Kehidupan Manusia Tidak Kekal

KEHIDUPAN MANUSIA TIDAK KEKAL

PENDAHULUAN

Manusia yang hidup di dunia ini selalu mengalami proses tumbuh dan berkembang. Mula-mula manusia dilahirkan sebagai bayi, kemudian tumbuh menjadi balita, anak-anak, remaja, dewasa, tua, adan akhirnya meninggal dunia. Menjadi tua adalah suatu proses kehidupan yang sangat alami; tak seorang pun dapat mencegah proses penuaan ini. Meninggal dunia juga merupakan suatu proses yang pasti akan dialami oleh semua manusia yang dilahirkan; tak seorang pun dapat menghindar dari kematian. Tidak ada kematian bagi manusia yang telah lahir adalah sesuatu yang tidak mungkin, karena manusia yang dilahirkan pasti akan mengalami kematian.

Dalam kitab suci Dhammapada Bab X ayat 135, Sang Buddha bersabda, “ Bagaikan seorang penggembala menghalau sapi-sapinya dengan tongkat ke padang rumput, begitu juga umur tua dan kematian menghalau kehidupan makhluk-makhluk.”

Ya….semuanya berjalan dari kelahiran menuju kematian. Semuanya mengalami proses perubahan yang terus menerus. Setiap hari rupa atau jasmani manusia selalu mengalami proses perubahan yang tiada henti-hentinya. Dalam jasmani manusia tidak ada sesuatu yang tetap atau kekal. Demikian pula dengan nama atau batin manusia yang selalu mengalami ketidakkekalan atau anicca. Batin manusia yang terdiri atas perasaan (vedana), pencerapan (sanna), bentuk-bentuk pikiran (sankhara). Dan kesadaran (vinnana) itu selalu berubah-ubah.

Kedaan yang dialami oleh manusia juga berubah-ubah. Keberhasilan dan kegagalan, untung dan rugi, kemasyhuran dan nama buruk, penghormatan dan penghinaan, pujian dan celaan, kepuasan dan kekecewaan, suka dan duka silih berganti mencengkeram kehidupan manusia. Suatu waktu manusia mengalami keadaan yang menyenangkan, seperti untung, termasyhur, dipuji atau suka. Namun, pada waktu lain manusia mengalami keadaan yang tidak menyenangkan, seperti rugi, nama, buruk, dicela, atau duka.

Pada umumnya manusia merasa gembira bila mengalami keadaan yang menyenangkan. Kadang-kadang di antara mereka ada yang lupa diri dan menganggap bahwa keadaan itu akan berlangsung terus. Pada umumnya manusia ingin sehat terus menerus, makan enak teru-menerus, untung terus menerus, memiliki harta terus menerus, dipuji terus menerus, anak-anak baik terus menerus, suami atau istri setia terus menerus, bahkan hidupnya juga ingin terus menerus. Namun, itu adalah tidak mungkin karena segala sesuatu adalah tidak kekal.

Sebaliknya, bila manusia mengalami keadaan yang tidak menyenangkan pada umumnya mereka akan kecewa, sedih dan beranggapan bahwa seakan-akan hidupnya tidak berarti lagi. Mereka tidak sanggup menerima beban yang amat berat itu. Mereka merasa bahwa penderitaan itu datang menimpanya terus menerus. Mereka menganggap bahwa penderitaan yang dialaminya itu tidak akan pernah berakhir. Mereka merintih dan meronta-ronta ingin mengakhiri penderitaan itu secepatnya, bahkan dengan cara yang justru kian memperburuk kondisi yang ada, seperti melakukan bunuh diri. Ini merupakan tindakan yang keliru.

Bekal menghadapi ketidak kekalan.

Umat Buddha seyogyanya menyadari bahwa keadaan yang menyenangkan dan tidak menyenangkan itu silih berganti mewarnai kehidupannya. Mereka seyogyanya menyadari bahwa segala sesuatu yang ada di dunia ini dan keadaan-keadaan yang dialaminya itu bersifat anicca atau tidak kekal.

Menurut Buddha Dhamma, tidak ada sesuatu yang dapat terus menerus tetap kekal. Segala sesuatu yang ada atau yang terjadi adalah tidak kekal. Selalu berubah-ubah, bersifat sementara. Manusia berkumpul, kemudian berpisah. Umat Buddha yang menyadari hal ini seyogyanya berusaha mempersiapkan bekal sebanyak-banyaknya agar mereka tidak menyesal nanti.

Umat Buddha seyogyanya berusaha membekali dirinya dengan perlindungan yang aman, yaitu pikiran baik (kusala citta) yang terlatih dengan baik. Umat Buddha harus mempunyai modal di dalam batin yang lebih kuat, sehingga tegar menghadapi apapun. Umat Buddha harus memiliki nilai-nilai agama dalam batinnya serta menghayati nilai-nilai tersebut dalam kehidupan sehari-hari.

Dalam Maha Parinibbana Sutta, Sang Buddha memberikan wejangan terakhir sebagai berikut:

Vayadhamma sankhara, appamedana sampadetha”’
yang berarti “segala sesuatu yang terdiri atas paduan unsur-unsur dikodratkan akan hancur kembali. Karena itu, berjuanglah dengan sungguh-sungguh.”

Ya….. hidup ini adalah perjuangan. Setiap manusia berjuang untuk mencapai kehidupan yang lebih baik. Umat Buddha berjuang untuk mencapai tujuan terakhir, yaitu kebebasan mutlak atau Nibbana. Namun, dalam perjuangan untuk mencapai tujuan terakhir itu, umat Buddha hendaknya tidak mengabaikan moral atau sila. Sebab, dengan mengabaikan moral atau sila, tujuan perjuangan itu menjadi terhambat. Umat Buddha seyogyanya melaksanakan sila atau kelakuan bermoral itu dengan sebaik-baiknya, sehingga selamat dan dapat mencapai tujuan perjuangan tersebut.

Selanjutnya, dalam menghadapi kehidupan yang tidak kekal itu, umat Buddha seyogyanya berjuang melakukan hal-hal sebagai berikut :

  1. Memiliki cara berpikir Buddhistis
  2. Melepaskan kemelekatan terhadap segala sesuatu
  3. Menggalang hubungan yang baik.
  4. Melakukan kebaikan dan mengikis keburukkan sekarang juga.

1. Cara berpikir Buddhistis.

Umat Buddha seyogyanya memiliki cara berpikir Buddhistis, (cara berpikir yang dewasa), yaitu dapat melihat ketidakkekalan yang mencengkeram segala sesuatu itu dengan benar, dan menerima kenyataan mengenai ketidakkekalan yang datang menimpanya itu dengan tabah. Jika umat Buddha yang masih memiliki cara berpikir yang salah, yang tidak sesuai dengan kenyataan, maka ia harus berani mengubah cara berpikirnya yang salah itu menjadi cara berpikir Buddhistis. Sebab, cara berpikir yang salah itu membuat manusia semakin menderita. Jika kenyataan menunjukkan seseorang sakit, tetapi ia menganggap dirinya tidak sakit, ia menjauhi obat, dan tidak menjaga diri, maka sikapnya kekanak-kanakan, dan akan menghancurkan dirinya sendiri.

Umat Buddha seyogyanya memiliki cara berpikir Buddhistis, yang sesuai dengan Dhamma, yang melihat kenyataan hidup dengan apa adanya, dengan terus terang, tanpa tabir. Umat Buddha seyogyanya memiliki kesanggupan untuk berani melihat dengan mata terbuka terhadap kenyataan sebagaimana adanya, yang mana kenyataan itu sering tidak sesuai dengan keinginannya. Manusia ingin selalu berkumpul dengan segala sesuatu yang dicintai. Sebaliknya, manusia selalu berusaha menolak untuk bertemu dengan apapun yang dibencinya. Kenyataannya, manusia pasti akan berpisah dengan segala sesuatu yang dicintai daqn bertemu dengan hal-hal yang dibenci.

Umat Buddha seyogyanya siap dan mampu menerima kenyataan sebagai kenyataan walaupun kenyataan itu tidak sesuai dengan keinginannya. Umat Buddha hendaknya tidak berpandangan bahwa harapan atau keinginannya itu harus menjadi kenyataan, agar mereka tidak kecewa. Sebab, manusia tidak mungkin mampu mengubah kenyataan. Makin besar keinginan untuk mengubah kenyataan, makin besar pula penderitaan atau kekecewaan yang akan dirasakan. Manusia tidak mungkin mampu mengubah dunia. Hal yang mampu dilakukan oleh manusia adalah mengubah cara berpikir yang salah, yang terlalu mengharapkan kenyataan dapat berubah sesuai dengan keinginannya.

Sesungguhnya, memang amat berat untuk menerima kenyataan sebagaimana adanya. Sebab, kenyataan itu sering tidak sesuai dengan keinginan manusia. Manusia ingin sehat terus menerus, tetapi kenyataannya menghadapkan kepadanya bahwa ia akit. Manusia ingin untung terus menerus, tetapi kenyataannya ia rugi. Manusia ingin dipuji terus menerus, tetapi kenyataannya ia dikritik dan dicela, atau bahkan dihina. Manusia ingin sukses terus menerus, tetapi kenyataan ia gagal. Memang amat berat menghadapi kenyataan bahwa suatu saat semua keadaan yang menyenangkan itu akan berubah. Tetapi itulah kenyataan yang harus dihadapi. Oleh sebab itu, cara berpikir yang salah harus diubah.

Ya….memang amat berat dan pahit untuk menerima kenyataan yang tidak sesuai dengan keinginannya. Pada umumnya, manusia tidak ingin sengsara, kecewa, menderita, tertekan, meninggal. Tetapi itulah kenyataan yang harus dihadapi.. Umat Buddha harus berani menghadapi kenyataan hidup yang terbentang dihadapannya dan tetap tegar. Umat Buddha harus menyadari bahwa semua yang terjadi padanya merupakan akibat dari perbuatannya sendiri, baik yang dilakukan pada kehidupan ini maupun pada kehidupan yang lampau.

Umat Buddha harus dapat melihat kenyataan bahwa hidup ini adalah tidak kekal, sehingga mereka tidak berputar-putar didalam perubahan yang tidak dikehendaki. Umat Buddha harus menyadari bahwa segala sesuatu itu dicengkeram oleh ketidakkekelan, termasuk penderitaan, kesulitan, problem, agar mereka tidak kecewa. Umat Buddha harus melatih pikirannya dalam menghadapi perubahan-perubahan serta siap mengatasi kesulitan dan hidup ini. Jika umat Buddha dapat menerima kenyatan sebagaimana adanya, menghadapi dunia ini dengan segala perubahannya, menyadari bahwa segala sesuatu yang ada didunia ini adalah tidakkekal maka sikap, tindakan dan perilakunya menjadi dewasa dan bijaksana.

2. Melepaskan kemelekatan

Umat Buddha seyogyanya menyadari bahwa segala sesuatu adalah tidak kekal. Sesuatu yang timbul, pasti akan berlalu dan lenyap. Dalam segala hal, dimana terdapat adanya permulaan, di situlah pula mulai dengan proses pengakhirannya. Oleh sebab itu, tidak ada alasan untuk menikmati dan memuaskan diri pada sesuatu dengan terus menerus, karena semua kenikmatan, kesenangan, dan kebahagiaan yang dialami itu hanyalah bersifat sementara. Suatu saat semua keadaan yang menyenangkan itu akan berubah.

Umat Buddha hendaknya jangan menggenggam kenikmatan, kesenangan, dan kebahagiaan itu menjadi miliknya untuk selama – lamanya. Sebab, menurut kenyataan, hal itu adalah sesuatu yang sangat tidak mungkin. Mereka yang menganggap bahwa segala sesuatu di dunia ini kekal dan abadi adalah orang yang paling kecewa di dunia ini, karena sesungguhnya segala sesuatu itu adalah perubahan.

Umat Buddha seyogyanya tidak menggenggam segala sesuatu itu dengan erat, karena segala sesuatu itu akan lepas darinya bila waktunya tiba. Umat Buddha hendaknya tidak melekat pada hal – hal yang dianggap sebagai miliknya atau kepunyaannya, karena sesungguhnya tidak ada sesuatu yang dapat disebut sebagai miliknya yang kekal. Suami atau istri dan anak – anak yang dianggap sebagai miliknya suatu saat akan terpisah darinya karena kematian. Harta benda yang dianggap sebagai miliknya suatu saat akan terpisah darinya karena dirampok, dilanda banjir, terbakar oleh api, atau disita oleh pemerintah.

Umat Buddha hendaknya tidak melekat kepada segala sesuatu yang menyenangkan dan menganggapnya itu sebagai miliknya untuk selama – lamanya, agar tidak kecewa. Umat Buddha seyogyanya merasa jijik, bosan, dan jemu terhadap segala sesuatu yang bersifat tidak kekal itu, dan kemudian berusaha menghindarkan diri dari padanya, agar bebas dari cengkeramannya.

Umat Buddha seyogyanya berusaha melepaskan kemelekatan terhadap segala sesuatu, karena kemelekatan akan menimbulkan dukkha. Umat Buddha seyogyanya berjuang untuk mencapai kebebasan dalam hidup ini, yaitu keadaan yang tidak terikat. Jika umat Buddha dapat mencapai keadaan yang tidak terikat, maka ia dikatakan bebas seperti burung yang terbang di angkasa. Ke manapun burung itu terbang, tidak dapat dilihat bekasnya. Lain halnya dengan harimau yang berjalan di daratan yang meninggalkan bekas tapak kaki pada tanah yang dilaluinya.

Umat Buddha seyogyanya berusaha tidak melekat pada segala sesuatu, termasuk hal – hal yang tidak menyenangkan. Umat Buddha seyogyanya tidak menangisi kemalangan yang menimpanya, seperti kerugian, perpisahan dengan orang yang dicintainya. umat Buddha hendaknya tidak seperti buah kelapa atau mangga atau durian, yang jika jatuh, terus menggelinding mencari tempat yang paling rendah, tidak dapat bangun lagi, karena buah itu tidak mempunyai sayap.

Jika umat Buddha jatuh, jangan terus tenggelam, tetapi dapat segera bangkit. Umat Buddha hendaknya tetap tegar, walaupun ditimpa berbagai kemalangan. Umat Buddha seyogyanya berusaha mempunyai “sayap“ seperti burung, yang jika “jatuh“ masih dapat “terbang“ kembali. Perhatikanlah burung yang hinggap di dahan yang kering. Jika dahan itu patah, maka burung itu juga ikut jatuh. Namun, setelah jatuh, burung itu dapat segera terbang kembali, karena burung itu mempunyai sayap. Hendaknyalah umat Buddha juga dapat hidup seperti burung.

3. Menggalang hubungan yang baik.

Umat Buddha seyogyanya menggalang hubungan yang baik di antara anggota keluarga dan anggota masyarakat. Umat Buddha seyogyanya menyadari bahwa mereka bertemu dan berkumpul hanya untuk sementara ketika hidup di dunia ini. Esok lusa mereka pasti akan berpisah karena kematian atau hal – hal lain. Oleh sebab itu umat Buddha seyogyanya dapat hidup saling menyayangi, mengasihi, menghormati, menghargai, menolong, membantu, ramah dan sopan.

Dalam kitab suci Dhammapada Bab XXV ayat 376, Sang Buddha bersabda, “ Hendaknya ia bersikap ramah dan sopan tingkah lakunya. Karena merasa gembira dalam menjalankan hal – hal tersebut, maka ia akan bebas dari penderitaan. “

Umat Buddha seyogyanya menjalin persaudaraan dan persahabatan yang erat dan penuh kasih sayang. Namun, dalam kehidupan ini kadang – kadang terjadi hal sebagai berikut : hari ini mereka menjadi teman – teman dekat kita, tetapi di hari berikutnya mereka menjadi musuh yang ingin mencelakakan kita. Ya … kadang – kadang kawan dapat menjadi lawan. Namun, umat Buddha yang baik seyogyanya tidak bersikap seperti itu.

Umat Buddha seyogyanya tidak membalas kejahatan dengan kejahatan. Umat Buddha seyogyanya tidak menaruh dendam di hati terhadap orang – orang yang menyakitinya. Umat Buddha seyogyanya membalas kebencian dengan cinta kasih, agar kebencian itu dapat segera berakhir. Umat Buddha seyogyanya menyadari bahwa membenci orang ibarat memegang bara api, yang tentunya akan mengakibatkan penderitaan bagi dirinya sendiri. Umat Buddha seyogyanya dapat memberikan maaf ( Abhaya Dana ) kepada orang lain yang melakukan kesalahan terhadapnya.

Umat Buddha seyogyanya berusaha mengikis sifat – sifat buruk yang ada dalam dirinya setiap waktu. Umat Buddha seyogyanya berusaha menghindari perselisihan, pertentangan, permusuhan, benci, dengki, iri hati, agar mereka tidak hidup menderita. Umat Buddha seyogyanya segera mengakhiri semua perselisihannya, karena kehidupan manusia sesungguhnya amat singkat.

Dalam kitab Thera Gatha, Sang Buddha bersabda sebagai berikut :

“ Orang tidak pernah dapat sungguh – sungguh mengerti bahwa kita hanya berada di sini untuk sementara tetapi mereka yang mengerti kebenaran ini mengurangi perselisihan dan pertentangannya. “

4. Melakukan kebaikan dan mengikis keburukkan sekarang juga.

Umat Buddha seyogyanya menyadari bahwa kehidupan manusia di dunia ini amat singkat. Waktu berjalan amat cepat. Oleh sebab itu, umat Buddha seyogyanya tidak menyia – nyiakan waktu yang ada, agar mereka tidak menyesal nanti. Umat Buddha seyogyanya berusaha memanfaatkan setiap waktu yang ada untuk melakukan hal – hal yang bermanfaat. Umat Buddha seyogyanya berusaha melayani orang banyak, membantu meringankan penderitaan orang lain. Umat Buddha seyogyanya berusaha melakukan kebaikkan dan mengikis keburukkan sekarang juga.

Umat Buddha seyogyanya tidak menunda – nunda melakukan perbuatan baik, karena kehidupan ini tidak pasti dan selalu berubah – ubah. Setiap manusia yang belum memiliki abhinna atau kemampuan batin dan belum mencapai kesucian tertinggi ( arahat ) tidak dapat mengetahui, kapan ia akan meninggal dunia. Namun, yang pasti adalah kematian akan datang pada setiap makhluk, cepat atau lambat. Oleh sebab itu, sebelum kematian datang, banyaklah berbuat baik. Perbuatan baik akan membawa kebahagiaan. Kebahagiaan akan selalu mengikuti pelakunya bagaikan bayang – bayang yang tak pernah meninggalkan dirinya.

Ada pepatah mengatakan, “ Bunga yang tak akan layu di bumi hanyalah kebajikkan. “ Kebajikkan yang dilakukan dengan hati yang tulus ikhlas menjadi simpanan batin, dan akan terasa manfaatnya bila tiba pada keadaan yang sangat menyulitkan. Kebajikkan itulah yang akan menyelamatkan seseorang dari kemalangan. Kebajikan itulah yang menjadi pelindung yang paling setia.

Umat Buddha seyogyanya berbuat kebaikan hanya demi kebaikan, dan jangan mengharapkan balasan atas kebaikan yang telah dilakukanya. Umat Buddha seyogyanya yakin akan kebenaran hukum karma. Apabila mereka selalu berbuat kebaikan, tetapi penderitaan datang bertubi-tubi menimpanya, maka janganlah kecewa. Hadapilah penderitaan kesulitan itu dengan hati yang tabah dan berusahalah mengatasinya dengan cara yang bijaksana. Yakinlah bahwa penderitaan sesungguhnya hanya datang kepada orang yang memang harus menerimanya. Sadarlah bahwa mereka sedang memetik hasil dari perbuatan buruk yang telah dilakukannya pada kehidupan lampau. Memang berat menerima sesuatu keadaan yang menyedihkan,. Namun, ingatlah bahwa penderitaan itu tidak kekal. Jika waktunya tiba, penderitaan itu pasti berlalu. Teruslah berbuat baik. Ingatlah bahwa hidup ini singkat dan semuanya akan mengalami kematian.

Sumber :
BAKTI ANAK KEPADA ORANG TUA ( Kumpulan Tulisan)
Oleh : Mettadewi W., S.H., Ag.
Diterbitkan oleh Yayasan Pancaran Dharma, Jakarta
Cetakan pertama, Juli 1999

Leave a Reply 0 comments