3. ANAK YANG MEMBUNUH ORANGTUANYA
Kisah ini terdapat di dalam salah satu bagian dari Kitab Suci Tripitaka. Dikisahkan tentang salah satu dari dua murid utama Sang Buddha Gotama, bernama Yang Mulia Moggallana. Meskipun Beliau sudah mencapai Tingkat Kesucian Tertinggi, Arahat, dan mempunyai kemampuan fisik dan batin yang amat tinggi, tetapi Beliau meninggal dengan cara yang amat menyedihkan, yaitu dikepung oleh para penjahat dan dipukuli sampai meninggal dunia.
Sang Buddha lalu menjelaskan perbuatan yang telah dilakukan oleh Yang Mulia Moggallana pada salah satu kehidupannya yang lampau, sehingga ia harus menerima cara kematiannya yang amat menyedihkan itu.
Pada masa lampau, terdapatlah seorang pemuda yang amat baik budi. Ia mengerjakan semua pekerjaan rumah tangganya sendiri, seperti menanak nasi, membersihkan rumah serta merawat kedua orangtua yang matanya buta itu dengan penuh kasih sayang.
Kedua orangtuanya mengkhawatirkan anaknya yang bekerja seorang diri, mereka lalu berkata kepada anaknya :
“Anakku, kamu pasti terlalu capai mengerjakan semua pekerjaan seorang diri, baik di dalam rumah maupun mencari kayu bakar di hutan. Kalau kamu setuju, kami akan melamarkan seorang anak gadis untuk menjadi isterimu, supaya dapat membantu meringankan pekerjaanmu.”
Anak itu lalu menjawab :
“Ibu, saya tidak memerlukan bantuan apa-apa, saya sanggup mengerjakan semuanya. Selama ayah dan ibu masih hidup, sayalah yang akan menjaga dan merawatmu dengan tanganku sendiri.”
Berkali-kali ia menolak usul kedua orangtuanya untuk mengambil seorang isteri. Tetapi ayah dan ibunya terus mendesak, sehingga akhirnya ia diam saja dan menerima seorang gadis muda untuk menjadi isterinya.
Hanya beberapa hari saja isterinya mau merawat kedua orangtuanya. Setelah itu ia berkata kepada suaminya, bahwa ia tidak sanggup lagi untuk merawat kedua orangtua itu dan tidak ingin hidup bersama mereka lagi, ia tidak senang dengan kehidupan seperti itu.
Dengan menunjukkan ketidak-senangannya, ia selalu berkata :
“Saya tidak sanggup untuk hidup lebih lama lagi bersama ayah dan ibumu yang buta itu.”
Suaminya tidak menghiraukan ocehan isterinya, sampai pada suatu hari isteri muda itu mengambil tanah merah, kulit kayu dan butir-butir gandum, ia menebarkannya dimana-mana, di sekitar rumah itu. Ketika suaminya pulang dan bertanya, apa yang telah terjadi, isterinya menjawab :
“Suamiku, semua ini adalah perbuatan orangtuamu yang buta itu, mereka mengotori seluruh rumah ini, saya tidak sanggup lagi untuk hidup bersama mereka.”
Ia katakan hal itu berulang-ulang, terus-menerus. Si Suami yang semula ragu-ragu, akhirnya menjadi percaya dengan perkataan isterinya, dan sebagai seseorang yang belum mencapai tingkat kesempurnaan, ia menjadi kesal dengan kedua orangtuanya.
“Isteriku, jangan khawatir,” kata suaminya, “Saya akan menemukan jalan yang paling tepat untuk membuang mereka.”
Kemudian ia memberi makan kepada kedua orangtuanya sambil berkata :
“Ayah dan ibu, ada salah satu keluarga kita yang sangat mengharapkan kedatanganmu, marilah kita datang mengunjungi mereka.”
Ia lalu membantu kedua orangtuanya yang buta masuk ke dalam kereta, ia juga ikut pergi bersama mereka. Ketika mereka berada di tengah hutan yang sangat lebat, ia berkata kepada ayahnya :
“Ayah peganglah tali kekang ini, lembu-lembu ini dapat berjalan ke arah yang kita tuju dengan baik, di sini banyak para perampok bersembunyi, menunggu orang-orang yang lewat. Saya turun dulu melihat keadaan di sekitar tempat ini.”
Ia lalu memberikan tali kekang itu kepada ayahnya, dan segera turun dari kereta, diarahkannya kereta itu masuk ke dalam hutan yang amat lebat.
Anak muda itu mulai membuat keributan, teriakan-teriakan, amat berisik seolah-olah ada segerombolan perampok yang akan menyerang. Ketika kedua orangtua mendengar suara yang amat berisik itu, mereka ketakutan dan berpikir :
“Wah, ada segerombolan perampok yang akan menyerang kita.” Mereka lalu berkata dengan berteriak : “Anakku, kami sudah tua, cepatlah pergi, selamatkanlah dirimu, jangan perhatikan kami lagi. Pergilah, cepat pergi….!”
Ketika kedua orangtua itu berteriak menyuruhnya pergi, anak laki-laki itu juga berteriak-teriak seperti teriakan perampok, ia lalu memukuli kedua orangtuanya itu sampai mati, dan membuang mayatnya ke dalam hutan lebat.
Setelah melakukan perbuatan yang kejam itu, ia pulang ke rumah. Ia amat menyesali perbuatannya.
Setelah menceritakan perbuatan Bhikkhu Moggallana di masa yang lampau, Sang Buddha lalu berkata :
“O Para Bhikkhu, karena perbuatan buruk yang telah dilakukannya, pada salah satu kehidupannya di masa yang lampau, dengan membunuh ayah dan ibunya yang buta, ia harus menerima kematiannya dengan cara yang mengerikan seperti itu. Inilah kelahirannya yang terakhir di dalam lingkaran Samsara ini, meskipun ia telah menjadi orang suci, ia tetap tidak dapat melarikan diri dari akibat perbuatan buruk yang telah dilakukannya.”