KHARĀDIYA-JĀTAKA
Sumber : Indonesia Tipitaka Center
“Ketika seekor rusa,” dan seterusnya. Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berada di Jetawana, mengenai seorang bhikkhu yang sulit dinasihati. Menurut cerita yang disampaikan secara turun temurun, bhikkhu ini bandel dan sulit dinasihati. Karena itu, Sang Guru bertanya kepadanya, “Benarkah apa yang dikatakan oleh para bhikkhu, bahwa engkau bandel dan sulit dinasihati?”
“Benar, Bhagawan,” jawabnya.
“Demikian juga di kelahiran yang lampau,” kata Sang Guru, “engkau membandel dan sulit dinasihati oleh mereka yang bijaksana dan penuh kebaikan, — karenanya, engkau terjerat di sebuah perangkap dan meninggal.” Setelah mengucapkan katakata tersebut, Beliau menceritakan kisah kelahiran lampau ini.
____________________
Sekali waktu, ketika Brahmadatta memerintah di Benares, Bodhisatta terlahir sebagai seekor rusa dan tinggal di hutan sebagai pimpinan dari sekawanan rusa. Kakaknya membawa anaknya menghadap Bodhisatta dan berkata, “Adikku, ini adalah keponakanmu; ajarilah ia cara-cara rusa menghindari penangkapan.” Demikianlah ia menempatkan anaknya di bawah pengawasan Bodhisatta. Bodhisatta berkata kepada keponakannya, “Datanglah pada saat ini dan itu, saya akan memberikan pelajaran kepadamu.” Namun keponakannya tidak muncul di saat yang telah dijanjikan. Suatu hari, tujuh hari setelah ia bolos dari pelajaran dan tidak mempelajari cara-cara itu, ia terjebak di sebuah perangkap saat sedang menjelajahi tempat itu. Ibunya mencari Bodhisatta dan berkata, “Adikku, tidakkah engkau ajarkan cara-cara itu kepada keponakanmu?”
“Jangan pikirkan lagi si bandel yang tidak mau belajar itu,” kata Bodhisatta, [160] “anakmu tidak (berhasil) mempelajari cara-cara itu.” Setelah mengucapkan kata-kata itu, tanpa semangat untuk menasihati rusa yang membandel tersebut bahkan di saat ia menghadapi kematiannya, Bodhisatta mengulangi syair-syair ini : —
Ketika seekor rusa memiliki delapan kuku untuk berlari,
dan dilengkapi dengan tanduk bercabang yang tak terhitung jumlahnya,
dan dengan tujuh cara ia (mampu) menyelamatkan dirinya sendiri,
maka saya tidak bisa mengajarinya yang lain lagi, Kharādiyā.
Sedangkan pemburu itu membunuh rusa yang membandel itu, yang sedang terjebak di dalam perangkap, dan pergi dengan membawa dagingnya.
____________________
Ketika Sang Guru telah menyelesaikan uraian-Nya dalam mendukung apa yang dikatakannya tentang bhikkhu yang sulit dinasihati itu, baik di kehidupan ini maupun di kehidupan yang lampau, Beliau mempertautkan antara kedua kisah itu dan menjelaskan kelahiran itu dengan mengatakan, “Bhikkhu yang sulit dinasihati ini adalah keponakan rusa itu, Uppalavaṇṇā48 adalah kakak dari rusa itu dan Saya sendiri adalah rusa yang memberikan nasihat tersebut.”
[Catatan : Di dalam gāthā, tidak diterjemahkan kata kālāhi dari teks Fausböll yang tidak mempunyai arti. Demikian juga dengan versi lainnya yaitu kālehi, yang mempunyai kata pengganti dalam penerjemahannya. Kata kālāhi, suatu bacaan yang lebih sulit, muncul dalam beberapa naskah berbahasa Sinha, yang terbaca oleh Fausböll dalam cerita sejalan No.16. Bacaan ini juga diberikan oleh Dickson dalam J.R.A.S. Ceylon,1884,hal.188, dari Jātaka Pela Sanne. Jika kata kālehi diartikan, terjemahannya akan menjadi, “Saya tidak akan mencoba mengajari seseorang yang telah membolos selama tujuh kali.” Dalam J.R.A.S. Ceylon,1884,hal.125, Künte menyatakan, “Saya sedikit ragu kalau kata kālāhi merupakan bentuk asli pantun yang terkenal, dan kālehi adalah sebuah kesalahan darinya, hal ini menyebabkan para ahli tata bahasa membuat kesalahan dalam penyusunan katanya sehingga membentuk cerita singkat yang terlihat lucu, tentang seekor rusa yang tidak ingin pergi sekolah.”]Catatan kaki :
48 Lihat kisah hidup yang menarik dari Theri ini di ‘Women Leaders of the Buddhist Reformation’ (J.R.A.S.1893, hal.540-552) karya Mrs.Bode, dimana terdapat penjelasan bahwa Uppala-vaṇṇā “mendapatkan namanya karena warna kulitnya seperti warna jantung bunga teratai biru tua.”