Culla Narada Jataka

No. 477

CULLA-NĀRADA-JĀTAKA

Sumber : Indonesia Tipitaka Center

 

[219] “Tidak ada kayu yang dipotong,” dan seterusnya— Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berada di Jetavana, tentang godaan dari seorang wanita yang kasar.

Dikatakan bahwa ada seorang wanita berusia enam belas tahun, putri dari seorang penduduk kota Savatthi, yang mungkin dapat membawa keberuntungan bagi para pria, tetapi tidak ada yang bersedia memilih dirinya. Jadi ibunya berpikir dalam dirinya sendiri, “Putriku ini sudah cukup usianya, tetapi belum ada yang mau menikah dengannya. Saya akan menjadikannya sebagai umpan untuk mendapatkan ikan besar, dengan membuat salah satu dari petapa suku Sakya itu kembali ke kehidupan duniawi dan tinggal bersama dengannya.”

Pada waktu itu ada seorang laki-laki dari kelahiran keluarga yang baik yang tinggal di kota Savatthi. Ia telah menaruh hatinya di dalam Dhamma dan menjadi bhikkhu. Akan tetapi di saat ia telah menerima semua perintah, ia kehilangan minat untuk belajar, dan hidup dengan mengabdi pada pemujaan terhadap orang-orangnya.

Upasika tersebut biasanya menyiapkan bubur nasi di rumahnya, dan makanan lain baik yang keras maupun yang lembut, kemudian berdiri di depan pintu di saat para bhikkhu berjalan melewati jalan rumahnya untuk mencari seseorang di antara mereka yang dapat digoda dengan persembahan makanan tersebut.

Berjalan melewatinya, rombongan bhikkhu tersebut yang menjalankan Tipiṭaka, Abhidhamma, dan Vinaya, kelihatannya tidak tertarik menyentuh umpan wanita itu. Di antara mereka yang mengenakan jubah dan membawa patta, para pengkhobah Dhamma dengan suara semanis madu, yang berjalan seperti tetesan air hujan yang berlalu dengan cepat, wanita itu tidak dapat melihat satu orang pun.

Tetapi akhirnya, ia melihat seseorang yang berjalan dekat, ujung matanya menjadi basah, rambutnya terurai, mengenakan jubah bawahan yang terbuat dari kain yang bagus, jubah luar yang terlihat bersih dan rapi, membawa patta yang berwarna seperti batu permata, terlindung oleh bayangan sinar matahari di hatinya, seseorang yang membiarkan panca inderanya berkeliaran, badannya seperti perunggu. “Ia adalah laki-laki yang dapat saya tangkap!” pikir wanita tersebut.

Dengan memberinya salam, wanita itu membawa pattanya dan mempersilahkannya masuk ke dalam rumah. Ia memberinya tempat duduk, menyediakan bubur nasi dan sebagainya. Kemudian setelah selesai makan, wanita itu memintanya agar ia mau menjadikan rumah tersebut sebagai tempat persinggahannya. Maka ia pun sering berkunjung ke rumah itu setelah kejadian tersebut dan mereka menjadi akrab seiring berjalannya waktu.

Pada suatu hari, wanita itu berkata, “Dalam kehidupan keluarga ini, kita sudah cukup bahagia. Hanya saja tidak ada seorang anak laki-laki atau menantu yang dapat menyokong kehidupan kita ini.” Laki-laki tersebut mendengar ini, dan bertanya-tanya alasan apa yang membuatnya berkata demikian, tidak lama kemudian ia merasa seperti jantungnya tertusuk.

Wanita itu berkata kepada putrinya, “Goda laki-laki itu, taklukkan dirinya dalam kuasamu.” Maka setelah hari itu, putrinya berhias dan berdandan untuk menggoda laki-laki tersebut dengan segala cara dan tipu daya wanita. [220] (Anda harus mengerti bahwa seorang ‘wanita yang rendah’ bukan berarti seseorang yang badannya gemuk, tetapi biarpun ia gemuk atau kurus, dikarenakan kekuatan daripada kelima panca inderanya maka ia dikatakan ‘kasar.’)

Kemudian laki-laki itu yang masih muda dan berada di dalam kekuasan nafsu, berpikir, “Saya tidak dapat menjalankan ajaran Sang Buddha lagi,” dan ia pergi ke vihara, menyerahkan pattta dan jubahnya dengan berkata kepada guru spiritualnya, “Saya merasa tidak puas.” Kemudian mereka membawanya ke hadapan Sang Guru dan mengatakan, “Bhante, bhikkhu ini merasa tidak puas.” “Apakah benar apa yang mereka katakan bahwa Anda merasa tidak puas, bhikkhu?” “Ya, Bhante, itu benar.” “Kalau begitu, apa yang membuat Anda menjadi demikian?” “Seorang wanita kasar, Bhante.” Beliau berkata, “Bhikkhu, di masa lampau, di saat Anda tinggal di dalam hutan, wanita yang sama tersebut adalah sebuah rintangan bagi pencapaian kesucianmu dan ia membuatmu terluka berat. Mengapa sekali lagi Anda masih merasa tidak puas karena dirinya?”

Kemudian atas permintaan dirinya, Sang Guru menceritakan sebuah kisah masa lampau.
____________________

Dahulu kala ketika Brahmadatta menjadi raja di Benares, Bodhisatta terlahir di dalam keluarga brahmana yang kaya. Setelah menyelesaikan pendidikannya, ia menjadi orang yang mengurus bisnis keluarganya. Kemudian istrinya melahirkan seorang putra, dan meninggal.

Bodhisatta berpikir, “Seperti yang dialami oleh istri tercintaku, kematian juga tidak akan segan-segan mendatangiku135. Apalah gunanya rumah bagiku? Saya akan menjadi seorang petapa.” Maka setelah meninggalkan nafsu keduniawian, ia pergi bersama dengan putranya ke pegunungan Himalaya. Di sana ia menjalani kehidupan suci, mengembangkan kesaktian melalui pencapaian meditasi jhana, dan tinggal di dalam hutan, bertahan hidup dengan buah-buahan dan akar tetumbuhan.

Pada waktu itu, para penduduk perbatasan menyerang pedesaan. Setelah menyerang desa tersebut dan menawan para penduduknya, mereka kembali dengan membawa hasil rampasan yang banyak. Di antara mereka ada seorang wanita, cantik, tetapi memiliki kelicikan dari seorang yang munafik. Wanita ini berpikir dalam dirinya sendiri, “Orang-orang ini akan  menjadikan kami sebagai budak sesampainya mereka di rumah. Saya harus mencari cara untuk melarikan diri.” Maka ia berkata, “Tuan, saya ingin istirahat. Biarkan saya pergi dan menghindar sementara waktu.” Demikianlah ia menipu para perampok tersebut dan melarikan diri.

Waktu itu, Bodhisatta telah pergi keluar mencari buah-buahan dan sebagainya, dengan meninggalkan putranya di dalam gubuk. Di saat ia tidak ada, wanita ini, yang berkeliaran di dalam hutan, sampai ke gubuk tersebut, di pagi harinya; [221] dan menggoda putra petapa itu dengan nafsu keinginan akan cinta, merusak kebajikannya, dan menguasai dirinya.

Wanita itu berkata kepadanya, “Mengapa harus tinggal di dalam hutan? Mari kita pergi ke desa dan membangun sebuah rumah untuk kita tinggal bersama. Di sana mudah bagi kita untuk menikmati semua kesenangan dan keinginan duniawi.”

Laki-laki itu menyetujuinya dan berkata, “Ayah saya sedang pergi mencari buah-buahan di dalam hutan. Di saat ia pulang, kita akan pergi bersama.” Kemudian wanita tersebut berpikir, “Pemuda tidak berdosa ini tidak tahu apa-apa, tetapi ayahnya pasti telah menjadi seorang petapa di usianya yang tua. Di saat ia pulang, ia pasti tahu apa yang sebenarnya ingin saya lakukan di sini, memukulku, menyeret kakiku dan membuangku di dalam hutan. Saya harus pergi sebelum ia datang.” Maka ia berkata kepada laki-laki itu, “Saya pergi duluan, dan Anda menyusul nanti,” sambil menunjuk ke arah tempat mereka bertemu, ia pun pergi. Setelah ia pergi, anak laki-laki itu menjadi bersedih dan tidak melakukan hal yang biasa dilakukannya, hanya menutupi dirinya dan berbaring di dalam gubuk dengan rasa sedih.

Ketika Sang Mahasatwa pulang dengan membawa buah-buahan, ia melihat jejak kaki dari wanita tersebut. “Itu adalah jejak kaki seorang wanita,” pikirnya, “kebajikan anakku pasti telah hilang.” Kemudian ia masuk ke dalam gubuk dan meletakkan buah-buahan tersebut ke bawah, bertanya kepada anaknya dengan mengucapkan bait pertama berikut ini:

“Tidak ada kayu yang dipotong,
dan mengapa tidak mengambil air dari kolam,
Tidak ada api yang dinyalakan.
Mengapa kamu hanya berbaring sedih di sini seperti orang dungu?”

Mendengar perkataan ayahnya ini, anak laki-laki itu bangun dan menyapanya. Dan dengan segala rasa hormat mengatakan kepadanya bahwa ia tidak bisa tahan dengan kehidupan di hutan, sambil mengucapkan beberapa bait kalimat berikut ini:

“Saya tidak bisa tinggal di dalam hutan.
Ini, O Kassapa, saya bersumpah;
Kehidupan di dalam hutan itu adalah sulit,
dan saya akan kembali menjadi manusia awam136.
“Ajari diriku, O brahmana,
di saat saya berangkat, kemanapun diriku pergi,
Tentang adat istiadat desa yang harus saya ketahui.”

[222] “Bagus sekali, anakku,” kata Sang Mahasatwa, “Saya akan memberitahumu tentang adat istiadat desa.” Dan ia mengucapkan beberapa bait kalimat berikut ini:

“Jika ini adalah pemikiranmu untuk meninggalkan
buah dan akar tetumbuhan di hutan
Dan tinggal di desa, dengarkan saya mengajarkan
cara yang sesuai dengan kehidupan duniawi.”

“Jangan mendekati tebing, menjauhlah dari racun,
Jangan duduk di lumpur, dan berjalan dengan hati-hati
ketika melewati tempat yang ada ularnya.”

Putra petapa itu yang tidak memahami nasehat yang memiliki arti yang dalam ini, bertanya:

“Apa hubungannya tebing dengan kehidupan suci,
Lumpur, racun, ular? saya mohon
beritahukan saya tentang hal ini.”

Bodhisatta menjelaskan—

“Ada minuman keras di dunia ini, anakku,
yang kita sebut anggur,
Wangi, enak, semanis madu, dan murah,
rasanya nikmat Nārada (Narada), bagi orang suci
ini adalah racun, kata orang yang bijak.

“Dan wanita di dunia ini dapat
menghilangkan akal sehat seseorang,
Mereka memperdaya orang-orang muda,
seperti angin ribut yang menangkap kapas dari tanah:
Jurang yang kumaksud adalah ini,
yang ada di hadapan setiap orang baik.

“Kehormatan tinggi ditunjukkan oleh orang lain,
mendapatkan ketenaran dan harta,
Ini adalah lumpur, O Narada,
yang dapat menodai orang suci.

“Raja yang agung dengan para pengawalnya
tinggal di dunia tersebut,
Dan mereka adalah orang hebat,
O Narada, seorang raja yang agung.

[223] “Anda tidak boleh berjalan di depan
raja dan para pengawalnya,
Narada, ini karena ular yang baru saja
saya katakan kepadamu.

“Rumah yang Anda kunjungi untuk makan,
orang-orang duduk untuk makan daging,
Jika Anda melihat ada yang bagus di dalam rumah itu,
di sana lah mereka berkumpul dan makan.

“Ketika dijamu oleh orang lain untuk
makan dan minum, lakukan hal ini:
Jangan makan atau minum terlalu banyak,
hindarkan diri dari keinginan duniawi.

“Dari gosip, minuman, teman yang cabul,
dan membeli barang-barang emas,
Jauhkan dirimu seperti mereka
yang melintas di jalan yang tidak rata.”

Selagi ayahnya berkata dan berkata terus, anak laki-laki tersebut menjadi sadar dan berkata, “Sudah cukup dunia ini bagiku, ayah!” [224] Kemudian ayahnya mengajarkan bagaimana cara mengembangkan cinta kasih dan perasaan baik lainnya. Putranya mengikuti petunjuk ayahnya dan tidak lama kemudian mencapai kesaktian melalui pencapaian meditasi jhana. Dan mereka berdua, ayah dan anak, tanpa terputus dalam meditasi pencapaian jhana, tumimbal lahir di alam Brahma.
____________________

Setelah selesai menyampaikan uraian ini, Sang Guru mempertautkan kisah kelahiran ini: “Pada masa itu, wanita kasar itu adalah wanita muda sekarang ini, bhikkhu yang merasa tidak puas itu adalah putra petapa, dan saya sendiri adalah ayahnya.

____________________

Catatan kaki :

135 Maksudnya kematian akan menimpa diriku juga suatu hari.

136 Secara harfiah, itu seharusnya adalah ‘kerajaan.’

Leave a Reply 0 comments