Fakta Ketidakkekalan

 

anicca

 

 

FAKTA KETIDAKKEKALAN

 

 

“ Segala sesuatu yang terjadi dari panduan unsur adalah sasaran perubahan. Berjuanglah mencapai kebebasan dengan sadar, waspada “
Ini merupakan nasehat terakhir yang disampaikan oleh Buddha Gotama kepada murid – murid – Nya.

Ketika Buddha wafat, Sakka, Raja para dewa, mengucapkan kata – kata berikut :

Anicca vata sankhara – uppada vaya dhammino
Uppajjitva nirujjhanti – tesam vupasamo sukho
Mahaparinibbana Sutta

“ Segala sesuatu yang terbentuk tidaklah kekal,
timbul dan tenggelam sifatnya ;
setelah muncul akan hancur dan lenyap.
Terbebas darinya adalah kebahagiaan tertinggi. “

Bahkan sampai saat ini, di setiap pemakaman Buddhis di negara – negara aliran Therawada, ayat Pali ini dibacakan oleh para bhikkhu yang melakukan upacara pemakaman, mengingatkan jema’ah pada sifat kehidupan yang tidak kekal.

Merupakan pemandangan yang umum di negara Buddhis, para umat mempersembahkan bunga – bunga dan menyalakan lampu minyak di hadapan patung Buddha. Mereka bukan menyembah kepada Buddha ataupun kepada “ makhluk supernatural “ lainnya. Bunga – bunga yang layu dan api yang padam bagi mereka mengungkapkan ketidakkekalan dari semua benda – benda yang berkondisi.

Satu kata yang sederhana ini, “ketidakkekalan“ (anicca), merupakan inti dari ajaran Buddha. Makhluk hidup juga ditandai dua sifat kehidupan lain, penderitaan (dukkha) dan tanpa inti (anatta). Fakta mengenai ketidakkekalan berarti bahwa realitas tidak pernah dalam keadaan tetap melainkan seluruhnya dinamis, dan bahkan ilmu pengetahuan modern pun menyadari bahwa ini merupakan sifat dunia yang utama tanpa adanya pengecualian. Dalam ajaran – Nya mengenai realitas yang dinamis, Buddha memberikan kepada kita kunci utama untuk membuka pintu mana pun yang kita inginkan. Dunia modern menggunakan kunci utama yang sama, tetapi hanya untuk kemajuan materiil, dan pintu demi pintu terbuka dengan keberhasilan yang mengagumkan.

Perubahan atau ketidakkekalan adalah sifat yang terpenting dari semua fenomena kehidupan. Kita tidak dapat mengatakan bahwa barang apa pun, hidup atau mati, organic atau anorganik, “ini adalah abadi.“ Bahkan sementara kita membicarakannya, perubahan sedang berlangsung. Semua ini berlalu dengan cepat : keindahan bunga, kicau burung, dengungan lebah, dan keagungan matahari yang terbenam.

“Misalkan engkau sedang memandang indahnya matahari yang terbenam. Seluruh langit di sebelah barat memancarkan cahaya yang berwarna merah : tetapi engkau sadar bahwa dalam setengah jam semua warna yang cerah ini berangsur – angsur akan hilang dari hadapan matamu, walaupun matamu tidak dapat mengenali sebelumnya kesimpulan yang beralasan itu. Dan apakah kesimpulannya ? Kesimpulannya adalah engkau tidak pernah dapat menyebutkan ataupun membayangkan, melihat suatu warna yang kekal, warna apapun yang sebenarnya bahkan untuk waktu yang paling singkat. Dalam perjutaan detik seluruh keagungan dari langit yang terlukis mengalami rangkaian perubahan yang tak terhitung banyaknya. Satu perubahan digantikan dengan yang lain dengan kecepatan yang membuat semua pengukuran tertinggal, karena proses itu tidak dapat diukur….. akal sehat menolak untuk menahan periode tertentu dari pemandangan yang berlalu itu, atau untuk mengungkapkan begitu, karena kalaupun ada yang berusaha, seketika hal itu sudah tiada. Ini merupakan rangkaian perubahan warna yang cepat, tiada satu pun darinya tetap ada, karena semuanya secara terus menerus lenyap menjadi yang lain. “

Semua paduan unsur, yaitu segala sesuatu yang timbul sebagai akibat dari suatu sebab, dan yang pada gilirannya kemudian menimbulkan akibat, dapat dinyatakan dalam satu kata anicca, ketidakkekalan. Oleh karena itu, semua sifat hanyalah merupakan variasi yang terbentuk dari paduan ketidakkekalan, penderitaan ( ketidakpuasan ), dan tanpa diri atau inti : anicca, dukkha dan anatta.

Tidak kentara, ketiga corak kehidupan tersebut tetap mengelabui dunia ini sampai Buddha mengungkapkan sifatnya yang sejati. Pengungkapan itu membabarkan ketiga corak ini, dan bagaimana melalui penembusan ketiganya secara lengkap seseorang mencapai pembebasan pikiran – yang dimiliki oleh seorang Buddha. Ini merupakan saripati seluruh ajaran para Buddha.

Walaupun konsep anicca diterapkan pada semua benda yang tersusun dari paduan unsur dan terkondisi, Buddha lebih menekankan pada apa yang disebut makhluk hidup, karena masalahnya berhubungan dengan manusia dan bukan dengan benda mati. Seperti seorang ahli anatomi yang memisahkan organ tubuh menjadi jaringan dan jaringan menjadi sel, Buddha, Penganalisis ( vibhajjavadi ), menganalisis apa yang disebut mahkluk hidup, “sankhara punja,“ himpunan proses, menjadi lima agregat yang selalu berubah, dan membuatnya menjadi jelas bahwa tidak ada suatu yang kekal, tidak ada yang selamanya abadi, dalam himpunan agregat ini (khandha – santati). Himpunan agregat kehidupan itu adalah bentuk jasmani, perasaan, pencerapan, bentuk – bentuk pikiran, kesadaran.

Buddha menerangkan : “Para Bhikkhu, kelima agregat adalah anicca, tidak kekal ; apa saja yang tidak kekal, adalah dukkha, tidak memuaskan ; apa saja yang dukkha, adalah tanpa atta, diri. Apa yang tanpa diri ; bukanlah milikku, bukan aku, bukan diriku sendiri. Demikian yang seharusnya dilihat dengan kebijaksanaan sempurna (sammappannaya) sebagaimana yang sesungguhnya. Barang siapa melihat dengan kebijaksanaan sempurna, sebagaimana yang sesungguhnya, pikirannya tidak serakah, lepas dari noda, ia terbebas. “

Nagarjuna hanyalah mengulang ucapan Buddha ketika ia mengatakan : “Ketika pikiran mengenai atman, diri atau jiwa padam, pikiran mengenai “milikku“ juga padam dan seseorang menjadi bebas dari gagasan mengenai aku dan milikku.“

Buddha memberikan lima kiasan yang jelas untuk menggambarkan sifat sementara dari kelima agregat kehidupan. Beliau membandingkan bentuk jasmani dengan gumpalan buih, perasaan dengan gelembung, pencerapan dengan bayangan, bentuk – bentuk pikiran dengan sebuah peti kosong (yang tanpa inti, tanpa kayu di tengahnya) dan kesadaran dengan ilusi, dan bertanya : “Apa intinya, Bhikkhu, yang terdapat dalam gumpalan buih, dalam gelembung, dalam bayangan, dalam peti kosong, dalam ilusi ?“

Selanjutnya Buddha mengatakan : “Apa saja bentuk jasmani di masa lampau, kelak atau pun sekarang, di dalam atau di luar, kasar atau halus, rendah atau tinggi, jauh atau dekat ; para Bhikkhu yang melihat bentuk jasmani itu menjadikannya objek meditasi, meneliti dengan perhatian yang sistematis, akan menemukan kekosongan ; ia akan menemukan tanpa subtansi pokok dan tanpa inti. Apa intinya, Bhikkhu yang terdapat dalam bentuk jasmani ?”

Buddha berbicara dengan cara yang sama tentang agregat lain, dan bertanya : “Apa intinya, Bhikkhu, yang terdapat dalam perasaan, dalam pencerapan, dalam bentuk – bentuk pikiran dan dalam kesadaran ?“

Demikian yang kita lihat, jangkauan pikiran yang lebih mendalam muncul dengan analisis kelima agregat. Pada keadaan inilah pengertian benar yang dikenal sebagai pandangan terang (vipassana) mulai bekerja. Melalui pandangan terang inilah sifat sejati dari agregat tersebut dipahami dan terlihat dalam cahaya tiga corak (tilakkhana), yaitu ketidakkekalan, ketidakpuasan dan tanpa inti.

Bukan hanya kelima agregat yang tidak kekal, tidak memuaskan dan tanpa inti, namun sebab dan kondisi yang menghasilkan agregat – agregat ini juga tidak kekal, tidak memuaskan dan tanpa inti. Hal ini dijelaskan oleh Buddha dengan sangat gamblang :

“ Para Bhikkhu, bentuk jasmani, perasaan, pencerapan, bentuk – bentuk pikiran dan kesadaran, adalah tidak kekal ( anicca ). Apa pun sebab dan kondisi yang mengakibatkan timbulnya agregat – agregat ini, juga tidak kekal. Para Bhikkhu, bagaimana mungkin agregat yang timbul dari apa yang tidak kekal dapat menjadi kekal ?”

“ Para Bhikkhu, bentuk jasmani… dan kesadaran, adalah tidak memuaskan ( dukkha ). Apa pun sebab dan kondisi yang mengakibatkan timbulnya agregat – agregat ini, juga tidak memuaskan. Para Bhikkhu, bagaimana mungkin agregat yang timbul dari apa yang tidak memuaskan dapat menyenangkan atau menimbulkan kesenangan ?”

“ Para Bhikkhu, bentuk jasmani….. dan kesadaran, adalah tanpa inti ( anatta ). Apa pun sebab dan kondisi yang mengakibatkan timbulnya agregat – agregat ini, juga tanpa inti. Para Bhikkhu, bagaimana mungkin agregat yang timbul dari apa yang tanpa inti, dapat memiliki inti ( atta ) ?”

“ Para Bhikkhu, siswa arya yang terlatih ( sutava ariyasavako ) memahami demikian, mengambil sikap netral menghadapi bentuk jasmani, perasaan, pencerapan, bentuk – bentuk pikiran dan kesadaran. Melalui kenetralan, ia tidak terikat, melalui ketidakterikatan ia terbebas ; dalam kebebasan pengetahuan pun muncul bahwa ia terbebas dan ia memahami : Berakhirlah kelahiran, menjalani kehidupan suci, melakukan apa yang harus dilakukan, tidak ada lagi darinya yang akan datang ( maksudnya tidak ada lagi kelanjutan dari agregat – agregat tersebut, yaitu tidak ada lagi penjelmaan atau kelahiran kembali ). “

Selalu terjadi ketika kita gagal untuk melihat sifat sejati dari sesuatu, maka pandangan kita menjadi kabur. Karena pendapat kita yang telah terbentuk sebelumnya, ketamakan dan kemalasan kita, kesukaan dan ketidak sukaan kita, kita gagal untuk memahami alat indra dan objek indra dalam sifatnya masing – masing dan objektif ( ayatananam ayatanattam ), dan mengejar khayalan serta tipuan. Alat indra menipu dan menyesatkan kita, kemudian kita gagal untuk memahami sesuatu dalam bentuk yang sebenarnya, sehingga cara kita melihat sesuatu menjadi salah ( viparita dassana ).

Buddha mengatakan mengenai tiga jenis ilusi atau kesalahan ( vipallasa, Skt viparyasa ) yang menguasai pikiran manusia yaitu ilusi pencerapan, pikiran dan pandangan ( sanna vipallasa ; citta – v ; ditthi – v ). Nah, kalau seorang manusia terjebak dalam ilusi – ilusi ini ia merasakan, pikiran dan memandang secara salah.

Ia merasakan kekekalan dalam ketidakkekalan ; kepuasan dalam ketidakpuasan ( kesenangan dan kebahagiaan dalam penderitaan ) ; keakuan dalam apa yang tanpa aku ( jiwa dalam tanpa jiwa ); keindahan dalam keburukan.

Ia berpikir, ia berpandangan dalam sikap keliru yang sama. Jadi setiap ilusi bekerja dengan empat cara, dan menyebabkan manusia tersesat, mengaburkan pandangannya, dan membingungkannya. Ini mengakibatkan pemikiran yang tidak bijaksana, perhatian yang tak teratur ( ayoniso manasikara ). Pengertian benar ( atau meditasi untuk mencapai pengertian – vipassana ) sendiri menghilangkan ilusi – ilusi ini dan menolong manusia untuk menyadari sifat sesungguhnya yang mendasari semua hal yang tampak. Hanya ketika seseorang berhasil keluar dari kabut ilusi dan kesalahan inilah maka ia akan memancarkan kebijaksanaan sejati bagaikan bulan purnama yang muncul dengan cerah dari balik awan hitam.

Agregat – agregat dari rohani dan badan jasmani menyebabkan mahkluk hidup selalu menjadi sasaran sebab dan akibat sebagaimana yang kita bicarakan di atas, melalui saat – saat kemunculan yang tak dapat dibayangkan cepatnya, dengan cepat timbul dan lenyap ( uppada, thiti bhanga ), bagaikan ombak di lautan yang tanpa akhir ataupun bagaikan sungai banjir yang meluap lalu surut. Tentu saja, kehidupan manusia dibandingkan dengan arus gelombang yang mengalir dan terus berlalu, berubah tanpa henti bagaikan arus yang mengalir ( nadi sotoviya ).

Seharusnya jelas sudah bahwa mahkluk hidup yang untuk mudahnya kita sebut pria, wanita ataupun orang, bukanlah sesuatu yang tetap, namun terus bergerak, dalam keadaan terus berubah dan tanpa henti. Ketika seseorang memandang kehidupan dan segalanya yang berhubungan dengan kehidupan dalam cara pandang ini, dan memahami secara analitis, apa yang disebut mahkluk hidup ini semata – mata hanyalah rangkaian agregat jasmani dan rohani, ia melihat sesuatu sebagaimana yang sesungguhnya ( yatha – bhutam ). Ia tidak memiliki pandangan salah mengenai kepercayaan terhadap personalitas, kepercayaan terhadap jiwa atau diri ( sakkaya ditthi ), karena ia tahu melalui pengertian benar bahwa semua fenomena kehidupan disebabkan oleh sebab musabab yang saling bergantungan ( paticcasamuppada ), bahwa gejala sesuatu terkondisi oleh sesuatu yang lain, dan kehidupan itu berhubungan dengan kondisi itu. Ia tahu bahwa sebagai hasil dari tidak adanya “ aku “ tidak ada kesatuan batin yang tetap, tidak ada prinsip diri sendiri, tidak ada diri ataupun sesuatu yang berhubungan dengan diri dalam proses kehidupan ini. Oleh karena itu, ia bebas dari pikiran mengenai roh mikrokosmik ( jivatma ) ataupun roh makrokosmik ( paramatma ) atau bahkan roh kosmik.

Dikatakan bahwa melalui meditasi untuk mengembangkan pengertian ( vipassana ) seseorang melihat sesuatu sebagaimana yang sesungguhnya ( yathabhutam ) dan bukan sebagaimana yang tampak saja. Dengan memandang benda – benda sebagaimana yang sesungguhnya, seperti yang telah kita bicarakan sebelumnya, melihat ketidakkekalan, ketidakpuasan dan tanpa inti sebagai sifat dari semua benda – benda yang berkondisi dan terdiri dari paduan unsur. Bagi murid Buddha yang bermeditasi “ dunia “ bukanlah merupakan dunia luar ataupun dunia empiris, melainkan tubuh manusia dengan kesadarannya. Itulah dunia dengan lima agregat yang melekat ( panca – upadanakkhanda ). Ia mencoba untuk memahaminya sebagai suatu yang tidak kekal, tidak memuaskan dan tanpa inti atau jiwa. Dunia badan jasmani dan rohani inilah yang dimaksud oleh Buddha ketika Beliau berkata pada Mogharaja : “ Sadarlah selalu, Mogharaja, lihatlah dunia sebagai kekosongan ( sunna ) – yang telah melepaskan pikiran mengenai diri ( yang mendasarinya ) – sehingga ia dapat menaklukkan kematian ( mara ). Raja kematian tidak melihat mereka yang telah memahami. “

Keseluruhan dari filosofi tentang perubahan yang diajarkan dalam agama Buddha adalah bahwa segala sesuatu yang terjadi dari paduan unsur, yang terkondisi adanya, merupakan proses dan bukan merupakan kelompok kesatuan hidup yang kekal, tetapi perubahan itu terjadi dalam rangkaian yang sedemikian cepat sehingga orang – orang memandang rohani dan jasmani sebagai kesatuan hidup yang tetap. Mereka tidak melihat timbulnya dan hancurnya ( udaya – vaya ), namun memandang secara kesatuan, melihat sebagai suatu keseluruhan ( ghana sanna ).

Sangatlah sulit tentunya, bagi orang – orang yang biasa berpikiran bahwa rohani dan badan jasmani serta dunia luar dengan projeksi mental sebagai keseluruhan, sebagai kesatuan yang tidak terpisahkan, menyingkirkan penglihatan yang salah dari “ keseluruhan “. Selama manusia gagal untuk melihat sesuatu sebagaimana prosesnya, pergerakannya, ia tidak akan memahami ajaran anatta ( tanpa inti ) dari Buddha. Inilah sebabnya mengapa orang – orang yang menyimpang dan tidak sabar mengajukan pertanyaan : Jika tidak ada kesatuan hidup yang tetap, tidak ada dasar yang tidak berubah, seperti diri atau jiwa, lalu apakah yang merasakan hasil dari perbuatan yang dilakukan sekarang dan di masa depan ?

Terdapat dua khotbah berbeda yang berhubungan dengan pertanyaan ini. Buddha telah menjelaskan dengan jelas kepada murid – murid – Nya tentang sifat ketidakkekalan dari lima agregat, bagaimana mereka sama sekali tidak memiliki diri, dan bagaimana kesombongan tersembunyi dari “ aku “ dan “ milikku “ tidak ada lagi, dan kemudian timbul pemikiran dalam benak sebagian Bhikkhu demikian : “ Tubuh jasmani bukanlah diri, perasaan bukanlah diri, pencerapan bukanlah diri, bentuk – bentuk pikiran bukanlah diri, kesadaran bukanlah diri. Lalu apakah yang diakibatkan oleh perbuatan yang tanpa diri ? “.

Buddha, yang membaca pikiran para Bhikkhu, berkata : “ pertanyaan itu tidaklah penting, “ dan membuat para Bhikkhu memahami ketidakkekalan, ketidakpuasan dan sifat tanpa diri dari agregat – agregat itu.

“ Salah jika mengatakan bahwa pelaku perbuatan adalah sama dengan orang yang merasakan hasilnya. Salah pula jika mengatakan bahwa pelaku perbuatan dengan orang yang merasakan hasilnya merupakan dua orang yang berbeda “. Alasannya sederhana, apa yang kita sebut kehidupan merupakan aliran proses batin dan jasmani atau energi yang timbul dan lenyap tanpa henti. Tidaklah mungkin untuk mengatakan bahwa si pelaku sendiri yang merasakan hasilnya karena ia menjalani perubahan sekarang, setiap saat dalam kehidupannya ; tetapi pada saat yang sama kita juga tidak boleh lupa pada kenyataan bahwa kelangsungan dari kehidupan adalah lanjutan dari pengalaman ; rangkaian kejadian – kejadian itu tidaklah hilang, terus berlanjut tanpa jeda. Seorang anak kecil tidak sama ketika menjadi anak remaja, remaja tidak sama ketika menjadi dewasa, mereka bukanlah orang yang sama ataupun orang yang sama sekali berbeda ( na ca so na ca anno ). Yang ada hanyalah aliran proses batin dan jasmani.

Terdapat tiga jenis guru : yang pertama mengajarkan bahwa diri atau jiwa adalah nyata di masa sekarang, sama nyatanya dengan yang di masa depan ( sekarang dan selanjutnya ) : yang kedua mengajarkan bahwa diri hanya nyata dalam kehidupan ini, tetapi tidak di masa depan ; yang ketiga mengajarkan bahwa konsep diri hanyalah merupakan sebuah ilusi – tidak nyata baik dalam kehidupan sekarang ataupun yang selanjutnya.

Orang yang pertama adalah orang yang mengakui keabadian ( sassatavadi ) ; yang kedua adalah orang yang mengakui pemusnahan diri ( ucchedavadi ), yang ketiga adalah Buddha yang mengajarkan jalan tengah dengan menghindari jalan ekstrem mengenai keabadian dan pemusnahan diri ( di sini jalan tengah adalah ajaran mengenai sebab akibat yang saling bergantungan – paticca samuppada ).

Semua agama teisme mengajarkan bahwa diri tetap bertahan setelah kematian dalam berbagai cara, dan tidak dimusnahkan. Konsep materialis menganggap bahwa diri dimusnahkan pada saat kematian. Pandangan Buddhis adalah tidak ada diri, subtansi inti apa pun, atau yang abadi, tetapi segala sesuatu yang terkondisi merupakan sasaran dari perubahan, dan mereka berubah, tidak tetap sama pada dua saat yang berurutan, dan terdapat kelanjutan namun bukan merupakan identitas.

Selama manusia menyukai gagasan diri atau jiwa abadi, tidak mungkin baginya untuk memahami pemikiran bahwa segala sesuatu adalah tidak kekal, dalam kenyataan, timbul dan lenyapnya benda – benda ( samudaya – dhamma, vayadhamma ). Pemahaman ajaran mengenai anatta, yang hanya terdapat dalam agama Buddha, sangat diperlukan untuk memahami Empat Kebenaran Mulia dan ajaran dasar lainnya dari agama Buddha.

Orang – orang di dunia kini mengenali sifat kehidupan yang berubah. Mereka melihatnya, tetapi mereka tidak mencamkannya dan bersikap tidak peduli benar. Walaupun perubahan berulang kali dibicarakan dan membuat mereka tidak senang, mereka terus saja mengejar karier gila yang berputar dalam roda kehidupan yang membingungkan dan membuatnya terjerat serta tersiksa dalam penderitaan. Mereka menyukai kepercayaan yang memungkinkan mereka untuk menemukan jalan menuju kebahagiaan dalam perubahan ini, menemukan pusat keamanan dalam lingkaran ketidakkekalan. Mereka membayangkan bahwa walaupun dunia ini tidak menentu, mereka dapat membuatnya tetap dan memberikan dasar yang kuat padanya. Dan perjuangan tanpa henti untuk kemajuan dunia terus berlanjut dengan usaha keras dan semangat yang sia – sia.

Sejarah telah berulang kali membuktikan dan akan terus membuktikan bahwa tidak ada satu pun di dunia ini yang abadi. Semua hal ketika melekat akan mengalami kegagalan. Bangsa dan peradaban bangkit, maju dan hancur bagaikan ombak di lautan, memberikan tempat pada yang baru, dan demikian pula waktu bergulir mencatat sejarah yang berlalu, pandangan tanpa dasar, dan aliran yang lenyap itulah sejarah manusia.

Sumber :

SPEKTRUM AJARAN BUDDHA
Kumpulan Tulisan Mahathera Piyadassi
Penerbit : YAYASAN PENDIDIKAN BUDDHIS TRI RATNA

 

 

 

 

Leave a Reply 0 comments