UPACARA DALAM AGAMA BUDDHA
1. Pengertian upacara
1) Suatu cetusan hati nurani manusia terhadap suatu keadaan.
2) Sebagai salah satu bentuk kebudayaan dapat kita selenggarakan sesuai dengan tradisi dan perkembangan jaman asalkan selalu didasarkan pada pandangan benar.
3) Buddha Dhamma sebagai ajaran universal, tidak mengalami perubahan (pengurangan maupun tambahan). Oleh sebab itu, manifestasi pemujaan kita pada Tiratana yang dijelmakan dalam bentuk upacara & cara kebaktian hendaknya tetap didasari dengan pandangan benar sehingga tidak menyimpang dari Buddha Dhamma itu sendiri.
2. Sejarah terjadinya upacara dalam agama Buddha
1) Sang Buddha tidak pernah mengajar cara upacara. Sang Buddha hanya mengajarkan Dhamma agar semua makhluk terbebas dari penderitaan.
2) Upacara yang ada pada saat itu hanyalah upacara penahbisan bhikkhu & samanera.
3) Upacara yang sekarang ini kita lihat merupakan perkembangan dari kebiasaan yang ada, yang terjadi sewaktu Sang Buddha masih hidup, yaitu yang disebut `Vattha’, yang artinya kewajiban yang harus dipenuhi oleh para bhikkhu seperti merawat Sang Buddha, membersihkan ruangan, mengisi air, dsb; dan kemudian mereka semua bersama dengan umat lalu duduk mendengarkan khotbah Sang Buddha.
4) Setelah Sang Buddha parinibbana, para bhikkhu dan umat tetap berkumpul untuk mengenang Sang Buddha dan menghormat Sang Tiratana, yang sekaligus merupakan kelanjutan kebiasaan Vattha.
3. Dua cara pemujaan
Dalam agama Buddha juga terdapat ajaran tentang `pemujaan’. Namun, pemujaan dalam agama Buddha ditujukan pada obyek yang benar (patut) dan didasarkan pada pandangan benar. Menurut naskah Pali – Dukanipata, Anguttara Nikaya, Sutta Pitaka, ada dua cara pemujaan, yaitu:
A. Amisa Puja
1) Makna Amisa Puja
– Secara hafafiah berarti pemujaan dengan persembahan. Kitab Mangalattha-dipani menguraikan empat hal yang perlu diperhatikan dalam menerapkan Amisa Puja ini, yaitu:
a. Sakkara: memberikan persembahan materi
b. Garukara: menaruh kasih serta bakti terhadap nilai-nilai luhur
c. Manana: memperlihatkan rasa percaya/yakin
d. Vandana: menguncarkan ungkapan atau kata persanjungan.
– Selain itu, ada tiga hal lagi yang juga harus diperhatikan agar Amisa Puja dapat diterapkan dengan sebaik-baiknya. Ketiga hal tersebut yaitu :
a. Vatthu sampada: kesempurnaan materi
b. Cetana sampada: kesempurnaan dalam kehendak
c. Dakkhineyya sampada : kesempurnaan dalam obyek pemujaan
2) Sejarah Amisa Puja
Asal mulanya dari kebiasaan Bhikkhu Ananda yg selalu merawat Sang Buddha.
B. Patipatti Puja
1) Makna Patipatti Puja
Secara harafiah berarti pemujaan dengan pelaksanaan. Sering juga disebut sebagai Dhammapuja.
Menurut Kitab Paramatthajotika, yang dimaksud “pelaksanaan” dalam hal ini adalah :
a. Berlindung pada Tisarana (Tiga Perlindungan), yakni Buddha, Dhamma, dan Ariya Sangha
b. Bertekad untuk melaksanakan Panca Sila Buddhis (Lima Kemoralan) yakni pantangan untuk membunuh, mencuri, berbuat asusila, berkata yang tidak benar, mengkonsumsi makanan/minuman yang melemahkan kewaspadaan
c. Bertekad melaksanakan Atthanga Sila (Delapan Sila) pada hari-hari Uposatha.
d. Berusaha menjalankan Parisuddhi Sila (Kemurnian Sila), yaitu:
– Pengendalian diri dalam tata tertib (Patimokha-samvara)
– Pengendalian enam indera (Indriya-samvara)
– Mencari nafkah hidup secara benar (Ajiva-parisuddhi)
– Pemenuhan kebutuhan hidup yang layak (Paccaya-sanissita)
2) Pahala Patipatti Puja
– Dalam Sutta Pitaka bagian Anguttara Nikaya, Dukanipata, dengan sangat jelas Sang Buddha Gotama menandaskan demikian: “Duhai para bhikkhu, ada dua cara pemujaan, yaitu Amisa Puja dan Dhamma Puja. Di antara dua cara pemujaan ini, Dhamma Puja (Patipatti Puja) adalah yang paling unggul”.
– Dengan demikian sudah selayaknya jika umat Buddha lebih menekankan pada pelaksanaan Patipatti Puja alih-alih Amisa Puja.
3) Sejarah Patipatti Puja
– Cerita tentang Bhikkhu Tissa yang bertekad berpraktek Dhamma hingga berhasil menjelang empat bulan lagi Sang Buddha parinibbana. Dalam hal tersebut Sang Buddha bersabda: “Duhai para bhikkhu, barang siapa mencintai-Ku, ia hendaknya bertindak seperti Tissa. Karena, mereka yang memuja-Ku dengan mempersembahkan berbagai bunga, wewangian, dan lain-lain, sesungguhnya belumlah bisa dikatakan memuja-Ku dengan cara yang tertinggi/terluhur. Sementara itu, seseorang yang melaksanakan Dhamma secara benar itulah yang patut dikatakan telah memuja-Ku
dengan cara tertinggi / terluhur”.
– Peristiwa yang mirip juga terjadi atas diri Bhikkhu Attadattha, sebagaimana yang dikisahkan dalam Kitab Dhammapada Atthakatha.
– Menyadari betapa penting hal tersebut untuk dipahami dengan jelas, Sang Buddha Gotama secara resmi juga menandaskan kembali kepada Ananda Thera demikian:
“Duhai Ananda, penghormatan, pengagungan, dan pemujaan dengan cara tertinggi/terluhur bukanlah dilakukan dengan memberikan persembahan bunga, wewangian, nyanyian, dan sebagainya. Akan tetapi Ananda, apabila seseorang bhikkhu, bhikkhuni, upasaka, atau upasika, berpegang teguh pada Dhamma, hidup sesuai dengan Dhamma, bertingkah laku selaras dengan Dhamma, maka orang seperti itulah yang sesungguhnya telah me-lakukan penghormatan, pengagungan, dan pemujaan dengan cara tertinggi/terluhur. Karena itu Ananda, berpegang teguhlah
pada Dhamma, hiduplah sesuai dengan Dhamma, dan bertingkah lakulah selaras dengan Dhamma. Dengan cara demikianlah engkau seharusnya melatih diri”.
– Penerapan Patipatti Puja secara telak dapat menepiskan anggapan salah masyarakat umum bahwa agama Buddha tidak lebih hanyalah suatu agama ritualistis (peribadatan/persembahyangan) belaka.
4. Makna upacara
Semua bentuk upacara agama Buddha, sebenarnya terkandung prinsip-prinsip sebagai berikut :
1) Menghormati dan merenungkan sifat-sifat luhur Sang Tiratana
2) Memperkuat keyakinan (Saddha) dengan tekad (Adhitthana)
3) Membina empat kediaman luhur (Brahma Vihara)
4) Mengulang dan merenungkan kembali khotbah-khotbah Sang Buddha
5) Melakukan Anumodana, yaitu `melimpahkan’ jasa perbuatan baik kita kepada makhluk lain
5. Manfaat upacara
Secara terperinci manfaat yang langsung didapat dari upacara adalah sebagai berikut:
1) Saddha : keyakinan dan bakti akan tumbuh berkembang
2) Brahmavihara : empat kediaman / keadaan batin yang luhur akan berkembang
3) Samvara : indera akan terkendali
4) Santutthi : puas
5) Santi : damai
6) Sukha : bahagia
6. Sikap dalam upacara
Upacara merupakan suatu manifestasi dari keyakinan dan kebaktian, oleh sebab itu sikap yang patut diperhatikan oleh umat dalam melakukan upacara adalah sebagai berikut ini:
1) Sikap menghormat, ada beberapa cara antara lain:
a. Anjali
b. Namakara
c. Padakkhina
2) Sikap membaca Paritta
a. Dilakukan dengan khidmat dan penuh perhatian
b. Dibaca secara benar sesuai dengan petunjuk-petunjuk tanda-tanda bacaannya dan harus sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang telah dijelaskan dalam Kitab Suci Tipitaka (Pali Text), seperti pada Vinaya Pitaka, II.108, di mana Sang Buddha bersabda kepada para bhikkhu tentang masalah melagukan pembacaan Dhamma, yaitu sebagai berikut: “Para bhikkhu, ada lima bahaya (keburukan) jika Dhamma diucapkan dengan suara yang dinyanyikan :
– Ia akan senang (bangga) pada dirinya sendiri sehubungan dengan suaranya yang telah didengarnya
– Orang lain akan senang mendengar suaranya tersebut (mereka akan tertarik pada lagunya tersebut, bukan pada Dhammanya)
– Umat awam akan mencemoohkan (karena musik hanya pantas untuk mereka yang masih menyukai kesenangan indera)
– Karena sibuk mengatur suaranya tersebut, maka konsentrasinya menjadi pecah (ia melupakan makna dari apa yang sedang dibacanya)
– Orang-orang yang mendengarnya bisa terjebak dalam pandangan-pandangan yang mengandung persaingan (dengan berkata: “Guru-guru dan pembimbing kami melagukannya seperti itu”, hal ini akan menyebabkan timbulnya pertentangan dan saling membanggakan diri pada umat Buddha generasi yang akan datang)
3) Sikap bersamadhi
a. Rileks, duduk bersila (bersilang kaki) dan tumpuan kedua tangan di atas pangkuan
b. Memusatkan pikiran kita kepada obyek meditasi yang biasanya cocok untuk kita gunakan, misalnya pernafasan, sifat-sifat luhur Sang Tiratana, Empat Keadaan Batin yang Luhur (Brahma Vihara), dan sebagainya.
7. Cara melakukan upacara yang benar
1) Mengerti akan makna upacara seperti yang telah diuraikan di atas
2) Setiap melakukan upacara harus benar-benar memahami apa yang dilakukan, bukan semata-mata tradisi yang mengikat yang tidak membawa kita pada pembebasan (Silabbataparamasa-samyojjana)
____________________
Sumber :
Dhamma Study Group Bogor
*) Dibawakan oleh Bpk. Selamat Rodjali pada Diskusi Abhidhamma di Vihara Pluit Dharma Sukha, 09 Juni 2007.
UPACARA DALAM AGAMA BUDDHA
1. Pengertian upacara
1) Suatu cetusan hati nurani manusia terhadap suatu keadaan.
2) Sebagai salah satu bentuk kebudayaan dapat kita selenggarakan sesuai dengan
tradisi dan perkembangan jaman asalkan selalu didasarkan pada pandangan benar.
3) Buddha Dhamma sebagai ajaran universal, tidak mengalami perubahan
(pengurangan maupun tambahan). Oleh sebab itu, manifestasi pemujaan kita pada
Tiratana yang dijelmakan dalam bentuk upacara & cara kebaktian hendaknya tetap
didasari dengan pandangan benar sehingga tidak menyimpang dari Buddha Dhamma itu
sendiri.
2. Sejarah terjadinya upacara dalam agama Buddha
1) Sang Buddha tidak pernah mengajar cara upacara. Sang Buddha hanya mengajarkan
Dhamma agar semua makhluk terbebas dari penderitaan.
2) Upacara yang ada pada saat itu hanyalah upacara penahbisan bhikkhu &
samanera.
3) Upacara yang sekarang ini kita lihat merupakan perkembangan dari kebiasaan
yang ada, yang terjadi sewaktu Sang Buddha masih hidup, yaitu yang disebut
`Vattha’, yang artinya kewajiban yang harus dipenuhi oleh para bhikkhu seperti
merawat Sang Buddha, membersihkan ruangan, mengisi air, dsb; dan kemudian mereka
semua bersama dengan umat lalu duduk mendengarkan khotbah Sang Buddha.
4) Setelah Sang Buddha parinibbana, para bhikkhu dan umat tetap berkumpul untuk
mengenang Sang Buddha dan menghormat Sang Tiratana, yang sekaligus merupakan
kelanjutan kebiasaan Vattha.
3. Dua cara pemujaan
Dalam agama Buddha juga terdapat ajaran tentang `pemujaan’. Namun, pemujaan
dalam agama Buddha ditujukan pada obyek yang benar (patut) dan didasarkan pada
pandangan benar. Menurut naskah Pali – Dukanipata, Anguttara Nikaya, Sutta
Pitaka, ada dua cara pemujaan, yaitu:
A. Amisa Puja
1) Makna Amisa Puja
– Secara hafafiah berarti pemujaan dengan persembahan. Kitab Mangalattha-dipani
menguraikan empat hal yang perlu diperhatikan dalam menerapkan Amisa Puja ini,
yaitu:
a. Sakkara: memberikan persembahan materi
b. Garukara: menaruh kasih serta bakti terhadap nilai-nilai luhur
c. Manana: memperlihatkan rasa percaya/yakin
d. Vandana: menguncarkan ungkapan atau kata persanjungan.
– Selain itu, ada tiga hal lagi yang juga harus diperhatikan agar Amisa Puja
dapat diterapkan dengan sebaik-baiknya. Ketiga hal tersebut yaitu :
a. Vatthu sampada: kesempurnaan materi
b. Cetana sampada: kesempurnaan dalam kehendak
c. Dakkhineyya sampada : kesempurnaan dalam obyek pemujaan
2) Sejarah Amisa Puja
Asal mulanya dari kebiasaan Bhikkhu Ananda yg selalu merawat Sang Buddha.
B. Patipatti Puja
1) Makna Patipatti Puja
Secara harafiah berarti pemujaan dengan pelaksanaan. Sering juga disebut
sebagai Dhammapuja. Menurut Kitab Paramatthajotika, yang dimaksud “pelaksanaan”
dalam hal ini adalah :
a. Berlindung pada Tisarana (Tiga Perlindungan), yakni Buddha, Dhamma, dan Ariya
Sangha
b. Bertekad untuk melaksanakan Panca Sila Buddhis (Lima Kemoralan) yakni
pantangan untuk membunuh, mencuri, berbuat asusila, berkata yang tidak benar,
mengkonsumsi makanan/minuman yang melemahkan kewaspadaan
c. Bertekad melaksanakan Atthanga Sila (Delapan Sila) pada hari-hari Uposatha.
d. Berusaha menjalankan Parisuddhi Sila (Kemurnian Sila), yaitu:
– Pengendalian diri dalam tata tertib (Patimokha-samvara)
– Pengendalian enam indera (Indriya-samvara)
– Mencari nafkah hidup secara benar (Ajiva-parisuddhi)
– Pemenuhan kebutuhan hidup yang layak (Paccaya-sanissita)
2) Pahala Patipatti Puja
– Dalam Sutta Pitaka bagian Anguttara Nikaya, Dukanipata, dengan sangat jelas
Sang Buddha Gotama menandaskan demikian: “Duhai para bhikkhu, ada dua cara
pemujaan, yaitu Amisa Puja dan Dhamma Puja. Di antara dua cara pemujaan ini,
Dhamma Puja (Patipatti Puja) adalah yang paling unggul”.
– Dengan demikian sudah selayaknya jika umat Buddha lebih menekankan pada
pelaksanaan Patipatti Puja alih-alih Amisa Puja.
3) Sejarah Patipatti Puja
– Cerita tentang Bhikkhu Tissa yang bertekad berpraktek Dhamma hingga berhasil
menjelang empat bulan lagi Sang Buddha parinibbana. Dalam hal tersebut Sang
Buddha bersabda: “Duhai para bhikkhu, barang siapa mencintai-Ku, ia hendaknya
bertindak seperti Tissa. Karena, mereka yang memuja-Ku dengan mempersembahkan
berbagai bunga, wewangian, dan lain-lain, sesungguhnya belumlah bisa dikatakan
memuja-Ku dengan cara yang tertinggi/terluhur. Sementara itu, seseorang yang
melaksanakan Dhamma secara benar itulah yang patut dikatakan telah memuja-Ku
dengan cara tertinggi / terluhur”.
– Peristiwa yang mirip juga terjadi atas diri Bhikkhu Attadattha, sebagaimana
yang dikisahkan dalam Kitab Dhammapada Atthakatha.
– Menyadari betapa penting hal tersebut untuk dipahami dengan jelas, Sang Buddha
Gotama secara resmi juga menandaskan kembali kepada Ananda Thera demikian:
“Duhai Ananda, penghormatan, pengagungan, dan pemujaan dengan cara
tertinggi/terluhur bukanlah dilakukan dengan memberikan persembahan bunga,
wewangian, nyanyian, dan sebagainya. Akan tetapi Ananda, apabila seseorang
bhikkhu, bhikkhuni, upasaka, atau upasika, berpegang teguh pada Dhamma, hidup
sesuai dengan Dhamma, bertingkah laku selaras dengan Dhamma, maka orang seperti
itulah yang sesungguhnya telah me-lakukan penghormatan, pengagungan, dan
pemujaan dengan cara tertinggi/terluhur. Karena itu Ananda, berpegang teguhlah
pada Dhamma, hiduplah sesuai dengan Dhamma, dan bertingkah lakulah selaras
dengan Dhamma. Dengan cara demikianlah engkau seharusnya melatih diri”.
– Penerapan Patipatti Puja secara telak dapat menepiskan anggapan salah
masyarakat umum bahwa agama Buddha tidak lebih hanyalah suatu agama ritualistis
(peribadatan/persembahyangan) belaka.
4. Makna upacara
Semua bentuk upacara agama Buddha, sebenarnya terkandung prinsip-prinsip
sebagai berikut :
1) Menghormati dan merenungkan sifat-sifat luhur Sang Tiratana
2) Memperkuat keyakinan (Saddha) dengan tekad (Adhitthana)
3) Membina empat kediaman luhur (Brahma Vihara)
4) Mengulang dan merenungkan kembali khotbah-khotbah Sang Buddha
5) Melakukan Anumodana, yaitu `melimpahkan’ jasa perbuatan baik kita kepada
makhluk lain
5. Manfaat upacara
Secara terperinci manfaat yang langsung didapat dari upacara adalah sebagai
berikut:
1) Saddha : keyakinan dan bakti akan tumbuh berkembang
2) Brahmavihara : empat kediaman / keadaan batin yang luhur akan berkembang
3) Samvara : indera akan terkendali
4) Santutthi : puas
5) Santi : damai
6) Sukha : bahagia
6. Sikap dalam upacara
Upacara merupakan suatu manifestasi dari keyakinan dan kebaktian, oleh sebab
itu sikap yang patut diperhatikan oleh umat dalam melakukan upacara adalah
sebagai berikut ini:
1) Sikap menghormat, ada beberapa cara antara lain:
a. Anjali
b. Namakara
c. Padakkhina
2) Sikap membaca Paritta
a. Dilakukan dengan khidmat dan penuh perhatian
b. Dibaca secara benar sesuai dengan petunjuk-petunjuk tanda-tanda bacaannya dan
harus sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang telah dijelaskan dalam Kitab Suci
Tipitaka (Pali Text), seperti pada Vinaya Pitaka, II.108, di mana Sang Buddha
bersabda kepada para bhikkhu tentang masalah melagukan pembacaan Dhamma, yaitu
sebagai berikut:”Para bhikkhu, ada lima bahaya (keburukan) jika Dhamma diucapkan
dengan suara yang dinyanyikan :
– Ia akan senang (bangga) pada dirinya sendiri sehubungan dengan suaranya yang
telah didengarnya
– Orang lain akan senang mendengar suaranya tersebut (mereka akan tertarik pada
lagunya tersebut, bukan pada Dhammanya)
– Umat awam akan mencemoohkan (karena musik hanya pantas untuk mereka yang masih
menyukai kesenangan indera)
– Karena sibuk mengatur suaranya tersebut, maka konsentrasinya menjadi pecah (ia
melupakan makna dari apa yang sedang dibacanya)
– Orang-orang yang mendengarnya bisa terjebak dalam pandangan-pandangan yang
mengandung persaingan (dengan berkata: “Guru-guru dan pembimbing kami
melagukannya seperti itu”, hal ini akan menyebabkan timbulnya pertentangan dan
saling membanggakan diri pada umat Buddha generasi yang akan datang)
3) Sikap bersamadhi
a. Rileks, duduk bersila (bersilang kaki) dan tumpuan kedua tangan di atas
pangkuan
b. Memusatkan pikiran kita kepada obyek meditasi yang biasanya cocok untuk kita
gunakan, misalnya pernafasan, sifat-sifat luhur Sang Tiratana, Empat Keadaan
Batin yang Luhur (Brahma Vihara), dan sebagainya.
7. Cara melakukan upacara yang benar
1) Mengerti akan makna upacara seperti yang telah diuraikan di atas
2) Setiap melakukan upacara harus benar-benar memahami apa yang dilakukan, bukan
semata-mata tradisi yang mengikat yang tidak membawa kita pada pembebasan
(Silabbataparamasa-samyojjana)
____________________
Dhamma Study Group Bogor
*) Dibawakan oleh Bpk. Selamat Rodjali pada Diskusi Abhidhamma di Vihara Pluit
Dharma Sukha, 09 Juni 2007.