Kekikiran Manusia

KEKIKIRAN MANUSIA

Pendahuluan

Sebagian besar manusia yang hidup di dunia ini lebih suka mementingkan dirinya sendiri. Mereka umumnya tidak suka menolong orang lain. Mereka umumnya tidak suka membagikan barang-barang kebutuhan pokok yang telah dimilikinya kepada pihak-pihak yang membutuhkannya. Mereka umumnya egois, kikir, tidak dermawan. Mereka umumnya berpandangan piik bahwa hanya dirinya sendiri dan keluarga yang paling unggul dalam berbagai hal. Mereka umumnya cenderung melekat pada harta bendanya, wilayahnya, kejayaannya, kemayurannya, kecantikannya, pengetahuannya.

Sebagian besar manusia yang hidup di dunia ini lebih mudah dan lebih suka memperhatikan kesalahan orang lain daripada memperhatikan kesalahan-kesalahan diri sendiri. Sebagian besar manusia yang hidup di dunia ini lebih mudah dan lebih suka memperhatikan segala sesuatu yang telah atau yang belum dikerjakan oleh orang lain daripada memperhatikan segala sesuatu yang telah atau belum dikerjakan oleh diri sendiri. Ya….manusia cenderung selalu menyalahkan orang lain. Manusia cenderung melihat dan mencela keburukan dan kekurangan orang lain. Sebaliknya, manusia cenderung tidak mau disalahkan dan tidak mau mengakui kesalahannya sendiri. Manusia cenderung melihat dan memuji kebaikan dan kelebihan dirinya sendiri.

Sebagian besar manusia yang hidup di dunia ini lebih mudah dan lebih suka berbuat jahat daripada berbuat baik. Sebagian besar manusia lebih mudah dan lebih suka melanggar Pancasila Buddhis daripada menaati Pancasila Buddhis. Ya….manusia cenderung melakukan perbuatan menganiaya dan membunuh makhluk hidup daripada memancarkan metta (cinta kasih) dan karuna ( belas kasihan ) kepada makhluk hidup tersebut. Manusia cenderung melakukan perbuatan mencuri dan menipu daripada melakukan penghidupan benar ( samma ajiva ). Manusia cenderung melakukan perbuatan berselingkuh atau berzinah daripada melakukan penahanan diri terhadap nafsu indera ( kamasamvara). Manusia cenderung berbicara dusta daripada berbuat kebenaran (sacca). Manusia cenderung melakukan tindakan mabuk-mabukan daripada mengembangkan kesadaran benar (sati sampajanna)

Sebagian besar manusia yang hidup di dunia ini lebih mudah dan lebih suka membiarkan pikirannya dikuasai oleh keserakahan ( lobha ), kebencian ( dosa ), dan kegelapan batin (moha). Lobha, dosa, dan moha ini merupakan kilesa atau kekotoran batin yang sangat merugikan siapa pun, karena kilesa ini merupakan pemicu berkembangnya perilaku negatif. Pada hakikatnya, perbuatan korupsi, kolusi, dan nepotisme yang terjadi di tengah-tengah kehidupan masyarakat berawal dari kekotoran batin tersebut. Tindakan-tindakan kerusuhan, kekerasan, penghasutan juga disebabkan oleh pikiran yang dirasuki lobha, dosa, dan moha itu.

Tindakan–tindakan kejahatan yang terjadi di masyarakat itu menimbulkan keresahan, ketakutan, kekhawatiran, kegelisahan, kecemasan, dan kekacauan dalam dunia ini. Ya……. Kejahatan yang merupakan perwujudan kekotoran batin itu sungguh sangat merugikan, bahkan menghancurkan peri kehidupan ini, baik diri sendiri maupun orang banyak, dan juga memorak-porandakan tata nilai manusia saat ini maupun masa depan anak-anak bangsa.

Kekikiran Manusia

Setiap manusia tentu mendambakan kebahagiaan dan ketenangan hidup. Untuk itu, setiap manusia seyogyanya berjuang untuk melenyapkan lobha, dosa dan moha dalam pikirannya masing-masing. Setiap umat Buddha seyogyanya mengadakan reformasi terhadap pikirannya sendiri. Setiap umat Buddha seyogyanya mengadakan perubahan mendasar terhadap pikirannya sendiri. Dengan demikian, perubahan sikap dan perilaku ke arah yang baik juga akan terwujud. Hal ini dapat dilakukan melalui upaya penghayatan Dhamma yang lebih mendalam dan intensif.

Setiap umat Buddha seyogyanya berusaha mengikis kekotoran-kekotoran batin yang bersemayam dalam dirinya, agar mereka tidak melakukan hal-hal yang tidak baik. Umat Buddha seyogyanya berusaha mengikis sifat-sifat buruk yang melekat dalam dirinya. Umat Buddha seyogyanya berusaha mengikis sifat macchariya atau kekikiran yang ada dalam dirinya.

Dalam Digha Nikaya III/234 dan Anguttara Nikaya Navakanipata XXIII/481, Sang Buddha menguraikan mengenai lima macam kekikiran atau Macchariya, yaitu sebagai berikut :

  1. Kekikiran tanah (Avasamacchariya).
  2. Kekikiran keluarga (Kulamacchariya)
  3. Kekikiran keuntungan (Labhamacchariya)
  4. Kekikiran kemasyuran / penghargaan dan wajah / bentuk tubuh (Vannamacchariya).
  5. Kekikiran pengetahuan (Dhammamacchariya).

Istilah kekikiran disini dipergunakan untuk menunjukan kepicikan pandangan berdasarkan pada suatu sikap batin negatif. Untuk lebih jelas, akan diterangkan satu persatu.

“Kekikiran tanah” berarti keinginan iri hati seseorang untuk mempertahankan tanah atau wilayahnya sendiri hanya untuk kelompok, sekte, atau negaranya sendiri, tidak boleh didiami oleh orang asing, pendatamg baru, atau orang-orang berbeda paham.

“Kekikiran keluarga” berarti keinginan iri hati seseorang untuk mempertahankan kejayaan keluarga sendiri, tidak menginginkan keluarga-keluarga lain menyaingi atau menandingi kejayaan keluarganya. Untuk para bhikkhu, ini diwujudkan dengan keinginan untuk memonopoli bantuan yang diterima dari para dermawannya sendiri, tidak menginginkan para dermawan itu membantu para bhikkhu lain.

“Kekikiran keuntungan” berarti suatu keinginan jahat seseorang untuk menimbun kekayaan bagi dirinya sendiri, tidak ingin membaginya kepada orang lain sekalipun pada saat hal itu pantas dilakukan dan diperlukan.

“Kekikiran kemasyuran/penghargaan dan wajah/bentuk tubuh” berati suatu keinginan iri hati bahwa seseorang tidak senang melihat orang lain sama atau lebih unggul daripadanya berkenaan dengan kemasyuran, kehormatan, penghargaan, bentuk tubuh, atau kecantikan.

“Kekikiran pengetahuan” berarti keinginan iri hati seseorang untuk menyimpan pengetahuan, baik ilmu pengetahuan, kesenian, maupun cara-cara mencari nafkah hanya untuk dirinya sendiri. Ia tidak senang melihat orang lain sepandai atau seahli dirinya, dan mencoba untuk menyimpan pengetahuannya dengan amat hati-hati.

Itulah lima macam kekikiran yang merupakan salah satu sebab timbulnya kekacauan dalam dunia ini. Sifat-sifat kikir ini menimbulkan perasaan pemisahan dan tidak bersatu di antara individu-individu, kelompok-kelompok, masyarakat-masyarakat, atau negara-negara. Sifat-sifat kikir ini juga menyebabkan berkembangnya kegelisahan dalam diri manusia karena adanya sikap saling mencurigai. Akibatnya, ketentraman, kedamaian, persatuan, dan persahabatan yang tulus antara bangsa-bangsa di dunia tidak dapat tewujud sepenuhnya. Ini merupakan suatu kenyataan ironis bahwasannya dalam masa-masa dunia modern sekarang ini, macam-macam kekikiran ini telah berkembang, bukannya berkurang.

Selama sifat-sifat kikir ini masih ada pada diri manusia, selama itu pula manusia tidak akan mencapai tingkat kesucian apapun. Sebabnya ialah bahwa untuk mencapai tingkat kesucian pertama atau Sotapanna saja seseorang harus sudah dapat membasmi lima macam kekikiran itu secara total. Jadi, umat Buddha harus berusaha mengurangi sifat kikir yang ada dalam dirinya sedikit demi sedikit sampai akhirnya lenyap sama sekali. Umat Buddha seyogyanya berusaha mengembangkan sifat-sifat baik dalam dirinya, seperti cinta kasih (metta), belas kasihan (karuna), kedermawanan/kerelaan (dana). Umat Buddha seyogyanya memiliki sikap batin yang baik yang mengharapkan kesejahteraan dan kebahagiaan semua makhluk, tanpa membeda-bedakan sedikit pun, bagaikan seorang sahabat yang penuh simpati. Umat Buddha seyogyanya memiliki sikap batin yang baik yang selalu berhasrat untuk menghilangkan atau meringankan penderitaan makhluk lain apabila melihat atau mengetahuinya. Umat Buddha seyogyanya murah hati, dermawan, suka memberikan atau membagikan barang-barang kebutuhan pokok atau uang kepada orang-orang yang membutuhkannya dengan hati yang tulus ikhlas. Uamt Buddha seyogyanya berusaha melepaskan kemelekatan yang berlebihan akan harta duniawi. Umat Buddha seyogyanya rela memberikan maaf kepada orang-orang yang menjengkelkan. Umat Buddha seyogyanya mau memperhatikan kesulitan orang lain; mau menyadari segala kelebihan dan kekurangan orang lain. Umat Buddha seyogyanya memiliki pola pikir yang baik yang selalu berharap, “Semoga semua makhluk berbahagia”. Umat Buddha seyogyanya berjuang untuk membersihkan batinnya dari noda-noda, untuk membebaskan dirinya dari penderitaan, untuk mencapai tingkat-tingkat kesucian, dan akhirnya mencapai Nibbana.

Sumber :
BAKTI ANAK KEPADA ORANG TUA ( Kumpulan Tulisan)
Oleh : Mettadewi W., S.H., Ag.
Diterbitkan oleh Yayasan Pancaran Dharma, Jakarta
Cetakan pertama, Juli 1999

Leave a Reply 0 comments