10. Cunda si Pemotong Babi
Kisah ini menceritakan seorang lelaki bernama Cunda. Selama lima puluh tahun ia memotong babi untuk dimakan atau untuk dijual. Di belakang rumahnya terdapat sebidang tanah. Tanah itu diberi pagar dan dijadikan kandang untuk memelihara babi-babi. Babi-babi itu diberinya makanan berupa rumput-rumputan, sampah atau kotoran-kotoran.
Apabila Cunda ingin makan daging babi, ia mengambil salah seekor babinya untuk dipotong. Babi itu diikatnya pada sebuah tonggak, badan babi itu dimasukkan ke dalam keranjang. Kemudian mulut babi itu dibuka dengan paksa, dan diganjal dengan sepotong kayu. Kemudian ia memasak air, air panas itu dituangkannya ke dalam mulut babi yang sudah terbuka. Air panas itu gunanya untuk membersihkan perut babi dari kotoran-kotoran yang masih tersisa. Air mengalir keluar melalui anus bersama dengan kotoran-kotoran, apabila air yang keluar dari anus sudah jernih, berarti perut babi sudah bersih. Air panas yang masih tersisa itu lalu disiramkannya ke punggung babi, supaya kulitnya mengelupas. Kemudian ia membakar bulu-bulu babi dengan sebuah obor. Setelah itu kepala babi dipotongnya dengan sebuah golok. Daging babi itu kemudian diberi bumbu-bumbu lalu dipanggangnya, untuk dimakan bersama anggota keluarganya. Apabila daging babi lebih, ia menjual daging itu ke pasar. Dengan cara seperti itulah Cunda menjalani kehidupannya selama lima puluh tahun.
Ketika itu Sang Buddha sedang berdiam di Vihara yang tidak jauh dari tempat tinggal Cunda. Tetapi ia tidak pernah sekalipun mengunjungi Sang Buddha, dengan mempersembahkan bunga ataupun berdana makanan. Cunda tidak pernah melakukan kebaikan.
Pada suatu hari ia menderita sakit berat, karena perbuatan yang dilakukan selama hidupnya, meskipun ia belum mati ia sudah merasakan panasnya Neraka Avici. Ketika siksaan Neraka itu sudah dirasakannya, sifatnya langsung berubah seperti seekor babi. Ia mulai mendengkur dan menjerit seperti seekor babi yang hendak dipotong. Ia merangkak dengan tangan dan kaki ke depan dan ke belakang rumah, persis seperti seekor babi. Keluarganya menyergap dan menyumpal mulutnya. Tetapi ia tetap mendengkur dan menjerit seperti seekor babi. Orang-orang di sekitar rumahnya tidak dapat tidur nyenyak. Karena ketakutan melihat tingkah laku Cunda, keluarganya lalu mengurungnya di dalam rumah, dan mereka berjaga-jaga di sekitar rumah. Setelah tujuh hari Cunda merasa siksaan Neraka Avici, ia meninggal dunia dan terlahir di Neraka Avici.
Beberapa orang bhikkhu yang melewati rumah Cunda, mendengar dengkuran dan jeritan babi-babi, mereka kembali ke Vihara menghadap Sang Buddha dan menceritakan apa yang mereka lihat dan mereka dengar:
“Yang Mulia, selama tujuh hari ini rumah Cunda ditutup, pasti ia sedang berpesta. Berapa banyak babi yang ia potong. Ia sama sekali tidak mempunyai cinta kasih dan belas kasihan kepada makhluk lain. Belum pernah kami menemukan orang yang sekejam dan sesadis Cunda ini”.
Sang Buddha menjawab:
“O para bhikkhu, ia tidak memotong babi selama tujuh hari ini. Sebagai hukuman atas apa yang dilakukannya selama ini meskipun ia belum meninggal ia sudah merasakan siksaan Neraka Avici. Selama tujuh hari ini, ia merangkak ke sana ke mari di dalam rumahnya, mendengkur dan menjerit-jerit seperti seekor babi. Hari ini ia meninggal dunia dan terlahir di Neraka Avici”.
Para bhikkhu lalu menjawab:
“Yang Mulia, setelah menderita di dunia ini, ia akan pergi menuju tempat yang menderita dan terlahir di sana”.
“Ya bhikkhu”, jawab Sang Buddha.
“Ia yang lengah, baik ia seorang umat ataupun seorang bhikkhu, akan menderita di kedua dunia”.
Sang Buddha lalu mengucapkan syair:
“Di dunia ini ia bersedih hati, di dunia sana ia bersedih hati, pelaku kejahatan akan bersedih hati di kedua dunia itu. Ia bersedih hati dan meratap karena melihat perbuatannya sendiri yang tidak bersih”.
Janganlah berbuat jahat
Tambahkanlah kebaikan
Sucikan hati dan pikiran
Ini ajaran semua Buddha