Nama-nama Buddhis – K
KHUJJUTTARA – Sotapatti :
Lihat cerita tentang BRAHMIN.
KOSIYA – Sotapatti :
Kosiya adalah orang kaya yang kikir, karena kikirnya, ia membuat roti dengan istrinya di bagian paling atas rumahnya, agar orang lain tidak melihat. Sang Buddha mengirim Maha Moggallana ke rumah orang kaya tersebut untuk dibawa ke Vihara Jetavana saat makan siang. Sesampai di rumah Kosiya, Yang Ariya Maha Moggallana hanya berdiri di jendela tanpa mengucapkan sepatah katapun. Orang kaya tersebut menyuruhnya pergi namun Beliau tetap diam. Akhirnya Kosiya berkata kepada istrinya, “Buatkan roti yang sangat kecil dan berikan pada bhikkhu itu.” Istrinya lalu menaruh adonan kecil kepanggangan roti, tapi yang terjadi, roti itu menjadi besar. Kemudian diulangi lagi untuk membuat roti yang kecil, begitu lagi kejadiannya dan mereka tidak berhasil membuat roti yang kecil. Akhirnya Kosiya menyuruh istrinya mendanakan satu roti dari keranjang kepada Maha Moggallana, tapi roti itu tidak dapat dikeluarkan dari keranjangnya. Kemudian Kosiya menawarkan seluruh keranjang roti kepada Maha Moggallana. Murid utama Sang Buddha kemudian menyampaikan khotbah tentang kemurahan hati dan juga menyampaikan bahwa Sang Buddha telah menunggu mereka di Vihara Jetavana. Dengan kekuatan batin luar biasa Maha Moggallana membawa Kosiya dan istrinya dengan keranjang roti, menghadap Sang Buddha. Selesai makan siang Sang Buddha menyampaikan khotbah mengenai kemurahan hati, dan Kosiya beserta istrinya mencapai tingkat kesucian Sotapatti.
Pada kejadian ini Sang Buddha membabarkan syair :
Bagaikan seekor kumbang mengumpulkan madu dari bunga-bunga tanpa merusak warna baunya; demikian pula hendaknya orang bijaksana mengembara dari desa ke desa.
( Dhammapada IV. 6 )
KANA – Sotapatti :
Kanamata adalah umat awam yang berbakti, murid Sang Buddha. Anaknya yang bernama Kana telah menikah dengan pemuda desa lain. Ketika Kana menjenguk ibunya beberapa waktu, suaminya mengirim pesan agar ia segera pulang. Tapi ibunya mencegah karena akan dibuatkan dendeng untuk suaminya. Dan ketika 4 bhikkhu berpindapatta dirumahnya, ia mendanakan sejumlah daging kepada mereka. Kanamata sebagai pengikut Sang Buddha mendanakan semua dendengnya kepada para bhikkhu yang datang kerumahnya sehingga tidak tersisa untuk Kana, dan sehingga ia tidak dapat pulang pada hari itu. Hal yang sama terjadi pada 2 hari berikutnya, ibunya juga mempersem- bahkan dendeng kepada para bhikkhu. Pada hari ketiga suaminya mengirim pesan supaya esok hari Kana pulang ke rumah, kalau tidak suaminya akan menikah lagi. Kana tetap tidak dapat pulang kerumahnya, sebab ibunya mempersembah- kan semua dendengnya kepada para bhikkhu. Peringatan suaminya jadi kenyataan, suaminya menikah lagi. Kana
menjadi tidak senang kepada para bhikkhu dan sering mencaci makinya, sehingga para bhikkhu menjauh dari rumah Kanamata. Mendengar perihal Kana, Sang Buddha pergi kerumah Kanamata. Kanamata mempersembahkan bubur nasi. Setelah menyantap persembahan itu, Sang Buddha menemui Kana dan bertanya kepadanya, “Apakah para bhikkhu menerima apa yang diberikan, atau yang tidak diberikan kepada mereka ?” Kana menjawab bahwa para bhikkhu menerima apa yang diberikan kepada mereka dan menambahkan bahwa “Mereka tidak bersalah, saya yang salah”. Jadi ia mengakui kesalahannya dan kemudian memberi hormat kepada Sang Buddha. Sang Buddha kemudian memberikan khotbah. Setelah mendengarkan khotbah itu, Kana mencapai tingkat kesucian Sotapatti.
Pada kejadian ini Sang Buddha membabarkan syair :
Bagaikan danau yang dalam, airnya jernih dan tenang demikian pula batin para orang bijaksana menjadi tentram karena mendengarkan Dhamma.
( Dhammapada VI. 7 )
KUNDALAKESI – Arahatta :
Kundalakesi adalah putri orang kaya, dia menikah dengan seorang pencuri. Dia sangat mencintai suaminya, tapi suaminya hanya tertarik dengan hartanya. Suatu hari, suaminya membujuk untuk mengambil semua permatanya dan menuntun Kundalakesi pergi ke sebuah gunung. Sesampai di gunung ia akan menjatuhkan istrinya, tapi istrinya berhati-hati dan cerdik. Kemudian dengan menghiba Kundalakesi berkata kepada suaminya bahwa ia sangat mencintainya dan mohon diijinkan untuk memberikan penghor- matan yang terakhir kalinya. Kemudian Kundalakesi mengitari suaminya dengan penuh hormat sampai 3 kali. Pada kali terakhir ketika ia berada di belakang suaminya, dengan penuh kekuatannya ia mendorong suaminya ke jurang, dan jatuh ke tebing batu yang terjal. Setelah kejadian itu ia tidak ingin kembali lagi ke rumah, dan pergi tanpa tahu kemana ia akan pergi. Tanpa sengaja ia sampai di tempat para pertapa pengembara wanita, dan menjadi muridnya, dengan ajaran seribu problem pandangan menyesatkan. Dengan singkat ia dapat menguasai apa yang diajarkan gurunya, dan gurunya berkata, agar ia berkelana dan menemukan seseorang yang dapat menjawab semua pertanyaannya, dan jadikanlah orang itu gurunya. Kundalakesi berkelana keseluruh Jambudipa, menantang semua orang untuk berdebat, dan oleh karena itu ia dikenal sebagai Jambuka Paribbajika. Suatu hari ia tiba di Savatthi, ia membuat gundukan pasir dan menancapkan sebatang ranting eugenia diatasnya. Suatu tanda untuk mengundang orang lain dan menerima tantangannya. Dan Sariputta Thera menerima tantangannya. Kundalakesi menanyakan seribu pertanyaan kepada Sariputta Thera dan beliau berhasil menjawabnya. Dan ketika Sariputta Thera menanyakan satu pertanyaan “Apa yang satu itu ? (Ekam nama kim).” Kundalakesi lama terdiam tidak dapat menjawabnya. Kemudian ia berkata kepada Sariputta Thera untuk mengajarinya agar dapat menjawab pertanyaannya. Sariputta Thera memberitahu bahwa ia harus terlebih dahulu menjadi seorang bhikkhuni. Kundalakesi kemudian menjadi seorang bhikkhuni dengan nama Bhikkhuni Kundalakesi. Dengan tekun ia mempraktikkan apa yang diucapkan oleh Sariputta, dan hanya dalam beberapa hari kemudian, ia menjadi seorang Arahat.
Pada kejadian ini Sang Buddha membabarkan syair :
Daripada seribu bait syair yang tak bermanfaat, adalah lebih baik satu kata Dhamma yang dapat memberi kedamaian kepada pendengarnya.
Walaupun seseorang dapat menaklukkan ribuan musuh dalam ribuan kali pertempuran, namun sesungguhnya penakluk terbesar adalah orang yang dapat menaklukkan dirinya sendiri.
( Dhammapada VIII. 3-4 )
KHANU-KONDANNA – Arahatta :
Setelah menerima pelajaran objek meditasi dari Sang Buddha, Kondana pergi ke hutan untuk mempraktekkan meditasi, dan disana Kondana mencapai tingkat kesucian Arahat. Dalam perjalanan pulang Kondana sangat lelah, kemudian ia duduk diatas lempengan batu besar dan mengkonsentrasikan pikiran dalam Jhana. Saat itu 500 perampok setelah merampok, menaruh hasil rampokannya ke tubuh Kondana, karena iamengira Beliau adalah tunggul pohon. Ketika hari mulai siang mereka mulai menyadari bahwa ia menaruh barang pada makhluk hidup, dan ia mengira itu adalah raksasa sehingga mereka lari ketakutan. Kondana berkata kepada mereka bahwa ia bukan raksasa tapi seorang bhikkhu. Kemudian para perampok itu mohon maaf atas perbuatannya dan mohon agar Kondana berkenan menerimanya dalam pasamuan bhikkhu. Sejak saat itu Kondana dikenal dengan nama “Khanu Kondana” (Kondana tunggul pohon).
Pada kejadian ini Sang Buddha membabarkan syair :
Walaupun seseorang hidup seratus tahun, tetapi tidak bijaksana dan tidak terkendali, sesungguhnya lebih baik adalah kehidupan sehari dari orang yang bijaksana dan tekun bersamadhi.
( Dhammapada VIII. 12)
KISAGOTAMI – Arahatta :
Putri seorang kaya dari Savatti, karena mempunyai tubuh yang langsing ia dikenal sebagai Kisagotami. Setelah Kisagotami menikah, ia dikaruniai seorang anak laki-laki. Ketika anak laki-lakinya baru belajar berjalan , ia meninggal dunia. Kisagotami sangat sedih. Dengan membawa mayat anaknya, ia pergi mencari obat yang bisa menyembuhkan anaknya dan orang-orang menganggapnya gila. Orang bijaksana memberitahukan bahwa ada seorang yang harus kamu datangiyaitu Sang Buddha. Kisagotami kemudian menemui Sang Buddha dan menceritakan apa maksud kedatangannya. Sang Buddha berkata kepadanya untuk mencari segenggam biji lada, dari rumah keluarga yang belum pernah terdapat kematian. Kisagotami pergi dengan membawa anaknya untuk mencari segenggam lada, tapi dia tidak menemukannya. Ia lalu menyadari akan hal tersebut, bahwa tidak ada sebuah rumahpun dimana kematian belum pernah terjadi, dan ia tidak lagi melekat kepada anaknya. Ia meninggalkan anaknya di hutan dan kembali kepada Sang Buddha. Sang Buddha berkata, “Gotami, kamu berpikir bahwa hanya kamu yang kehilangan seorang anak, sekarang kamu menyadari bahwa kematian terjadi pada semua makhluk. Sebelum keinginan mereka terpuaskan, kematian telah menjemputnya.” Kisagotami benar-benar menyadari ketidak kekalan, ketidak puasan, dan tanpa inti dari kelompok kehidupan dan mencapai tingkat kesucian Sotapatti. Kemudian Kisagotami menjadi seorang bhikkhuni. Suatu hari ia menyalakan lampu lampu, api yang menyala kemudian mati. Tiba-tiba ia mengerti dengan jelas timbul dan tenggelamnya kehidupan makhluk. Sang Buddha berkata kepada Kisagotami untuk meneruskan meditasi dengan objek ketidak kekalan dari kehidupan makhluk dan berjuang keras untuk merealisasi nibbana.
Pada kejadian ini Sang Buddha membabarkan syair :
Walaupun seseorang hidup seratus tahun, tetapi tidak dapat melihat ‘keadaan tanpa kematian’ (nibbana), sesungguhnya lebih baik kehidupan sehari dari orang yang dapat melihat ‘keadaan tanpa kematian’.
( Dhammapada VIII. 15 )
Kisagotami mencapai tingkat kesucian Arahat setelah khotbah Dhamma berakhir.
Cerita dari KISAGOTAMI yang lain – Sotapatti :
Kisagotami menghadap Buddha karena ia dilanda kesedihan yang mendalam akibat kematian anak tunggalnya. Sang Buddha berkata kepadanya bahwa bukan hanya dia yang kehilangan anak. Kematian menimpa semua mahluk sebelum keinginan mereka terpenuhi, kematian telah menjemputnya. Pada kejadian ini Sang Buddha membabarkan syair :
Orang yang pikirannya melekat pada anak-anak dan ternak peliharaannya, maka kematian akan menyeret dan menghanyutkannya, seperti banjir besar menghanyutkan sebuah desa yang tertidur.
( Dhammapada XX. 15 )
Kisagotami mencapai tingkat kesucian Sotapatti setelah khotbah Dhamma itu berakhir.
KUKKUTAMITTA – Sotapatti :
Seorang puteri orang kaya yang telah mencapai tingkat kesucian Sotapatti jatuh hati kepada seorang pemburu yang bernama Kukkutamitta. Kemudian keduanya menikah dan mempunyai tujuh orang anak laki-laki. Dan setelah tiba waktunya semua anak mereka menikah. Suatu pagi Sang Buddha pergi ke tempat dimana pemburu telah menyusun perangkap buruannya di dalam hutan. Sang Buddha meletakkan jejak kakiNya di dekat perangkap, lalu duduk dibawah semak-semak yang rindang. Ketika pemburu datang ia tidak melihat ada binatang di perangkapnya. Sebaliknya dia melihat jejak kaki orang, dan dia menduga orang tersebut telah melepaskan buruannya. Ketika ia melihat Sang Buddha, dengan marah pemburu mengeluarkan busur dan anak panahnya untuk memanah Sang Buddha. Tetapi sewaktu ia menarik anak panahnya, ia tidak dapat bergerak. Anak-anak pemburu itu menyusul dan ketika melihat ayahnya diam seperti patung dan kemudian melihat Sang Buddha maka mengira bahwa Beliau adalah musuh ayah mereka, kemudian mereka mengambil busur panah dan mebidik kepada Sang Buddha, tetapi mereka menajdi tidak bisa bergerak juga. Karena mereka semua tidak kembali maka istrinya menyusul kedalam hutan bersama ketujuh menantunya. Melihat suami dan anak-anaknya dengan panah mereka membidik ke arah Sang Buddha, maka dia berteriak, “Jangan membunuh ayahku” “Singkirkan busur dan anak-anak panah kalian, dan beri hormat kepda ayah saya” Sang Buddha menyadari bahwa pada waktu itu pikiran pemburu dan ketujuh anaknya melembut dan mereka tergerak menyingkirkan busur-busur dan anak-anak panah mereka, kemudian memberikan penghormatan kepada Sang Buddha dan Sang Buddha memberikan ajaran Dhamma kepada mereka. Akhirnya pemburu,. ketujuh anak-anaknya dan menantunya mencapai kesucian tingkat Sotapatti.
Pada kejadian ini Sang Buddha membabarkan syair :
Apabila seseorang tidak mempunyai luka di tangan, maka ia dapat menggenggam racun. Racun tidak akan mencelakakan orang yang tidak luka. Tiada penderitaan bagi orang yang tidak berbuat jahat.
( Dhammapada IX, 9 )
KUMARAKASSAPA -Arahatta :
Seorang wanita sedang mengandung ketika ia belum menjadi bhikkhuni, tetapi pada saat itu ia tidak takut akan akibatnya. Setelah beberapa lama melatih diri sebagai bhikkhuni, wanita itu melahirkan seorang putera. Anak tersebut diadopsi oleh Raja Pasenadi dan diberi nama Kumarakassapa. Pada saat anak tersebut berusia tujuh tahun, ia mengetahui bahwa ibunya adalah seorang bhikkhuni,
kemudian ia menjadi seorang samanera dibawah bimbingan Sang Buddha. Setelah dewasa ia diterima dalam pasamuan bhikkhu. Sebagai bhikkhu ia mendapat pelajaran meditasi dari Sang Buddha dan pergi ke hutan. Ia melatih meditasi dengan tekun dan sungguh-sungguh maka dalam waktu singkat mencapai tingkat kesucian Arahat. Ia melanjutkan hidup di hutan selama lebih dari 12 tahun, dan selama itu ibunya tidak pernah bertemu dengannya, padahal ibunya sangat rindu kepadanya. Suatu hari ia melihat naknya, dengan penuh emosi dia berlari, menangis dan memanggil-manggil anaknya. Melihat ibunya dan demi masa depan ibunya agar dapat merealisasi Nibbana, ia berbicara keras kepada ibunya. Melihat anaknya yang berbicara keras, mendadak kerinduan kepda anaknya hilang. Kemelekatan yang sia-sia terhadap anaknya mulai jelas baginya. Ia memutuskan untuk memotong kemelekatan pada anaknya dan seluruh kemelekatan. Dan pada hari itu juga ibu Kumarakassapa mencapai tingkat kesucian Arahat.
Pada kejadian ini Sang Buddha membabarkan syair :
Diri sendiri sesungguhnya adalah pelindung bagi diri sendiri. Karena siapa pula yang dapat menjadi pelindung bagi dirinya? Setelah dapat mengendalikan dirinya sendiri dengan baik, ia akan memperoleh perlindungan yang sungguh amat sukar dicari.
( Dhammapada XII, 4 )
KALA – Sotapatti :
Kala adalah putra Anathapindika, dia selalu menghindar ketika Sang Buddha dan para bhikkhu datang kerumahnya. Anathapindika membujuk putranya agar berkenan pergi dan berdiam di vihara selama sehari pada hari Uposatha dan menjajikan sejumlah uang. Putranya pergi ke vihara dan kembali keesokan harinya langsung menuntut untuk diberi uang. Pada hari berikutnya, sang ayah berkata agar anaknya mempelajari sebait syair dari Sang Buddha dan menjanjikan sejumlah uang yang lebih banyak lagi. Kemudian Kala berangkat ke vihara dan mengatakan kepada Sang Buddha bahwa ia ingin mempelajari sesuatu. Sang Buddha memberikan satu syair dan harus diulang beberapa kali. Karena harus mengulang beberapa kali, pada akhirnya ia mengerti penuh tentang Dhamma dan mencapai tingkat kesucian Sotapatti. Suatu hari Anathapindika memberikan dana makanan kepada Sang Buddha, para bhikkhu dan Kala. Kemudian ia membawa sejumlah besar uang, dan menyuruh Kala untuk mengambil uang tersebut. Kala menolak dan tetap menolak ketika ayahnya memaksanya. Sang Buddha berkata:, “Anathapindika! Hari ini, putramu telah mencapai tingkat kesucian Sotapatti, yang lebih baik daripada kekayaan duniawi atau alam para dewa maupun alam para brahma.”
Pada kejadian ini Sang Buddha membabarkan syair :
Ada yang lebih baik daripada kekuasaan mutlak atas bumi, daripada pergi ke surga, atau daripada memerintah seluruh dunia, yakni hasil kemuliaan dari seorang suci yang telah memenangkan arus ( Sotapatti – phala).
( Dhammapada XIII, 12 )
KHEMAKA – Sotapatti :
Khemaka selain kaya juga sangat tampan. Banyak wanita yang sangat tertarik dan tidak dapat menolak keinginan nafsu seksualnya, sehingga mereka menjadi korban pelecehan seksual. Khemaka melakukan perjinahan tanpa penyesalan. Raja Pasenadi tidak dapat berbuat apa-apa, walaupun Khemaka ditangkap, karena dia adalah keponakan Anathapindika. Maka Anathapindika sendiri membawa Khemaka menghadap Sang Buddha. Sang Buddha berbicara kepada Khemaka tentang keburukan perbuatan asusila.
Pada kejadian ini Sang Buddha membabarkan syair :
Orang yang lengah dan berzina akan menerima empat ganjaran, yaitu : pertama, ia akan menerima akibat buruk; kedua, ia tidak dapat tidur dengan tenang; ketiga, namanya tercela; dan keempat, ia akan masuk ke alam neraka.
Ia akan menerima akibat buruk dan kelahiran rendah pada kehidupannya yang akan datang. Sungguh singkat kenikmatan yang diperoleh lelaki dan wanita yang ketakutan, dan rajapun akan menjatuhkan hukuman berat. Karena itu, janganlah seseorang berzina dengan istri orang lain.
( Dhammapada XXII, 4 -5 )
Khemaka mencapai kesucian tingkat Sotapatti setelah khotbah Dhamma ini berakhir.
KHEMA – Sotapatti :
Ratu Khema merupakan istri utama dari Raja Bimbisara. Ia sangat cantik dan sangat sombong. Raja menginginkannya untuk pergi ke Vihara Veluvana dan memberi hormat kepada Sang Buddha. Ratu mencoba untuk menghindar dari Sang Buddha karena Beliau selalu berbicara meremehkan kecantikan. Raja tahu bahwa ratu sangat sombong akan kecantikannya, maka raja memerintahkan group musiknya untuk menyanyikan lagu pujian tentangh Vihara Veluvana yang menyenangkan dan suasananya yang damai. Mendengar hal itu, Ratu Khema tertarik dan memutuskan untuk pergi ke Vihara Veluvana. Ketika Ratu Khema tiba di vihara, Sang Buddha sedang membabarkan Dhamma. Dengan kemampuan batin luar biasa, Sang Buddha membuat penampakan seorang gadis muda yang sangat cantik muncul, duduk tidak jauh dari Beliau dan sedang mengipasiNya. Hanya Ratu Khema yang dapat melihat gadis cantik tersebut. Khema menyadari bahwa kecantikannya jauh lebih rendah daripada kecantikan gadis tersebut. Ketika ratu
memperhatikan kecantikan gadis tersebut tiba-tiba kecantikannya memudar sedikit demi sedikit, sampai akhirnya ratu melihat wanita tua jompo, kemudian roboh, mati, menjadi mayat, tubuhnya berbau busuk , dan diserang belatung. Melihat itu Ratu Khema menyadari ketidak kekalan dan ketidak berhargaan kecantikannya. Sang Buddha mengetahui keadaan pikiran Ratu Khema, kemudian Beliau berkata, ” O Khema! Lihatlah baik-baik pada tubuh lapuk ini yang terbalut di sekitar kerangka tulang, dan merupakan sasaran penyakit dan kelapukan. Lihatlah baik-baik tubuh ini yang dihargai sedemikian tinggi oleh orang bodoh. Lihatlah pada ketidak-berhargaan kecantikan gadis muda ini.” Setelah mendengar ini Ratu Khema mencapai kesucian tingkat Sotapatti.
Pada kejadian ini Sang Buddha membabarkan syair :
Mereka yang bergembira dengan nafsu indria, akan jatuh ke dalam arus (kehidupan), seperti laba-laba yang jatuh ke dalam jaring yang dibuatnya sendiri. Tapi para bijaksana dapat memutuskan belenggu itu, mereka meninggalkan kehidupan duniawi, tanpa ikatan, serta melepaskan kesenangan-kesenangan indria.
( Dhammapada XXIV, 14 )
Pada saat khotbah Dhamma ini berakhir, Ratu Khema mencapai tingkat kesucian Arahat dan diterima dalam pasamuan bhikkhuni serta menjadi ‘murid utama wanita’ Sang Buddha.