Hakikat Sesungguhnya dari Benda-benda

Vipassanâ – Dhura

Diterjemahkan dari “HANDBOOK FOR MANKIND”
Karya
PHRA BUDDHADASA MAHATHERA

II. HAKIKAT SESUNGGUHNYA DARI BENDA-BENDA

Kita telah mengetahui, bahwa “agama” mempunyai arti yang lebih luas dari “moralitas”. Moralitas menyangkut tingkah-laku dan kebahagiaan seseorang yang pada garis besarnya dapat dikatakan sama di seluruh dunia. Agama adalah suatu sistem tata-hidup pada tingkat yang lebih tinggi. Namun cara pelaksanaan dalam praktek dari berbagai agama memperlihatkan perbedaan-perbedaan yang besar.

Moralitas bertujuan agar kita menjadi manusia-manusia baik yang hidup sesuai dengan prinsip-prinsip umum yang berlaku dalam masyarakat, sehingga tidak menimbulkan ketegangan-ketegangan kepada diri kita sendiri atau orang-orang lain. Tetapi kita tahu pula, bahwa biarpun seorang bermoral sempurna ia tetap masih belum terbebas dari penderitaan sebagai akibat dari kelahiran, usia tua, sakit, mati dan dari bekerjanya kekotoran-kekotoran batin. Moralitas saja tidak dapat memusnahkan lobha, dosa dan moha, dan oleh karena itu tidak dapat mengatasi penderitaan. Agama, khususnya Buddha-Dhamma, justru bertujuan untuk mengatasi dengan sempurna kekotoran-kekotoran batin. Buddha-Dhamma bertujuan untuk mengatasi berbagai macam penderitaan yang timbul akibat kelahiran, usia tua, sakit dan mati. Di sini letak perbedaan antara agama dan moralitas.

Definisi Buddha-Dhamma

Buddha-Dhamma adalah suatu sistem yang diciptakan untuk memperoleh pengetahuan tentang tehnik, yang tidak dapat dipisah-pisahkan dari tehnik latihannya (satu sistem latihan yang teratur), tentang hakikat sesungguhnya dari benda-benda, atau dalam perkataan lain : “apakah ‘apa’ itu?” Kalau Saudara selalu ingat definisi tersebut di atas, Saudara tidak akan mendapat kesulitan untuk mengerti Buddha-Dhamma. Cobalah tanya diri Saudara sendiri, apakah Anda tahu atau tidak arti daripada “apakah ‘apa’ itu?”

Meskipun Saudara tahu tentang diri Saudara, tentang hidup, pekerjaan, kewajiban, mata-pencarian, uang, harta benda, kehormatan, kemashuran, apakah Anda berani menyatakan telah tahu segala sesuatunya?

Kalau sekiranya Saudara benar-benar tahu tentang “apakah ‘apa’ itu”, tak mungkin Anda melakukan lagi perbuatan yang tidak sesuai. Dan bila Saudara hanya melakukan perbuatan-perbuatan yang sesuai, maka Anda tidak akan lagi menjadi subyek dari penderitaan. Kenyataannya ialah, bahwa Saudara masih belum tahu tentang hakikat sesungguhnya dari benda-benda sebagai akibatnya Anda tentu saja masih melakukan perbuatan-perbuatan yang tidak sesuai. Dan hasilnya: penderitaan.

Buddha-Dhamma diciptakan khusus untuk mengajarkan kita tentang hakikat sesungguhnya dari benda-benda. Mengerti jelas hal ini berarti memperoleh buah dari Jalan Suci. Mungkin juga buah yang terakhir, yaitu Nibbana, karena pengertian ini dapat memusnahkan kekotoran batin dengan sekaligus.

Kalau sudah mengerti hakikat sesungguhnya dari benda-benda, perasaan tertarik pada benda-benda akan hilang dan sebagai gantinya akan muncul suatu keadaan tenang yang tak dapat terpikat dan digoncangkan lagi oleh keelokan benda-benda. Akhirnya disusul dengan pembebasan dari penderitaan.

Dalam taraf latihan kita belum insyaf, bahwa kehidupan dan semua benda yang memikat hati dengan perasaan-perasaan “suka”, “ingin” dan “gembira” pada hakikatnya tidak langgeng dan tanpa inti. Karena itu kita terpikat oleh benda-benda, kita sayang padanya, kita menginginkannya, kita memegangnya erat-erat dan kita melekat padanya. Keadaan ini akan berubah kalau kita mempraktekkan Ajaran Sang Buddha. Sebab kita akan dapat melihat benda-benda dengan wajar dalam proporsi yang sebenarnya dan mengerti bahwa mereka itu semua anicca, dukkha, anatta. Karena itu tidak berharga untuk melekat padanya. Selanjutnya secara tiba-tiba akan timbul pengertian yang akan membebaskan kita dari pengaruh kuat benda-benda itu.

Dalam intisarinya, Buddha-Dhamma seperti dapat kita baca dalam kitab Tipitaka, tidak lain daripada pengertian tentang “apakah ‘apa’ itu” atau “hakikat sesungguhnya dari benda-benda”. Hanya itu saja. Karena itu berpedomanlah selalu pada definisi ini. Definisi ini dapat dijadikan pegangan hidup yang tepat dan selama dalam latihan kita harus selalu berpedoman kepadanya.

Sekarang marilah akan didemonstrasikan kegunaan definisi ini dengan meninjau misalnya “Empat Kesunyataan Mulia”.

Kesunyataan Mulia Pertama yang mengatakan semua benda-benda sebagai dukkha dengan tepat memberitahukan kepada kita sifat sebenarnya dari benda-benda. Tetapi karena kebanyakan kita gagal untuk menginsyafinya sebagai sumber dukkha, maka kita selalu menginginkannya. Kalau kita kelak sudah mengenalnya sebagai sumber penderitaan dan tidak berharga untuk diingini, dipegang erat-erat dan melekat padanya, sudah pastilah kita tidak akan lagi terjerat olehnya.

Kesunyataan Mulia Kedua mengajarkan, bahwa keinginan (tanha) adalah sumber dukkha. Kita masih belum mengetahui, belum melihat, belum mengerti, bahwa keinginan-keinginan adalah sumber dukkha. Karena itu kita selalu ingin ini, ingin itu, dan lain-lain lagi, hanya karena belum mengerti hakikat sesungguhnya dari benda-benda.

Kesunyataan Mulia Ketiga mengajarkan tentang Nibbana, yaitu keadaan terbebas dari dukkha karena padamnya secara total keinginan-keinginan. Biasanya kita belum menyadari, bahwa Nibbana dapat direalisir di tempat mana pun dan pada waktu apa pun juga. Keadaan ini akan timbul dengan spontan pada saat kita telah memusnahkan setiap keinginan kita. Karena tidak mengerti fakta-fakta yang benar tentang hidup, maka kita tidak tertarik untuk memusnahkan nafsu-nafsu keinginan kita. Kita tidak tertarik kepada Nibbana, karena tidak tahu apa sebenarnya arti daripada keadaan suci itu.

Kesunyataan Mulia Keempat dinamakan Jalan Suci dan mengajarkan cara-cara untuk memusnahkan nafsu-nafsu keinginan. Sayangnya kita belum menyadari, bahwa Jalan Suci ini adalah cara untuk mengatasi nafsu-nafsu keinginan dan kita pun tidak tertarik terhadap kegunaan Empat Kesunyataan Mulia yang dapat dipergunakan sebagai senjata ampuh untuk memusnahkan nafsu-nafsu keinginan. Kita tidak tertarik kepada Ajaran Sang Buddha yang diakui sebagai Ajaran Tertinggi yang dikenal umat manusia di dunia ini dan bahkan di alam-alam lain. Hal ini merupakan ketidakacuhan yang sangat menyedihkan.

Dari pembahasan tersebut di atas dapat ditarik kesimpulan, bahwa Empat Kesunyataan Mulia adalah Ajaran yang jelas tentang “apakah ‘apa’ itu?” Kita telah diperingatkan, bahwa main-main dengan nafsu-nafsu keinginan akan menimbulkan penderitaan. Tetapi kenyataannya kita toh masih tetap senang main-main, sehingga kita terjerat erat-erat dalam penderitaan. Keadaan ini sebenarnya edan. Karena tidak menyelami arti daripada “apakah ‘apa’ itu” kita terus menerus melakukan perbuatan yang tidak sesuai. Perbuatan kita hanya sesuai dilihat dari kacamata seorang yang menjadi budak dari nafsu-nafsu keinginannya. Ia mengira, kalau orang mendapatkan apa yang dikehendaki, perbuatannya itu dapat dibenarkan. Tetapi dilihat dari kacamata Dhamma hal itu tidaklah benar, karena tidak dapat memusnahkan penderitaan.

Sekarang marilah kita meninjau apa yang telah diucapkan oleh Y.A. Assaji, pada waktu Beliau bertemu dengan Sariputta yang saat itu belum ditahbiskan sebagai bhikkhu. Sariputta mengajukan pertanyaan kepada Y.A. Assaji tentang “apakah intisari Ajaran Sang Buddha?” Y.A. Assaji menjawab sebagai berikut: “Semua phenomena timbul karena ada sebab. Sang Tathagata dengan jelas menunjukkan kepada kita apa sebab-sebab itu dan juga cara bagaimana phenomena itu dapat berakhir dengan disingkirkannya sebab-sebab itu. Inilah apa yang diajarkan oleh Sang Bhagava.”

Sesungguhnya Y.A. Assaji mengatakan: “Segala sesuatu tercipta karena ada sebab. Ia tidak dapat dilenyapkan sebelum sebab itu dilenyapkan terlebih dulu.” Yang di atas merupakan kata-kata peringatan kepada kita untuk jangan menganggap ada sesuatu yang kekal abadi. Yang ada hanya “akibat-akibat” yang timbul karena ada “sebab”, berkembang oleh kekuatan sebab-sebab dan pada saatnya lenyap dengan lenyapnya sebab-sebab. Semua phenomena adalah hasil dari sebab-sebab. Buddha-Dhamma juga mengajarkan bahwa semua benda-benda adalah tanpa inti yang kekal abadi. Mereka hanya merupakan arus yang selalu berubah. Karena itu identik dengan penderitaan, karena tidak ada kebebasan dan tergantung kepada sebab. Keadaan yang tidak menyenangkan ini berakhir, begitu lekas proses itu berhenti. Dan proses akan berhenti setelah sebab-sebabnya dihilangkan.

Yang di atas merupakan pembahasan mendalam tentang “apakah ‘apa’ itu” dan hanya dapat diajarkan oleh seorang yang telah memperoleh Kesadaran Agung. Ini merupakan jantung dari Buddha-Dhamma yang mengajarkan, bahwa semua benda hanya merupakan phenomena belaka, dan hendaknya janganlah kita begitu bodoh untuk terjerumus ke dalam dualisme “like” dan “dislike” (suka dan tidak suka). Batin yang betul-betul bersih berarti terbatas samasekali dari rantai sebab-akibat dengan menghilangkan sebab-sebabnya secara total. Dengan jalan ini keadaan yang tidak menyenangkan sebagai akibat dualisme “like” dan “dislike” dapat diakhiri.

Sekarang marilah kita meninjau apa yang mendorong Pangeran Siddhartha untuk menjadi seorang pertapa. Apakah motifnya, sehingga Beliau menjadi seorang bhikkhu. Hal ini jelas dikemukakan dalam salah satu kotbah Beliau yang mengatakan, bahwa Beliau meninggalkan istana dan menjadi bhikkhu untuk memperoleh jawaban atas pertanyaan “Apakah kusala (baik) itu?” Istilah “kusala” yang dipergunakan Sang Buddha berarti kecakapan, pengertian benar yang absolut (mutlak). Beliau ingin tahu apakah penderitaan itu, apakah sumber dari penderitaan, apakah pembebasan dari penderitaan, dan bagaimana cara untuk menuju ke pembebasan dari penderitaan? Pengertian Benar merupakan kebijaksanaan yang tertinggi. Tujuan Buddha-Dhamma tidak lain dari penyempurnaan pengertian tentang “apakah ‘apa’ itu” atau “hakikat sesungguhnya dari benda-benda.”

Ajaran lain yang penting dari Sang Buddha ialah tentang Tiga Corak Umum, yaitu Anicca, Dukkha dan Anatta. Tidak mengenal Ajaran ini berarti tidak mengenal Buddha-Dhamma. Semua benda-benda pada hakikatnya anicca (tidak kekal), dukkha (tidak menyenangkan) dan anatta (tanpa inti yang kekal abadi). Mengatakan bahwa semua benda tidak kekal berarti bahwa benda-benda senantiasa berubah-ubah dan tidak mempunyai inti yang kekal, biarpun hanya untuk satu saat lamanya. Mengatakan, bahwa semua benda tidak menyenangkan berarti bahwa semua benda tidak dapat dipisah-pisahkan dari penderitaan dan kesengsaraan. Mereka tidak dapat dipisah-pisahkan dari tidak menyenangkan dan tidak menggembirakan. Karena benda-benda senantiasa berubah-ubah berarti bahwa benda-benda tidak layak dianggap sebagai sesuatu yang kekal abadi. Kalau kita memegang erat-erat dan melekat kepada benda-benda, hasilnya tak mungkin lain daripada penderitaan.

Benda-benda sebenarnya lebih berbahaya daripada api. Sebab api setidak-tidaknya dapat dilihat, dan api yang membara dan menyala-nyala akan mencegah kita untuk berada terlalu dekat padanya. Pada hakikatnya benda-benda pun merupakan api, tetapi api yang tidak kelihatan. Akibatnya ialah, bahwa dengan tidak sadar kita memegang api sebanyak-banyaknya dan hasil yang tak dapat dielakkan lagi tentu saja penderitaan. Ajaran ini membahas corak umum dari benda-benda.

Jelas tampak, bahwa Buddha-Dhamma adalah suatu sistim latihan yang teratur dan diciptakan untuk memperlihatkan kepada kita tentang “apakah ‘apa’ itu”. Dari pembahasan di atas kita lihat, bahwa kita harus mengerti hakikat sesungguhnya dari benda-benda. Di samping itu kita pun harus mengerti bagaimana cara melatih diri agar dapat menyesuaikan dengan keadaan benda-benda itu.

Dalam kitab Tipitaka terdapat pula suatu Ajaran lain yang dikenal sebagai “Raja dari semua Ajaran”. Ajaran ini terdiri dari tiga pasal dan berbunyi sebagai berikut:

“Hindarilah kejahatan”
“Berbuatlah kebaikan” dan
“Sucikanlah pikiranmu”.

Ajaran di atas dapat dijadikan pedoman kita dalam melatih diri. Mengenal benda-benda sebagai tidak kekal, tidak berharga dan “bukan milikku” berarti, bahwa benda-benda itu tidak layak untuk dilekati dan tidak berharga untuk digiurkan. Selanjutnya dengan hati-hati kita harus menyesuaikan perbuatan kita dengan pengertian ini, yaitu dengan jalan “menghindari kejahatan”. Kita harus berusaha untuk tidak melanggar norma-norma kesusilaan yang berlaku dan berusaha untuk menghilangkan keserakahan dan kemelekatan yang berlebih-lebihan. Sebaiknya kita harus berusaha untuk selalu berbuat baik. “Baik” dalam arti kata seperti yang dimaksud para bijaksana. Kedua pasal di atas tergolong pada sila (moralitas).

Pasal ketiga meminta kepada kita untuk dengan sempurna membersihkan pikiran kita dari segala kekotoran batin. Dan hal inilah yang dapat digolongkan sebagai khas Buddha-Dhamma. Ini berarti, bahwa kita harus berusaha membebaskan pikiran kita. Sebegitu lama pikiran kita masih belum terbebas dari dominasi benda-benda, sebegitu lama pula pikiran kita belum dapat menjadi bersih dan suci. Kebebasan mental harus datang dari pengertian yang seksama tentang “apakah ‘apa’ itu”. Sebab sebegitu lama kita belum memperoleh pengertian ini, secara tidak sadar, dengan satu dan lain cara kita selalu akan menyukai (like) atau tidak menyukai (dislike) benda-benda. Dan begitu lama batin kita masih dapat digoncangkan oleh benda-benda, maka kita belum dapat dikatakan terbebas.

Seperti diterangkan di atas, dalam hubungan dengan benda-benda biasanya kita mendapat dua macam rangsangan, yaitu menyukai atau menolak. Karena itu kita menjadi budak dari perasaan kita dan belum dapat mengenal kebebasan sejati. Menyukai benda-benda mengandung ciri “merasa tertarik” dan “ingin memilikinya”. Sedangkan “tidak menyukai” mengandung ciri “menolak benda-benda” dan “secepat mungkin ingin membuangnya”. Sebegitu lama batin kita masih dipengaruhi oleh kedua macam perasaan tersebut, maka batin kita belum dapat bebas. Oleh karena itu Ajaran tertinggi dari Buddha-Dhamma ialah tidak membenarkan “memegang” dan “melekat” kepada benda-benda, bahkan dalam taraf terakhir kita tidak boleh melekat kepada “baik” dan “buruk”. Kalau batin kita disucikan dari kedua macam perasaan ini, maka barulah ia tidak tergoncangkan lagi oleh benda-benda dan benar-benar menjadi bebas.

Agama lain hanya mengajarkan kepada umatnya untuk menyingkir dari kejahatan dan memegang erat-erat kebaikan. Pada hakikatnya mereka diajar untuk terus menerus melekat kepada apa yang dinamakan “kebaikan”. Tetapi Buddha-Dhamma mengajarkan sesuatu yang lebih tinggi, yaitu dalam taraf terakhir tidak membenarkan kemelekatan kepada apa pun juga. Kemelekatan kepada “kebaikan” merupakan perbuatan benar sampai taraf tertentu, tetapi tak dapat membawa kita kepada tingkat yang tertinggi.
Pada tingkat pertama kita harus menghindari kejahatan.
Pada tingkat menengah kita harus berbuat kebaikan-kebaikan.
Pada tingkat teratas kita harus dapat menempatkan Batin kita di atas “baik” dan “jahat”.

Seperti kita ketahui, seorang yang berbuat baik pada saatnya akan menerima pahala baik, dan seorang yang berbuat jahat pada saatnya akan menerima akibat buruk. Nah, baik orang yang berbuat baik maupun orang yang berbuat jahat tetap akan menderita. Orang baik menderita dalam cara sesuai dengan “pahala baiknya” yang pada suatu waktu akan habis. Sedangkan orang jahat menderita dalam cara sesuai dengan “akibat buruk” yang harus diterimanya. Bahkan Dewa Agung pun masih mengalami penderitaan sesuai dengan keadaannya sebagai Dewa Agung. Hal yang serupa pun harus dialami oleh Sang Brahma dan Makhluk-Makhluk Agung lainnya.

Untuk mencapai kebebasan sempurna dari semua penderitaan seseorang bahkan harus dapat membebaskan dirinya dari kebaikan yang timbul dari keinginan untuk menjadi seorang suci, seorang Arahat.

Seperti kita ketahui, Buddha-Dhamma adalah Ajaran Sang Buddha, yaitu se-Orang Yang Mencapai Kesadaran Agung. Sedangkan seorang Buddhis adalah seorang yang mempraktekkan Ajaran dari Orang Yang Mencapai Kesadaran Agung. Sekarang timbul pertanyaan: “Terhadap apakah Sang Buddha telah sadar”. Beliau telah sadar dan tahu tentang hakikat sesungguhnya dari benda-benda. Oleh karena itu Buddha-Dhamma adalah Ajaran yang mengajarkan tentang apakah hakikat sesungguhnya dari benda-benda atau “apakah ‘apa’ itu”. Sekarang tergantung kepada kita untuk melatih diri sampai kita sendiri pun tahu Kesunyataan itu. Yakinlah, sekali pengertian sempurna telah tercapai, maka nafsu keinginan (tanha) akan lenyap. Sebab kebodohan akan berakhir pada saat yang sama dengan timbulnya Pengertian Benar. Semua segi dari Buddha-Dhamma diarahkan untuk membawa orang ke taraf pengertian itu. Seluruh perhatian dan latihan kita hanya bertujuan satu, ialah untuk memperoleh Pengertian Benar. Dalam hal ini kita hendaknya waspada dan harus berusaha untuk memiliki Pengertian Benar yang diperoleh melalui Pandangan Terang, bukan hanya pengertian duniawi, pengertian setengah-setengah, pengertian “kepalang tanggung” yang misalnya menganggap sesuatu yang buruk sebagai baik atau sumber penderitaan sebagai sumber kebahagiaan. Maka oleh karena itu, berusaha-keraslah untuk melihat benda-benda dalam rangka penderitaan dan setapak demi setapak maju, hingga sampai kepada pengertian yang diidam-idamkan. Pengertian demikian merupakan Pengertian Benar berdasarkan prinsip-prinsip luhur Buddha-Dhamma.

Mempelajari Buddha-Dhamma dengan cara ini, meskipun ia seorang pemotong kayu ia dapat menyelami artinya tanpa pernah mempelajarinya dari buku-buku. Sebaliknya seorang bhikkhu dengan beberapa ijazah lulusan sekolah tinggi yang hanya tekun mempelajari kitab Tipitaka tanpa mau melihat benda-benda dari sudut ini, akan gagal sama sekali.

Bagaimanakah melatihnya dalam kehidupan sehari-hari menghadapi benda-benda? Setiap benda yang kita jumpai harus diteliti untuk mengerti dengan jelas hakikat sesungguhnya. Selanjutnya kita harus meneliti berbagai penderitaan yang dapat ditimbulkannya, yang dapat membakar dan menyiksa diri kita. Dengan meneliti penderitaan yang menimpa diri kita, dengan penuh perhatian dan kewaspadaan, merupakan latihan yang terbaik untuk menyelami Buddha-Dhamma. Pasti lebih baik daripada hanya mempelajarinya dari kitab Tipitaka. Sibuk mempelajari Dhamma dari kitab Tipitaka hanya dari segi tata-bahasa dan sastera bukanlah jalan yang dapat membawa kepada pengertian tentang hakikat sesungguhnya dari benda-benda. Tentu saja dalam kitab Tipitaka banyak sekali terdapat pembahasan-pembahasan tentang hakikat sesungguhnya dari benda-benda, tetapi kesulitannya ialah, bahwa orang hanya mendengarnya sebagai burung beo untuk kelak diulang lagi apa yang masih diingat. Mereka sendiri tak berkemampuan untuk menyelami arti sesungguhnya dari benda-benda. Seharusnya mereka melakukan introspeksi untuk menemukan sendiri fakta-fakta yang nyata dari batinnya dan dari pengalaman sendiri mengetahui apa sebenarnya kekotoran batin, apa penderitaan, apa benda-benda dengan apa ia selalu harus berhubungan. Setelah itu mereka baru dapat menyelami makna yang sebenarnya dari Buddha-Dhamma.

Meskipun orang belum pernah melihat atau mendengar tentang kitab Tipitaka, tetapi kalau ia tekun melakukan pengamat-amatan, teliti pada setiap saat penderitaan itu timbul, membakar dirinya, lalu lenyap kembali, maka orang ini dapat dikatakan sedang mempelajari Tipitaka secara langsung dan lebih berfaedah dari mereka yang baru sampai pada taraf membacanya. Orang-orang yang belakangan ini mungkin tiap hari mengelus-elus kitab Tipitaka tanpa berhasil memperoleh pengertian sedikitpun tentang makna sesungguhnya dari Dhamma yang Abadi. Untuk mengerti isi kitab Tipitaka dan arti-artinya yang tersembunyi adalah sangat sulit sekali. Sebab itu lebih baik kita belajar Buddha-Dhamma dengan jalan untuk mengerti diri kita sendiri. Lebih baik kita menyelidiki hal-hal yang memungkinkan terjadinya badan jasmani dan batin kita. Lebih baik kita belajar dari penghidupan yang berputar-putar dalam lingkungan keinginan, berbuat atas dorongan keinginan dan hasil dari keinginan yang memberi “makanan” kepada keinginan yang baru … dan seterusnya, terus menerus berputar dalam lingkaran Samsara. Dan hal ini berlangsung karena kebodohan kita sendiri yang tidak mengerti hakikat sesungguhnya dari benda-benda.

Kesimpulannya ialah, bahwa Buddha-Dhamma adalah suatu sistim latihan yang teratur untuk mengungkapkan hakikat sesungguhnya dari benda-benda. Setelah dapat melihat hakikat sesungguhnya dari benda-benda kita tak memerlukan orang lain untuk mengajar atau membimbing kita. Seterusnya kita dapat berlatih seorang diri. Kemajuan kita menyusuri Jalan Ariya tergantung dari cepatnya kita dapat menyingkirkan kekotoran-kekotoran batin dan menjauhkan perbuatan-perbuatan yang tidak sesuai. Akhirnya kita akan sampai pada tujuan yang menjadi idam-idaman semua umat manusia yaitu Nibbana. Keadaan penuh bahagia ini dapat kita capai dengan jalan yang sederhana sekali, yaitu untuk mengerti dengan mutlak: “apakah ‘apa’ itu”.