4. Sang Buddha, Gajah dan Monyet
“Disinilah saya tinggal, dikelilingi sekumpulan gajah, gajah-gajah betina, anak-anak gajah dan gajah-gajah muda. Mereka mengunyah-ngunyah ujung-ujung rumput yang ingin saya makan, mereka memakan daun-daun dari ranting-ranting pohon yang saya patahkan; mereka mengeruhkan air minum saya. Ketika saya masuk atau keluar dari sungai, gajah-gajah betina menggosok-gosokkan badannya ke badan saya. Karena itulah saya memisahkan diri dari kumpulan gajah-gajah dan lebih baik hidup sendirian.”
Oleh karena itu gajah yang baik hati ini memisahkan diri dari kumpulannya dan berjalan mendekati Hutan Lindung. Gajah itu bernama Parileyyaka.
Di dalam Hutan Lindung, Sang Buddha sedang berdiam seorang diri, menarik gajah itu untuk berjalan menuju pohon Sala, tempat Sang Buddha duduk.
Setibanya di hadapan Sang Buddha, gajah itu memberi hormat kepada Sang Buddha. Ia melihat ke sekeliling, mencari sapu karena ia ingin membersihkan tempat di sekitar Sang Buddha duduk. Karena tidak ada sapu, ia mematahkan ranting pohon untuk dijadikan sapu dan membersihkan tempat itu. Kemudian ia mengambil kendi air dengan belalainya dan menyiapkan air minum. Apabila dibutuhkan air panas, ia akan menyiapkan air panas. (Bagaimana mungkin?). Caranya, pertama-tama ia membuat percikan api dengan menggosok-gosokkan kayu dengan belalainya, kemudian ia menaruh ranting-ranting pohon di atas percikan api itu, sehingga ia mempunyai api. Lalu ia memanaskan batu-batu kecil di dalam api. Digelindingkannya batu-batu kecil yang sudah panas itu dengan tongkat ke dalam lekukan. Di atas lubang kecil di antara batu yang besar, ditaruhnya kendi air. Dengan belalainya, ia memeriksa, apabila air sudah cukup panas, ia segera menghadap kepada Sang Buddha. Sang Buddha lalu bertanya :
“Parileyyaka, apakah ini air panasmu?”
Kemudian Sang Buddha mandi dengan air panas yang dibuat si gajah. Kemudian Gajah Parileyyaka mencari dan membawakan buah-buahan segar dan mempersembahkannya kepada Sang Buddha.
Apabila Sang Buddha masuk ke desa untuk pindapatta, gajah itu akan membawakan mangkuk dan jubah, yang ditaruh di atas kepalanya. Dan ia pun mengiringiNya. Ketika Sang Buddha tiba di tepi desa, Beliau mengambil mangkuk dan jubahNya dengan berkata :
“Parileyyaka, lebih baik kamu jangan ikut. Berikanlah mangkuk dan jubahKu.”
Sang Buddha memasuki desa, dan si gajah Parileyyaka tetap menunggu dengan setia sampai Sang Buddha kembali. Ketika Sang Guru kembali, ia akan menyambut dan membawakan mangkuk serta jubah seperti yang ia lakukan sebelumnya, menaruhnya di tempat Sang Buddha duduk, memberi hormat dan mengipas-ngipas dengan ranting pohon supaya Sang Guru merasa nyaman.
Jika malam tiba, untuk melindungi Sang Buddha dari binatang buas, ia akan berjaga-jaga dengan belalainya yang besar, sambil berkata sendiri :
“Saya akan melindungi Sang Guru.”
Ia lalu berjalan bolak balik sampai pagi hari. (Sejak saat itulah hutan itu disebut “Hutan Lindung”).
Pada pagi harinya, gajah itu lalu menyiapkan air untuk mencuci muka, sebelum ia melaksanakan tugas-tugasnya yang lain.
Suatu ketika, seekor monyet melihat perbuatan yang dilakukan gajah Parileyyaka setiap hari, melaksanakan tugasnya, melayani Sang Buddha. Ia lalu berkata sendiri :
“Saya juga ingin melakukan hal yang sama.”
Pada suatu hari, ketika ia bergelayutan di antara pepohonan di hutan, ia melihat sarang madu yang telah ditinggalkan oleh tawon-tawonnya. Ia mengambil sarang madu itu dan menaruhnya di atas selembar daun dan dipersembahkannya ke hadapan Sang Buddha. Sang Buddha mengambilnya.
Monyet itu memperhatikan, apakah Sang Guru makan sarang madu itu atau tidak. Ia memandangi Sang Guru yang setelah mengambil sarang madu itu, lalu meletakkannya kembali, sambil tetap berdiam diri.
“Apa yang terjadi?” pikir monyet itu.
Ia mengambil tongkat kecil, sarang madu itu diambilnya dan diperhatikan dengan seksama. Dengan membolak-balikkannya, ia memperhatikan kembali dengan teliti. Ternyata di dalam sarang madu banyak terdapat telur-telur serangga. Ia kemudian mengeluarkan telur-telur itu dengan hati-hati sekali. Setelah benar-benar bersih, dipersembahkannya kembali sarang madu itu kepada Sang Buddha. Maka, Sang Buddha berkenan menyantap sarang madu itu.
Si monyet amat bahagia melihat Sang Buddha makan sarang madu yang dipersembahkannya. Ia meloncat-loncat di antara cabang-cabang pohon, dan menari-nari dengan gembira. Tiba-tiba cabang pohon yang dipegangnya itu patah, sehingga ia jatuh dan tertimpa batang pohon itu. Ia pun mati.
Tetapi karena perbuatan baik yang telah dilakukannya kepada Sang Buddha, ia terlahir kembali di Alam Surga.
Di Kota Savatthi, Jutawan Anathapindika, Ibu Visakha, para pengikut setia Sang Buddha dan orang-orang penting lainnya mengirimkan pesan kepada Bhikkhu Ananda.
“Yang Mulia, kami ingin sekali bertemu dengan Sang Guru.”
Lima ratus bhikkhu yang datang dari berbagai daerah datang menemui Bhikkhu Ananda, yang ketika itu sedang musim hujan, mereka juga mengajukan permohonan :
“Saudaraku Ananda, telah lama sekali kami mendengarkan Dhamma dari Sang Guru sendiri. Sekarang kami ingin sekali bertemu dengan Sang Guru Agung kita, untuk mendengarkan Ajaran dari Beliau sendiri.”
Bhikkhu Ananda mengajak para bhikkhu itu bersama-sama menuju Hutan Lindung. Ketika mereka telah mencapai tepi hutan, Bhikkhu Ananda berpikir :
“Sang Guru sedang hidup menyendiri selama tiga bulan ini. Jadi belum tentu tepat apabila saya mengajak para bhikkhu ini untuk mengunjungiNya.”
Maka, Bhikkhu Ananda masuk ke dalam Hutan Lindung itu seorang diri, meninggalkan kelima ratus bhikkhu itu di tepi hutan dan menghadap Sang Buddha terlebih dahulu.
Gajah Parileyyaka melihat ada seorang bhikkhu datang menghampiri Sang Buddha. Ia segera mengambil tongkat dan menyerbu ke Bhikkhu Ananda. Sang Buddha yang melihatnya, berkata :
“Kembalilah Parileyyaka, jangan mengusirnya. Ia adalah murid seorang Buddha.”
Gajah itu membuang tongkatnya dan memohon ijin untuk membawakan mangkuk dan jubah Bhikkhu Ananda. Tetapi Bhikkhu Ananda menolaknya.
Gajah itu lalu berpikir :
“Apabila ia betul-betul mengetahui sopan santun, ia tidak akan menaruh segala keperluan miliknya di tempat Sang Guru duduk.”
Bhikkhu Ananda lalu menaruh mangkuk dan jubahnya di tanah. (Untuk yang mengetahui peraturan, seorang bhikkhu tidak diperkenankan menaruh keperluan-keperluan miliknya sendiri di tempat duduk atau tempat tidur Gurunya). Setelah memberi hormat, Bhikkhu Ananda duduk di salah satu sisi. Sang Buddha bertanya :
“Ananda, apakah kamu datang sendiri?”
Bhikkhu Ananda menjelaskan bahwa ia datang bersama lima ratus bhikkhu. Sang Buddha bertanya :
“Di manakah mereka berada?”
“Di tepi hutan, Yang Mulia.”
“Saya tidak mengerti bagaimana perasaanmu meninggalkan saudara-saudaramu di tepi hutan dan datang seorang diri. Ajaklah mereka masuk.”
Bhikkhu Ananda mentaati perintah Sang Buddha. Ia menjemput ke lima ratus bhikkhu itu masuk ke dalam Hutan Lindung.
Sang Buddha menyambut ke lima ratus muridNya dengan gembira. Setelah memberi hormat, para bhikkhu itu berkata :
“Yang Mulia, Yang Maha Sempurna adalah seorang Buddha yang penuh dengan kelembutan dan penuh dengan cinta kasih. Amatlah sulit hidup di hutan ini seorang diri selama tiga bulan. Lagipula tidak ada seorangpun yang melayani semua kebutuhan Yang mulia. Tidak ada yang menyediakan air mandi atau menyediakan kebutuhan-kebutuhan lainnya.”
Sang Buddha menjawab :
“Para bhikkhu, gajah Parileyyaka ini yang melayani semua kebutuhanKu. Apabila seseorang yang telah memperoleh pengalaman hidup berkelompok, dan tidak cocok untuk hidup di dalam kelompoknya, kadang-kadang lebih baik baginya untuk hidup seorang diri.”
Setelah berkata demikian, Sang Buddha lalu mengucapkan tiga syair :
“Apabila dalam pengembaraanmu engkau dapat menemukan seorang sahabat yang berkelakuan baik, pandai dan bijaksana, maka hendaknya engkau berjalan bersamanya dengan senang hati dan penuh kesadaran untuk mengatasi semua bahaya.”
( Dhammapada, Naga Vagga no. 9 )
“Apabila dalam pengembaraanmu engkau tidak menemukan seorang sahabat yang berkelakuan baik, pandai dan bijaksana maka hendaknya engkau berjalan seorang diri, seperti seorang raja yang meninggalkan negara yang telah dikalahkannya, atau seperti gajah yang mengembara seorang diri di dalam hutan.”
( Dhammapada, Naga Vagga no. 10 )
“Lebih baik mengembara seorang diri, dan tidak bergaul dengan orang bodoh. Pergiah seorang diri dan jangan berbuat jahat; hiduplah dengan bebas (tidak banyak kebutuhan), seperti seekor gajah yang mengembara sendiri di dalam hutan.”
( Dhammapada, Naga Vagga no. 11 )
Pada akhir syair ke tiga, ke lima ratus bhikkhu itu mencapai Tingkat Kesucian Tertinggi menjadi Arahat.
Bhikkhu Ananda lalu menyampaikan pesan-pesan dari Jutawan Anathapindika, Ibu Visakha dan umat-umat lainnya, dengan berkata :
“Yang Mulia, lima puluh juta umat Yang Mulia yang dipimpin oleh Anathapindika mengharapkan Anda kembali.”
“Baiklah,” kata Sang Buddha, “Ambillah mangkuk dan jubah.”
Bhikkhu Ananda serta para bhikkhu lainnya mengambil mangkuk dan jubah, lalu pergi keluar. Gajah Parileyyaka pergi dan berdiri di tengah jalan.
“Yang Mulia, apa yang gajah itu perbuat?”
“O Para Bhikkhu, ia ingin berdana kepada kalian. Sudah cukup lama ia melayaniKu, janganlah melukai hatinya. Kembalilah!”, Sang Buddha beserta murid-muridNya balik kembali.
Gajah itu lalu masuk ke dalam hutan, kembali dengan membawa pisang dan buah-buahan lainnya, mempersembahkannya kepada para bhikkhu. Kelima ratus bhikkhu itu tidak dapat menghabiskan buah-buahan yang dipersembahkan gajah itu.
Selesai makan, Sang Buddha mengambil mangkuk dan jubahNya. Beliau melangkah keluar, diikuti oleh murid-muridNya. Gajah Parileyyaka lalu menyelinap di antara para bhikkhu yang sedang berjalan, kemudian di depan Sang Buddha dan para bhikkhu, ia berdiri menghalangi jalan.
“Yang Mulia, apa yang dilakukannya?”
“Para Bhikkhu, berjalanlah terus. Ia ingin Aku kembali.”
Sang Buddha lalu berkata :
“Parileyyaka, Aku pergi sekarang, tidak akan kembali lagi. Kamu tidak dapat mengharapkan pada kehidupanmu yang sekarang ini dapat memperoleh Pandangan Terang, melaksanakan Jalan Tengah ataupun mencapai Tingkat Kesucian. Berhentilah!”
Ketika gajah itu mendengar kata-kata Sang Buddha, ia memasukkan belalai ke dalam mulutnya. Ia mundur perlahan-lahan dan menangis, sambil tetap mengikuti Sang Buddha yang terus berjalan keluar hutan. (Dapatkah ia membuat Sang Buddha kembali, sehingga ia dapat melayaninya sampai di akhir hidupnya?)
Ketika Sang Buddha telah sampai di tepi desa, Beliau berkata :
“Parileyyaka, kalau kamu mengikutiKu lebih jauh lagi, tidak aman untukmu sendiri, kehidupan manusia amat berbahaya untukmu. Berhentilah!”
Gajah itu berhenti berjalan, ia menangis sambil memandangi kepergian Sang Buddha.
Ketika Sang Buddha hilang dari pandangannya, karena amat sedihnya, iapun mati. Tetapi karena perbuatan baik yang telah dilakukannya, dengan melayani Sang Buddha, ia terlahir kembali di Alam Surga, bernama Dewa Parileyyaka.