Menjadi Buddhis yang Lebih Baik

 

LET’S BECOME A BETTER BUDDHIST
Oleh : YM. Bhikkhu Uttamo Mahathera

Kegelisahan empiris dari data survey yang dikemukakan pembicara sebelumnya (Emil Atmadjaya) yang menunjukkan bahwa pertumbuhan umat Buddha tahun 2010-2050 adalah minus 0,3%.

Hasil survey sepertinya logis, tetapi harus diketahui dengan pasti dimana survey tersebut diambil? Dimana sample dilakukan? Apalagi di Indonesia hasil survey tergantung “pemesan”. Sering di iklan-iklan cosmetic menyatakan misal “90% wanita menggunakan sabun X”; apakah benar demikian?

Jadi kita tidak terlalu kaget akan hasil survei tersebut.
Banyak orang kadang beranggapan bahwa umat Buddha itu dihitung dari KTP; atau berapa sering umat ke Vihara.

Ini jaman milenial era digital. Umat Buddha tidak hanya di Vihara tapi bisa juga di luar Vihara.

Oleh karena itu, tema kali ini “Lets become a better Buddhist” adalah sangat tepat. Perlu kita pahami bahwa Buddhist bukanlah sekedar agama tetapi Buddhist adalah Pola Pikir yaitu Pola Pikir Buddhist.

Orang yang sejak dari kecil ke Vihara, remaja ke Vihara, sudah kerja ke Vihara tetapi bisa tiba-tiba berpindah agama; mengapa bisa demikian? Sebenarnya orang tersebut tidak memiliki pola pikir Buddhist tetapi hanyalah umat tradisional yang hanya mengetahui ritual tanpa memiliki pola pikir Buddhist.

Saat ini generasi milenial era digital, hendaknya kita dapat memanfaatkan kemajuan teknologi dengan sebaik dan seoptimal mungkin. Sebagai contoh, acara Dhammatalk seperti ini sudah hampir 15 tahun diselenggarakan secara rutin setiap tahunnya oleh Cetiya Buddha Padmasambhava. Juga sering di selenggarakan di berbagai tempat, tetapi sampai saat ini belum terlihat ada orang yang memanfaatkan era digital ini dengan melakukan ‘live’ sehingga bisa di streaming oleh banyak orang secara bersamaan realtime seperti ikut hadir di tempat ini.

Yang terjadi saat ini; selalu acara didokumentasikan baru kemudian minggu depan, atau bulan depan bahkan tahun depan baru di rilis. Kenapa rekaman baru muncul di Youtube tahun depan??

Ya kalau kita masih hidup, baru bisa mendengarkan / melihat rekaman tersebut. Terlalu lama.

Kita hidup di jaman milenial tetapi tidak menggunakan era digital ini sebagai access untuk mengembangkan Buddha Dhamma. Pakailah acara ‘live’ sehingga bisa di streaming; tidak perlu pake edit-edit yang penting dapat langsung di tonton / di dengarkan.

Banyak undangan Dhammadesana dari berbagai daerah di Indonesia, maupun luar negeri. Kenapa tidak menggunakan video conference saja? Memanfaatkan teknologi yang ada.

Demikian pula dengan pola pikir Buddhist. Pertumbuhan umat Buddha tidaklah dilihat dari KTP saja tetapi lihatlah pertumbuhan pola pikir Buddhist yang justru berkembang saat ini. Banyak orang yang datang ke Vihara Bodhigiri mengatakan bahwa mereka belajar tentang Buddhis (dari Youtube) tetapi mereka tidak beragama Buddha. Mereka datang jauh-jauh hanya untuk bertemu langsung dengan Bhante Uttamo walau hanya 1 jam saja; sisanya mereka ‘nonton’ di Youtube.

Bukan Buddhist? Tidak masalah! Yang penting adalah mereka memiliki pola pikir Buddhist. Memiliki pola pikir Buddhist bukan berarti harus menjadi umat Buddha. Belum tentu pula seorang umat Buddha memiliki pola pikir Buddhist jika ternyata hanya mengetahui ajaran Buddha secara teori tanpa pernah merenungi, menjalankan dan mempraktekkan-nya dengan baik dan benar.

Penerapan teknologi juga dapat dilakukan di Vihara-Vihara. Misalnya: menggunakan slide untuk Paritta-Paritta yang dibacakan; hal ini selain kita memanfaatkan teknologi, kita juga tidak perlu lagi mencetak buku-buku Paritta artinya kita juga menghemat sumber daya. Umat Buddha tidak mau dituduh sebagai perusak hutan toch; karena banyak mencetak buku Paritta? 😊

Janganlah menyombongkan era milenial kalau anda belum mengenal digital.
Masih banyak teknologi yang dapat digunakan di Vihara-Vihara.

Selain teknologi, ide penyebaran Dhamma lewat lagu juga menjadi suatu terobosan yang dapat dilakukan untuk menarik umat khususnya muda-mudi yang memang masih muda dan energik yang membutuhkan penyaluran energi positif.

Terkait dengan ‘lagu’; memang Bhikkhu tidak menyanyi, walaupun dalam paritta “Devata Aradhana” seperti dinyanyikan. Bukan berarti umat tidak boleh menyanyi. Ber-Dhammagita bersama sebelum puja bakti dimulai, atau sebelum mendengarkan Dhamma, atau saat berdana adalah tidak dilarang. Menyanyilah bersama-sama; bukan hanya menonton yang menyanyi; sehingga menjadi lebih bersemangat melaksanakan Pujabakti. Jangan sampai baru “Araham..” sudah mengantuk.

Anda hendaknya memahami kekuatan musik sebagai penyemangat bagi muda-mudi. Generasi muda yang datang ke Vihara semakin berkurang jumlahnya disinyalir karena tidak terpenuhi ‘kebutuhannya’. Mereka sudah stress seminggu beraktivitas sehingga pada akhir minggu butuh penyegaran / penyaluran untuk melepas stress. Kalau hari Minggu, mereka mau datang ke Vihara itu sudah ‘ban-ban kamsia’. Jadi jangan dipersulit dengan tema-tema ruwet, ciptakan suasana yang menyenangkan.

Ketika anda bertepuk tangan, apa yang anda rasakan? Tentu terasa segar dan bersemangat bukan? Kalau sekolah minggu dibuat meriah (salah satunya dengan menyanyi) maka akan menjadi hal yang menarik bagi muda-mudi kita karena merasa kebutuhannya terpenuhi.

Jangan mengeluhkan restoran kita sepi tapi renungkan kita menyediakan apa? Mungkin masakan yang kita sediakan enak tapi bagaimana dengan kemasannya??

Dhamma sebenarnya luar biasa, sayang kemasannya yang kurang menarik. Materi Dhamma yang banyak beredar di Youtube sebenarnya mengingatkan kita bahwa semua orang, siapa saja dapat melihat, menonton, mendengarkan Dhamma tanpa perlu mengganti agamanya; hanya perlu membuka pikirannya dalam menerima Dhamma.

Jadi mengapa harus mempersoalkan jumlah umat Buddha? Saat ini keterbatasan jumlah Bhikkhu sudah tidak sebanding dengan jumlah umat Buddha yang ada. Bukanlah jumlah umat yang harus semakin bertambah, tetapi yang terpenting adalah orang yang memiliki pola pikir Buddhist yang menyadari hidup tidak kekal; apapun agamanya tidak masalah.

HIDUP TIDAK KEKAL!

Manusia takut dengan ketidak-kekalan; Sakit, Tua, Mati adalah hal yang menakutkan bagi manusia. Anda tau bahwa kita semua pasti akan mati; tetapi kalau disuruh mati sekarang.. tentu tidak ada yang mau.

Seorang pemain acrobat yang berjalan di atas kawat dari 1 tiang ke tiang lainnya; anda yakin bahwa pemain acrobat tersebut dapat melakukannya dengan baik karena mahir. Anda yakin apapun yang dilakukannya pasti berhasil. Namun ketika pemain acrobat itu mengajak anda untuk ikut bersamanya berjalan di atas kawat; apakah anda akan melakukannya? Anda tahu bisa tetapi anda tidak mau membuktikan ke-bisa-annya itu.

Seperti halnya, kita tahu Dhamma; kita tahu bahwa hidup tidak kekal. Tetapi ketika terjadi sesuatu yang buruk pada diri kita maka kita tidak dapat menerimanya.

Bagaimana kita bisa menjadi “A Better Buddhist”?
Yaitu ketika kita dapat memaksimalkan hidup kita ini dengan lebih baik.

Jam 7 hari ini adalah berbeda dengan jam 7 besok. Jam 7 hari ini sudah lewat, jam 7 besok adalah berbeda dengan jam 7 hari ini karena tanggalnya berbeda. Nanti malam jam 7 kita akan hidup; tetapi belum tentu hidup karena kematian dapat terjadi setiap saat. Maka dari itu, hiduplah saat ini. Masa lalu bukan untuk disesali ataupun dibanggakan tetapi hendaknya untuk dijadikan pelajaran supaya kita menjadi lebih baik lagi. Yang buruk di masa lalu, perbaiki! Yang sudah baik, ditambah! Jika kita takut akan masa depan maka perbaikilah / persiapkanlah sejak saat ini. Lakukan yang terbaik saat ini. Menjadikan saat ini menjadi yang terbaik; perbaiki masa lalu dan kelola masa depan sejak saat ini.

Setelah memahami pola pikir Buddhist bahwa tidak hanya sekedar berapa banyak jumlah umat melainkan dari pola pikirnya. Menyadari intisari Agama Buddha bahwa hidup tidak kekal maka hiduplah untuk saat ini. Menjaga pikiran, ucapan, dan perbuatan kita setiap saat agar terbebas dari ketamakan, kebencian, dan kebodohan batin.
Inilah yang harus kita lakukan untuk menjadi Buddhist yang lebih baik.

Sabbe sattā bhavantu sukhitattā.
Semoga semua makhluk berbahagia.

Dhammatalk Minggu, 17 November 2019
The Palms Ballroom
Mall Taman Palem Lt. 5
Cengkareng, Jakarta Barat

Fotografer: Widie Chandra

 

 

 

 

 

 

Leave a Reply 0 comments