Vipassanâ – Dhura
Diterjemahkan dari “HANDBOOK FOR MANKIND”
Karya
PHRA BUDDHADASA MAHATHERA
III. MENGEMBANGKAN PANDANGAN TERANG
DENGAN CARA ALAMIAH
Seperti kita ketahui, pemusatan pikiran (konsentrasi) dapat timbul secara wajar (alamiah) atau sebagai hasil dari latihan-latihan tertentu. Hasil terakhir dari kedua cara tersebut adalah sama, yaitu pikiran akan terpusat dan siap digunakan untuk melakukan introspeksi. Satu hal harus kita catat di sini, bahwa intensitas pemusatan pikiran (konsentrasi) yang timbul secara wajar (alamiah) sebenarnya sudah cukup untuk digunakan melakukan introspeksi dan pandangan terang, sedangkan pemusatan pikiran (konsentrasi) yang diperoleh sebagai hasil dari latihan-latihan teratur biasanya berlebih-lebihan, yaitu lebih daripada yang diperlukan. Selain dari itu perasaan puas yang tak pada tempatnya seringkali timbul dari pemusatan pikiran yang dilatih dengan seksama. Sebab dengan pikiran yang terpusat kuat, mungkin sekali orang dapat mengalami suatu perasaan tenang dan bahagia, sehingga dengan mudah orang dapat melekat kepadanya, bahkan mungkin juga pengalaman bahagia itu akan disalah-anggap sebagai buah dari Jalan Suci. Pikiran yang terpusat secara wajar (alamiah) pada hakikatnya sudah cukup dan dalam keadaan yang baik untuk digunakan melakukan introspeksi. Cara ini tak berbahaya dan tak mempunyai kekurangan-kekurangan yang biasanya terdapat pada pikiran yang terpusat kuat melalui latihan-latihan yang seksama.
Dalam kitab Tipitaka dapat ditemukan banyak sekali contoh dari orang-orang yang dengan pikiran yang terpusat secara wajar (alamiah) telah mencapai tingkat-tingkat kesucian tertinggi. Umumnya hal di atas terjadi pada waktu Sang Buddha sendiri hadir, tetapi hal demikian terjadi juga pada waktu-waktu setelah itu. Para Yang Ariya tersebut tak pergi ke hutan-hutan dan duduk diam tekun melatih pemusatan pikiran terhadap obyek-obyek tertentu seperti dapat kita baca dalam kitab-kitab yang ditulis kemudian.
Contoh-contoh lain lagi bahwa tak terdapat tanda-tanda dari latihan-latihan teratur, waktu lima orang siswa pertama dari Sang Buddha mencapai tingkat Arahat setelah mendengarkan kotbah tentang anatta (tanpa-aku), atau pada seribu orang bhikkhu waktu mendengarkan kotbah tentang api Adittapariyaya-Sutta, Mahavagga I, 21 (Fire Sermon). Dalam peristiwa-peristiwa di atas, pandangan yang tajam dan mendalam telah diperoleh dengan jalan yang wajar (secara alamiah).
Contoh-contoh di atas dengan jelas membuktikan bahwa pikiran yang terpusat secara wajar yang bekerja dengan spontan selagi orang berusaha mengerti dengan jelas persoalan yang sedang dibahas. Dan pandangan yang dihasilkan, sebegitu jauh setelah terbentuk dengan baik, pastilah kuat dan mantap. Ini terjadi dengan spontan dan wajar, seperti juga pikiran kita akan terpusat pada saat kita sedang menghadapi suatu persoalan ilmu ukur. Juga waktu hendak menembak, waktu sedang membidik, pikiran dengan otomatis menjadi terpusat dan mantap. Demikianlah bekerjanya pikiran yang terpusat secara wajar dan alamiah. Dalam keadaan biasa kita tak memperhatikan hal ini, karena hal ini nampaknya sama sekali tidak seperti sesuatu yang luarbiasa, sesuatu yang mengandung kemujijatan atau sesuatu yang mempesonakan. Tetapi melalui tenaga pemusatan pikiran ini yang timbul secara wajar, banyak sekali orang yang telah mencapai Kebebasan. Sesungguhnyalah, kita dapat mencapai buah dari Jalan Suci (Nibbana) hanya dengan melakukan pemusatan pikiran secara wajar (alamiah). Karena itu hendaknya janganlah kita mengabaikan pemusatan pikiran yang wajar ini. Ia sebenarnya sudah menjadi milik kita dan dengan mudah dapat dikembangkan. Marilah kita berusaha terus untuk memelihara dan mengembangkannya, agar ia dapat bekerja dengan sempurna dan memberikan hasil yang memuaskan sebab merupakan fakta yang tak dapat dibantah, bahwa banyak sekali orang yang berhasil mencapai tingkat Arahat tetapi belum pernah mendengar tentang teknik-teknik pemusatan pikiran modern.
Sekarang marilah kita meninjau tingkat-tingkat kesadaran batiniah yang dapat membawa kita sampai kepada pandangan terang yang dapat membawa kita sampai kepada pandangan terang tentang lima khandha (kelompok kegemaran). Tingkat pertama ialah piti (kegiuran dan kebahagiaan). Melakukan perbuatan-perbuatan baik seperti memberi dana (yang dianggap sebagai bentuk dasar dalam melakukan perbuatan baik), dapat dijadikan sumber dari kebahagiaan mental. Pada tingkat lebih tinggi, yaitu pada tingkat moralitas, seperti perbuatan-perbuatan tak ternoda dengan ucapan dan perbuatan, akan meningkatkan kebahagiaan mental. Dalam melakukan pemusatan pikiran pada tingkat yang lebih rendah pun kita jumpai kebahagiaan-kebahagiaan tertentu.
Kegiuran memiliki kekuatan tertentu, sehingga ketenangan batin dapat bangkit. Biasanya batin kita tidak tenang dan senantiasa menjadi budak dari berbagai macam pikiran dan perasaan yang timbul dari rangsangan benda-benda di luar diri kita. Tetapi kalau kegiuran telah tercapai, maka ketenangan dan kemantapan batin akan meningkat dalam proporsinya. Kalau kemantapan ini dapat disempurnakan, hasilnya ialah pemusatan pikiran yang kuat. Pikiran akan menjadi seimbang, tetap, fleksibel, mudah dikendalikan, enteng dan tenang, siap untuk digunakan terhadap setiap tujuan yang dikehendaki dan khususnya untuk menyingkirkan kekotoran batin. Dan bukanlah tujuan kita untuk mencapai suatu keadaan batin penuh kesunyian, kaku dan tak tergoyahkan. Bukan itu tujuan kita dan hal itu pun tak akan terjadi dengan melakukan pemusatan pikiran dengan wajar. Badan kita terasa normal, hanya pikiran kita menjadi tenang dan siap untuk digunakan melakukan introspeksi. Pikiran ini menjadi sangat tenang penuh kedamaian, tajam dan mudah dikendalikan. Atau dengan kata lain: pikiran sekarang siap untuk bekerja, siap untuk mengetahui. Tingkat konsentrasi semacam inilah yang harus menjadi tujuan dan bukan konsentrasi yang sangat dalam sekali, di mana orang duduk tegak seperti patung batu dengan tak sadar diri lagi. Duduk dengan pikiran terpusat yang demikian kuat itu membuat kita tak lagi dapat melakukan penelitian terhadap apa pun juga. Pikiran yang terpusat sangat dalam tak dapat melakukan introspeksi. Ia berada dalam keadaan tak sadar dan tak dapat dipergunakan untuk memperoleh pandangan terang. Pemusatan pikiran yang sangat dalam merupakan penghalang utama dalam latihan untuk memperoleh pandangan terang.
Untuk melatih introspeksi kita harus kembali ke tingkat konsentrasi yang lebih rendah. Dengan demikian kita dapat menggunakan tenaga pikiran kita. Pikiran yang terpusat sangat dalam hanya merupakan suatu alat tertentu. Dalam usaha kita mengembangkan pandangan terang melalui cara alamiah ini tak diperlukan konsentrasi yang sedemikian dalam dan duduk tegak diam. Tetapi tujuan kita ialah pikiran yang tenang dan mantap dan kalau digunakan dalam latihan pandangan terang ia akan membawa kita kepada Pengertian Benar yang berhubungan dengan seluruh “dunia” (lima khandha). Yang disebut di atas adalah pandangan terang yang dikembangkan secara wajar seperti halnya yang dilakukan oleh para Ariya waktu mendengarkan Sang Buddha membahas Dhamma. Ia dapat merangsang pikiran dan introspeksi dari jenis yang benar, yaitu yang dapat membawa kita kepada Pengertian Benar, dan untuk itu tak diperlukan upacara-upacara tertentu atau kemujijatan-kemujijatan.
Ini bukan berarti, bahwa pandangan terang akan timbul dengan segera. Memang tak semudah itu menjadi seorang Arahat. Langkah pertama ke arah pengertian benar setiap saat dapat diperoleh. Namun sekali lagi, bahwa hal itu tergantung dari intensitas konsentrasi kita sendiri. Juga terdapat kemungkinan, bahwa yang timbul bukanlah pandangan yang benar, karena mungkin kita berlatih dengan cara yang salah atau mungkin juga batin kita terlalu dikeruhkan oleh pandangan-pandangan salah. Tetapi apa pun juga yang akan timbul, pandangan itu mempunyai satu corak yang khas, yaitu jelas sekali dan mendalam. Dan kalau sekiranya pengertian yang diperoleh adalah pengertian benar, yaitu sesuai dengan kenyataan, sesuai dengan Dhamma, maka pengertian itu akan meningkat terus dan akhirnya berkembang menjadi pengertian benar mengenai hakikat sesungguhnya dari phenomena-phenomena. Kalau pandangan terang yang dibangkitkan tidak begitu besar, mungkin hal ini dapat membuat seorang menjadi orang suci dari tingkat yang terendah. Dan kalau untuk ini pun belum cukup, mungkin ia akan menjadi seorang yang berpandangan tajam, seorang biasa dengan sifat-sifat yang baik. Kalau keadaan lingkungan menguntungkan dan sifat-sifat yang baik telah berakar dengan cukup kuat, mungkin orang akan dapat menjadi Arahat. Semua ini tergantung pada keadaan. Namun dalam keadaan apa pun juga (sebegitu lama kita memakai pemusatan pikiran secara alamiah) ia merupakan faktor yang dapat membangkitkan pandangan terang dan ia selalu akan sesuai dengan realitas. Sebagai umat Buddha kita telah banyak mendengar, banyak berpikir dan mempelajari lima khandha dengan harapan dapat mengerti kelak hakikat sesungguhnya dari phenomena-phenomena. Akibatnya, bahwa pengertian yang akan dibangkitkan dalam keadaan pikiran tenang dan terpusat tentu saja tak akan menyesatkan dan pasti merupakan sesuatu yang berguna.
Ucapan “melihat hakikat sesungguhnya dari benda-benda” berarti, bahwa kita harus melihat benda-benda dalam rangka anicca, dukkha dan anatta; melihat bahwa tak ada sesuatu yang berharga untuk “dimiliki” dan tak ada sesuatu yang berharga untuk “dijadikan”. Berarti pula, bahwa tak ada obyek apa pun juga yang harus dipegang erat-erat dan dimelekati sebagai “milikku” atau “pribadiku”, atau sebagai “bagus” dan “buruk”, “menarik” atau “menjijikkan”. Menyukai atau menolak sesuatu biarpun hanya dalam pikiran atau ingatan, juga merupakan kemelekatan. Mengatakan, bahwa tak ada apa pun juga yang berharga untuk “dimiliki” atau “dijadikan” mempunyai arti, bahwa tak ada sesuatu apa pun juga yang berharga untuk dimelekati. “Memiliki” berarti menaruh hati kepada harta, kedudukan, kekayaan atau benda-benda lain yang menyenangkan. “Menjadikan” berarti menyadari keadaan kita sebagai seorang suami, istri, orang kaya, orang miskin, yang menang, yang kalah, sebagai manusia, atau sadar bahwa kita ini “ada”. Kalau kita meninjau secara mendalam, untuk “menjadi” sesuatu bukanlah merupakan hal yang menggembirakan, bahwa sebaliknyalah yang benar, yaitu menyebalkan, karena merupakan sumber dari penderitaan. Kalau kita berhasil melepaskan kemelekatan terhadap konsepsi, bahwa kita ini “ada”, maka penghidupan kita selanjutnya bukan lagi merupakan penderitaan. Sekarang jelaslah kiranya, bahwa memang tidak berhargalah untuk “menjadi” sesuatu, dan hal ini pun dapat kita ketemukan dalam satu pepatah yang berbunyi sebagai berikut: “Menjadi sesuatu dalam bentuk apa pun juga adalah penderitaan sesuai dengan keadaan khusus dari makhluk itu”.
Setiap makhluk yang ingin tetap berlangsung harus memiliki tenaga agar dapat bertahan, dapat berlangsung. Setidak-tidaknya dalam benak pikirannya harus ada suatu bentuk kepercayaan tentang keadaan khas dari makhluk itu. Setelah suatu makhluk atau “pribadi” tercipta, maka akibatnya tentu harus ada benda-benda lain di luar pribadi itu yang dapat dimiliki. Misalnya orang memiliki istri, anak, benda ini dan benda itu. Selanjutnya orang mempunyai kewajiban sebagai suami, istri, majikan, pelayan dan sebagainya. Semua ini membenarkan suatu pendapat, bahwa untuk mempertahankan keadaan dari suatu “pribadi” harus disertai dengan perjuangan. Kesulitan-kesulitan dan perjuangan-perjuangan untuk mempertahankan keadaan dari suatu “pribadi” sebenarnya bersumber kepada keinginan-keinginan membuta terhadap benda-benda dan kemelekatan-kemelekatan terhadap benda-benda tersebut.
Mungkin orang akan bertanya sebagai berikut: “Kalau kita harus melepaskan percobaan untuk “memiliki” atau “menjadi” sesuatu, bagaimana mungkin kita dapat terus hidup?” Kata-kata “memiliki” dan “menjadi” seperti dipergunakan di sini harus dilihat dari sudut “memiliki” dan “menjadi” dalam rangka kekotoran batin, nafsu-nafsu keinginan, konsepsi dari “berharga dimiliki”, “berharga untuk dijadikan”, sehingga pikiran itu menganggap seolah-olah benar-benar “memiliki”, benar-benar “menjadi”. Hal ini pasti akan menjurus ke perasaan tertekan, gelisah, sedih dan tegang, atau setidak-tidaknya merupakan beban yang berat bagi pikiran, dari saat permulaan hingga akhir hidup kita. Dengan pengertian ini kita akan selalu waspada dan akan menjaga pikiran kita untuk jangan sampai menjadi budak dari “memiliki” dan “menjadi”, yaitu jangan memegang erat-erat dan melekat kepadanya.
Kalau kita menyadari dari permulaan, bahwa pada hakikatnya benda-benda tidak berharga untuk “dimiliki” atau “dijadikan”, kita pasti akan berada dalam jarak yang jauh daripadanya. Tetapi kalau sekiranya kita belum sanggup untuk menyingkirkan seluruh nafsu keinginan untuk “memiliki” dan “menjadi” sesuatu, hendaknya kita harus tetap waspada dan sadar sehingga kalau kita toh “memiliki” dan “menjadi” sesuatu, kita dapat menerima keadaan tersebut tanpa ketegangan-ketegangan emosi. Janganlah kita sebagai seorang buta dan tuli yang dengan bodoh dan tanpa otak selalu ingin “memiliki” dan “menjadi” sesuatu. Sebab hasilnya pasti langsung jatuh ke dalam lubang dari kebodohan kita sendiri.
Kelima khandha dan semua benda dalam alam semesta ini memiliki sifat “tidak kekal”, “tidak berharga” dan “bukan milik siapa pun juga”. Setiap orang yang memegangnya erat-erat dan melekat kepadanya akan menderita, dimulai pada saat ia pertama kali “ingin memiliki” atau “ingin menjadi”, dan setelah itu menderita lagi setelah ia “sedang memiliki” dan setelah ia “sedang menjadi”, untuk kemudian penderitaan itu berulang kali setelah ia “selesai memiliki” dan “selesai menjadi”. Setiap saat, sebelum, sedang dan sesudahnya, di mana pun orang yang memegang erat-erat dan melekat kepada benda-benda ia pasti akan menemui penderitaan secara penuh seperti misalnya orang yang masih terikat kepada keduniawian. Hal yang sama pun terjadi dengan kebaikan yang umumnya kita menilai tinggi sekali. Kalau orang dengan cara yang salah menilai “kebaikan” dan sangat melekat kepadanya, ia pun akan menerima penderitaan yang sama besarnya seperti yang diterima oleh mereka yang melakukan kesalahan. Dengan melakukan kebaikan kita harus selalu ingat, bahwa kalau kita kurang waspada kita pun dapat menderita dengan “kebaikan”.
Seorang skeptis mungkin akan bertanya: “Kalau keinginan untuk “memiliki” dan “menjadi” dianggap tak berharga, bukankah ini berarti bahwa orang tak usah lagi melakukan pekerjaan apa pun juga atau mengejar kekayaan, kedudukan dan harta benda?” Setiap orang yang menyelami persoalan ini akan melihat, bahwa seorang yang dibekali pengetahuan dan pengertian benar pada hakikatnya berada dalam posisi yang lebih baik untuk melakukan perbuatan apa pun juga daripada seorang yang masih dihinggapi nafsu-nafsu keinginan rendah, bodoh dan tak memiliki pengertian benar. Secara singkat, kalau kita berhubungan dengan benda-benda hendaknya kita harus selalu waspada. Perbuatan kita janganlah berlandaskan nafsu-nafsu keinginan rendah. Sebab kita tahu, kelak kita sendirilah yang pasti harus menerima akibatnya yang sesuai.
Buddha dan para Arahat semuanya terbebas seluruhnya dari nafsu-nafsu keinginan. Tetapi kita tahu, bahwa para Ariya tersebut telah berhasil melakukan pekerjaan-pekerjaan yang lebih berguna dari apa yang kita sendiri mampu lakukan. Kalau kita meninjau misalnya, bagaimana Sang Buddha sendiri mengatur hidupNya sehari-hari, maka kita dapat melihat bahwa Beliau sehari hanya tidur 4 (empat) jam dan waktu selebihnya digunakan untuk melakukan sesuatu pekerjaan. Kalau kita jujur kita harus mengakui bahwa mungkin kita menggunakan waktu lebih 4 (empat) jam sehari untuk melakukan suatu perbuatan yang hanya menyenangkan diri kita sendiri.
Mungkin saudara akan bertanya: “Kalau kekotoran batin dianggap bertanggung jawab dalam mendorong kita ingin “memiliki sesuatu” atau “menjadi sesuatu”, tetapi bagaimana halnya dengan Sang Buddha dan para Arahat. Para Ariya tersebut telah mengatasi seluruh kekotoran batin mereka, dan tenaga apakah yang menggerakkan Sang Buddha dan para Arahat untuk melakukan perbuatan-perbuatan tersebut?” Para Ariya tersebut digerakkan oleh tenaga membeda-bedakan berlandaskan metta. Begitupun perbuatan-perbuatan yang berdasarkan kebutuhan-kebutuhan jasmani mereka, seperti menerima dan makan makanan yang dikumpulkan juga digerakkan oleh tenaga menbeda-bedakan. Mereka terbebas samasekali dari kekotoran-kekotoran batin, terbebas dari keinginan untuk “menjadi ini” atau “memiliki itu”. Tetapi mereka memiliki kemampuan untuk membeda-bedakan antara yang berguna dan yang tidak berguna, seperti misalnya tenaga yang menggerakkan badan jasmaninya untuk mencari makanan. Kalau mereka diberi makanan ya syukur, tetapi kalau tidak, ya tidak apa-apa. Kalau mereka diserang demam, mereka tahu bagaimana harus mengobatinya dan akan melakukan itu sebaik mungkin. Kalau demam itu sudah terlalu parah dan tak tertahan lagi, mereka insyaf bahwa mati pun merupakan hal yang wajar. Bagi mereka hidup atau mati tak mempunyai arti khusus, dan mereka anggap sama saja.
Kalau kita sudah terbebas samasekali dari penderitaan, maka sikap inilah paling baik. Mereka tidak menganggap adanya satu atta yang menjadi “majikan” dari badan jasmani. Tenaga membeda-bedakan sajalah yang memungkinkan badan jasmaninya hidup terus secara alamiah. Contoh dari Sang Buddha membuktikan, bahwa tenaga membeda-bedakan dan metta yang murni saja sudah cukup untuk memungkinkan seorang Arahat hidup di dunia ini, dan yang lebih penting tentunya bahwa mereka dapat melakukan lebih banyak perbuatan baik daripada orang yang masih menjadi budak dari nafsu-nafsu keinginan. Orang yang masih dihinggapi kekotoran batin biasanya hanya melakukan sesuatu kalau perbuatan itu dapat memberikan mereka keuntungan-keuntungan, karena perbuatan-perbuatan mereka masih didasarkan pada pertimbangan selfish. Sebaliknya perbuatan-perbuatan para Arahat terbebas samasekali dari pertimbangan selfish, dan karena itu sangat murni.
Kalau kita masih mempunyai keinginan untuk “memiliki” atau untuk “menjadi sesuatu”, kita biasanya melakukan perbuatan-perbuatan yang tak sesuai. Kita akan menyalah-tafsirkan sesuatu yang buruk sebagai sesuatu yang baik, karena tidak tahu “apakah ‘apa’ itu”. Karena itu marilah dengan waspada kita menggunakan benda-benda dan selalu ingat, bahwa pada hakikatnya tak ada yang berharga untuk “dimiliki” atau “dijadikan”, tak ada yang berharga untuk dimelekati. Karena itu marilah kita berbuat sesuai dengan pengertian ini dan harus menganggap, bahwa benda-benda pada hakikatnya tak berharga untuk “dimiliki” atau “dijadikan”. Dan kalau sekiranya kita harus berhubungan dengan benda-benda, kita harus melihatnya dari sudut yang benar dan selanjutnya menyesuaikan perbuatan kita. Inilah cara terbaik agar menjaga batin kita tetap bersih, tak ternoda, seimbang dan tenang. Cara ini memungkinkan kita berhubungan dengan benda-benda dalam dunia ini tanpa menimbulkan penderitaan pada diri kita sendiri.
Kalau seorang biasa mendengar, bahwa tak ada sesuatu yang berharga untuk “dimiliki” atau “dijadikan”, ia tak akan percaya. Sebaliknya orang lain yang mengerti arti sebenarnya mungkin akan gembira mendengarnya, mungkin batinnya akan menjadi majikan dari benda-benda dan tak lagi tergantung kepadanya. Selanjutnya memungkinkan ia berhubungan dengan benda-benda secara leluasa karena toh sudah memiliki keyakinan yang kuat untuk tidak diperbudak lagi. Tindak-tanduknya tidak lagi didasarkan keinginan-keinginan rendah, dan ia tak lagi dapat disilaukan oleh benda-benda sehingga mau menjadi budaknya. Dalam hal masih ingin “memiliki” atau “menjadi” hendaknya ingatlah selalu, bahwa hal ini harus dilihat dari sudut duniawi. Tetapi dilihat dari sudut kesunyataan tak dapat kita memiliki atau menjadi sesuatu, karenanya nyatanya tak ada yang sesungguhnya dapat kita miliki atau jadikan seperti apa yang kita kehendaki. Benda-benda adalah anicca, dukkha dan anatta. Tak mungkin dapat menjadi milik kita, tetapi secara bodoh kita terus saja mengejar dan menginginkannya. Dengan kata-kata lain, perbuatan kita adalah tak sesuai atau dalam cara yang bertentangan dengan hakikat sesungguhnya dari benda-benda. Hal ini disebabkan oleh ketidak-tahuan kita tentang hakikatnya yang benar. Hasilnya tentu saja berbagai macam kesulitan dan penderitaan.
Apakah sebabnya orang tak dapat melakukan pekerjaannya dengan baik dan tanpa salah? Sebab ialah, karena ia terlalu sibuk memikirkan sesuatu yang berhubungan dengan “memiliki” dan “menjadi”, dan senantiasa didorong oleh nafsu-nafsu keinginannya. Akibatnya ia tentu tak lagi menjadi majikan dari dirinya dan karena itu tak mungkin menjadi benar-benar baik, dipercaya dan adil. Akar dari setiap kegagalan dan keruntuhan ialah karena kita masih ingin menjadi budak dari nafsu-nafsu keinginan.
Dapat diketahui hakikat sesungguhnya dari benda-benda harus merupakan tujuan utama dari setiap umat Buddha. Ia merupakan alat yang ampuh yang dapat membebaskan diri dari penderitaan. Mungkin kita masih mengharapkan keuntungan-keuntungan duniawi, kekayaan, kedudukan, dan kemasyuran, atau guna keuntungan di alam-alam yang akan datang seperti sorga-sorga atau mungkin juga Buah dari Jalan Suci (Nibbana). Tetapi apa pun juga pengharapan kita jalan satu-satunya ialah harus melalui Pengertian Benar dan Pandangan Benar.
Dalam kitab suci telah ditulis, bahwa hanya dengan Pandangan Terang ini kita dapat menyucikan diri kita dan tidak dengan jalan lain. Jalan ke arah Pembebasan terletak dalam Pandangan Terang, bahwa dalam benda-benda tak ada dan tak pernah ada sesuatu pun yang berharga untuk dipegang erat-erat dan dimelekati, berharga untuk memiliki atau dijadikan, berharga untuk mempertaruhkan hidup kita.
Kita memiliki sesuatu atau menjadi sesuatu hanya dalam arti duniawi, dalam arti “kebenaran relatif” (samuti-sacca). Dalam bahasa duniawi kita katakan, bahwa kita begini atau begitu justru karena kebutuhan masyarakat untuk mengenal kita dengan nama dan kedudukan. Tetapi ini bukan berarti, bahwa kita harus terus percaya, bahwa kita benar-benar begini atau begitu seperti lazim dalam tingkat “kebenaran relatif”. Kalau kita berbuat demikian, kita berbuat seolah-olah seekor jangkrik. Jangkrik kalau mukanya tertutup kekotoran akan menjadi bingung dan mungkin akan saling menggigit sampai ada yang mati. Begitupun halnya dengan manusia. Kalau batinnya tertutup kekotoran-kekotoran, mungkin ia dapat melakukan berbagai hal yang bodoh. Mungkin ia akan demikian tegang dan bingung sehingga dapat melakukan perbuatan-perbuatan yang dalam keadaan biasa tak mungkin dapat ia lakukan, misalnya membunuh. Karena itu janganlah dengan membuta melekat kepada kebenaran relatif, tetapi hendaknya kita selalu waspada dan sadar, bahwa semua itu adalah “kebenaran relatif” yang dibutuhkan oleh masyarakat dan tidak lebih dari itu. Kita harus selalu waspada apa sebenarnya yang dinamakan “badan jasmani” dan “batin”, dan selidikilah hakikat sesungguhnya. Secara khusus kita harus selalu sadar bahwa keadaan semua benda adalah anicca, dukkha dan anatta dan jagalah dengan teliti supaya kita terbebas hendaknya dari keadaan itu. Kekayaan, kedudukan dan lain-lain yang tak dapat dielakkan harus dipandang sebagai kebenaran relatif dan kalau perlu kita harus sanggup untuk mengatakan: “Ini bukan milikku, itu milik si anu”. Sebab kita tahu, bahwa Undang-Undang Negara menjaga tentang hak-milik, karena itu tidak perlulah kita melekat kepada konsepsi tentang ini “milikku”. Hendaknya milik itu benar-benar memberikan kita kesenangan dan kepuasan, dan bukan agar milik itu menjadi “majikan” dari pikiran kita. Kalau sekiranya kita dapat mengerti jelas persoalan ini pastilah milik itu akan menjadi budak dan pelayan kita. Sebaliknya kitalah yang akan menjadi pelayan dan budak benda-benda apabila pikiran kita terus menerus ingin memegang erat-erat dan melekat kepadanya. Kita harus menempatkan benda-benda di tempat yang wajar, sehingga dengan pasti kita dapat berdiri bebas dan di atas benda-benda. Kalau tidak, secara tidak sadar kita sudah berada di dalam cengkeraman benda-benda dan kita akan benar-benar merana disebabkan kebodohan kita sendiri. Kalau kita sampai pada pengertian, bahwa benda-benda sebenarnya tak berharga untuk “dimiliki” atau “dijadikan”, suatu daya penolakan (nibbida) akan berkembang berangsur-angsur sesuai dengan berkembangnya intensitas dari pandangan terang. Yang di atas merupakan pertanda, bahwa kemelekatan telah menjadi longgar dan mulai memberi jalan kepada tenaga yang dapat membawa kita ke arah pembebasan. Ini merupakan pertanda bahwa terlalu lama sudah kita diperbudak oleh konsepsi yang salah, dan sekarang tibalah saatnya untuk melepaskan diri. Hal ini merupakan permulaan dari tenaga pelepasan terhadap cengkeraman daya-pikat dan kepuasan yang khayal. Sekarang kita merasa jemu terhadap kebodohan kita yang memegang erat-erat dan melekat kepada benda-benda karena mengira bahwa mereka berharga untuk dimiliki atau untuk dijadikan. Kalau cengkeraman daya-pikat perlahan-lahan menjadi longgar akan timbul dengan otomatis suatu proses alamiah tentang pelepasan diri (viraga), seperti juga orang terlepas dari tali yang mengikat erat-erat, mencuci bersih noda-noda yang terdapat pada pakaian dengan mencelupnya ke dalam campuran air obat yang sesuai. Proses ini merupakan pembebasan diri dari kemelekatan dan memberi jalan kepada pembebasan dari pengaruh lima khandha dan dari obyek-obyek sasarannya. Hal ini oleh Sang Buddha dinamakan Vimutti. Tahap ini penting sekali meskipun bukan merupakan tahap terakhir dalam perjalanan kita menuju ke Pembebasan. Kalau sudah sampai pada tahap ini, maka pembebasan terakhir dari penderitaan telah terjamin.
Setelah berhasil membebaskan diri dari belenggu perbudakan, kita tak mungkin diperbudak kembali. Sekali bebas akan tetap bebas. Kita akan menjadi bersih dan tak ternoda. Lepas dari perbudakan benda-benda berarti pula, bahwa kita bersih dalam perbuatan badaniah, ucapan dan pikiran.
Pembebasan diri dari perbudakan dan mengecap kebahagiaan berarti mencapai suatu keadaan suci yang tak dapat dikotori lagi. Setelah kesucian (Visuddhi) tercapai, maka timbul keadaan tenang dan penuh damai, bebas dari goncangan-goncangan pergulatan hidup dan penderitaan. Keadaan ini yang bebas dari ketegangan-ketegangan dan goncangan oleh Sang Buddha dinamakan Santi (Perdamaian), yaitu tenang dan tenteram dalam menghadapi apa pun juga (pada hakikatnya sama dengan Nirvana).
Nirvana dapat diterjemahkan sebagai “keadaan tanpa penderitaan”. Juga dapat diartikan sebagai “padam tanpa sisa”. Karena itu istilah Nirvana mempunyai dua arti yang penting.
Pertama : bebas dari penderitaan dan bebas dari semua bentuk ikatan dan belenggu-belenggu.
Kedua : padam karena tak ada bahan bakar lagi yang dapat menimbulkan penderitaan baru.
Kombinasi dari kedua arti ini menunjukkan suatu keadaan terbebas dengan sempurna dari penderitaan. Juga terdapat beberapa arti lain yang berguna dari istilah Nirvana. Misalnya “padamnya penderitaan” atau “pemusnahan total dari kekotoran-kekotoran batin” dan lain-lain lagi. Meskipun istilah ini digunakan oleh berbagai sekte, namun artinya berbeda-beda. Misalnya ada golongan yang memberi arti sebagai tenang dan tenteram, sebab mereka menyamakan Nirvana dengan konsentrasi pikiran tinggi. Bahkan ada golongan tertentu mengartikan Nirvana sebagai penyerahan diri secara total pada kenikmatan nafsu.
Sang Buddha sendiri mengartikan Nirvana sebagai keadaan bebas dari ikatan-ikatan, siksaan-siksaan dan penderitaan, yang timbul dari pandangan terang tentang hakikat sesungguhnya dari benda-benda dan karena itu sanggup untuk melepaskan semua kemelekatan. Di sinilah kami sekali lagi ingin menggarisbawahi pentingnya pandangan terang terhadap hakikat sesungguhnya dari benda-benda, dan kembangkanlah pandangan terang ini dengan satu dan lain cara. Dianjurkan untuk mempergunakan suatu cara, sehingga pandangan terang itu berkembang dengan sendirinya dan wajar. Berusahalah dengan tekun dan kembangkanlah pandangan ini siang dan malam.
Juga terdapat cara lain, yaitu dengan mengikuti latihan-latihan tentang pemusatan pikiran dan pandangan terang. Latihan-latihan tersebut sesuai sekali untuk orang-orang yang memiliki sifat-sifat tertentu yang akan mendapat kemajuan pesat.
Pada hakikatnya pandangan terang melalui cara alamiah dapat dikembangkan setiap waktu dan dalam semua keadaan, yaitu dengan melakukan perbuatan sehari-hari dengan bersih dan jujur, sehingga timbul kegiuran dan kebahagiaan mental (Piti dan Pamoda), ketenangan (Passaddhi), pandangan tentang hakikat sesungguhnya dari benda-benda (Yathabhutananadassana), penolakan (Nibbida), pelepasan (Viraga), pembebasan (Vimutti), pembersihan dari kekotoran-kekotoran batin (Visuddhi) dan perdamaian (Santi), sehingga kita dapat menikmati kebahagiaan tertinggi karena terbebas dari penderitaan (Nibbana).
Dengan langkah tetap, bila tekun dan ulet melakukan pemusatan pikiran secara wajar dan alamiah, setapak demi setapak kita akan mendekati Nibbana. Kesimpulannya ialah, bahwa melakukan pemusatan pikiran dan pandangan terang dengan cara wajar dapat membawa orang mencapai magga dan phala. Setiap hari kita harus meneliti kebenaran dari pepatah yang mengatakan, bahwa tak ada yang berharga untuk dimiliki atau dijadikan. Setiap orang yang ingin mencapai hasil ini harus berusaha untuk membersihkan dirinya dan mengembangkan sifat-sifat baik yang dapat dibuat teladan, sehingga ia selalu akan mendapatkan kebahagiaan batiniah, baik waktu bekerja atau waktu istirahat. Kebahagiaan batiniah ini mengakibatkan pikiran terang dan segar, tenang dan penuh damai. Hal-hal ini dengan sendirinya dan otomatis membersihkan batinnya, sehingga mampu berpikir dan melakukan introspeksi dengan baik. Dengan selalu sadar, bahwa benda-benda tak berharga untuk dimiliki atau dijadikan, batin kita kehilangan minat dan tak lagi melekat kepada benda-benda yang dulunya dipegang erat-erat. Batin mampu membebaskan diri dari benda-benda yang dulunya selalu dianggap sebagai “milikku” dan “aku” dan semua keinginan terhadap benda-benda akan padam. Penderitaan dengan sendirinya hilang, karena tak mempunyai landasan lagi untuk berpijak. Pekerjaan menyingkirkan penderitaan telah selesai dan hadiahnya adalah Nibbana yang dapat dimenangkan oleh kita semua.