
No. 375
KAPOTA-JĀTAKA
Sumber : Indonesia Tipitaka Center
“Saya merasa sehat,” dan seterusnya. Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berdiam di Jetavana, tentang seeorang bhikkhu yang serakah. Kisah tentang bhikkhu serakah ini telah diceritakan dalam beberapa versi yang berbeda-beda.
Dalam kesempatan ini Sang Guru menanyakan kepadanya apakah ia orang yang serakah dan ketika ia mengakuinya, Beliau berkata, “Bukan hanya kali ini, tetapi juga di masa lampau, Bhikkhu, Anda adalah orang yang serakah, dan disebabkan oleh keserakahanmu itulah, Anda menemui ajalmu.” Dan berikut ini Beliau menceritakan sebuah kisah masa lampau.
[225] Dahulu kala di bawah pemerintahan Brahmadatta, Raja Benares, Bodhisatta terlahir sebagai seekor burung dara dan tinggal di sangkar yang terbuat dari rotan, di dapur rumah seorang saudagar Benares yang kaya raya. Kala itu, hiduplah seekor burung gagak yang selalu mendambakan dapat memakan daging ikan, ia berteman dengan burung dara itu dan tinggal di tempat yang sama. Suatu hari ia melihat banyak daging ikan, kemudian berpikir, “Saya akan makan ini,” dan berbaring mengerang kesakitan di dalam sangkarnya. Dan ketika burung dara berkata, “Ayo, teman, mari kita pergi jalan-jalan mencari makanan,” ia menolak untuk pergi dengan berkata, “Perutku sedang sakit. Kamu saja yang pergi.” Dan ketika burung dara telah terbang pergi, ia berkata, “Temanku yang menyusahkan itu sudah pergi. Sekarang saya akan makan daging ikan itu sepuas hatiku.” Dengan berpikiran demikian, ia kemudian mengucapkan bait pertama berikut:
Saya merasa sehat dan tenang
karena burung dara itu sudah pergi.
Sekarang akan kupenuhi keinginanku:
Daging ikan dapat melakukannya.
Jadi ketika juru masak yang memanggang daging ikan itu keluar dari dapur, menyeka keringat di badannya, burung gagak melompat keluar dari keranjangnya (sangkarnya) dan bersembunyi di dalam mangkuk rempah-rempah. Karena mangkuk itu mengeluarkan bunyi ‘klik’, juru masak itu masuk dengan terburu-buru, menangkap burung gagak dan mencabuti bulu-bulunya. Dan ia menggiling beberapa jahe yang telah berair dan mustard putih, mencampurkannya dengan susu mentega yang basi, kemudian mengoleskannya ke seluruh tubuh gagak itu dengan menggunakan pecahan barang, [226] ia melukai burung gagak. Kemudian ia mengikatkan pecahan barang itu di lehernya, meletakkannya kembali ke keranjangnya dan pergi.
Ketika kembali dan melihatnya, burung dara berkata, “Burung apa ini yang sedang berbaring di keranjang temanku? Temanku adalah orang yang mudah marah dan akan segera datang, membunuh burung asing ini.” Demikian ia bercanda dan mengucapkan bait kedua berikut:
‘Anak dari awan137,’ dengan jambul berjumbai-jumbai,
Mengapa Anda mengambil tempat di sangkar temanku?
Ayo kemari, burung bangau.
Temanku, si gagak, mudah marah, kamu harus tahu itu.
Burung gagak mengucapkan bait ketiga berikut setelah mendengar perkataan burung dara:
Baiklah kamu boleh tertawa melihat ini,
karena saya berada dalam keadaan yang menyedihkan.
Koki itu telah mencabut buluku dan mengoles tubuhku
dengan susu mentega busuk dan bumbu lainnya.
Burung dara, masih untuk mengolok-oloknya, mengucapkan bait keempat berikut:
Menurutku Anda telah dibersihkan dan diolesi dengan benar, telah Anda dapatkan makanan dan minuman.
Lehermu begitu terang dengan kilauan permata,
apakah kamu baru kembali dari Benares?
Kemudian burung gagak mengucapkan bait kelima berikut:
Bukanlah pergi ke Benares, temanku atau
musuhku yang kejam,
akan tetapi mereka telah mencabuti buluku
dan sebagai lelucon, mereka mengikatkan barang pecahan di dadaku.
Keinginan buruk ini sangatlah sulit untuk berkembang (dipenuhi) dengan keadaan kita seperti sekarang ini..
Burung-burung haruslah waspada untuk menghindari makanan yang mereka lihat manusia menikmatinya.
Setelah demikian menasihatinya, burung dara tidak lagi tinggal di sana, mengepak sayapnya dan terbang ke tempat yang lain, sedangkan burung gagak itu mati di sana.
Sang Guru menyampaikan uraian-Nya sampai di sini dan mempertautkan kisah kelahiran mereka:—Di akhir kebenarannya, bhikkhu yang tadinya serakah itu mencapai tingkat kesucian Anāgāmi:—“Pada masa itu, burung gagak adalah bhikkhu yang serakah, dan burung dara adalah saya sendiri.”
Catatan kaki :
136 Bandingkan No. 42, Vol. I., No. 274, Vol. II.
137 Burung bangau dikandung pada saat guntur terdengar yang ditimbulkan oleh awan-awan gelap. Bandingkan Meghadūta 9.