Ahigundika Jataka

No. 365

AHIGUṆḌIKA-JĀTAKA

Sumber : Indonesia Tipitaka Center

“Di sini kami berbaring,” dan seterusnya. Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berdiam di Jetavana, tentang seorang bhikkhu tua.

Cerita pembukanya dikemukakan secara lengkap di dalam Sālaka-Jātaka120. Dalam kisah ini juga, setelah menahbis seorang anak laki-laki desa, bhikkhu tua itu mencerca dan memukulnya. Anak itu melarikan diri dan kembali menjalani kehidupan duniawi. [198] Untuk kedua kalinya, bhikkhu tua tersebut menabhiskannya menjadi anggota Sangha, dan kembali melakukan hal yang sama. Anak muda itu, setelah tiga kali kembali ke kehidupan duniawi, dan ketika diminta untuk kembali lagi, bahkan tidak mau melihat wajah dari bhikkhu tua tersebut.

Kejadian ini dibicarakan di dalam balai kebenaran, tentang bagaimana seorang bhikkhu tua yang tidak dapat hidup dengan atau tanpa siswa barunya (samanera), sedangkan samanera itu, setelah mengetahui watak buruk gurunya, menjadi orang yang sensitif dan bahkan tidak mau melihatnya.

Sang Guru datang dan menanyakan apa yang sedang mereka bicarakan. Ketika mereka memberitahukannya, Beliau berkata, “Bukan hanya kali ini, tetapi juga di masa lampau anak laki-laki itu adalah seorang siswa baru yang sensitif, yang setelah mengetahui watak buruk gurunya, tidak mau melihat wajah gurunya.”

Setelah berkata demikian, Beliau menceritakan sebuah kisah masa lampau.

____________________

Dahulu kala ketika Brahmadatta menjadi Raja Benares, Bodhisatta terlahir di dalam sebuah keluarga penjual jagung, dan ketika dewasa, ia menghidupi dirinya dengan menjual jagung.

Kala itu, terdapat seorang pawang ular yang menangkap seekor kera dan melatihnya untuk beratraksi dengan ular. Ketika sebuah perayaan diadakan di Benares, ia menitipkan kera itu kepada keluarga penanam jagung tersebut dan pergi selama tujuh hari, melakukan atraksi dengan ularnya. Sementara itu, sang penjual jagung memberi makanan yang keras dan lembut kepada kera tersebut.

Pada hari ketujuh, pawang ular itu mabuk di perayaan dan pulang kembali, memukuli kera itu dengan sebatang bambu sebanyak tiga kali, kemudian membawanya ke sebuah taman, mengikatnya, dan tidur. Kera tersebut dapat melepaskan diri dari ikatannya dan memanjat sebuah pohon mangga, duduk di sana sambil memakan buah mangga.

Pawang ular bangun dan, ketika melihat kera itu duduk di atas pohon, ia berpikir, “Saya harus menangkapnya kembali dengan cara membujuknya.” Dan ia mengucapkan bait pertama berikut untuk berbicara dengan kera tersebut:

Di sini kami berbaring, wahai yang elok,
seperti penjudi yang belum selesai bermain dadu.
Jatuhkanlah beberapa buah mangga:
kita sama-sama mengetahuinya,
Hidup kami bergantung kepada atraksimu.

Kera mengucapkan sisa bait kalimat berikut setelah mendengar perkataannya:

Teman, pujianmu tidak ada artinya;
Tidak akan pernah mendapatkan seekor kera yang elok.

[199] Siapa yang ketika mabuk, saya tanya kembali,
membuatku kelaparan dan memukulku seperti hari ini?

Ketika teringat akan keburukanmu, pawang ular,
di dalam pikiranku, tempat siksaan yang kutempati,
meskipun suatu hari saya menjadi raja di sana,
tidak akan ada keuntungan apa pun bagiku.

Tetapi jika ada orang yang diketahui tinggal dengan bahagia di tempat tinggalnya,
cenderung memberi, dan berasal dari keturunan dari yang lemah lembut,
orang bijak yang demikianlah yang patut dijalin hubungannya.

Setelah mengucapkan kata-kata ini, kera itu menghilang di dalam kerumunan kera lainnya121.

____________________

Sang Guru menyampaikan uraian-Nya sampai di sini dan kemudian mempertautkan kisah kelahiran mereka: “Pada masa itu, bhikkhu tua adalah pawang ular, siswa barunya adalah kera, dan saya sendiri adalah penjual jagung.”

____________________

Catatan kaki :

120 Lihat No. 249, Vol. II.

121 Buku yang lain menuliskan, “hilang di dalam lebatnya pepohonan.”

Leave a Reply 0 comments