberi uraian singkat namun jelas tentang kerajaan-kerajaan Hindu di Indo-Cina. Beberapa orang bhikkhu dari selatan, sehingga tidak perlu untuk melakukan perjalanan jauh melalui laut yang penuh resiko. Ia menerima baik nasihat tersebut dan ia melanjutkan perjalanan darat ke Selatan dan tiba di Kancipuram setelah melalui Orissa, Mahakosala, tempat kelahiran Nagarjuna dan Arya Deva, dan juga negara-negara Kipling Mowgli, Andhara dan Telugu Goda.
Pengamatnya tentang penghidupan penduduk serta polotik yang dianutnya sangat berharga untuk diketahui. Ia mungkin melewati musim hujan tahun 630 Masehi. Di tempat ini ia mendapat kabar bahwa Srilangka sedang berada dalam keadaan kacau dan di sana sedang berlangsung perang saudara hebat. Karena itu ia mengurungkan niatnya untuk mengunjungi pulau tersebut.
Ia kembali ke Utara dan bertemu dengan Raja Pulakesin II, raja agung dari Badami Caluka, di Nasik (641 M) dan meneruskan perjalanannya ke Bharukaccha (Bharocch) dan Valabhi. Di tempat ini ia banyak mendengar mengenai Iran pada malam hari terjadinya serangan besar kaum Islam dan gambaran yang ia memberikan mengenai kekaisaran Sassanid sebelum ditumbangkan mempunyai arti yang sangat penting bagi para ahli sejarah.
Setelah mengunjungi Sindh dan Multan di Barat, Yuan Chwang kembali berjalan ke arah Timur dan untuk kedua kalinya ia mengunjungi Nalanda dan daerah sekelilingnya di mana bermukim banyak ahli-ahli agama Buddha Mahayana seperti Jayasena. Setelah selesai berkunjung ke tempat-tempat suci, sang guru lalu sepenuhnya memusatkan pikirannya kepada studinya. Ia mempunyai perhatian besar tentang berbagai macam ilmu sehingga memiliki pengetahuan yang sangat luas. Ia sering mengambil bagian dalam diskusi mengenai filosofi dan dengan senang hati membahas kekurangan-kekurangan yang terdapat dalam berbagai aliran keagamaan dan kepercayaan. Namun pikirannya dipenuhi dengan hasrat yang besar untuk kembali ke Cina dan mempersembahkan pengetahuan yang dimiliki tentang ajaran Sang Buddha yang benar kepada penduduk di sana, sehingga ia menampik tawaran dari para bhiksu di Nalanda untuk jangan meninggalkan mereka.
Raja-raja di India juga mendengar tentang keahlian luar biasa yang dimiliki Yuan Chwang sehingga Bhakaravarman, Raja Assam (Kamrup) mengundangnya untuk dating ke Istana. Ia memenuhi undangan raja dan kemudian membuat catatan-catatan yang berharga mengenai Assam.
Segera Raja Harsa Vardhana mengirim undangan kepada Yuan Chwang untuk mengunjungi perkemahannya di tepi sunagi Gangga. Yuan Chwang memenuhi undangan Raja Harsa dan di tahun 643 Masehi Yuan Chwang menghadiri dua upacara besar yang diadakan di Kanauj dan Prayag. Harsa mendapat kesulitan untuk melindungi ahli agama Buddha Mahayana ini dari semangat berdebat yang fanatik dari penganut agama lain, khususnya dari golongan Brahmana. Peraturan keras yang diberlakukan untuk membungkam kebebasan bicara ternyata menimbulkan kemarahan besar, sehingga nyawa dari raja sendiri dan Yuan Chwang berada dalam kedaannya bahaya (lihat pembahasan lebih terperinci di bawah judul : Harsa)
Setelah berada dua bulan dari musim hujan diwilayah Kanauj Utara, Yuan Chwang melewati Punjab dalam perjalanan ke Jalandhar dan Taksasila. Setelah menyeberangi sungai Indus di permulaan tahun 644 M di tempat yang bernama Udabhanda (Und) ia bertemu dengan raja dari Kapisa menolong Yuan Chwang untuk mendapatkan salinan baru dari buku-buku yang hilang ketika ia menyeberangi Sungai Indus.
Ia berdiam untuk sementara waktu di Nagarahara dan kemudian melintasi Hindu Kush dengan susah payah di bulan Juli 644 Masehi, meskipun dilindungi oleh Raja Kapisa dan kemudian oleh seorang pangeran Turki yang memberinya pengawalan untuk melintasi gunung Pamir. Di perjalanan ia mencatat pengaruh besar kebudayaan India di negara-negara Asia Tengah. Ia kemudian melewati Kashgar dan Yarkand dan tiba di Khotan di mana ia berdiam selama delapan bulan dari bulan September 644 Masehi.
Masa ini ia pergunakan untuk melengkapi naskah-naskah yang telah hilang dalam perjalanannya sambil menunggu izin dari pemerintah Cina untuk dapat kembalike negara yang ia tinggalkan sepuluh tahun berselang tanpa izin yang semestinya. Ia juga mencatat, bahwa tempat-tempat yang dikunjungi dengan jelas memperlihatkan perbedaan sejak zamana Fa-Hien.
Setelah beristirahat di Tunhuang untuk beberapa waktu lamanya ia tiba di Ch’ang-an di musim semi tahun 645 Masehi dan disambut dengan penuh hormat oleh para pejabat dan bhiksu dari ibu-kota. Beberapa hari kemudian ia dating menghadap dan memberi hormat kepada Kaisar T’ai-tsung di Lo-yang. Bukan saja kepergiannya yang sembunyi-sembunyi telah dimaafkan, ia juga sekarang dianggap sebagai pahlawan yang telah mempertaruhkan jiwanya guna keselamatan dan kebahagiaan orang banyak. Ia menolak ketika kepadanya ditawarkan kedudukan sebagai menteri dan menghabiskan usianya di sebuah vihara di ibu kota yang khusus dibangun untuknya. Ditempat inilah ia bersama-sama dengan sejumlah penerjemah lain telah menerjemahkan enam ratus judul buku bahasa Sansekerta ke dalam Bahasa Cina. Kaisar T’ai-Tsung mangkat di bulan Juli tahun 649 Masehi. Penggantinya juga sangat baik terhadap Yuan Chwang, tetapi Yuan Chwang sendiri makin lama makin jarang dating hidupnya diabadikan untuk menerjemah buku-buku dan untuk memberikan khotbah kepada khalakyak ramai. Ia meninggal dunia di tahun 664 Masehi.
Sumber :
PAHLAWAN DHAMMADUTA
Disusun oleh Maha Pandita Sasanacariya Sumedha Widyadharma
Diterbitkan oleh Sekolah Tinggi Sangha Dhammacakka, Jakarta
Cetakan Pertama, 1993