Kesadaran Sejati dan Pemusatan Pikiran Sejati

KESADARAN SEJATI
DAN PEMUSATAN PIKIRAN SEJATI

141. Bila dalam tradisi agama lain perhatian sepenuhnya ditujukan kepada Tuhan, sebab dengan mengerti kehendaknya akan menyebabkan keselamatan; maka dalam agama Buddha perhatian ditujukan pada pikiran, sebab pikiran adalah perantara yang olehnya segala sesuatu berarti, ditafsirkan dan dipahami. Menjinakkan pikiran adalah menjinakkan dunia. Santideva menuangkan hal ini dengan sempurna dalam sajaknya:

Semua harimau dan macan,
Semua gajah, beruang dan ular,
Makhluk-makhluk neraka,
Setan dan dedemit,

Semuanya itu dikuasai
Dengan menguasai pikiran
Dan cukup dengan menundukkan pikiran,
Kesemuanya dapat ditundukkan,

Sebab dengan dibentuk oleh pikiran
Semua ketakutan dan kekwatiran datang
Inilah yang telah diajarkan
Oleh Si Pembicara Kebenaran

Para musuh tak terukur seperti angkasa
Bagaimana saya dapat memerangi semuanya?
Tapi bila saya menghancurkan kemurkaan saya
Pikiran tentang adanya “musuh” terhancurkan

Tidak akan cukup banyak kulit
Untuk menyelimuti dunia
Tapi dengan menggunakan sendal kulit,
Saya dapat menjelajahi dunia
Sama halnya, semua lingkungan diluar
Tak dapat dijaga secara menyeluruh
Tapi bila saya menjaga pikiran saya
Perlindungan apa lagi yang saya butuhkan?1

Dalam banyak khotbah, Sang Buddha menekankan hal yang sama.

Bagi seseorang yang masih belajar dan belum menjadi penguasa dari pikirannya sendiri, tapi tetap bercita-cita agar damai dari ikatan-ikatan, demi kebaikan dirinya sendiri, baginya Saya tidak mengetahui sesuatu yang lebih menolong dari pada memperhatikan dengan ketat pikirannya sendiri.2

Karena pikiran yang sesat, seorang menjadi sesat
Karena pikiran yang murni, seorang menjadi murni.3

Saya tidak mengetahui sesuatu yang paling tak dapat bekerja selain pikiran yang tak dikembangkan. Sebenarnya, pikiran yang tak berkembang adalah sesuatu yang tak dapat bekerja. Saya tidak mengetahui sesuatu yang paling bekerja selain pikiran yang dikembangkan. Sebenarnya, pikiran yang berkembang adalah sesuatu yang dapat bekerja.4

142. Ketika kita lahir, kita datang ke dunia ini dengan pikiran yang telah dipengaruhi oleh kebiasaan mental kita masing-masing, yang terbawa dari kehidupan sebelumnya – kebiasaan mental yang mungkin telah dikembangkan selama kurun waktu yang panjang dan mungkin pula telah sulit untuk dirubah atau diberi nuansa yang lain. Selama masa pertumbuhan dan perkembangan kita pada kehidupan ini, orang-tua dan guru-guru mengajar kita bagaimana seharusnya bertindak, namun tidak banyak diajarkan bagaimana seharusnya mengendalikan pikiran kita. Dengan demikian, walau mungkin kehidupan kita dari luar tampak selaras, namun kehidupan-kehidupan kita-pikiran kita, mungkin kacau tak beraturan. Demi mencapai kebahagiaan abadi, pikiran yang tak disiplin harus dapat dikendalikan dan dirubah. Seperti dikatakan Sang Buddha:

Sangatlah menakjubkan, melatih pikiran itu.
Bergerak lincah, meraih apa yang dikehendakinya.
Sangat baik memiliki pikiran yang terlatih baik.
Karena pikiran yang terlatih baik akan membawa kebahagiaan.

Sulit ditangkap dan sangat licik,
Pikiran meraih apa yang diinginkan.
Oleh karenanya para bijaksana menjaga pikirannya,
Karena pikiran yang terjaga akan membawa kebahagiaan.5

Dalam agama Buddha usaha menjinakkan dan menjaga pikiran dilakukan melalui meditasi. Istilah yang sering diterjemahkan sebagai meditasi adalah kata bhavana, yang secara harfiah berarti ‘mengolah’ atau ‘mengembangkan’. Jadi dalam pengertian Buddhis, meditasi yang benar adalah suatu proses dinamis, dimulai dengan mendisiplinkan, kemudian menanamkan pengertian, lalu terakhir membebaskan pikiran.

143. Ada beberapa teknik meditasi yang berbeda, beberapa diajarkan sendiri oleh Sang Buddha, beberapa yang lain dikembangkan oleh Guru-guru sesudah-Nya, namun keseluruhannya dapat dicakup dalam dua pokok utama, pertama adalah Konsentrasi (Pemusatan-pikiran) Sejati (samma samadhi). Istilah ‘samadhi’ berarti mengumpulkan atau menyatukan, dan mengacu pada pemusatan atau penyatuan pikiran. Siswa wanita Sang Buddha, Dhammadina mendefinisikan pemusatan-pikiran (konsentrasi), sebagai berikut:

Semua penyatuan pikiran adalah konsentrasi.6

Buddhagosa mendefinisikannya lewat kata-kata:

Apa konsentrasi itu? Adalah pemusatan dari kesadaran dan semua yang menyertainya secara merata dan sempurna pada satu titik.7

Dengan demikian jelas, bahwa konsentrasi tiada lain adalah suatu usaha untuk menghentikan pergerakan perhatian pikiran (yang sebelumnya selalu bergerak) dengan memancangkannya pada satu titik. Dengan melaksanakannya, baik badan maupun pikiran cenderung akan diam dan tenang; oleh karenanya teknik-teknik meditasi yang tercakup sebagai konsentrasi (Pemusatan-Pikiran) Sejati sering disebut juga Teknik Penenangan (samatha bhavana).

144. Meditasi ke dua, yakni pelaksanaan meditasi melalui Kesadaran Sejati (samma sati), istilah ‘sati’ berarti pengingatan, kemawasdirian atau perhatian-penuh. Seorang bhikkhu termasyhur Nyanaponika menyebut ‘perhatian penuh’ sebagai perhatian “kosong” dalam bentuknya yang paling mendasar, serta mendefinisikannya sebagai berikut:

…… kesadaran batin yang menyatu dan terang tentang apa yang sebenarnya terjadi pada kita dan dalam diri kita, pada pencerapan-pencerapan secara berkesinambungan. Disebut ‘kosong’, karena pikiran itu mengikuti fakta-fakta kosong dari pencerapan tanpa bereaksi melalui perbuatan, ucapan atau pikiran.8

Mawas-diri oleh karenanya, walau bersifat pasif tapi adalah suatu kesiagaan batin, pada pikiran-pikiran yang timbul dan pada pengalaman-pengalaman pikiran. Pengaruh-pengaruh yang membelokkan kesiagaan itu, berupa prasangka yang timbul dari dalam pikiran, ide-ide yang timbul sebelumnya, rasa suka dan tidak suka akan berkurang bila ada kemawasan-diri, lalu secara bertahap, seseorang akan dapat melihat segala sesuatu seperti apa adanya. Kenyataan terlihat secara langsung. Oleh karenanya, teknik-teknik yang dicakup sebagai Kesadaran Sejati juga disebut Teknik Pengembangan Wawasan (vipassana bhavana) (Inggris: insight meditation).

145. Walau tidaklah mutlak, bahwa kita harus menenangkan dan memusatkan pikiran (samatha bhavana) dulu sebelum mencoba mengembangkan kesadaran/kemawasan (vipassana bhavana), tapi kebanyakan orang lebih berhasil dengan melaksanakannya berurutan. Adalah penting dipahami, bahwa ada unsur kemawasan dalam pemusatan-pikiran, pula sebaliknya ada unsur pemusatan-pikiran dalam kemawasan, dan bila dilaksanakan, dikembangkan dan dimatangkan, keduanya akan “muncul bersamaan” (yaganadha)9 dan akan saling menguatkan.

Dalam khotbah tentang Buah dari Kehidupan Bermeditasi (Samaññaphala Sutta), Sang Buddha menggambarkan semua langkah-langkah pelaksanaan meditasi secara sangat rinci dan pencapaiannya. Oleh karenanya kita sebaiknya tidak mempelajari Pemusatan-Pikiran Sejati dan Kesadaran Sejati secara terpisah, namun kita memeriksa kedua bagian terakhir dari Jalan Berjalur Delapan ini sebagai satu kesatuan melalui khotbah ini.

146. Persiapan

Sebelum kita mulai bermeditasi, kita hendaknya mempunyai keyakinan (saddha) dan secara moral siap melaksanakan Lima Janji (pañca sila), yang keduanya telah kita lihat sebelumnya. Nilai kebajikan dari meditasi jangan di lebih-lebihkan sebab kebajikan pada dasarnya menuntun ke bahagiaan karena “tak-dipersalahkan” (anavajjasukha)10, dan seperti berulang kali dikatakan Sang Buddha “pikiran dari mereka yang berbahagia menjadi terpusat” (sukhino cittam samadhiyanti).11 Setelah mencapai dengan baik hal diatas, hal penting selanjutnya sebagai persiapan meditasi adalah menjaga pintu indera (indriya samvara). Alat indera kita senantiasa berjaga-jaga menunggu rangsang yang datang. Bila kita selalu menyerah pada permintaan indera atau malah secara aktif mencari rangsangan indriawi, maka baik badan maupun mental selalu dalam keadaan tanpa-istirahat. Mencoba memuaskan rangsangan indera, seperti dikatakan Sang Buddha, adalah seperti anjing yang mencoba menghilangkan laparnya dengan mengunyah tulang kering.12 Lagi pula, kesanggupan batin untuk menghayati dan mengertikan sesuatu akan terhalangi apabila selalu tergoncang. Seperti dikatakan Subasitaratnakhosa:

Keputusan cermat sekalipun akan gagal,
Pikiran tersandung, kebijaksanaan dihancurkan,
Dan keteguhan seorang akan remuk,
Bila pikiran diracuni oleh kesenangan indriawi.13

Menghindari rangsangan indera secara berangsur menuntun pikiran menjadi tenang, yang pada gilirannya akan menyebabkan pelaksanaan meditasi menjadi mudah. Hal diatas dengan sendirinya dapat dilakukan dengan menghindari pergaulan dengan orang-orang kasar, tidak terlalu sering mengunjungi pertunjukan-pertunjukan, pesta-pesta, bioskop-bioskop dan tempat-tempat seperti itu; adalah lebih bijaksana menghabiskan waktu sendiri dengan tenang dari pada mencari teman bergunjing ataupun mencari apa saja yang mengasyikkan dan menyenangkan kita. Bila pintu indera dijaga, kita akan mengalami apa yang disebut Sang Buddha sebagai “kebahagiaan karena tak terganggu” (avyasekasukha)14, dan seperti disebutkan didepan “pikiran yang bahagia akan mudah berkonsentrasi.”

147. Sekarang kita sudah siap bermeditasi. Pertama, kita mencari tempat yang cocok untuk itu. Tempat dimana kita bisa menyendiri tanpa gangguan, adalah yang terbaik. Waktu terbaik untuk bermeditasi tergantung pada suasana dan kecenderungan setiap pribadi. Untuk sebagian orang, pagi yang dini sewaktu lingkungan masih sepi dan setelah beristirahat dengan baik dimalam hari adalah waktu terbaik; untuk sebagian orang lagi, malam hari sebelum tidur adalah waktu terbaik. Setelah mendapat tempat yang tepat, kita lalu “duduk bersila dan badan ditegakkan”.15 Kita dapat saja duduk dengan bermacam posisi, namun yang terbaik adalah duduk dilantai beralaskan batal, kaki dilipat, tangan diletakkan diatas pangkuan, dengan badan yang tegak.

148. Kesadaran Pada Pernapasan.

Meditasi Buddhis yang paling dasar adalah Kesadaran pada pernapasan (anapana sati). Teknik sederhana namun sangkil ini akan berbuah ketenangan (relaksasi) dan mengembangkan disiplin mental serta tentunya memudahkan pemusatan pikiran. Dalam menggambarkan manfaatnya, Sang Buddha berkata:

Pemusatan pikiran yang tekun pada masuk dan keluarnya nafas, bila dipupuk dan dikembangkan, adalah suatu kedamaian dan suatu yang istimewa, suatu yang sempurna dan pula suatu cara hidup yang menyenangkan. Tidak hanya itu, juga akan menghalau pikiran-pikiran jahat tak-terlatih yang telah timbul dan membuatnya hilang seketika. Bagaikan, ketika bulan terakhir dari musim panas, debu dan kotoran beterbangan, lalu hujan deras yang turun tiba-tiba menenangkan dan menurunkannya ke bumi seketika.16

Duduk dengan posisi yang enak sambil menutup mata, lalu perhatian dipusatkan pada gerakan masuk dan keluarnya nafas. Menghitung (ganana) nafas dimulai dari satu sampai tiga-puluh akan membantu mencegah pikiran berkeliaran. Hal lain yang membantu adalah mengusahakan badan agar tetap diam. Namun bila perhatian mulai teralih oleh gangguan dari luar (misalnya suara) ataupun gangguan dari dalam sendiri (misalnya pikiran-pikiran, khayalan, ingatan-ingatan) atau rangsangan pada badan (misalnya gigitan nyamuk) ataupun posisi yang kurang santai kita hendaknya dengan sabar kembali menghitung nafas seperti diatas. Senantiasa membawa perhatian kembali (ke pernafasan) secara berkesinambungan, seperti inilah yang akan menjadi kunci sukses. Kita berteguh-hati sebagai berikut:

Sebelumnya pikiran ini mengembara semaunya,
Sesuai kehendaknya dan sesuai kesenangannya,
Tapi hari ini saya akan menguasainya penuh perhatian
Seperti pawang menguasai gajah dengan kaitannya.17

149. Berapa lama kita bermeditasi? Untuk memulainya, kita hendaknya melaksanakan latihan “kesadaran pada pernapasan” selama lima belas menit sekurang-kurangnya sekali sehari. Waktu kemudian diperpanjang lima menit setiap minggu sehingga kita dapat mencapai empat puluh lima menit. Lalu, hendaknya kita bermeditasi selama empat puluh lima menit setiap hari. Sampai kita mencapai keadaan, yang ditandai dengan kemampuan untuk menyadari secepatnya bila perhatian menyimpang dan dengan mudah dapat kembali menariknya – memperhatikan pernapasan.

    Mungkin karena sebelumnya belum pernah mencoba mendisiplinkan pikiran, dan karena pola kebiasaan yang telah tertanam sebelumnya; maka kita akan menghadapi kesulitan dan rintangan-rintangan, paling tidak pada tahap permulaan. Yang paling nyata dalam hal ini adalah pikiran-pikiran yang terus menerus berusaha menarik perhatian kita dari keluar masuknya nafas. Sang Buddha menyarankan lima cara mengatasi pikiran-pikiran seperti itu mengganti, mempertimbangkan untung-ruginya, tak memperdulikan, membiarkannya reda atau-pun dengan menaklukkan pikiran-pikiran itu.

    Seseorang yang berkeinginan mengembangkan pikiran yang lebih tinggi, hendaknya memikirkan lima hal dari waktu ke waktu. Apa lima itu?
    Bila, sewaktu memikirkan sesuatu, pikiran-pikiran jahat tak-terlatih disertai keserakahan, kebencian dan kegelapan-batin timbul; dia hendaknya lalu memikirkan sesuatu pikiran yang terlatih. Dengan demikian pikiran-pikiran jahat tak-terlatih akan reda dan batin akan mantap, tenang, terpusat ke satu titik dan terkonsentrasi. Ibarat, tukang kayu atau pembuatnya mengetok, mencabut, menarik keluar pasak besar dengan menggunakan pasak kecil.
    Bila, sewaktu memikirkan sesuatu yang terlatih, pikiran jahat tak-terlatih disertai keserakahan, kebencian dan kegelapan-batin masih muncul; dia hendaknya lalu merenungkan kejelekan-kejelekan dari pikiran seperti itu, dengan berpikir: “Sebenarnya pikiran-pikiran ini tak terlatih, dipersalahkan dan membawa penderitaan.” Dengan demikian pikiran-pikiran tak terlatih yang jahat akan reda dan batin akan mantap, tenang, terpusat ke satu titik dan terkonsentrasi. Ibarat, seorang pemuda atau wanita yang berpakaian indah tapi berkalungkan bangkai ular, anjing atau manusia dilehernya, akan dijauhi, dipermalu dan menimbulkan perasaan jijik.
    Namun, bila sementara merenungkan kejelekan-kejelekan pikiran-pikiran ini, pikiran-pikiran jahat tak-terlatih yang disertai keserakahan, kebencian dan kegelapan-batin masih timbul; dia hendaknya lalu berusaha melupakannya, tidak memperhatikannya. Dengan demikian pikiran-pikiran tak terlatih yang jahat akan reda dan batin akan mantap, tenang, terpusat ke satu titik dan terkonsentrasi. Ibarat, seorang dengan penglihatan yang baik tapi menutup mata atau memalingkan muka agar tidak melihat sesuatu.
    Tapi bila, sewaktu berusaha melupakan dan tidak memperhatikan pikiran-pikiran itu, pikiran-pikiran jahat tak-terlatih yang disertai keserakahan, kebencian dan kegelapan-batin masih timbul; dia hendaknya membiarkan pikiran-pikiran itu menjadi tenang. Dengan demikian pikiran-pikiran tak terlatih yang jahat akan reda dan batin akan mantap, tenang, terpusat ke satu titik dan terkonsentrasi. Ibarat, seorang, yang merasa tak perlu berlari, lalu berjalan; merasa tak perlu berjalan, lalu berdiri-diam; merasa tak perlu berdiri, lalu duduk; merasa tak perlu duduk, lalu berbaring. Jadi, dia yang sebelumnya bergerak dengan susah-payah lalu bisa menjadi santai.
    Tapi, bila, sewaktu membiarkan pikiran-pikiran itu menjadi tenang, pikiran-pikiran jahat tak-terlatih yang disertai keserakahan, kebencian dan kegelapan-batin masih timbul, lalu, dengan gigi terkatup dan lidah ditekan kelangit-langit dia hendaknya menahan, menaklukkan dan menekan batin dengan batin. Dengan demikian pikiran-pikiran tak terlatih yang jahat akan reda dan batin akan mantap, tenang, terpusat ke satu titik dan terkonsentrasi. Ibarat, seorang yang kuat mengalahkan seorang yang lebih lemah dengan memukulnya pada kepala dan bahunya.
    Seorang yang melakukan semua diatas disebut penguasa jalan pikiran. Pikiran yang dikehendaki untuk dipikir, dia pikirkan; pikiran yang tak dikehendaki untuk dipikir, dia tidak pikirkan. Dia telah memotong kemelekatan, melepaskan belenggu, menguasai kesombongan dan mengakhiri penderitaan.18

150. Mungkin sekali waktu, sewaktu bermeditasi kita merasakan sesuatu yang aneh, yang kemudian mungkin menarik perhatian kita dan menyebabkan ketegangan atau keingin-tahuan. Perasaan itu mungkin berupa; walau badan masih tetap tegak, badan serasa seakan bersandar pada satu sisi (dinding), tangan atau anggota badan lain terasa menghilang, perasaan aneh dari badan, atau cahaya terang terlintas di batin. Semua hal diatas, juga fenomena-fenomena serupa lain yang bisa terjadi pada kita, sebaiknya dianggap hanyalah sekadar tipuan batin yang mempesonakan dan membetot pikiran kita; semuanya tidak berbahaya, dan semuanya akan hilang berlalu bila tak dihiraukan. Hal lain yang dapat terjadi, terutama bila meditasi kita telah mengalami kemajuan, ialah pernafasan yang menjadi dangkal sedemikian rupa sehingga tak dirasakan lagi. Bila kita menyadari bahwa nafas seakan berhenti, maka mungkin menyebabkan kita kaget dan kwatir. Namun, hendaknya dicatat dalam pikiran, bahwa sebenarnya pernafasan tidak berhenti dan tidak akan berhenti. Secara alami pernafasan memang menjadi lembut dan dangkal, bila badan dalam keadaan tenang, karena tubuh kita membutuhkan hanya sedikit oksigen. Satu hal lagi, yang sering mengganggu para pemeditasi adalah perasaan kesemutan atau yang serupa pada tungkai. Karena perasaan ini biasanya ringan dan akan segera hilang bila tungkai telah bersila, maka sebaiknya perasaan ini dihiraukan saja. Namun, bila perasaan kesemutan ini berlangsung terus dan cenderung menyakitkan, maka mungkin lebih baik kita mencoba posisi lain saja. Hal yang harus dipahami ialah bahwa posisi apapun juga akan menimbulkan perasaan yang tidak enak pada permulaan, dan walau kita bergerak atau merubah posisi kaki, perasaan sedemikian akan tetap juga ada. Bila kita telah dengan mudah bertahan memperhatikan pernafasan, maka kita bisa mengabaikan “cara hitung” tadi, dan dengan demikian pikiran kita terfokus pada gerakan pernafasan semata.

151. Perenungan-perenungan.

Dengan melaksanakan meditasi pernafasan secara teratur; lalu sewaktu kita telah mencapai tingkat dimana perhatian kita telah lebih mantap terpaku pada pernafasan, maka kita telah siap untuk menambah latihan Perenungan (anusati) pada meditasi kita. Ada beberapa Perenungan yang diajarkan oleh Sang Buddha, yang terpenting adalah Perenungan Pada Buddha (Buddhanussati), Dhamma (Dhammanussati) dan Sangha (Sanghanussati); Perenungan Pada Kebajikan (Silanussati), Kemurahan-hati (Caganussati), sahabat-sahabat Spiritual Kedamaian (Kalyanamittanussati)19, Pada Kematian (Maranasati) dan Pada Kedamaian. (Upasamanussati)20 Perenungan dilakukan dengan mengarahkan pikiran kita pada obyek-obyek tertentu dan dengan hati-hati merenungkannya. Sang Buddha bersabda:

Apapun yang sering seseorang renungkan dan pikirkan, batin akan bersandar padanya.21

Pernyataan diatas sangat tepat. Pikiran apapun yang menonjol dalan batin kita, akan berpengaruh pada kepribadian dan perilaku kita. Bila dengan sadar dan sengaja, kita memenuhi batin kita dengan pikiran-pikiran positif, maka pikiran-pikiran sedemikian akan muncul dengan sendirinya, lalu pada gilirannya akan berbuah perbuatan-perbuatan yang sesuai dengan pikiran-pikiran itu.

Sewaktu Siswa-siswa yang agung merenungkan (hal-hal ini), batinnya akan bebas dari keserakahan, kebencian dan kegelapan-batin. Pada saat itu, batinnya mantap dan tertuju pada hal-hal itu, dan dengan batin yang mantap dia menunjukkan kegembiraan dari kebajikan, kegembiraan dari Dhamma dan kegembiraan berjalan bersama Dhamma. Pada mereka yang gembira, timbul keceriaan; disebabkan keceriaan, jasmani menjadi tenang; dengan jasmani yang tenang seseorang akan bahagia, dan batin seorang yang bahagia senantiasa terkonsentrasi.22

Sewaktu pelaksanaan Puja, kita juga melaksanakan Perenungan pada Buddha, Dhamma dan Sangha. Perenungan pada Buddha juga dapat dilakukan dengan membaca literatur-literatur peribadatan yang membangkitkan pikiran-pikiran yang seperti yang disajikan dalam Kamalañjli.

Engkau ramah pada yang kejam, adil pada yang semena-mena, baik pada yang jahat, penuh kebaikan pada yang berbahaya, dan Engkau bertindak dengan cara yang tak pernah dilakukan oleh siapapun. Oh, Pemenang, Pengasih, Yang Adil, Tempat Kediaman Kebajikan, Yang Berbudi, Yang hidup-Nya semata demi kesejahteraan orang lain, sebenarnyalah dalam diri-Mu lah hatiku menemukan kebahagiaan.

Walau Engkau hidup dalam Alam Kekacauan, Engkau selalu bertindak penuh kemuliaan, dengan menjaga keseimbangan di-tengah-tengah luapan kesenangan duniawi, Engkau memancarkan Kesempurnaan; dengan mengingat-Mu siang dan malam, dalam mimpi, setiap waktu, Oh, Pemenang, Yang Bijaksana, didalamnyalah hatiku menemukan kebahagiaan.

Engkau memberi hal-hal yang paling sulit diberikan, melakukan hal-hal yang paling sulit dilakukan dan mengampuni mereka yang berbuat kesalahan besar, Oh, Harta Tak Tertandingi – kediaman dari welas-asih dan Oh, Guru Bijaksana, bila saya merenungkan kebajikan-Mu yang tak bernoda, siang ataupun malam, ataupun setiap waktu, hatiku lalu menemukan kebahagiaan.

Sebenarnya Engkau melaksanakan hal yang paling sulit dalam perilaku moral dan menjinakkan mereka yang tak terkendalikan; demikian pula, dengan hati penuh kasih-sayang Engkau mendekatkan cinta-Mu pada mereka yang keras-hati sekalipun; oleh karenanya, Oh, Guru Yang Bijaksana, bila saya merenungkan kebajikan-Mu yang tak bernoda, siang ataupun malam, ataupun setiap waktu, hatiku lalu menemukan kebahagiaan.23

Sebelum kita dapat melakukannya tersendiri, maka untuk membantu menuntun pikiran-pikiran kita; ada baiknya kita membiasakan membaca dengan hikmat dan tenang semua Penerungan dibawah ini.24

152. Sang Buddha bersabda dalam Perenungan Kebajikan:

Engkau hendaknya merenungkan kebajikan-kebajikanmu sendiri sebagai lengkap, utuh, tak bernoda, tak berbercak, memberi-kebebasan; sebagai terpuji oleh para bijaksana, murni dan mengantar kearah konsentrasi pikiran.25

Perenungan Kebajikan dapat dilakukan dalam empat bagian, satu setiap harinya. Olehnya kita akan dituntun agar dapat memaafkan mereka yang mungkin telah menyakiti kita, memaafkan diri sendiri atas kegagalan-kegagalan dan kekurangan-kekurangan, bergembira atas perbuatan-perbuatan baik kita sendiri dan akhirnya bergembira atas perbuatan-perbuatan baik orang lain.

PERENUNGAN KEBAJIKAN

bagian I

Apabila pada hari ini atau sebelumnya, mereka yang lain telah berbuat salah pada saya; lewat jasmani, perkataan atau pikiran, besar ataupun kecil, dengki ataupun kurang bijaksana; sekarang saya dengan ini didepan Sang Buddha dengan tulus memaafkan mereka dan menghapus dendam ini.

Saya memaafkan, karena mengingat betapa seringnya saya juga berbuat salah.

Saya memaafkan, karena menyadari betapa saya selalu membela diri, padahal mengharapkan maaf atas kesalahan sendiri.

Saya memaafkan, karena mengetahui bahwa dengan menyimpan keinginan jahat, saya akan merugikan diri sendiri lebih besar dari pada yang dapat diperbuat orang lain pada saya.
Saya memaafkan, berjanji dalam hati tidak akan membicarakan kesalahannya ini pada orang lain.

Saya memaafkan, karena mengetahui bahwa keinginan membalas hanya akan menyebabkan kekalutan dan kegoncangan hati.

Saya memaafkan, karena dengan jalan inilah cinta-kasih dan penglepasan akan berkembang dalam hati.

Saya memaafkan, karena mengetahui bahwa sama seperti saya, merekapun masih terbakar oleh keserakahan, kebencian dan kegelapan-batin.

Semoga pemberian maaf hari ini akan membantu saya agar dapat memberi maaf lagi esok hari.

Semoga pemberian maaf ini mendorong mereka yang lain agar juga memberi maaf pada saya.

Semoga pemberian maaf ini memupuk penglepasan, kebaikan dan membantu pembebasan hati.
Bagian II

Apabila pada hari ini atau sebelumnya, saya telah berbuat salah pada orang lain; lewat jasmani, perkataan atau pikiran, besar ataupun kecil, dengki ataupun kurang bijaksana; sekarang saya dengan ini didepan Sang Buddha mengakui pelanggaran-pelanggaran itu dan memohon maaf.

Saya mohon maaf, bukan untuk menutupi kesalahan-kesalahan saya atau beralasan pada mereka.

Saya mohon maaf, karena mengetahui betapa tak berarti, seharusnya saya mengeluh bila seseorang berbuat salah pada saya.

Saya memohon maaf, berharap agar perbuatan saya yang jelek tidak akan dicontohi mereka yang lain.

Saya memohon maaf, benar-benar merasa menyesal dan berjanji akan memperbaiki-diri.

Saya memohon maaf, dan berjanji untuk melaksanakan pengendalian diri di kemudian hari.

Semoga semua makhluk bebas dari pembalasan. Semoga semua makhluk dimaafkan atas kesalahan-kesalahannya.

Semoga kesalahan-kesalahan saya selalu tak berarti dan mudah teratasi.
Bagian III

Apabila pada hari ini atau sebelumnya, saya telah berbuat baik pada orang lain; lewat jasmani, perkataan atau pikiran, besar ataupun kecil, demi kebahagiaan orang lain, berkat hasrat melatih diri atau penghormatan pada Tiga Permata, saya dengan ini didepan Sang Buddha mengingat perbuatan-perbuatan baik itu, dan oleh karenanya hati saya bergembira.

Saya bergembira karena perbuatan baik saya, berjanji tidak akan memperbandingkan diri saya dengan orang lain atau membicarakan kebaikan-kebaikan yang telah saya perbuat.

Saya bergembira karena perbuatan baik saya, dan dengan bahagia membagi kegembiraan ini pada semua makhluk dimana-pun berada.

Saya bergembira karena perbuatan baik saya, dan dikarenakan kegembiraan itu, hati saya akan lebih murni.

Saya bergembira karena perbuatan baik saya, dengan pengharapan agar perbuatan-perbuatan itu akan membangkitkan keinginan orang-orang lainnya agar melaksanakan Dhamma.

Semoga perbuatan-perbuatan baik saya melepaskan beban-beban makhluk lain.

Semoga perbuatan-perbuatan baik saya melindungi saya dari segala kejahatan dan penderitaan.

Semoga perbuatan-perbuatan baik saya dan jasa yang ditimbulkan oleh-nya membantu pembebasan hati.
Bagian IV

Apabila pada hari ini atau sebelumnya, saya telah melihat atau mendengar perbuatan-baik dilakukan oleh orang lain; lewat jasmani, perkataan atau pikiran, besar ataupun kecil, demi keberuntungan saya ataupun orang lainnya, saya dengan ini didepan Sang Buddha mengingat perbuatan-perbuatan baik itu, dan oleh karenanya hati saya bergembira.

Saya bergembira karena perbuatan-baik orang-lain, semata-mata karena itu, bukan karena perbuatan salah yang telah mereka perbuat.

Saya bergembira karena perbuatan-baik orang-lain, senantiasa akan memuji mereka yang baik dan menjadikannya suri tauladan.

Saya bergembira karena perbuatan-baik orang-lain, dan menyadari bahwa walau dunia ini dipenuhi rasa ke-aku-an ini, namun masih banyak orang yang berhati mulia.

Saya bergembira karena perbuatan-baik orang-lain, senantiasa bersyukur dan berterima kasih atas kebaikan-kebaikannya.

Saya bergembira karena perbuatan-baik orang-lain, dan dikarenakan kegembiraan itu, hati saya akan lebih murni.

Semoga perbuatan-perbuatan baik orang lain tidak pernah menimbulkan cemburu, dengki dan iri-hati.

Semoga perbuatan-perbuatan baik orang-lain membantu mengembangkan rasa terimakasih dan kepedulian.

Semoga perbuatan-perbuatan baik orang-lain memelihara kebajikan dalam diriku dan membantu pembebasan hati.

153. Pada pelaksanaan Perenungan Kemurahan-hati, kita merenungkan nilai-nilai kemurahan-hati (kedermawaan) dan juga agar kita dapat menambah kemurahan-hati itu pada orang lain. Sang Buddha menyarankan merenungkannya dengan cara berikut:

Engkau hendaknya merenungkan kemurahan-hati dirimu sendiri seperti ini: “Ini adalah keberuntungan saya sendiri. Sebenarnya, ini adalah suatu keberuntungan dengan berdiri teguh diantara yang picik, saya berumah-tangga dengan batin yang bebas dari kepicikan; tangan saya terbuka; tangan saya murni, bergembira bila dapat membagi pada siapa saja, orang tempat memohon kebaikan pula orang yang bergembira bila memberi sesuatu.”26

Perenungan Kemurahan-hati

Apakah hari ini saya membagi keberuntungan besar yang saya nikmati, namun dengan perasaan enggan? Terbenam di dalam milik saya, tanpa memikirkan mereka yang lain; apakah saya menikmatinya sendiri? Tanpa kepicikan atau keserakahan, apakah saya telah bergembira karena dapat memberi? Sekarang saya disini didepan Sang Buddha berjanji menjadi seorang yang selalu memberi dan membagi.

Saya akan memberi, tapi tak memberikannya benda yang bisa mencelakakannya, walaupun diminta.

Saya akan memberi, tidak hanya pada mereka yang saya senangi, tapi juga pada orang tak dikenal, pada mereka yang memusuhi sekalipun.

Saya akan memberi karena menyadari kebutuhan mereka, tak menunggu permintaan.

Saya akan memberi dengan kerendahan-hati, tanpa keinginan akan penghargaan.

Saya akan memberi dan juga memberi kesempatan pada mereka untuk juga memberi pada saya.

Saya akan memberi, tak akan membiarkan pikiran lain menodai kemurahan-hati saya.

Saya akan memberi, menyadari bahwa kemurahan-hati akan membantu pengembangan penglepasan.

Semoga kemurahan-hati saya, menghapus kepicikan dan meredakan permusuhan.

Semoga kemurahan-hati saya, mengundang persahabatan baru dan menggembirakan mereka yang tak berbahagia.

Semoga kemurahan-hati saya, melumerkan semua keserakahan dan keterikatan dan membantu pembebasan hati.

154. Pada perenungan yang berikut Sang Buddha berkata:

Engkau hendaknya merenungkan para sahabat spiritual seperti ini: “Sebenarnya adalah keberuntungan bagi saya. Sebenarnyalah, sangat baik bagi saya memiliki sahabat-sahabat yang indah, penuh kasih-sayang, senantiasa mengharap kesejahteraan bagi saya, senantiasa memberi dorongan dan mengajar saya.27

Perenungan Sahabat Spiritual mendorong kita untuk memikirkan hubungan kita dengan orang lain dan usaha-usaha yang hendaknya kita lakukan demi menambah erat tali persahabatan yang saling mengasihi itu.
Perenungan Persahabatan

Apakah hari ini saya gagal menunjukkan persahabatan sejati pada mereka yang saya temui? Apakah saya, melalui badan, ucapan dan pikiran: memusuhi, tak mengacuhkan atau bersikap kasar pada makhluk lain? Apakah saya berusaha mengambil keuntungan dari yang lainnya, tidak memperlakukan mereka seakan mereka adalah kakek dan nenek, ayah dan ibu, saudara lelaki dan wanita, sendiri? Sekarang saya disini didepan Sang Buddha berjanji berlaku seperti Yang Mulia, sahabat sejati dari seluruh dunia.

Sebagai sahabat, saya akan menolong yang kesulitan, mengarahkan yang sesat, dan menghibur yang kesepian.

Sebagai sahabat, saya tidak akan menyalahgunakan kepercayaan orang lain pada saya dengan berlaku curang dan menipunya.

Sebagai sahabat, saya tidak akan membiarkan mereka berbuat-kejahatan dan berbuat-kebodohan, sebab bila saya membiarkannya, siapa lagi yang akan membimbingnya?

Sebagai sahabat, saya mengabaikan rasa tak berterima-kasih, pula rasa tak percaya; saya akan terus menawarkan persahabatan.

Sebagai sahabat, senantiasa mengharapkan kedamaian, saya akan membicarakan perbuatan baik seseorang dan tak akan membicarakan kesalahan-kesalahannya.

Sebagai sahabat, saya akan senantiasa mengingat perbuatan baik yang telah diperbuat pada saya dan segera terlupakan yang tidak baik.

Semoga keramahan saya memenangkan persahabatan pada yang lainnya.

Semoga keramahan saya melindungi saya dari sikap bermusuhan, kemarahan dan penyerangan.

Semoga keramahan saya bertumbuh menjadi cinta-kasih dan welas-asih dan membantu membebaskan hati.

Perenungan pada Kematian, yang adalah merenungkan maut yang senantiasa membayangi diri kita, akan bermanfaat untuk mendorong kita untuk hidup sebagaimana seharusnya dan agar tidak dihantui ketakutan bila kematian telah mendekati kita.
155. Perenungan Kematian

Saya duduk saat ini didepan Sang Buddha dan merenungkan, bahwa Beliau dan Mereka yang mengenal-Nya, sekarang telah tiada. Sejak kemangkatan-Nya, tak terhitung makhluk telah datang, menunggu waktunya, lalu pergi lagi. Nama-nama dan amal-perbuatannya hanya sedikit yang masih dikenang. Penderitaan mereka, kegembiraan mereka, kemenangan mereka, kekalahan mereka, seperti halnya mereka sendiri, saat ini hanya bayangan. Hal yang sama akan terjadi diantara yang saya kenal. Bersamaan dengan waktu, maka akan terjadi bencana yang saya kwatirkan, kemungkinan yang saya takutkan; kesenangan yang saya kejar menjadi bayangan semata. Oleh karenanya, saya akan merenungkan kenyataan akan kematian saya sendiri, agar saya mengerti nilai hidup yang sejati.

Sebab kematian mungkin akan segera datang, saya akan melunasi segala hutang saya, memaafkan segala kesalahan dan tak bertengkat dengan siapapun.

Sebab kematian mungkin akan segera datang, saya tidak akan menghabiskan waktu menyesali kesalahan-kesalahan di masa yang lalu, tapi akan merencanakan hari-hari dengan baik seakan itulah hari terakhir.

Sebab kematian mungkin akan segera datang, saya akan memurnikan batin saya, bukannya memanjakan jasmani saya.

Sebab kematian mungkin akan segera datang, pula perpisahan dengan yang saya cintai, saya akan mengembangkan perasaan kasih-sayang yang bebas, bukannya kepemilikan dan ketergantungan.

Sebab kematian mungkin akan segera datang, saya akan menggunakan hari-hari saya sebaik mungkin, tidak menghamburkannya mengejar dan merindukan hal-hal yang tak berguna.

Semoga saya telah siap sewaktu kematian datang.

Semoga saya tidak takut sewaktu kehidupan terbenam.

Semoga keterlepasan saya akan membebaskan hati ini.

156. Tujuan Perenungan pada Kedamaian adalah sebagai pendorong agar kita hidup selaras dengan yang lainnya, mengembangkan perdamaian dan menghindari pertikaian. Juga mengingatkan kita bahwa kedamaian abadi hanya dapat dialami dengan tercapainya Nibbana.
Perenungan pada Perdamaian

Saya duduk saat ini didepan Sang Buddha dan merenungkan, bahwa dengan melihat unsur-kehidupan sebagai kekosongan, Beliau dapat mencapai kedamaian. Ketenangan-Nya yang kokoh dan cinta-Nya yang damai akan menjiwai saya. Mereka yang murka karena ketak-adilan, tak sabar untuk perubahan, putus-asa karena bencana, ceria hari ini dan murung besok hari, akan segera kehabisan tenaga dengan sendirinya. Tapi mereka yang batinnya senantiasa tenang dan mereka yang hidup dalam kedamaian akan berlimpah tenaga. Mereka, seperti Sang Buddha, adalah pulau kedamaian di lautan nan penuh gejolak, yang menjadi pulau perlindungan bagi semua makhluk.

Oleh karenanya, saya akan mencari kedamaian dan ketenangan; menghindari kelantangan, keributan dan dia yang senang perselisihan.

Saya akan berusaha sekuat mungkin untuk meselaraskan kembali mereka yang sedang berselisih.

Saya akan bertutur tidak menyimpang dan tidak kasar; senantiasa tepat dengan kata-kata yang baik dan benar.

Saya akan berusaha sekuat mungkin berdamai dan mengalah, dan tidak akan menjadi penyebab pertengkaran di antara mereka yang lain.

Semoga mereka yang hidup dalam kekacauan menemukan kedamaian yang didambakannya.

Semoga hati saya bebas dari rongrongan kotoran batin.

Semoga dengan hidup dalam kedamaian saya, akan membebaskan hati ini.

157. Berapa lama meditasi perenungan dilaksanakan? Tergantung pada perasaan kita pada waktu-waktu tertentu. Sekali waktu, mungkin cukup lima sampai sepuluh menit untuk melakukannya dengan tenang, pada waktu lain mungkin diperlukan waktu dua puluh sampai tiga puluh menit. Hal lain yang penting diingat ialah, bahwa walau sangat baik untuk melakukan salah satu meditasi perenungan setiap hari setelah meditasi pernapasan, namun meditasi perenungan sendiri dapat dilakukan setiap saat. Sang Buddha berpesan meditasi perenungan “hendaknya dikembangkan sementara engkau berjalan, sementara berdiri dan berbaring, sementara melaksanakan usaha dan sementara berada di rumah yang penuh dengan anak-anak.”28

158. Meditasi Cinta-Kasih

Pelaksanaan meditasi berikut yang kita pelajari adalah Meditasi Cinta-Kasih (metta bhavana). Tujuan dari meditasi ini adalah untuk menghalau permusuhan dan menguatkan nilai yang paling tinggi dari segalanya, yakni cinta-kasih (metta).
Buddhaghosa melukiskan cinta-kasih sebagai berikut:

Cinta-kasih ditandai dengan hasrat memajukan kesejahteraan orang lain. Gunanya adalah menginginkan kesejahteraan. Perwujudannya adalah hilangnya kekesalan-kekesalan. Penyebab terdekatnya adalah ingin melihat cinta di antara makhluk-makhluk.29

Cinta-kasih, dengan demikian, adalah perasaan yang kuat dalam bentuk kehangatan dan kasih-sayang yang dicurahkan kepada mereka yang lain, yang diwujudkan dalam bentuk usaha untuk menyenangkan mereka yang dicintai (lihat 79-80). Cinta-kasih (metta) adalah salah satu dari empat nilai yang disebut sebagai Empat Keadaan Luhur (brahma vihara), tiga yang lain adalah Welas-Asih (karuna), Bersimpati (mudita) dan Keseimbangan-Batin (upekkha).
Welas-Asih adalah perasaan kasihan yang timbul ketika kita menyaksikan penderitaan makhluk-makhluk lain. Dhammapada Atthakata secara jitu mendefinisikan Welas-Asih sebagai berikut:

Welas-Asih adalah sesuatu yang menggerakkan hati karena menyaksikan penderitaan orang-lain. Menghancurkan dan meleburkan penderitaan orang-lain, jadi disebut Welas-Asih. Disebut Welas-Asih karena menaungi dan merangkul mereka yang menderita.30

Yang mengimbangi Welas-Asih adalah Simpati, yang adalah perasaan turut bergembira atas kebahagiaan atau keberhasilan orang lain. Keseimbangan-Batin adalah keadaan batin yang bebas dari perasaan yang menonjol, yang mendukung atau melawan salah satu pihak. Keseimbangan-Batin adalah keseimbangan emosi.

159. Empat Keadaan Luhur dapat dilihat dari beberapa sudut pandang – sebagai empat nilai yang berhubungan tapi terpisah atau sebagai aspek-aspek berbeda dari Cinta. Tentang Empat Keadaan Luhur sebagai nilai-nilai yang terpisah tapi saling mendukung, Nyanaponika berkata:

Cinta-Kasih secara bebas mengawal Welas-Asih agar tidak memihak, mencegahnya agar tidak membeda-bedakan dengan memilih atau mengeluarkan pihak tertentu, dengan demikian melindunginya agar tidak terjatuh ke pemihakan atau keengganan pada pihak yang dikeluarkan.

Cinta-Kasih membagi pada Keseimbangan-Batin, perasaan yang tak mementingkan diri sendiri, perasaan yang tak terikat, dan malah kesungguhannya. Karena sesungguhan sendiri, merubah dan mengendalikan, adalah juga bagian dari Keseimbangan-Batin yang sempurna, memperkokoh kekuatannya pada penghayatan yang dalam dan pengendalian diri yang bijaksana.

Welas-Asih mencegah Cinta-Kasih dan Simpati agar tidak terlupa, pada waktu keduanya sedang menikmati atau memberi kebahagiaan yang sementara dan terbatas, bahwa masih ada kesengsaraan yang sangat mengerikan di dunia pada saat itu. Welas-Asih mengingatkan ke duanya bahwa kebahagiaan timbul bersamaan dengan penderitaan tak terukur, yang mungkin hanya di depan pintu. Welas-Asih adalah pengingat pada Cinta-Kasih dan Simpati bahwa masih lebih banyak penderitaan di dunia ini dari pada yang mereka (cinta-kasih dan simpati) telah berhasil mereka kurangi; bahwa, setelah dampak dari pengurangan itu hilang, penyesalan dan penderitaan pasti akan timbul lagi sampai penderitaan ditumbangkan sama sekali sewaktu pencapaian Nibbana. Welas-Asih tidak memperbolehkan Cinta-Kasih dan Simpati menutup diri diri dari dunia luar dengan sekadar mengikat diri mereka pada kedangkalan tertentu saja.

Welas-Asih tidak akan membiarkan Cinta-Kasih dan Simpati berputar haluan pada kepuasan diri di dalam kebahagiaan yang diiringi oleh iri hati. Welas-Asih mendesak dan mendorong Cinta-Kasih untuk meluaskan cakupannya; mendesak dan mendorong Simpati untuk mencari penyegaran. Jadi menolong keduanya untuk bertumbuh dalam Keadaan Tak Terikat yang sejati (appamañña).

Welas-Asih menjaga Keseimbangan-Batin agar tidak terjatuh pada keengganan yang dingin, dan menjauhkannya dari kelambanan atau menyendiri demi kepentingan diri sendiri. Welas-Asih akan mendesak Keseimbangan Batin agar memasuki lagi kancah pertempuran duniawi berulang kali, agar dapat menahan ujian, dengan memperteguh dan menguatkan dirinya sendiri, sampai pada akhirnya Keseimbangan-Batin mencapai kesempurnaan.

Simpati menjaga Welas-Asih agar tidak terselubungi melulu oleh pemandangan kesengsaraan duniawi, agar tidak terlarut oleh karenanya dan dengan demikian melalaikan segala yang lainnya. Simpati melepaskan ketegangan batin, menyejukkan keperihan hati yang berwelas-asih. Simpati menjaga Welas-Asih agar tidak bermurung tanpa tujuan, agar tidak terlarut sia-sia dalam keharuan yang hanya akan melemahkan dan melelahkan batin dan hati. Simpati mengembangkan belas-kasih menjadi simpati yang aktif.

Simpati memberi ketentraman pada Keseimbangan-Batin yang kemudian dapat melunakkan ketegangannya. Simpati adalah senyum luhur pada wajah Yang Tercerahi, senyum yang menetap, walau Beliau melihat keperihan yang mendalam di dunia ini, senyum yang memberi harapan dan hiburan, menghilangkan ketakutan serta menanamkan kepercayaan diri: “Pintu menuju Pembebasan telah terbuka lebar,” demikian dilantungkannya.

Keseimbangan-Batin tertanam dihayati pada tiga Keadaan Luhur lainnya lewat kekuatan menuntun dan menahan dari ke tiganya, menunjukkan mereka arah yang seharusnya diambil, dan memperlihatkan padanya jalan yang seharusnya diikuti.

Keseimbangan-Batin menjaga Cinta-Kasih dan Welas-Asih agar tidak menghamburkan waktu dalam pencarian yang sia-sia, agar tidak tersesat dalam labirin emosi yang tak terkendali. Keseimbangan-Batin adalah kendali diri yang demi pencapaian tujuan akhir, tidak akan memperbolehkan Keseimbangan-Batin berpuas-diri pada hasil tak bermakna, dan yang karenanya melupakan tujuan perjuangan kita yang sejati.

Keseimbangan-Batin, yang berarti ‘berpikir seimbang’, memberi kesetiaan dan keteguhan yang kokoh dan seimbang pada Cinta-Kasih. Keseimbangan-Batin memberkati Cinta-Kasih dengan harkat tertinggi dari kesabaran. Keseimbangan-Batin melengkapi Welas-Asih dengan keberanian dan ketakgentaran yang seimbang dan tak tergoyahkan, memungkinannya untuk menghadapi jurang kesengsaraan dan keputusasaan yang mengerikan, yang olehnya Welas-Asih diperhadapkan berkali-kali. Pada sisi yang aktif dari Welas-Asih, Keseimbangan-Batin adalah tangan yang kokoh dan tenang, dengan diarahkan oleh kebijaksanaan, diulurkan pada mereka yang hendak melaksanakan seni menolong orang lain yang terkadang memang sulit. Sekali lagi, disini Keseimbangan-Batin berarti kesabaran, kesetiaan menunggu hasil kerja Welas-Asih.31

Dari sisi yang lain, Empat Keadaan Luhur dapat dilihat sebagai cara-cara yang berbeda untuk mewujudkan cinta tergantung situasi; ibarat cahaya yang dapat memantulkan bermacam-macam warna dari permukaan-permukaan berbeda dari suatu permata yang sama. Dengan demikian Cinta-Kasih, dalam arti kasih-sayang dan kehangatan, adalah jawaban Buddhis bagi orang-orang yang terbuka dan bersahabat, Welas-Asih adalah jawaban bagi mereka yang tercekam, Simpati adalah jawaban bagi mereka yang dalam keadaan berbahagia, dan Keseimbangan-Batin adalah jawaban bagi mereka yang bersikap bermusuhan atau tak menyenangkan.

160. Setiap orang merasakan cinta sekurangnya pada beberapa orang tertentu – ayah dan ibu, suami atau isteri, anak-anak atau kawan-kawan. Tetapi, pada waktu yang bersamaan, cinta itu kadang-kadang terwarnai atau timbul bersama perasaan cemburu, rasa pemilikan dan keinginan untuk menguasai atau mengendalikan. Demikian pula, adalah mungkin seseorang mencintai beberapa orang, namun membenci ataupun tidak memihak pada yang lainnya. Cinta yang lebih beradab dan bernilai tinggi adalah yang terbebas dari kekotoran batin negatif dan menembus kemana-mana, dapat dirasakan merata oleh semua makhluk – pada semua manusia maupun binatang – kepada mereka yang bersahabat maupun yang bersikap bermusuhan – kepada mereka yang baik maupun yang jahat. Sebenarnyalah, memiliki hati yang mencintai adalah teragung dibanding semua sikap dan perbuatan baik lain.

Apabila seseorang memberi pemberian seratus uang logam pada pagi hari lalu siang hari dan sekali lagi pada malam harinya, dibanding seorang lain yang mengembangkan batin yang penuh cinta-kasih pada pagi hari, siangnya dan malamnya walau hanya sepemerahan susu sapi; maka akan jauh lebih bermanfaat yang ke dua. Oleh karenanya, hendaknya engkau melatih dirimu, dengan berpikir: “Kami akan mengembangkan pembebasan batin melalui cinta-kasih. Kami akan sering berlatih. Kami akan menjadikannya sarana serta mendasari semua perbuatan. Kami akan berdiri kokoh diatasnya, menimbunnya dan lalu menganjurkannya.”32

Inilah cinta-kasih yang mewarnai setiap aspek kehidupan Sang Buddha, Siswa-siswa-Nya, dan kita hendaknya berupaya sekuat mungkin untuk mengembangkan cinta-kasih yang sama.

Meditasi Cinta-Kasih hendaknya
Dilakukan demi diri sendiri dan orang lain.
Semua hendaknya diliputi cinta-kasih.
Inilah ajaran Sang Buddha.33

161. Bagaimana Meditasi pengembangan Cinta-Kasih dilaksanakan? Bila, sementara atau sesudah melakukan latihan harian Kesadaran pada pernapasan, batin kita terasa tentram, damai dan bahagia, inilah waktu yang terbaik untuk melatih Meditasi Cinta-Kasih. Tetaplah pada posisi meditasi, renungkanlah keadaan diri sendiri terlebih dahulu, sadarilah betapa kita telah merasakan kebahagiaan dan kedamaian, lalu berharaplah agar senantiasa dalam keadaan sejahtera. Hal diatas dapat dilaksanakan dengan berkata dalam hati: “Semoga saya senantiasa sejahtera dan bahagia. Semoga saya terbebas dari ketakutan dan kekwatiran. Semoga batin saya terbebas dari pikiran jahat. Semoga hati saya diisi dengan cinta-kasih. Semoga saya senantiasa sejahtera dan bahagia.” Setelah itu, kita melangkah memikirkan orang-orang yang kita cintai, orang-orang yang netral, lalu terakhir pada orang yang kita tidak senangi satu demi satu, berharap agar setiap dari mereka sejahtera seperti yang kita harapkan pada diri kita sendiri, dengan mengulangi kata-kata seperti telah kita ucapkan dalam hati diatas. Setelah itu, kita mengucapkan: “Semoga semua makhluk sejahtera dan bahagia. Semoga mereka bebas dari ketakutan ketakutan dan kekwatiran. Semoga batin mereka terbebas dari keinginan jahat. Semoga hati mereka diisi dengan cinta-kasih. Semoga semua makhluk senantiasa sejahtera dan bahagia.” Meditasi Cinta-Kasih hendaknya tidak dilaksanakan tergesa-gesa, ambillah waktu kira-kira sepuluh sampai lima belas menit untuk melaksanakannya.

162. Pada pelaksanaan Meditasi Cinta-Kasih, kadang-kadang sementara pikiran cinta-kasih kita pancarkan pada orang yang tidak kita senangi dan berharap mereka bahagia dan sejahtera, namun juga terasa betapa kita tidak merasa mencintai dan menyayangi orang tersebut sama sekali. Apakah ini, seperti dikatakan sementara orang, adalah tindakan berpura-pura saja? Tidak, sama sekali tidak. Walau, mungkin saja kita saat itu, belum merasakan itikad baik pada orang tersebut, namun keinginan merubah perasaan negatif itu menjadi perasaan positif, adalah sasuatu yang sangat penting. Akan tiba saatnya, berkat usaha itu, kebencian akan berubah menjadi keseimbangan dan dari situ akan berubah lagi menjadi persahabatan dan kepedulian. Bila, melalui pelaksanaan Meditasi Cinta-Kasih, kita telah belajar untuk tidak menghiraukan segala penghinaan (bukannya menjadi dendam), melupakan (bukannya merencanakan pembalasan), menjadi baik (bukannya kasar, lancang atau tak punya kepedulian); maka interaksi kita pada orang-lain akan secara nyata lebih dinikmati dan hidup kita secara umum akan lebih bahagia. Sang Buddha menyebutkan beberapa dampak positif dari pelaksana Meditasi Cinta-Kasih dan kesemuanya berhubungan dengan kebahagiaan.

Sebelas keuntungan dapat dicari dalam pembebasan batin melalui pelaksanaan cinta-kasih, dengan menumbuhkan cinta-kasih, dengan menambahnya, dengan menjadikan cinta-kasih dasar dan sarana dalam segala tindakan, dengan berdiri kokoh diatasnya, membiasakannya, dan mengembangkannya dengan baik. Apa yang sebelas itu? Seorang akan tidur dan bangun dalam keadaan bahagia, tidak bermimpi buruk, disayangi semua manusia maupun makhluk lain, dijaga para dewata; racun, api dan pedang tidak akan mencelakakannya, pikirannya dapat cepat berkonsentrasi, wajahnya bersih bercahaya, bila dia mati akan tiada kegelisahan dalam dirinya, dan bila dia tidak mengembangkan lebih jauh sekurang-kurangnya dia akan mencapai alam Brahma.34

163. Apa yang telah kita perbincangkan diatas adalah apa yang dapat disebut sebagai pengembangan cinta-kasih melalui cara pasif, namun tentunya adalah sama pentingnya dengan pengembangan cinta-kasih melalui cara aktif. Hal terakhir ini, mengacu pada usaha untuk meninggikan dan menguatkan cinta-kasih kita dengan bertindak lebih langsung dalam mewujudkan cinta tersebut. Cariyapitaka Atthakata menyebutkan hal ini sebagai berikut:

Seorang hendaknya berpikir: “Saya tidak akan dapat memberi kebahagiaan dan kesejahteraan pada mereka yang lain, dengan berharap mata. Saya harus berusaha untuk mewujudkannya.”35

Mencintai berarti mengesampingkan kepentingan dan keinginan diri sendiri demi kebaikan orang lain. Mencintai berarti bersikap menolong seseorang, walau orang tersebut pernah menyakiti kita sebelumnya. Mencintai berarti meluangkan waktu untuk membantu mereka yang membutuhkan bantuan. Semua tindakan diatas diperlukan demi memurnikan batin. Dengan melaksanakannya tanpa mementingkan diri sendiri dan disertai kehendak yang murni, maka tindakan-tindakan diatas tentunya adalah sama pentingnya dengan duduk bersila melaksanakan Meditasi Cinta-Kasih.

164. Lima Rintangan

Begitu kita mulai melatih meditasi, kita akan merasakan bahwa kita berhadapan dengan bermacam kesulitan. Bila kita tidak sungguh-sungguh berkeinginan bermeditasi, maka kita selalu saja menunda melakukannya atau selalu mencari alasan untuk tidak melakukannya. Pada waktu lain, mungkin segala pikiran-pikiran/rencana-rencana demikian menetap sehingga kita akhirnya tidak dapat bertahan memusatkan kesadaran pada pernapasan. Juga, dari waktu ke waktu, perasaan badan yang kurang nyaman, suara-suara atau khayalan-khayalan, akan lebih menarik perhatian batin serta meyebabkan meditasi menjadi sulit. Sang Buddha melihat adanya Lima Rintangan atau halangan (pañca nivarana) dalam melaksanakan meditasi dan memaklumkan kita bahwa selama ke limanya masih ada, kita tidak akan dapat melihat apa yang baik bagi diri sendiri dan diri orang lain, dan bahwa pengembangan batin yang sejati hanya akan bisa dapat dimulai setelah kita berhasil melemahkan lima rintangan tersebut. Ke Lima Rintangan adalah nafsu-indriawi (kamacchanda), kehendak-jahat (vyapada), kelambanan dan kemalasan (thina middha), keresahan dan kekwatiran (uddhacca kukkucca), dan keraguan (vicikiccha).

Ada lima unsur yang menurunkan nilai emas, yang dikarenakannya emas tidak dapat dilenturkan, tak dapat diolah serta tidak akan berkilau; tapi menjadi rapuh dan tak akan menjadi karya yang anggun. Apa yang lima itu? Besi, tembaga, timah-putih, timah-hitam dan perak. Tapi bila emas bebas dari lima unsur merugikan itu, maka emas akan lentur, dapat diolah, berkilauan, tidak rapuh dan dapat dijadikan karya yang anggun. Lalu, perhiasan apapun yang seorang inginkan – cincin stempel, anting-anting, kalung atau gelang – dapat dibuat darinya.

Sama halnya, ada lima unsur yang menurunkan nilai batin, yang dikarenakannya batin tidak dapat dilenturkan, tak dapat diolah serta tidak berkilauan, tapi menjadi rapuh dan tidak tersusun rapih untuk menghancurkan kotoran batin. Apa yang lima itu? Nafsu-indriawi, kehendak-jahat, kelambanan dan kemalasan, keresahan dan kekwatiran, dan keraguan. Tapi bila batin bebas dari lima unsur merugikan itu, batin akan lentur, dapat diolah, berkilauan, tidak rapuh tapi tersusun rapih untuk menghancurkan kotoran batin. Lalu, seseorang dapat mengarahkan batinnya pada terwujudnya pengetahuan batiniah atau apapun yang dapat diwujudkan dengan pengetahuan batiniah dan dapat melihatnya dengan langsung, betapa pun jaraknya.36

165. Setiap pengalaman indriawi yang menyenangkan, walau telah lama dialami, dapat ‘menggema’ berulang-ulang di batin dalam bentuk kenang-kenangan dan fantasi-fantasi yang mengisi batin secara sangat menetap. Ini akan menyebabkan nafsu-indriawi (kammacchanda), suatu kerinduan untuk dapat mengalami rangsangan indriawi itu lagi, yang pada akhirnya menyebabkan kegelisahan dan kekecewaan. Persiapan pada kemungkinan pemuasan nafsu-indriawi sendiri juga akan menyebabkan kegelisahan pula. Dengan menggunakan analogi yang tepat, Sang Buddha mengibaratkan kesenangan indriawi sebagai luka borok, makin di garut makin gatal “garutan hanya akan sedikit melegakan.”37 Semakin hebat dan akan semakin sulit untuk menenangkannya serta mengkonsentrasikan pikiran. Seperti dikatakan Sang Buddha:

Kesenangan indriawi memang manis seperti madu,
Tetapi membuat batin menyimpang dan kacau.38

Ada beberapa langkah-langkah praktis yang dapat dilakukan untuk mengurangi dampak negatif dari nafsu-indriawi. Yang paling nyata ialah dengan menjaga pintu indera (lihat 146). Menyederhanakan tidur dan makan; menyendiri dengan tenang, juga akan membantu. Langkah yang lain adalah memotong atau menghentikan khayalan begitu kita menyadari bahwa kita mulai terlibat dan terseret olehnya. Perpaduan dari semua langkah-langkah diatas akan meredakan nafsu-indriawi sedikit demi sedikit, dan akan bergeser terlepas sedikit demi sedikit dari kesadaran kita, sementara kita melaksanakan meditasi.

166. Bila nafsu-indriawi adalah reaksi pada pengalaman-pengalaman yang menyenangkan. Kehendak-jahat (vyapada) adalah reaksi pada yang tidak menyenangkan. Ratusan situasi setiap hari dalam kehidupan kita dapat menyebabkan timbulnya kehendak-jahat; keadaan yang tidak terlaksana sesuai yang kita harapkan, berurusan dengan orang yang tidak menyenangkan atau canggung, dan sebagainya. Sang Buddha menggambarkan dengan jelas dampak negatif dari kemurkaan dan kehendak-jahat yang membara, dengan berkata:

Kebencian menyebabkan kemalangan besar;
Kebencian mengacaukan dan membahayakan batin.
Bahaya yang menakutkan ini tertanam dalam pada mereka yang
Tidak menyadarinya.

Tak berfaedah, seorang tak akan mengetahui kebaikan
Tidak dapat melihat sesuatu seperti apa adanya
Hanya kebutaan dan kegelapan yang menonjol
Bila seseorang diliputi kebencian.39

Kehendak-jahat juga dapat timbul dalam meditasi. Kita mungkin merasa jengkel pada mereka yang membuat kegaduhan sewaktu kita sedang bermeditasi, jengkel pada tubuh yang kurang nyaman, atau jengkel pada diri sendiri karena sulit berkonsentrasi pada pernapasan. Kadang-kadang pula, kita teringat pada kesalahan atau ketidak-adilan yang telah diperbuat orang lain pada kita di masa lampau, lalu menimbulkan amarah dan pikiran untuk membalas. Ada beberapa cara untuk mengatasi hal sedemikian, pula segala bentuk kehendak-jahat seperti itu. Bila kehendak-jahat ditujukan pada orang tertentu, agar dapat menenangkan batin, Buddhagosa menyarankan agar kita berbicara dengan diri sendiri dengan berpikir seperti berikut:

Seandainya musuh telah menyakitimu,
Didaerah kediamannya sendiri.
Mengapa engkau mesti mengganggu dirimu sendiri,
Dan menyakiti batinmu di kediamanmu sendiri.

Dengan air mata engkau meninggalkan keluargamu,
Mereka yang senantiasa baik serta menolong dirimu
Jadi, mengapa tidak engkau tinggalkan saja musuhmu,
Pula amarah yang sedemikian membahayakan dirimu?

Amarah yang engkau rangkul,
Menggerogoti sampai keakar-akarnya,
Semua kebajikan yang dengan susah payah engkau capai
Siapa pula yang akan sedemikian bodohnya?

Orang lain melakukan perbuatan tercela,
Tapi engkau yang marah. Mengapa?
Apakah engkau memang berharap menirunya.
Dan bertindak seperti dia?

Seandainya seorang, dengan cara menjengkelkan,
Menggusar dirimu agar berbuat jahat.
Mengapa membiarkan amarah bangkit dan dengan
Demikian bertindak seperti apa yang diinginkannya darimu?

Bila engkau menjadi marah,
Mungkin mereka menderita, mungkin juga tidak
Tetapi dengan mengalami kemarahan itu,
Dirimu sendiri pasti telah mengalami penderitaan.

Bila para musuh dibutakan oleh amarah,
Sesuai untuk menjalani jalan kesengsaraan,
Apakah engkau berharap mengikutinya,
Dengan juga menjadi marah?

Bila musuh menggusarkanmu,
Menyakitimu dengan membangkitkan amarah,
Biarkan amarah itu mereda.
Jangan merugikan dirimu tanpa guna.40

Bila kita marah pada diri sendiri dikarenakan sulitnya memusatkan pikiran ketika bermeditasi, sikap bersabar dan menerima akan sangat membantu. Tidak diragukan lagi, cara yang paling sangkil untuk membebaskan diri sendiri dari segala kehendak-jahat dan angkara-murka picik yang hinggap di batin kita, adalah dengan melaksanakan Meditasi Cinta-kasih.
167. Hal yang ke tiga dari Lima Rintangan, dan yang selalu dihadapi dalam latihan meditasi, adalah kelambanan dan kemalasan (thina midha). Kelambanan dan kemalasan berbeda dengan kelelahan yang adalah masalah yang cukup diatasi dengan istirahat seperlunya. Rintangan yang dimaksud disini adalah keinginan setengah-hati dan kehilangan gairah yang menyebabkan kita menunda bermeditasi atau bila sedang bermeditasi ingin menghentikannya segera. Bila perasaan seperti itu timbul sementara bermeditasi, biasanya dapat teratasi dengan membuka mata sebentar serta menarik nafas yang dalam-dalam beberapa kali. Sang Buddha menganjurkan beberapa cara yang lain untuk menghilangkan kantuk sewaktu bermeditasi.

Lalu Sang Buddha berkata pada Maha Moggallana: “Apakah engkau mengantuk, Moggallana? Apakah engkau mengantuk?”
“Ya, Tuanku.”
“Baiklah, apabila pikiran malas menimpamu, janganlah perhatikan pikiran itu, jangan tinggal-berdiam dengannya. Dengan demikian, perasaan itu mungkin akan berlalu.
“Tetapi bila, setelah itu, kemalasan tidak berlalu, engkau hendaknya memikirkan dan merenungkan Dhamma di dalam batinmu – mengulanginya dalam batin sesuai yang telah engkau dengar dan pelajari. Dengan demikian, kemalasan mungkin akan berlalu.
“Tetapi bila, setelah itu, kemalasan tidak berlalu, engkau hendaknya membacakan Dhamma secara rinci sesuai yang telah engkau dengar dan pelajari. Dengan demikian, kemalasan mungkin akan berlalu.
“Tetapi bila, setelah itu, kemalasan tidak berlalu, engkau hendaknya menarik telingamu dan menggosok anggota badanmu dengan telapak tangan. Dengan demikian, kemalasan mungkin akan berlalu.
“Tetapi bila, setelah itu, kemalasan tidak berlalu, bangkitlah dari tempat dudukmu, basuhlah mukamu, pandanglah ke segala penjuru dan tataplah langit yang berbintang. Dengan demikian, kemalasan mungkin akan berlalu.”
“Tetapi bila, setelah itu, kemalasan tidak berlalu, engkau hendaknya mengembangkan pencerapan cahaya dengan kuat-seperti pada siang hari, demikian pula malam hari; seperti pada malam hari, demikian pula pada siang hari. Jadi dengan batin yang bersih dan tak terhalang, engkau hendaknya mengembangkan kesadaran yang memancar. Dengan demikian, kemalasan mungkin akan berlalu.”
“Tetapi bila, setelah itu, kemalasan tidak berlalu, engkau hendaknya sadar pada apa yang ada di depan dan di belakangmu. Berjalanlah naik turun dengan perasaan yang menatap ke dalam dan batinmu jangan mengembara kemana-mana. Dengan demikian, kemalasan mungkin akan berlalu.”
“Tetapi bila, setelah itu, kemalasan tidak berlalu, berbaringlah diatas sisi kananmu seperti posisi singa dengan satu kaki diatas lainnya, dalam kesadaran penuh dan bersih, dengan pikiran bahwa engkau akan segera bangkit kembali. Setelah bangkit, engkau hendaknya meluruskan badan, berpikir: “Saya tidak akan menuruti kesenangan berbaring, bersandar dan tidur.” Latihlah dirimu seperti ini.”41

Dengan senantiasa mengingat waktu yang sia-sia habis dengan bermalas-malasan, tidur dan selalu menunda-nunda meditasi; maka kita dapat menghalau kemalasan dan memperkuat tekad kita, seperti yang dapat kita capai pada pelaksanaan Perenungan pada Kematian.

168. Lawan dari Kelambanan dan Kemalasan adalah keresahan dan kekwatiran (uddhacca kukkucca). Bila satunya disebabkan oleh energi yang terlalu sedikit, maka yang satunya disebabkan oleh energi berlebihan, dikarenakan ketidak sabaran dan pengharapan yang tidak realistik. Kita memacu diri sendiri, lalu bila hasil yang diharapkan tak kunjung tiba pada waktu dan dalam bentuk yang diinginkan, kita akan berusaha lebih gigih lagi, sehingga malah menyebabkan kekacauan. Hal lain yang menyebabkan timbulnya Keresahan dan Kekwatiran adalah bila kita terlalu teliti dalam perilaku etika, terlalu kwatir secar berlebihan dalam mempraktekkan pantangan-pantangan dan mengikuti peraturan-peraturan secara terlalu ketat. Ketika seseorang bertanya pada Sang Buddha tentang cara mencapai Nibbana, Beliau menjawab bahwa Beliau mencapainya dengan “tidak berlambat-lambat (appatittham) dan tidak tergesa-gesa (anayuham)”, sebab bila terlambat-lambat Beliau akan tenggelam dan bila terlalu tergesa-gesa Beliau akan dipusingkan olehnya.42 Kita dapat menghindari Keresahan dan Kekwatiran pula Kelambanan dan Kemalasan dengan cara usaha yang merata dan bertahap, singkatnya, dengan menerapkan Jalan Tengah dalam penggunaan tenaga kita. Perenungan Dalam Kedamaian, juga berfaedah untuk menenangkan diri kita bila kita merasa telah terburu-nafsu.

169. Yang terakhir dari Lima Rintangan adalah Keraguan (vicikiccha), yang adalah perasaan ketidak-pastian, menyebabkan kita bingung dan bimbang. Kita mungkin saja ragu pada ajaran Buddha, juga mungkin ragu pada kemampuan diri sendiri untuk melaksanakan ajaran-Nya. Orang-orang yang agamis niscaya berusaha menghalau keraguan dalam hatinya, tapi hendaknya tidak dengan cara menutup rapat batin diri sendiri dan menolak pendapat orang lain. Mereka yang menutup diri sendiri, mungkin saja memiliki keyakinan yang kokoh, namun sebenarnya keyakinannya penuh kecemasan, karena harus selalu siap bertahan, oleh karenanya tidak memberi ketentraman yang seharusnya diperoleh pada keyakinan yang sejati. Keyakinan seperti itu tidak berdasarkan kenyataan; keyakinan sejati justru tumbuh setelah penelitian secara hati-hati pada kenyataan-kenyataan. Jadi, cara penanggulangan terbaik pada keraguan adalah dengan mempelajari sabda-sabda Sang Buddha dengan menggunakan pemikiran sepenuhnya, membandingkannya secara terbuka dengan tradisi-tradisi yang lain dan melaksanakan ajaran Sang Buddha dengan tulus. Bila kita mengetahui Dhamma seutuhnya, kita dapat menjalankannya dengan tepat; pelaksanaan yang tepat akan membawa hasil, hasil yang gemilang lalu memperkokoh keyakinan, keyakinan yang kokoh, lalu akan menghalau keraguan. Selama perlangsungan proses yang memakan waktu seperti diatas, maka untuk membantu, kita sebaiknya acap kali melaksanakan Perenungan pada Buddha, Dhamma dan Sangha.

170. Melalui pengamatan yang baik, maka kita akan menyadari bahwa selain sebagai pengguna meditasi, Lima Rintangan juga adalah pengganggu dalam kehidupan sehari-hari. Kehendak-jahat dan Keraguan dapat saja mengganggu hubungan kita dengan orang lain; Kelambanan dan Kemalasan berdampak pada pekerjaan dan pelajaran kita; Keresahan dan Kekwatiran berdampak pada kesehatan jasmani dan rohani kita. Apabila Lima Rintangan dapat dihancurkan dominasinya di dalam batin kita, kehidupan kita akan mendapatkan keberuntungan, sama halnya dengan yang dicapai oleh meditasi kita. Perasaan lega, perasaan sentosa, perasaan bebas dan aman akan menembus ke batin kita dan olehnya kita merasa lebih berbahagia.

Dengan menghentikan nafsu-duniawi, seseorang tenang berdiam dengan batin yang bebas dari nafsu-duniawi dan menjadi murni. Dengan menghentikan kehendak-jahat dan kebencian, kita berdiam dengan batin dipenuhi welas-asih dan cinta-kasih demi kesejahteraan semua makhluk, dan memurnikan batinnya dari kehendak-jahat dan kebencian. Dengan menghentikan kelambanan dan kemalasan, dia merasakan cahaya serta penghayatan yang sadar dan jelas, dia memurnikan batinnya dari kelambanan dan kemalasan. Dengan menghentikan keresahan dan kekwatiran dan tetap tenang di dalam batin, dia memurnikan batinnya dari keresahan dan kekwatiran. Dengan menghentikan keraguan, dia tenang-berdiam setelah mengatasi keraguan, tanpa ketakpastian dalam dirinya sebagai layaknya seorang terlatih, dia memurnikan batinnya dari keraguan.

Bagaikan seorang yang meminjam uang untuk mengembangkan usahanya, dan setelah usahanya berkembang, dia melunasi hutangnya dan berkecukupan untuk menunjang seorang isteri, dan olehnya ia berkata dalam hati: “Sebelumnya saya berhutang, tapi sekarang bebas dari hutang,” dan akan gembira dan bahagia dikarenakannya;

Bagaikan seorang yang sakit dan menderita, tak ada nafsu makan dan lemah, lalu beberapa waktu berselang pulih kesehatannya, nafsu makannya dan kekuatannya, dan olehnya ia berkata dalam hati: “Sebelumnya saya sakit, tapi sekarang saya sehat,” dan akan gembira dan bahagia dikarenakannya;

Bagaikan seorang yang dipenjarakan, sesudah beberapa waktu, dibebaskan tanpa penyitaan harta bendanya, dan olehnya ia berkata dalam hati: “Sebelumnya saya dipenjarakan, tapi sekarang bebas,” dan akan gembira dan bahagia dikarenakannya;

Bagaikan seorang budak, tidak menjadi tuan dari dirinya sendiri, dikendalikan oleh orang lain dan tak dapat melaksanakan apa yang dikehendakinya, lalu suatu waktu dibebaskan, lalu berkata dalam hati: “Dulu saya seorang budak, tapi sekarang saya telah dipersamakan,” dan akan gembira dan bahagia dikarenakannya;

Bagaikan seorang yang membawa barang-barang dan harta kekayaan mengembara seorang diri di dalam keganasan hutan yang penuh bahaya, namun bebekal hanya sedikit makanan, tapi setelah beberapa waktu, tiba dengan selamat dan terdengar sampai di pinggiran desa, dan akan berkata dalam hati: “Sebelumnya saya dalam keadaan berbahaya, tapi sekarang saya sudah aman,” dan akan gembira dan bahagia dikarenakannya;

Dengan cara yang sama, selama Lima Rintangan tidak diatasi, seseorang akan merasa berhutang, sakit, dipenjarakan, diperbudak, hilang dalam hutan belantara. Tetapi setelah Lima Rintangan teratasi, seorang akan merasa bebas dari hutang, sehat, bebas, dipersamakan dan aman. Dan ketika seorang menyadari bahwa Lima Rintangan telah teratasi, kegembiraan timbul, dari kegembiraan timbul keceriaan, dari keceriaan tubuh akan tenang, dari tubuh yang tenang seorang akan berbahagia, dan batin yang berbahagia senantiasa terkonsentrasi.43

171. Pencapaian Jhana

Bila semua langkah-langkah yang telah diperbincangkan di atas dilaksanakan secara teratur, maka dalam waktu yang cukup panjang dan bila prasyaratnya memungkinkan, keadaan batin yang disebut jhana akan dicapai. Kata jhana berarti ‘mempertimbangkan’ atau ‘mematangkan-pikiran’, Sang Buddha melukiskan empat tingkat dari keadaan ini, setiap tingkat lebih murni dan halus dari tingkat sebelumnya. Keadaan batin inilah yang dialami oleh Sang Buddha beberapa saat sebelum Pencerahan dan yang menuntun Beliau mencapai Pencerahan (lihat 209, 210). Di dalam Dhammapada, Beliau menggarisbawahi pentingnya Jhana, dengan bersabda:

Tanpa jhana, tak ada kebijaksanaan;
Tanpa kebijaksanaan, tak ada jhana;
Tapi dia yang telah memiliki jhana dan kebijaksanaan,
Sebenarnya telah dekat pada Nibbana.44

Sang Buddha melukiskan Jhana pertama, sebagai berikut:

Terlepas dari kesenangan-indriawi dan keadaan batin yang tak-terlatih, seorang memasuki dan menetap di Jhana Pertama, yang ditandai oleh batin yang berpikir dan berkhayal, diisi kegembiraan dan kebahagiaan yang terlahir dari keterlepasan. Dan dengan kegembiraan dan kebahagiaan yang lahir dari keterlepasan, seorang menutupi, mengguyur, mengisi dan merembesi seluruh tubuhnya yang tidak disentuh oleh kegembiraan dan kebahagiaan yang timbul dari keterlepasan. Bagaikan seorang penjaga permandian yang terlatih atau pembantunya, mengadoni bubuk mandi yang telah disirami air, membentuk darinya sebuah gelembung di dalam sebuah mangkuk logam, yang darinya tidak ada embun yang terbebas- dengan cara yang sama, seorang menutupi, mengguyur, mengisi dan merembesi seluruh tubuhnya sehingga tidak ada bagian yang tak tersentuh.45

172. Kita akan melihat dengan teliti Jhana Pertama sehingga dapat dikenal sewaktu dicapai. Berpikir (vitakka, dari kata ‘takka’ yang berarti menalar) mengacu pada berpikir dengan sadar dan langsung, biasanya dalam bentuk atau usaha pemecahan masalah. Berkhayal (vicara, dari kata ‘carati’ yang berarti bergerak atau mengembara) mengacu pada pikiran yang terpencar dan tak berhubungan satu sama lain yang sudah demikian jauh mewarnai pikiran yang biasa.

Berpikir adalah tangan yang memegang dengan kuat, dan berkhayal adalah seperti tangan yang menggosok; pada seorang yang dengan kuat memegang sebuah piring logam bernoda dengan satu tangan, sedang tangan yang lain menggosoknya dengan bubuk-penggosok, minyak dan sabut penggosok.46

Pada Jhana Pertama, batin sangat tenang dibanding biasanya, dan walau masih Berpikir dan Berkhayal, namun tidak ada satu pun dari Lima Rintangan yang tersisa. Perhatian terpusat pada pernapasan, digunakan hanya sedikit usaha yntuk bernapas, disertai timbulnya perasaan Kegembiraan secara umum (piti) dan Kebahagiaan (sukha). Perasaan positif ini dilahirkan dari keterlepasan (vivekaja), yang merupakan hasil terbebas dari Lima Rintangan, bila hanya sementara. Kegembiraan mungkin datang seperti kilat, seperti gelombang, atau seperti menyebabkan seluruh tubuh terasa ringan, tapi lebih sering merupakan perasaan sesuatu yang meresap dengan halus, datang tiba-tiba dan memudar secara perlahan.47

173. Pada tahap permulaan, Jhana Pertama bertahan hanya sebentar, walau demikian, dapat membangkitkan keinginan kuat untuk mempertahankannya, dan juga untuk merasakannya kembali pada saat meditasi yang berikut. Keinginan ini malah dapat menimbulkan goncangan dan tekanan, yang mementalkan kembali batin kita pada keadaan batin sebelumnya atau akan menyebabkan kita akan merasa tidak puas serta kecewa pada meditasi-meditasi yang berikut. Ketika Jhana Pertama dicapai hendaknya kita merasakan dan menikmatinya secara penuh, lalu bila mulai menghilang, kita melepaskannya, layaknya sebagai kawan yang mengunjungi kita, yang kunjungannya telah memberi kesenangan dan sekarang tiba saatnya untuk berpamit. Tugas dari pemeditasi sekarang adalah melanjutkan latihan meditasi secara teratur, sehingga tidak sekadar memasuki (upasampajjatri) sebentar dari waktu ke waktu, tapi datang dan berdiam (viharati) dalam jhana untuk waktu yang lebih panjang. Walau Jhana Pertama adalah tahapan jhana paling rendah dari ke Empat Jhana, namun pencapaiannya memberi dampak yang sangat positif pada batin, yang pada gilirannya akan menyebabkan banyak perubahan yang penting dan berfaedah bagi kepribadian.

174.Begitu Jhana Pertama dicapai, maka tidak lama berselang perhatian bisa terpusat (ekodibhava) dan terpaku pada gerakan pernapasan, pikiran-pikiran berhenti sama sekali (avitaka avicara), ketenangan mendalam dialami (sampasadana) dan batin terkonsentrasi penuh. Keadaan ini disebut Jhana Kedua dan dilukiskan oleh Sang Buddha, sebagai berikut:

Dengan terhentinya Pikiran dan Khayalan, dengan mencapai ketenangan mendalam dan batin yang menyatu, seseorang memasuki dan berdiam di Jhana Kedua, tidak ada Pikiran dan Khayalan lagi dalam batin, terisi Kegembiraan dan Kebahagiaan yang terlahir dari konsentrasi. Dan dengan Kegembiraan dan Kebahagiaan yang terlahir dari konsentrasi, seorang menutupi, mengguyur, mengisi dan merembesi seluruh tubuhnya, sedemikian sehingga tak ada satu bagian pun di tubuhnya yang tidak disentuh oleh kegembiraan dan kebahagiaan yang timbul dari konsentrasi.
Bagaikan kolam yang terisi oleh mata-air, tanpa sumber dari jurusan manapun, dengan hujan yang dikirim dewa menyiraminya dari waktu ke waktu, air sejuk dari mata-air dibawahnya akan menutupi, mengisi dan merembesi kolam itu dengan air sejuk sehingga tidak ada bagian yang tak tersentuh lagi olehnya – dengan cara yang sama, seorang menutupi, mengguyur, mengisi dan merembesi seluruh tubuhnya sehingga tidak ada lagi bagian yang tak tersentuh.48

Kegembiraan dan Kebahagiaan masih terasa pada Jhana Kedua, tapi sekarang disebut sebagai terlahir dari konsentrasi (samadhija), yang tidak lagi merupakan reaksi dari rangsangan indriawi. Perasaan positif ini bukan lagi kebahagiaan biasa (pemuasan indriawi). Dengan tercapainya Jhana Kedua, Pemusatan-Pikiran Sejati telah berkembang, dan kita sekarang siap untuk memulai mengembangkan Kesadaran Sejati.

175. Telah dikatakan sebelumnya bahwa kita terbentuk dari Lima Unsur (60-63), yang kesemuanya bercirikan ketak-langgengan, ketidak-puasan dan ketiada-diri-alamian; dan bahwa bila kita dapat melihat hal ini sebagaimana kenyataannya, maka akan menyebabkan perubahan mendasar dalam diri kita. Kita dapat hidup bebas dari keserakahan, penuh kebahagiaan dan kedamaian. Tapi pengertian teoritis dan konseptual saja tidak akan cukup untuk menyebabkan perubahan itu. Apa bila kita berharap melihat kenyataan seperti apa adanya, kita mesti menelitinya dengan hati-hati. Secara normal, kita bereaksi terhadap semua pengalaman, dengan menyukainya atau pun tidak menyukainya, dengan membandingkannya dan memutuskannya, dan pula tentunya mengindentifikasikannya pada semua pengalaman-pengalaman sebelumnya, dan dengan selalu berusaha mencari letaknya didalam ‘milikku’. Secara singkat, dalam kehidupan keseharian, kita terlibat pada pengalaman-pengalaman dan semua dampaknya, yang kita tidak lihat seperti apa adanya. Pelaksanaan Kesadaran/kemawasan, akan memungkinkan kita untuk ‘melangkah keluar’ dari pengalaman-pengalaman itu, dan mengamatinya dengan kewaspadaan yang tidak terikat. Dengan melakukan hal ini, kita akan mendapatkan wawasan atau pengetahuan yang lebih tepat dan sama sekali berbeda, dan berkat sikap tak-terikat dan tak-terlibat berarti kita dapat bereaksi pada pengalaman itu dengan cara yang paling tepat, tidak sekadar bereaksi tiba-tiba tak berhati-hati dengan menurutkan kata hati saja.

176. Sang Buddha mengajarkan Empat Dasar Kesadaran (satipatthana), empat hal yang darinya kita akan menggembangkan kesadaran/kemawasan kita atau mengarahkan kesadaran kita padanya (Empat Dasar Kesadaran tersebut). Bisa dimaklumi, Empat Dasar Kesadaran adalah Kesadaran pada tubuh-jasmani (kayanupassana), Kesadaran pada Perasaan (vedananupassana), Kesadaran pada Batin (cittanupassana), dan Kesadaran pada Keadaan-Keadaan/Obyek-obyek mental (dhammanupassana). Kesadaran pada Tubuh-jasmani berarti kita menyadari pergerakan-pergerakan, ketegangan-ketegangan, datang dan perginya tubuh kita. Sang Buddha melukiskannya sebagai berikut:

Sewaktu berjalan, dia menghayatinya: “Saya berjalan,” atau sewaktu dia berdiri diam, dia menghayatinya: “Saya berdiri diam,” atau sewaktu dia duduk, dia menghayatinya: “Saya duduk.” Atau sewaktu dia berbaring, dia menghayatinya: “Saya berbaring.” Dengan demikian, bagaimanapun kecenderungan tubuhnya, dia menghayatinya bahwa demikianlah keadaannya. Demikian pula, sewaktu dia pergi atau datang, dia bertindak dalam keadaan sadar sepenuhnya; sewaktu dia melihat ke depan atau menoleh ke belakang, sewaktu dia membengkokkan atau merentangkan lengannya, sewaktu dia membawa jubah-luarnya, jubahnya atau mangkuknya, dia adalah seorang yang bertindak dengan kesadaran penuh. Sewaktu dia makan, minum, mengunyah atau mengecap, sewaktu dia ke peturasan, sewaktu dia berjalan, berdiri, duduk, tertidur atau terbangun, berbicara atau diam, dia adalah seorang yang bertindak dengan kesadaran sepenuhnya. Sewaktu dia dalam keadaan seperti berikut – rajin, bergairah, berketetapan-hati – semua ingatan-ingatan dan rencana-rencana duniawi dihapusnya, maka dengan sendirinya batin akan reda, tenang, kesatu-titik dan terkonsentrasi. Dengan cara ini seseorang mengembangkan Kesadaran pada Tubuh-jasmani.49

Kesadaran pada Perasaan-perasaan berarti kita menyadari bermacam-macam sensasi-sensasi/perasaan-perasaan yang timbul dalam diri kita, dan sekali lagi kita sekadar mengamatinya, seakan-akan dari kejauhan terlepas darinya.

Bagaimana seorang melaksanakan Kesadaran pada Perasaan-perasaan? Sewaktu mengalami perasaan yang menyenangkan, dia mengetahuinya: “Saya sedang mengalami perasaan yang menyenangkan.” Sewaktu mengalami perasaan yang menyakitkan, dia mengetahui: “Saya sedang mengalami perasaan yang menyakitkan,” dan sewaktu mengalami perasaan yang netral, dia mengetahuinya: “Saya sedang mengalami perasaan yang netral.” Sewaktu mengalami perasaan menyenangkan, menyakitkan atau netral yang duniawi, dia mengetahui bahwa itu adalah duniawi, dan sewaktu mengalami perasaan menyenangkan, menyakitkan atau netral yang tidak-duniawi, dia mengetahui bahwa itu tidaklah duniawi. Dengan demikian, dia tinggal-berdiam, merenungkan perasaan-perasaan ke dalam dan ke luar. Dia tinggal-berdiam merenungkan faktor-faktor awal-permulaannya dan faktor-faktor akhir-bubarnya perasaan, atau kesadarannya bahwa “itu adalah perasaan” telah meluas berkembang pada kesadaran dan pengetahuan. Secara tidak tergantung dia tinggal-berdiam, tidak bergantung lagi pada dunia.50

Kesadaran pada Batin adalah kemawasan pada nilai-nilai dalam batin dari waktu ke waktu; apakah banyak pikiran, apakah terlibat suatu emosi, apakah sedang kacau, dan seterusnya.

Bagaimana seorang, hidup dengan melaksanakan Kesadaran pada Batin? Menyangkut ini, dia mengetahui batin yang serakah sebagai batin yang serakah, batin yang tidak serakah sebagai batin yang tidak serakah. Batin yang membenci sebagai batin yang membenci, batin yang tidak membenci sebagai batin yang tidak membenci. Batin yang gelap-berkhayal sebagai batin yang gelap-berkhayal, batin yang tidak gelap-berkhayal sebagai batin yang tidak gelap-berkhayal. Batin yang patuh-menurut sebagai batin yang patuh-menurut, batin yang kacau-teralihkan sebagai batin yang kacau-teralihkan, batin yang berkembang sebagai batin yang berkembang, batin yang belum berkembang sebagai batin yang belum berkembang. Dia mengetahui batin yang ‘keadaan mental yang tertentu’ nya menonjol sebagai batin yang ‘keadaan mental-tertentu’ nya menonjol, batin yang tidak ditandai ‘keadaan mental-tertentu’ yang menonjol sebagai batin yang tidak ditandai ‘keadaan mental-tertentu’ yang menonjol. Dia mengetahui batin yang berkonsentrasi sebagai batin yang terkonsentrasi dan batin yang tidak berkonsentrasi sebagai batin yang tidak terkonsentrasi, batin yang bebas sebagai batin yang terbebas dan batin yang belum bebas sebagai batin yang belum terbebas.

Jadi, seorang tinggal-berdiam merenungkan batinnya ke dalam dan ke luar. Dia tinggal-berdiam merenungkan faktor-faktor awal-permulaannya dan faktor-faktor akhir-bubarnya isi batin, atau kesadarannya bahwa “itu adalah batin” telah meluas berkembang pada kesadaran dan pengetahuan. Secara tidak tergantung dia tinggal-berdiam, tidak bergantung lagi pada dunia.51

Kesadaran pada obyek-obyek mental adalah kemawasan terhadap isi benak dalam batin kita; mendengarkan isi batin, bukannya bereaksi terhadap isi batin.

177. Bagaimana melaksanakan Meditasi Kesadaran? Seperti sebelumnya, kita duduk dalam posisi yang nyaman, menutup mata, tangan di pangkuan, lalu melaksanakan meditasi kesadaran pada pernapasan sebentar, sekitar sepuluh menit. Lalu kita memilih salah satu dari Empat Dasar Kesadaran, Kesadaran pada Keadaan-mental adalah yang terbaik untuk memulai latihan kita. Setelah segala pikiran-pikiran memudar, kita semata-mata mengamati pikiran-pikiran yang timbul, menetap sebentar dan menghilang, tanpa beraksi padanya, Sang Buddha melukiskan latihan ini, sebagai berikut: “Lihatlah,pikiran-pikiran timbul; lihatlah, pikiran-pikiran menetap; lihatlah, pikiran-pikiran pergi” (vidita vitakka uppajjanti, vidita upatthahanti, vidita abbattham gacchanti).52 Kita hendaknya menjadi sebagai apa yang disebut oleh Sang Buddha “pengamat-lepas dari isi batin” (ajjhupekkhita).53 Bila tidak ada pikiran (untuk diperhatikan) yang muncul, maka kita kembali saja memperhatikan masuk-keluarnya napas. Sebaliknya juga, bila pikiran sangat kuat menggoda timbul, sehingga sangat sulit menghindar, maka sebaiknya kita juga kembali sebentar memperhatikan pernapasan. Latihan sebaiknya dilakukan sedikitnya satu jam setiap hari. Ada dua hal yang akan berkembang maju, seiring dengan kemajuan meditasi kita, yakni Kesadaran/kemawasan/kewaspadaan (sati), dan Keseimbangan (upekkha), dan bersamanya memberi kebahagiaan yang tenang dan santai. Keadaan ini disebut sebagai Jhana Ketiga dan dilukiskan oleh Sang Buddha sebagai berikut:

Dengan memudarnya Kegembiraan, seorang tetap seimbang, sadar sepenuhnya, dan dia mengalami di dalam dirinya sendiri kebahagiaan yang disebut oleh Yang Mulia sebagai: “Sangatlah bahagia dia yang tinggal-menetap dalam Keseimbangan dan kesadaran” sebab dia memasuki dan tinggal-menetap dalam Jhana Ketiga. Dan dengan Kebahagiaan yang bebas dari Kegembiraan dia menutupi, mengguyur, mengisi dan merembesi seluruh tubuhnya, sedemikian sehingga tak ada satu bagianpun di tubuhnya yang tidak disentuh oleh Kebahagiaan.
Bagaikan kolam yang terisi teratai biru, merah atau putih, bunga-bunga tersebut terlahir di dalam air, tumbuh di dalam air dan diberi makan oleh air, tapi belum muncul di permukaan air dan oleh karenanya tertutupi, terisi dan terembesi dengan air sejuk kolam itu; dengan cara yang sama, seorang menutupi, mengguyur, mengisi dan merembesi seluruh tubuhnya sehingga tidak ada lagi bagian yang tak tersentuh.54

Apabila ‘Kesadaran pada obyek-obyek mental’ telah berkembang baik, maka hendaknya kesadaran/kemawasan secara bertahap diperluas pada Kesadaran tubuh-jasmani, perasaan, dan pada semua pengalaman-pengalaman, dengan demikian kewaspadaan menyeluruh tercapai.

178. Pada tahap ini, perhatian hendaknya semakin bertambah banyak ditujukan untuk mempertahankan Kesadaran, dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini dapat dilakukan dengan memilih salah satu kegiatan sehari-hari kita (sebagai obyek latihan), dan bertekad menerapkan kesadaran sepenuhnya sewaktu melakukan kegiatan tersebut. Kita dapat memilih berbenah-diri di pagi hari, menyiapkan makanan, makan, mandi, berjalan dari satu tempat ke tempat lain, dan sebagainya. Bila seorang memilih kegiatan makan, misalnya, maka sewaktu makan dia hendaknya tidak sambil membaca, berbicara, melamun, atau memikirkan rencana-rencana yang akan dilakukan setelah makan; namun mengerahkan perhatian sepenuhnya pada apa yang dihadapinya. Dia hendaknya mengetahui dan mengikuti secara sadar pergerakan tangannya, mengunyah dan merasakan makanan sepenuhnya. Tidaklah harus, bahwa semua gerakan dilakukan secara sangat perlahan, namun dengan sendirinya gerakan akan lebih perlahan dari biasanya. Juga tidak berarti bahwa kegiatan tersebut dilakukan dengan wajah kosong – tanpa ekspressi. Ada pendapat salah yang mengatakan seorang Buddhis hendaknya tidak lagi tersenyum, dan hendaknya tampak serius dari waktu ke waktu. Malah bila Meditasi Kesadaran dilakukan dengan benar, seperti dikatakan Sang Buddha, “roman wajahmu akan jernih” dan “corak kulitmu akan terang dan bercahaya”. Penampilan seperti itu hanya dapat diharapkan pada mereka yang bebas dari keruwetan dari dalam dan luar, yang pada umumnya menyeret kebanyakan orang-kebanyakan. Mereka yang sudah mengembangkan kesadaran/kewaspadaan yang kuat, seperti Sang Buddha sendiri, adalah bagaikan bunga teratai, tumbuh ditengah-tengah Lumpur, tapi tidak ternodai karenanya.

Sang Tathagata hidup bebas, tak tergantung dan terlepas dari tubuh-jasmani, perasaan-perasaan, pencerapan, bentuk-bentuk mental, kesadaran-hidup, kelahiran kembali, kelapukan dan gairah-nafsu. Bagaikan teratai biru, merah ataupun putih dilahirkan di dalam air, tumbuh di dalam air, ketika mencapai permukaan air, tetap seperti itu tak tersentuh oleh air, demikian pula Sang Tathagata, terbebas, tak-melekat dan terlepas dari semuanya tinggal-menetap dengan batin yang batas-batasnya telah dilumpuhkan.55

Pencapaian Jhana ke empat, dan pelaksanaan/latihan-latihan yang menyusulinya, yang akan mengantar ke pencapaian Nibbana, adalah hal yang sebaiknya dipahami langsung dari mulut seorang guru yang telah terlatih melaksanakannya. Langkah-langkah akhir dari Jalan adalah tapal-batas yang hendaknya dimasuki hanya oleh mereka yang memang telah siap untuk menghentikan segalanya dan bertekad menempuh perjalanan selanjutnya.