Mengapa Kita Dilahirkan ?

 

lahir_

 

 

MENGAPA KITA DILAHIRKAN ?

 

“ Mengapa Kita dilahirkan ?”

Pertama-tama, apakah pertanyaan ini penting bagi seorang manusia awam ? Saya kira kita bisa menerima bahwa pertanyaan ini adalah pertanyaan yang menarik minat dan memusingkan setiap orang. Mungkin saja ada beberapa orang yang mengajukan pertanyaan keberatan.

“Sang Buddha mengajarkan non-eksistensi dari ‘makhluk’, ‘individu’, ‘diri;, ‘kamu’, dan ‘aku’. Beliau mengajarkan bahwa tidak ada diri yang dilahirkan. Jadi masalah ‘mengapa kita dilahirkan?’ tidaklah nyata adanya.”

Jenis sanggahan ini hanyalah berlaku pada tingkatan batin yang sangat tinggi, bagi seseorang yang telah memahami kebebasan, tetapi bagi seorang umat awam yang masih belum mengenal kebebasan ini bukanlah sanggahan yang berlaku, karena tidak relevan, tidak mengenai sasaran. Seseorang yang masih belum mengetahi Dhamma secara sepenuhnya akan merasa dirinya sendiri terlibat dalam proses kelahiran dan mempunyai banyak sekali masalah dan pertanyaan. Ia tidak mempunyai pendapat tentang untuk tujuan apakah ia dilahirkan.

Hanya seorang arahat, seseorang yang telah mengikuti Buddha-Dhamma secara sepenuhnya, yang benar-benar menyadari bahwa tidak ada kelahiran, dan tidak ada “makhluk” atau “orang” atau “diri” yang akan dilahirkan.Bagi seorang arahat, pertanyaan “mengapa saya dilahirkan?” tidaklah ada. Akan tetapi, bagi seseorang yang masih belum mencapai tahap arahat, bahkan walaupun ia mungkin berada pada salah satu dari antara tahap kebijaksanaan yang lebih rendah, misalnya Pengarung Arus, dan di dalam diri orang yang gagasan “diri” dan “milik diri” masih ada pertanyaan “mengapa saya dilahirkan?” nyata-nyata masih muncul.

Jadi, kami mengangkat pertanyaan “ mengapa saya dilahirkan?” dan kami membahasnya sebagai sebuah pertanyaan yang relevan bagi setiap orang yang masih belum menjadi arahat.

Sekarang marilah kita perhatikan gagasan yang berbeda-beda yang biasanya muncul di dalam pikiran orang-orang sebagai jawaban atas pertanyaan “mengapa saya di lahirkan?”

Jika kita tanyakan seorang anak mengapa ia dilahirkan, ia hanya akan mengatakan bahwa ia dilahirkan untuk bisa bermain dan bergembira ria. Seorang remaja putra atau putri akan menjawab bahwa ia dilahirkan untuk mempunyai wajah yang bagus, berkencan, dan berpesta pora. Dan seorang dewasa, orang tua, perumah tangga, kemungkinan akan mengatakan bahwa ia dilahirkan untuk mencari nafkah hidup, agar bisa menabung untuk masa pensiunnya dan membiayai keluarganya. Jawaban-jawaban seperti inilah yang akan kita dapatkan.

Seseorang yang telah tua dan lemah, lebih cenderung untuk mempunyai gagasan konyol bahwa ia dilahirkan untuk meningga dan kemudian dilahirkan kembali, dan kembali, dan kembali, berulang-ulang. Sedikit sekali orang yang berpikir bahwa setelah dilahirkan kita hanya akan meninggal dan itulah akhir perjalan hidup. Sejak masa kanak-kanak, kita telah dilatih dan diarahkan pada gagasan dunia lain ini, kelahiran lain yang muncul setelah kematian, dengan akibatnya ialah gagasan ini tertanam dengan kuat dan mantap di dalam pikiran kita. Di dalam setiap budaya yang bersumber dari India kebanyakan orang, umat Buddha, Hindu, dan yang lain berpegang pada doktrin kelahiran kembali setelah kematian ini. Jadi, orang-orang yang terlalu tua dan renta untuk berpikir bagi diri mereka sendiri akan berkemungkinan untuk menjawab bahwa mereka dilahirkan untuk meninggal dan kemudian dilahirkan kembali.

Umumnya, demikianlah jawaban yang akan kita dapatkan. Jika kita menelusurinya secara lebih terinci, kita akan menemukan beberapa orang yang mengatakan bahwa mereka dilahirkan untuk makan karena tubuh mereka akan lemah jika kekurangan makanan. Dan ada beberapa orang, yang secara permanen kecanduan pada alcohol dan tidak mengabaikan yang lain lagi, yang mengatakan bahwa mereka dilahirkan untuk minum. Yang lain dilahirkan untuk berjudi dan sebelum mati tidak akan meningglakan perilaku buruk itu. Dan ada beberapa kegiatan lain yang beberapa diantaranya tidaklah bernilai penting, yang padanya orang-orang sedemikian terperangkap sehingga mereka menganggapnya sebagai yang terbaik dari segala-galanya. Beberapa orang, biasanya mereka yang menyebut dirinya kaum terpelajar, menghabiskan banyak sekali uang hanya untuk mempertahankan harga diri, mereka sangat tertarik pada kegiatan untuk mendapatkan nama baik bagi mereka sendiri. Orang-orang seperti ini terlahir untuk nama dan ketenaran.

Jadi, beberapa orang yang beranggapan bahwa mereka dilahirkan demi makan, beberapa demi kepuasan inderawi, dan beberapa demi nama dan ketenaran.

Makan adalah kebutuhan, tetapi orang-orang kelompok yang pertama menanggapinya terlalu jauh sehingga menjadi tenggelam dan cita rasa dan menjadi kecanduan makanan. Pada masa sekarang ini terlihat bukti nyata bahwa secara umum terdapat kenaikan minat terhadap makanan. Laju peningkatan iklan bahan makanan di Koran yang mempromosikan segala macam makanan akan mengarahkan seseorang untuk menyimpulkan bahwa tidak sedikit orang yang terobsesi akan makanan dan mendewakan makanan. Orang-orang yang dilahirkan untuk makan ini membentuk kelompok pertama.

Kelompok kedua terdiri atas orang-orang yang dilahirkan untuk kepuasan inderawi, untuk segala jenis kenikmatan dan kegembiraan yang diraih melalui mata, telinga, hidung, lidah, dan kulit. Kebanyakan orang setelah mendapatkan kepuasan dari makanan akan berkeliaran mencari kenikmatan inderawi. Kepatuhan mereka pada kekuatan nafsu inderawi sedemikian hebatnya sehingga mereka ini bisa disebut sebagai budaknya. Sebenarnya semua jenis kecanduan yang telah kita singgung sejauh ini bisa dimasukkan ke dalam kelompok pemuasan inderawi. Bahkan gagasan di dalam pikiran, indera keenam, bisa merupakan suatu sumber kegembiraan yang akan berakhir pada kecanduan. Bisa dikatakan bahwa orang-orang seperti ini hidup demi kepuasan inderawi. Demi penglihatan, pendengaran, penciuman, pengecapan, sentuhan fisik, dan hal-hal kejiwaan yang bertindak sebagai obyek nafsu keinginan. Ini membentuk kelompok kedua.

Kelompok ketiga terdiri atas mereka yang dilahirkan demi nama dan ketenaran, mereka ini diarahkan untuk memuja nama baik (prestise), sedemikian hingga mereka akan mengorbankan hidup mereka untuk hal itu. Nama dan ketenaran, apakah cara yang digunakan untuk mendapatkannya mendatangkan manfaat bagi orang lain atau bagi orang yang bersangkutan, masih bisa merupakan sesuatu yang perlu dipermasalahkan. Akan tetapi, dalam konteks norma duniawi, bukanlah sesuatu yang perlu dipermasalahkan. Akan tetapi, dalam konteks norma mutlak, bertindak sedemikian jauh sehingga menjadi budak terhadap nama dan ketenaran adalah suatu tragedi. Bagaimana pun ini pada akhirnya akan membawa kita untuk tiba ke kondisi yang menegecewakan (dukkha).

Jadi, makan, pemuasan inderawi, dan nama tenar, semuanya mengarahkan pada berbagai jenis obsesi.

Diantara orang-orang yang lebih miskin, kita lebih banyak mendengar tentang perlunya mencari nafkah agar bisa memenuhi kebutuhan hidupnya. Bagi orang miskin, tidak ada yang lebih penting atau perlu daripada mencari nafkah hidup. Kemudian inilah yang menjadi perhatian utamanya, dan bisa dikatakan bahwa ia dilahirkan untuk mencari nafkah kehidupan. Sepanjang waktu ia habiskan untuk membajak sawah, atau menggeluti bisnisnya, atau kegiatan apapun yang dilakukannya, sehingga inilah yang menjadi satu-satunya pusat perhatian baginya, dan ia tidak akan pernah merasa puas atas apa yang telah didapatkannya. Dengan kata lain, ia benar-benar merasa bahwa ia dilahirkan untuk mencari nafkah hidup, dan tidak pernah menganggap kegiatan lain sebagai yang lebih penting daripada yang satu ini. Alasannya ialah bahwa ia belum pernah berada ditengah-tengah orang-orang yang mencapai kemajuan batin, belum pernah mendengarkan Dharma dari mereka. Pastilah ia bergaul dengan orang-orang duniawi saja dan hanya mendengarkan pembicaraan duniawi. Ini adalah hal yang perlu dipertimbangkan. Orang seperti itu menganggap cara hidupnya sungguh benar dan tepat dan berharga; tetapi pada kenyataanya hanyalah setengah benar, atau bahkan kurang. Besarnya obsesi orang seperti ini terhadap benda-benda materi menunjukkan bahwa ia hidup untuk mendapatkan lebih daripada yang cukup untuk dimakan.

Sekarang, setiap orang di antara kita harus menitikberatkan perhatiannya, memeriksa, dan memahami dengan jelas terhadap pertanyaan mengapa kita dilahirkan untuk mencari nafkah hidup dan bertahan hidup. Ketika kita telah memahami dengan benar untuk alasan apakah kita ada dalam kehidupan ini, kita akan menyadari bahwa kegiatan mencari nafkah hidup ini adalah sesuatu yang sifatnya insidentil. Ini adalah tambahan terhadap tujuan yang lebih besar dan penting, tujuan utama kita dilahirkan. Apakah kita mencari nafkah hidup hanya untuk bertahan hidup dan melanjutkan tanpa henti-hentinya pengumpulan harta kekayaan yang semakin banyak dan lebih banyak lagi ? Atau apakah kita melakukannya untuk mencapai tujuan lain yang lebih mulia ?

Bagi kebanyakan orang. Pengumpulan harta kekayaan tanpa akhir ini kelihatannya merupakan tujuan dari mencari nafkah hidup. Sedikit sekali orang yang berhenti mencari nafkah setelah berhasil memenuhi kebutuhan pokok mereka, memberi makan mereka dan keluarga, memberikan hidup bahagia yang bebas dari kategori miskin. Bagi kebanyakan orang, tidak ada batasan harta kekayaan yang disebut dengan cukup. Kebanyakan orang tidak tahu bilamana harus berhenti, dan memiliki sedemikian banyaknya harta kekayaan sehingga mereka tidak tahu apa yang harus dilakukan dengan harta sebanyak itu. Banyak sekali orang yang demikian didunia ini.

Di dalam konteks agama, jenis perilaku seperti ini dinyatakan, baik secara eksplisit atau implisit, sebagai dosa (kesalahan). Di dalam agama Buddha, pengumpulan harta kekayaan secara berlebih-lebihan dinyatakan secara eksplisit sebagai dosa. Agama yang lain juga mengajarkan demikian. Seseorang yang terus-menerus tanpa henti-hentinya mengumpulkan harta benda, yang telah tenggelam dan terobsesi olehnya, disebut sebagai orang yang terilusi dan berdosa. Dosanya tidaklah seberat orang yang membunuh, tetapi bagaimana pun ia termasuk berdosa. Demikianlah seharusnya kita memandang masalah ini. Kita tidaklah seharusnya hidup hanya untuk terus-menerus mengumpulkan harta benda dan kekayaan. Kita seharusnya menganggapnya hanyalah sebagai suatu sarana untuk mencapai tujuan tertentu. Kita seharusnya mencari harta kekayaan hanya untuk memenuhi kebutuhan utama kita, agar kita bisa pergi mencari yang lain lagi, sesuatu yang lebih baik daripada kekayaan. Dan merupakan sesuatu yang akan kita bahas selanjutnya.

Sekarang seseorang yang hidup demi pemuasan inderawi seharusnya memikirkan suatu pepatah lama yang berbunyi, “Mencari kenikmatan dari makan, tidur, dan kegiatan seksual, dan menghindari bahaya, semua ini ada dalam hidup manusia dan hewan. Yang membedakan manusia ialah Dharma. Tanpa Dharma, manusia tidaklah ada bedanya dari hewan.”

Ini adalah pepatah lama yang bersumber pada masa pra-agama Buddha, dan tentu saja masih mempertahankan pada masa Sang Buddha. Dalam hal tertentu ini pastilah sejalan dengan prinsip agama Buddha. Manusia biasanya mempunyai perasaan yang sama dengan hewan tingkat rendah dalam hal makan, tidur, dan kegiatan seksual, bahaya dalam bentuk penyakit, rasa nyeri, dan musuh. Hewan tingkat rendah bisa menangani masalah ini secara sama baiknya dengan yang bisa dilakukan seorang manusia. Melakukan hal-hal ini, yang juga bisa dikerjakan oleh hewan lain, menunjukkan tingkat kecerdasan yang tidak lebih tinggi. Dan oleh karena obyek inderawi ini mempunyai pengaruh yang sedemikian hebatnya terhadap pikiran, akan sukarlah bagi seorang umat awam untuk mengenali apa sebenarnya yang dicari dari hal-hal itu dan membebaskan diri darinya.

Hidup untuk kepuasan inderawi melalui mata, telinga, hidung, lidah, kulit, dan pikiran tidak akan menuntun pada Pembebasan. Umat manusia awam berada pada posisi yang jauh dari tingkat tinggi, tahap tertinggi yang bisa dicapai oleh manusia. Dengan terobsesi pada obyek inderawi, mereka tercegat ditengah jalan, pertengahan jalan menuju tujuan. Mereka ini tidaklah boleh dijadikan teladan. Jika pemuasan inderawi ini benar-benar berharga sebagaimana yang mereka pikirkan, mereka dengan demikian, berikut hewan sebagai rekannya, seharusnya ditempatkan pada posisi sebagai makhluk hidup yang tertinggi derajatnya.

Pada kondisi ini, kita seharusnya memperhatikan bahwa bahkan makhluk surgawi yang tenggelam dalam “surga pemuasan inderawi” (Kamavacara devata) bukanlah makhluk yang istimewa. Meraka juga akan mengalami penderitaan dan kecemasan. Mereka itu juga tidak suci, terus menerus dikotori sebagai akibat dari tindakan fisik, ucapan, dan moral yang tidak baik. Dewa jenis ini, ketika berhasil mengangkat derajat diri mereka, meninggalkan surga pemuasan inderawi itu dan pergi mencari Buddha, Dharma, dan Sangha. Pemuasan inderawi, bahkan dalam bentuknya yang tertinggi, bukanlah hal yang tertinggi untuk seorang manusia, dan seseorang tidaklah seharusnya menyatakan bahwa untuk pemuasan inderawi ini ia dilahirkan.

Sekarang kita tiba pada reputasi. Berpikir bahwa kita dilahirkan demi nama dan ketenaran adalah sebuah tragedy. Memandang secara sekilas hal yang disebut sebagai reputasi ini memunjukkan bahwa ini bukanlah sesuatu yang penting sekali. Ini bergantung pada orang lain yang menunjukkan sikap hormat terhadap seseorang; dan bisa saja terjadi, walaupun tidak ada yang menyadarinya, bahwa sikap hormat ini tidaklah mendasar. Jika masyarakat dikelabui, tidak cemas, tidak was-was, kurang pengetahuan Dharma, benda-benda yang padanya mereka memberikan sikap hormat yang tinggi dan padanya mereka berikan reputasi yang baik hanyalah benda-benda yang biasa dan normal saja, dalam hal makna nilainya yang biasa dan normal. Di depan mata mereka, benda-benda yang dijunjung dan diajarkan oleh mereka yang mencapai kemajuan batin tidaklah dianggap terlalu tinggi nilainya. Pada kenyataannya, secara tidak terelakkan kita menemukan bahwa semakin seseorang mempedulikan nama dan ketenaran, akan semakin duniawilah benda-benda yang mereka nilai tinggi. Orang yang layak dihormati ialah mereka yang telah berhasil meninggalkan kehidupan duniawi dan mengembangkan kebahagiaan bagi umat manusia; tetapi pada kenyataannya kita melihat bahwa reputasi baik diberikan kepada orang-orang yang telah menambah bingung dan ketegangan dunia ini. Ini adalah sebuah contoh pemberian reputasi oleh makhluk duniawi, manusia yang terjebak dalam duniawi.

Mengatakan bahwa kita dilahirkan untuk mendapatkan reputasi baik adalah sama menggelikan dengan mengatakan bahwa kita dilahirkan demi pemuasan inderawi atau makan. Semua pandangan ini sama menyedihkannya. Semua ini hanya berbeda dalam derajat kecanggihannya. Singkatnya, tidaklah diragukan lagi bahwa makan, pemuasan inderawi, reputasi, bukanlah hal yang tertinggi, sasaran yang harus dituju oleh seorang umat Buddha.

Sekarang, marilah kita memperhatikan sebuah pepatah dari Sang Buddha yang saya percaya akan bisa membantu menjawab pertanyaan “mengapa kita dilahirkan ?”.

Sankhara parama dukkha,
Nibbanam paramam sukham.
Etam natva vatha bhutam
Santimaggam va bhuhayeti.

Benda berkondisi sebenarnya adalah penderitaan,
Nirwana adalah berkah tertinggi.
Memahami kebenaran ini dengan sebaik-baiknya.
Seseorang berada pada jalan menuju kedamaian.

Untuk memahami baris pertama dari kutipan ini, kita pertama-tama harus memahami dengan benar kata “sankhara”. Kata ini mempunyai beberapa arti. Kata ini bisa mengacu pada benda fisik, tubuh atau dalam kasus ini pada batin, pikiran. Secara harafiah, “sankhara” berarti “susunan, gabungan” (baik kata benda maupun kata kerja), yaitu fungsi yang kita sebut sebagai “penggabungan” (dan hasil penggabungan yang diperoleh darinya).

Mengikuti definisi ini, dengan demikian, penggabungan itu benar-benar adalah penderitaan, sepenuhnya tidak memuaskan (dukkha). Akan tetapi, tidak dinyatakan bahwa penggabungan itu sendiri adalah penderitaan, suatu penyebab ketegangan dan penderitaan umat manusia. Kata “ penggabungan “menunjukkan kegelisahan, pembentukan gabungan yang terus menerus dan menuntun ke arah “kelahiran kembali“ yang berkelanjutan. Dan hal yang bertanggung jawab atas penggabungan ini ialah kekotoran batin (kilesa). Ini adalah unsur penggabungnya. Dengan bangkitnya ketidaktahuan, kebodohan, keterlibatan, akar penyebab bagi kekotoran batin lain, ketamakan dan kebencian, penggabungan itu pun berlangsung. Semua ini bertanggung jawab atas fungsi penggabungan dalam pikiran, mengakibatkannya melekat dan menggapai pada sesuatu atau yang lain, tanpa akhir, tanpa terlewatkan satu pun. Kata “penggabungan” sebagaimana yang digunakan di sini menunjukkan kemelekatan dan kemelekatan dengan keterikatan (upadana). Jika tidak ada keterikatan, jika kontaminasi oleh keterikatan tidak terjadi, maka istilah “penggabungan” tidaklah bisa digunakan.

Sankhara parama dukkha – Semua penggabungan sepenuhnya adalah tidak memuaskan. Ini berarti bahwa keterlibatan diri yang telah mencapai titik kemelekatan dan keterikatan tidaklah ubahnya sebuah penderitaan. Tanpa penggabungan seperti ini, akan ada pembebasan dari penderitaan kondisi yang tidak memuaskan. Penggabungan inilah yang disebut-sebut sebagai roda samsara, proses melingkar yang mempunyai tiga aspek : kekotoran batin, tindakan yang didasarkan pada kekotoran batin, dan akibat dari tindakan itu. Kekotoran batin, menghasilkan pemuasan sebagai akibat dari tindakan (atau karma) kita, mendorong kita untuk melakukan tindakan yang berikutnya – dan demikianlah lingkaran kekotoran batin, tindakan, dan hasil dari tindakan itu berputar tanpa akhir. Proses inilah yang disebut dengan penggabungan: dan proses penggabungan yang berulang-ulang tanpa henti inilah yang dimaksudkan dalam pernyataan bahwa semua penggabungan sepenuhnya adalah tidak memuaskan.

Sekarang baris kedua : Nibbanam paramam sukham. Ini telah menjadi aksioma umum. Pernyataan ini mengacu pada Nirwana (Nibbana), lawan dari kondisi penggabungan, dengan kata lain pembebasan dari sankhara. Setiap saat ketika penggabungan. terhenti, akan ada Nirwana. Pembebasan sempurna dan akhir dari penggabungan adalah Nirwana penuh, pembebasan sementara dari penggabungan ialah Nirwana sementara, sebuah contoh dari Nirwana yang sebenarnya belaka. Setiap orang yang telah memahami sepenuhnya sifat sejati dari penggabungan tidak akan menemui kesukaran dalam memahami melalui proses penalaran kondisi yang berlawanan dengan pembebasan dari penggabungan. Kata “Nirwana” bisa diartikan sebagai “kepunahan”, ‘lenyap’, atau “kedamaian”, atau “pembebasan dari ketegangan”. Semua makna ini konsisten dengan gagasan berhenti, tidak meneruskan penggabungan. Penggabungan tidaklah dari pada kecemasan, kesukaran, ketegangan, kesedihan, “Nirwana” menggambarkan kondisi yang bertentangan dengan “sankhara”, yaitu pembebasan dari proses penggabungan ini.

Sekarang bagian lain dari kutipan tersebut : “Memahami kebenaran ini dengan sebaik-baiknya, seseorang berada pada Jalan menuju Kedamaian”. Ini berarti bahwa penyadaran kebenaran ini menuntun seseorang untuk mencari jalan yang mengarah pada kedamaian atau Nirwana. Nirwana terkadang disebut dengan kedamaian (santi), yaitu keheningan, ketenangan. Semua ini adalah istilah yang ekivalen. Jadi penyadaran ini mendorong kita untuk melakukan segala sesuatu yang mungkin untuk bergerak ke arah kedamaian atau Nirwana.

Dari sini kita bisa menyimpulkan bahwa Sang Buddha menginginkan kita untuk mengetahui tentang kondisi penderitaan (dukkha), mengetahui tentang pembebasan dari kondisi penderitaan, dan berusaha mengikuti jalan yang menuntun ke arah pembebasan dari kondisi penderitaan ini, atau dengan kata lain, Nirwana. Jika seseorang tidak mempunyai gagasan tentang kemungkinan Nirwana, dan tidak menyadari bahwa Nirwana, sebagai kepunahan sepenuhnya kondisi penderitaan, adalah sesuatu yang harus dihargai diatas segala-galanya, ia tidak akan menginginkan Nirwana, dan tidak akan mencari jalan kearah sana. Segara setelah seseorang menyadari kondisi sekarang ini sebagai yang sepenuhnya mengecewakan, dan kehilangan segala keinginan akan segala sesuatu kecuali kondisi yang sebaliknya, ia akan mulai menaruh perhatian dan minat pada Nirwana dan akan mengikuti jalan ke arah itu. Yang harus ia lakukan ialah memperhatikan baik-baik pikirannya dan memperhatikannya hingga rincian yang mendalam dan tajam, untuk membuktikan apakah pikirannya tersebut berada dalam kondisi penggabungan.

Bilamana seseorang yang berada dibawah pengaruh kekotaran batin melakukan beberapa tindakan (karma). Terutama apabila ia melakukan tindakan yang dinilai jahat, misalnya mabuk-mabukan, membunuh, berjinah, mencuri, atau yang sejenisnya, ia melakukan penggabungan. Penggabungan didasarkan pada ketidaktahuan, ilusi, kebodohan, Ini akan berlanjut terus hingga menghasilkan perasaan nikmat dan puas dalam pikiran pelakunya. Ketika ia mengalami hasil yang tidak memuaskan dari tindakannya, ia berusaha untuk mengahadapinya dengan tindakan lanjutan lagi …. Yang hanya akan membuat masalah menjadi lebih rumit. Akibatnya ialah penggabungan yang berlangsung lebih sering dari pada sebelumnya…. Hingga tiba waktunya ia menyadari bahwa ini adalah kondisi yang tidak memuaskan dan memutuskan untuk menghentikannya. Ia kemudian akan mencari sesuatu yang tidak mengecawakan, dan dengan demikian mampu membebaskan diri dari tindakan jahatnya.

Sekarang marilah kita melihat secara sepintas seseorang yang melakukan kebaikan, jenis perbuatan yang jauh dari perbuatan jahat, dan yang dilakukannya hanyalah jenis perbuatan yang disebut dengan kebaikan. Orang seperti ini mendapatkan semua pahala yang dihasilkan dari perbuatannya yang disebut dengan baik itu. Ia mungkin mendapatkan uang dan reputasi baik, dan semua yang wajar didapatkan seorang yang baik perilakunya. Akan tetapi, jika ia memeriksa kondisi batinnya, ia akan menyadari bahwa ia masih saja mengalami kecemasan dan kekhawatiran. Ia mengalami penderitaan yang senantiasa mengiringi harta kekayaan dan reputasi baik. Seseorang yang mempunyai nama tenar biasanya menderita ketegangan jiwa sebagai akibat dari ketenarannya itu; dan hal yang sama juga terjadi pada kekayaan dan anak. Segala sesuatu yang menjadikan seseorang tertarik padanya dan menemukan kepuasan di dalammya merupakan penyebab dari ketegangan jiwanya.

Jadi, bahkan tindakan baik, tindakan yang tidak salah, tidak berdosa, bermanfaat, tidaklah bisa mendatangkan pembebasan dari kondisi yang tidak memuaskan. Sama halnya seorang jahat yang menderita siksaan sehubungan dengan dirinya sebagai pelaku kejahatan, demikian pula seorang baik akan mengalami jenis penderitannya tersendiri. Seorang yang baik akan mengalami jenis penderitaan yang halus dan tidak mencolok mata yang muncul ketika seseorang melekat pada kebaikan dirinya tersebut. Jadi, ketika kita mengamatinya sebagai suatu fenomena alam, kita akan mendapatkan bahwa bukan hanya orang jahat yang akan menerima akibat dari perbuatan jahatnya yang berputar-putar mengelilingi roda penggabungan; orang baik juga, yang memetik hasil dari perbuatan baiknya, akan terlibat dalam penggabungan. Tiada akhir bagi proses ini. Ini berlangsung terus menerus tanpa henti. Pemikiran diikuti dengan tindakan, dan ketika hasil dari tindakan tersebut telah didapat, pemikiran akan melanjutkannya lagi. Inilah roda samsara, lingkaran yang berkelana tanpa henti. Samsara adalah lingkaran penggabungan ini belaka.

Segera setelah seseorang berhasil menanggulangi proses ini. Ia akan mulai berminat terhadap kondisi yang berlawanan. Ia akan menyadari bahwa uang, nama dan ketenaran, dan yang sejenisnya tidaklah bermanfaat sama sekali dan yang dibutuhkan ialah sesuatu yang jauh lebih baik dari ini semua. Ia kemudian mulai mencari sesuatu yang lebih tinggi dan baik, jalan lain. Ia terus mencari hingga akhirnya ia bertemu dengan seseorang yang mencapai kemajuan batin, duduk dihadapannya, dan belajar darinya kebenaran, Dharma. Dengan demikian ia mengetahui kondisi yang sangat bertentangan dengan semua yang selama ini telah ia dapatkan dan alami dan lakukan. Ia menjadi tahu tentang Nirwana dan cara untuk mencapainya. Ia tiba pada sikap yang yakin bahwa inilah tujuan yang seharusnya dicari dan dituju oleh semua orang. Ia menyadari, “ Inilah sebabnya saya dilahirkan !” Segala sesuatu diluar ini adalah keterlibatan, jebakan, dan penggabungan. Ini sendiri adalah pemadaman nyata api membara, kedamaian, ketenangan. Minatnya terhadap Nirwana mendorongnya untuk mencari cara untuk mencapainya, dan ia yakin bahwa menapaki jalan menuju Nirwana adalah tujuan ia dilahirkan.

Ada sebuah pertanyaan kecil yang perlu dipertimbangkan dalam kaitannya dengan masalah ini: Apakah saya senang saya dilahirkan? Apakah saya gembira karenanya atau tidak? Tentu saja tidak ada orang yang mempunyai pilihan dalam hal kelahiran. Tidak pernah ada kejadian bahwa seseorang dihadapkan pada keputusan bahwa ia akan dilahirkan. Ia dilahirkan dengan begitu saja. Akan tetapi, tidak lama setelah dilahirkan, ia berhubungan dengan obyek indera melalui mata, telinga, hidung, lidah, kulit, dan pikiran. Ia menjadi dengan obyek-obyek ini dan menemukan kepuasan di dalamnya. Ini berarti bahwa ia senang dilahirkan dan berkeinginan untuk terus hidup dengan tujuan bisa terus menikmati obyek indera tersebut. Dan ketika orang-orang membicarakan tentang melakukan kebajikan untuk mendapatkan obyek indera kembali setelah kematian, pada suatu tingkatan yang lebih baik, lebih halus, lebih tinggi, dari pada tingkatan sekarang, ini menunjukkan nafsu keinginan yang lebih besar untuk melahirkan demi hal-hal yang menyenangkan seperti ini.

Yang penting disini ialah : setelah seseorang dilahirkan, ia menikmati rupa, suara, aroma, citarasa, bentuk, dan khayalan yang ditemui oleh pikirannya. Sebagai akibatnya, ia merangkul semua itu dan melekat padanya dengan sikap egois dan rasa memiliki. Ia telah dilahirkan dan ia menemukan kepuasan dan kegembiraan dalam kondisi telah dilahirkan. Ia takut sekali akan kematian karena kematian berarti tidak ada lagi hal-hal seperti itu. Inti masalah di sini ialah bahwa tidak ada seorang pun yang terlahir atas kehendak bebasnya sendiri, sebagai hasil dari keputusan pihaknya sendiri; kelahiran hanya berlangsung sebagai suatu proses alami yang mencirikan proses reproduksi semua makhluk hidup. Tidak lama berselang setelah seseorang dilahirkan, ia akan mulai menyukai kelahiran tersebut dengan cara yang diuraikan di atas. Di dalam situasi yang sepenuhnya berlangsung alami, yaitu di alam hewan rendah, keinginan akan kelahiran sangatlah halus dan tidak menunjukkan gejala masalah besar sebagaimana yang dijumpai dalam alam manusia.

Seseorang seharusnya bertanya kepada dirinya sendiri dan memastikan dua hal: Saya sangat bergembira saya dilahirkan; dan saya dilahirkan untuk tujuan tertentu. Sekarang jika seseorang menyimpulkan bahwa ia gembira dilahirkan untuk menjalankantugas tertinggi yang mungkin bagi seorang manusia, maka posisinya menjadi paradoks. Jika tujuan nyata dari kehidupannya ialah pembebasan dari kelahiran kembali, maka ia dilahirkan untuk tidak mengalami kelahiran kembali lagi, dan seharusnya tidak dilahirkan sejak awal! Mengapa ia harus gembira kesempatan untuk menapaki jalan menuju Nirwana? Jika pembebasan dari kelahiran adalah hal yang sedemikian baiknya, mengapa harus ada kelahiran dari awal?

Inilah beberapa pertanyaan yang membentuk ketidaktahuan, atau setidak-tidaknya yang muncul dari ketidaktahuan. ”Apakah saya dilahirkan atas kehendak bebas sendiri ataukah kelahiran itu dipaksakan kepada saya?” “Setelah dilahirkan, apakah yang seharusnya saya lakukan Umat awam tidaklah menyelami pertanyaan ini dengan mendalam. Dengan menerima kelahirannya sebagai kenyataan yang telah terjadi, ia hanya menanyakan dirinyapertanyaan ini: Apakan yang dilakukan sekarang? Percaya bahwa ia lahir untuk mengumpulkan harta kekayaan, ia terus-menerus mengumpulkan harta kekayaan. Atau jika ia percaya bahwa ia dilahirkan untuk makan, atau mencari ketenaran dan reputasi baik, maka ia akan berusaha mencapai tujuan tersebut. Ia merasa bahwaitu sudahlah cukup. Mendapatkan nama baik dan ketenaran serta berkecukupan secara materi adalah yang diincar oleh manusia awam. Baginya, kehidupan seperti itulah yang diidam-idamkan; dan tidak sedikit orang yang berpandangan seperti itu.

Akan tetapi, sekarang kita akan mempertimbangkan masalah ini dengan lebih mendalam. Kita telah melihat bahwa jenis tindakan atau kegiatan seperti ini tidaklah memuaskan. Masih ada sesuatu yang tidak memuaskan di dalammya. Sesuatu masih kurang. Tidak peduli betapa berhasilnya kita mengejar tujuan duniawi ini, kita masih saja akan menghadapi kekecewaan. Kita dipaksa untuk megakui bahwa sesuatu yang lain lebih dibutuhkan, dan pada akhirnya kita akan menemukan diri kita tenggelam dalam Dharma. Kita menjadi sadar bahwa kita dilahirkan untuk mempelajari belahan pengetahuan umat manusia yang tertinggi dan paling berharga serta memahaminya, untuk bisa mencapai Pembebasan, hal paling berharga dan tertinggi yang bisa dilakukan oleh seorang manusia. Tidak ada yang lebih tinggi dari pada ini. Inilah titik kulminasi, hal terbaik yang bisa dicapai seorang manusia.

Andaikan kita menerima kenyataan bahwa kita telah dilahirkan, dan setelah dilahirkan kita mempuyai tugas tertentu untuk dipenuhi, sebuah tugas yang sedemikian pentingnya sehingga usaha untuk menyelesaikannya seharusnya menjadi tujuan tertinggi umat manusia. Tidak ada lagi tujuan yang lebih tinggi daripada pencapaian pembebasan sempurna dari kesedihan kondisi penderitaan. Dan dengan mengikuti arah sang Buddha, pembebasan sempurna ini bisa dicapai. Ajaran agama Buddha lahir di dunia untuk memberitahukan semua orang tentang hal tertinggi yang bisa dicapai oleh umat manusia. Semua ajaran agama yang muncul sebelum agama Buddha telah mempunyai tujuan yang sama, dalam rangka menjawab pertanyaan ini: Mengapa saya dilahirkan? Semua itu telah dijejali dengan pertanyaan yang sama : Demi tujuan tertinggi apakah seseorang dilahirkan ?

Beberapa dari antara agama-agama ini menganggap pemuasan inderawi sebagai yang tertinggi, hal yang terbaik. Beberapa menganggap titik kulminasi merupakan berkah suci bebas inderawi brahmaloka. Kemudian ada sebuah sekte yang mengajarkan bahwa tujuan manusia dalam menjalankan kehidupan ialah mencari berkah dalam pengetahuan bahwa tidak ada sesuatu pun yang eksis! Bahkan ada pandangan bahwa hal tertinggi yang bisa dicapai oleh manusia ialah kondisi mirip kematian yang sepenuhnya tidak sadar yang di dalamnya tidak ada kesadaran akan apa pun sama sekali! Demikian doktrin yang dijunjung tinggi pada masa calon Buddha mulia usaha pencarian. Ketika Beliau mencari dan mempelajari berbagai situasi, ajaran tertinggi yang bisa Beliau temukan ialah ini. Dalam kapasitas kebijaksanaan Beliau untuk memahami bahwa ini tidak bisa disangkal lagi merupakan titik kulminasi, Beliau berikhtiar untuk menyelidiki lebih lanjut atas usaha sendiri. Dengan demikian. Beliau tiba pada kebijaksanaan sempurna yang mengakhiri kondisi penderitaan, dan sebagaimana yang kita katakana, Beliau mencapai Nirwana.

Walaupun orang-orang telah membicarakan tentang Nirwana jauh sebelum masa Sang Buddha, makna yang digunakan oleh Beliau berbeda dari makna yang digunakan oleh sekte lain. Kata-kata belaka tidak bisa di andalkan; maknanyalah yang penting diperhatikan. Ketika kita mengatakan bahwa kita dilahirkan untuk mencapai Nirwana, yang kita maksudkan ialah Nirwana sebagaimana yang digunakan oleh Sang Buddha. Kita tidak mengacu pada Nirwana yang dimaksudkan oleh sekte lain, misalnya berlimpahnya kenikmatan inderawi, atau tahap tertinggi konsentrasi batin. Ketika kita mengatakan bahwa Nirwana merupakan tujuan kita, kita harus mencamkan didalam pikiran Nirwana yang dipahami di dalam ajaran agama Buddha. Dan didalam ajaran agama Buddha, Nirwana umumnya dianggap sebagai lawan dari kondisi penggabungan. Ini diungkapkan dalam pepatah Pali yang telah kita kutip:

Sankhara parama dukka
Nibbanam paraman sukham.

Nirwana hanyalah merupakan pembebasan dari sankhara, penggabungan. Kita harus memahami selanjutnya bahwa kita dilahirkan untuk mencapai pembebasan dari penggabungan. Beberapa orang mungkin tertawa terhadap pernyataan ini bahwa tujuan kita hidup ialah mencapai “ pembebasan dari penggabungan”. Penggabungan, perputaran didalam roda samsara ini, adalah penderitaan. Pembebasan dari penggabungan mencakup dicapainya kebijaksanaan tahap tertentu sedemikian sehingga lingkaran liar ini diputuskan dan dijauhkan sepenuhnya. Bilamana ada pembebasan dari penggabungan, tidak akan ada lagi roda samsara. Tujuan dari hidup ini ialah mendiamkan roda samsara, mengakhiri kondisi yang tidak memuaskan. Pembebasan sepenuhnya dari penderitaan ini yang disebut dengan Nirwana.

Sekarang, Nirwana bukanlah sesuatu yang rahasia dan misterius. Ini bukanlah suatu keajaiban, sesuatu yang gaib. Lebih-lebih lagi, Nirwana bukanlah sesuatu yang hanya dicapai setelah kematian. Inilah inti masalah yang harus dipahami. Nirwana dicapai pada setiap saat ketika pikiran menjadi bebas dari penggabungan. Pembebasan dari penggabungan, pada setiap saat, adalah Nirwana. Lenyapnya penggabungan secara permanen adalh Nirwana penuh; pelenyapan sementara hanyalah Nirwana sementara, yang telah kita bahas sebelumnya. Pengalaman akan Nirwana sementara merupakan intensif untuk maju lebih lanjut, untuk mencapai Nirwana permanen, Nirwana penuh yang menjadikan seorang arahat. Kondisi ini muncul sejalan dengan pengetahuan bahwa sankhara, yang merupakan penggabungan dan hasil gabungan, adalah penderitaan, sedangkan Nirwana, pembebasan dari penggabungan, adalah kedamaian, berkah. Tujuan hidup setiap manusia seharusnya ialah menapaki jalan menuju Nirwana penuh.

Jadi jawaban atas pertanyaan “ Mengapa kita dilahirkan?” ialah

Penggabungan merupakan penderitaan utama,
Nirwana merupakan berkah tertinggi.

MENAPAKI JALAN

Kelahiran kita sekarang ini haruslah dipikirkan bagaikan sebuah petualangan sepanjang jalan. Dengan demikian perlulah kiranya memperhatikan dan mencari mana yang merupakan jalan yang benar dan yang salah untuk diikuti. Jika kita hanya mengikuti kerumunan orang, kita bisa saja tersesat dan kehilangan arah yang sebenarnya. Ini bukanlah jenis perjalanan yang kita maksudkan ketika berbicara mengenai “menapaki Jalan”. Istilah “menapaki Jalan” dimaksudkan kemajuan ke arah Nirwana, Menuju pembebasan dari kondisi yang tidak memuaskan.

Jika perumpamaan terhadap kelahiran kita sekarang ini sebagai sebuah perjalanan sepanjang jalan masihbelum jelas, masalhnya harus dipikirkan secara mendalam, dibahas, dan dipelajari secara menyeluruh. Di dalam proses belajar dan berlatih ini, kita akan mendapatkan bantuan dan tuntunan dalam ajaran Sang Buddha, Ia yang telah berhasil menapaki Jalan hingga ke tujuan akhir. Sayang sekali, kebanyakan orang tidak menaruh minat pada ajaran Sang Buddha sebagai sebuah tuntunan pada jalan dan bagaimana mengikutinya.

Sekarang ada masalah penting untuk pertimbangkan: orang yang akan menapaki jalan ini orang sekhusus apakah ia? Atau jika ada sekelompok orang, seberapa banyakkah jumlahnya? Jika menggunakan pandangan yang luas kita akan melihat bahwa yang sebenarnya ialah keseluruhan umat manusia, manusia secara umum. Pikirkanlah. Selama tidak ada orang yang tahu tentang Jalan dan bagaimana menapakinya, kebanyakan orang pasti akan menyimpang dari Jalan. Akan tetapi, secara perlahan-lahan dan bertahap, jalan yang benar akan bisa ditemukan, sedikit demi sedikit Jalan itu ditemukan kembali, hingga waktunya muncul seorang yang mencapai pencerahan sempurna, seorang Buddha, seseorang yang berhasil berjalan dengan sempurna pada jalan yang benar. Dengan kata lain, menapaki Jalan adalah sebuah proyek jangka panjang yang didalamnya umat manusia terlibat secara kolektif, hingga nanti muncul beberapa orang yang istimewa untuk mencapai kemajuan pesat dalam kebijaksanaan sehingga mereka berhasil menelusuri hingga akhir.

Marilah kita lihat dari sisi lain. Kebanyakan orang hidup tidak lebih dari seratus tahun. Menapaki Jalan dengan agak kaku, mereka hanya menjangkau jarak yang pendek sebelum meninggal dunia. Tidak ada orang yang mencapai jarah yang jauh dan siapakah yang akan melanjutkan setelah mereka meninggal dunia? Jawabannya ialah anak cucunya. Generasi penerus, yang memetik manfaat berupa kebijaksanaan yang telah didapatkan oleh pendahulunya, mewarisi tugas untuk melanjutkan perjalanan. Anak-anak dan cucu-cucu melanjutkan mulai dari posisi dimana pendahulu mereka meninggalkan mereka, mencapai kemajuan yang mantap hingga salah seorang diantara mereka berhasil menyelesaikan perjalanan.

Dipandang dari sudut ini, bahkan mempunyai keturunan dan pelestarian spesies, mempunyai tujuan tetapi, apakah orang-orang pada masa sekarang ini benar-benar mempunyai tujuan ini didalam pikiran mereka ketika mereka mempunyai anak? Orang-orang terus menerus melahirkan keturunan yang bermata tertutup- tetapi apakah mereka berpikir bahwa manusia-manusia baru itu adalah penerus mereka dalam melanjutkan perjalanan? Jika tidak, maka motivasi mereka pastilah berada pada tingkatan yang lebih rendah, berada pada tingkatan seperti anjing dan kucing. Manusia melahirkan keturunan , yang padanya kemudian mereka cintai dengan sangat berat sehingga mereka rela mengorbankan hidup mereka untuk keturunannya itu. Akan tetapi, hewan-hewan melakukan hal yang sama pula. Keterikatan pada keturunan yang mendominasi pikiran orang tua juga terdapat dengan cara yang persis sama pada hewan sebagaimana pada manusia.

Akan tetapi, marilah kita telusuri mengapa seekor hewan mempunyai keterikatan seperti ini terhadap anaknya, keinginan yang sedemikian kuatnya untuk melindungi anaknya. Apakah tujuannya? Kita bisa mengasumsikan dengan pasti bahwa ini bukanlah hasil dari penalaran logis di pihak hewan itu. Keterikatan pada keturunan dan keinginan untuk melindunginya muncul secara alami di dalam tubuh hewan. Lalu mengapa Alam melengkapi hewan dengan jenis naluri ini? Agar mencegah punahnya spesies hewan itu. Dan untuk tujuan apakah punahnya suatu spesies dihindari? Tentu saja untuk memungkinkan proses evolusi lanjut, perkembangan mantap lanjutan menuju tahap tertinggi yang mungkin dicapai untuk melestarikan suatuu spesies. Dengan demikian kita melihat Alam berusaha untuk melestarikan setiap spesies kehidupan dari kepunahannya, dan menjamin evolusi berkelanjutan hingga titik tertinggi. Inilah tujuan Alam. Hewan secara umum akan menghadapi hokum ini, baik mereka menyadarinya atau tidak. Bisa dikatakan, dengan demikian, bahwa bagi hewan tingkat rendah kelahiran adalah sebuah perjalanan. Ini adalah sebuah perjalanan kemajuan tanpa henti hingga titik tertinggi dicapai, hingga kemudian muncullah Manusia. Dan setelah itu, kemajuan lebih lanjut masih mungkin terjadi hingga tahap Manusia yang mencapai Pencerahan Sempurna.

Sekarang, untuk tujuan apakah manusia sekarang ini melahirkan keturunan? Tentu saja ada orang –orang yang benar-benar percaya bahwa mereka melahirkan anak agar spesies manusia bisa lestari dan Nirwana akhirnya dicapai, dengan kata lain, agar tercapai kemajuan berkelanjutan sepanjang Jalan. Akan tetapi, kenyataannya mayoritas orang tidak berpikir seperti ini. Mereka mencintai anak mereka. Mereka memberi makan dan merawat anak mereka itu dan melakukan semua bentuk pengorbanan atas dasar cinta buta mereka. Setiap orang menginginkan anak mereka menjadi yang terbaik dan tercantik. Tidak ada orang yang memperdulikan tentang pelestarian spesies demi untuk melanjutkan perjalanan. Tidak ada orang yang memandang anak-anak mereka dari kacamata kemajuan kolektif umat manusia menuju tujuan akhir. Setiap orang berpikir dalam konteks keuntungan pribadi, dalam konteks “aku” dan “milikku”. Hanya “anakku” yang penting. Hanya puteraku yang saya perhatikan kondisi dan kemajuannya. Jenis pemikiran seperti ini sesuai dengan hukum Alam, tetapi bertentangan dengan semua prinsip dalam Dharma. Sebagai akibat, anak-anak akan mengakibatkan kesedihan dan cucuran air mata orangtuanya. Pola pemikiran yang dangkal ini tidaklah membantu umat manusia mencapai kemajuan menuju Nirwana.

Semua pembahasan ini dimaksudkan untuk membawa diri kita kembali kepada pertanyaan: “Mengapa saya dilahirkan?” Bahkan ketika seseorang mempunyai anak dan mempertahankan kelestarian spesies, apakah yang harus mereka wariskan kepada anak cucunya sehingga mereka bisa bertemu dengan Dharma dan menjadi seorang pengikut Dharma yang sejati: Selama setiap orang menganggap dirinya sendiri sebagai yang bisa hidup sendiri, tidak melibatkan orang lain, umat manusia tidak mempunyai sarana untuk maju ke arah menjadi seorang makhluk yang mencapai kemajuan.

Semua ilmu pengetahuan manusia tidaklah ada manfaatnya jika tidak membantu manusia mencapai kemajuan batin. Sekarang, berbicara dalam konteks nilai materi, bisa saja terjadi bahwa apa yang didapatkan oleh seorang jahat dan diwariskan kepada orang jahat yang mengikuti mereka mendatangkan manfaat. Jika tidak demikian, dunia tidak akan pernah mencapai tahap kemajuan yang sedemikian canggihnya dalam hal kemajuan teknologi. Bisa saja kita katakana bahwa kita dilahirkan untuk menghasilkan kemajuan materi umat manusia hingga ke titik tertinggi. Akan tetapi, di dalam hal kemajuan tidak ada titik tertinggi. Kemajuan, sebagaimana dipahami oleh umat perumah tangga, umat manusia di dunia, tidak akan menuntun hingga tujuan tertinggi apapun. Sebaliknya kemajuan batin, kemajuan ke arah Kebenaran yang dikenal oleh makhluk yang mencapai pencerahan, mempunyai tujuan tertinggi. Di jalan ini, kita bisa langsung mencapai akhir dan mendapatkan pembebasan sempurna dari kondisi yang tidak memuaskan.

Marilah kita menelusuri pertanyaan ini lebih lanjut. Diberitahuan bahwa umat manusia dilahirkan untuk menapaki Jalan menuju Nirwana, betapa tepatnya kita diarahkan untuk menghadapi perjalanan ini?

Sang Buddha mengatakan :

Sabbe sankhara aniccati
Yada pannaya passati
Atha nibbindati dukkhe
Esa maggo visuddhiya.

“Ketika seseorang memahami dengan bijaksana bahwa semua penggabungan bersifat sementara, ia menjadi jenuh dengannya sebagai yang tidak memuaskan. Itulah Jalan menuju Nirwana, menuju kesucian.”

Bilamana seseorang memahami bahwa sifat sejati dari penggabungan (sankhara), ia akan menjadi jenuh terhadapnya. Dan kekecewaan terhadap gabungan adalah langkah awal dalam Jalan yang menuntun ke arah Nirwana, ke arah Dharma. Sang Buddha mengatakan lebih lanjut :

Sabbe sankhara anicca,
Sabbe sankhara dukkha,
Sabbhe dhamma anatta,

Semua penggabungan tidak kekal,
Semua penggabungan tidak memuaskan,
Segala hal bukanlah diri (anatta).

Ketika seseorang telah memahami ketiga ciri ini, ia akan menjadi kecewa dengan penggabungan yang tidak memuaskan itu. Dan itulah Jalan menuju Nirwana- atau setidak-tidaknya awal mulanya. Hal yang perlu diperhatikan ialah bahwa ketika seseorang telah mendapatkan penyadaran yang benar akan ketiga ciri penggabungan ini, ia merasakan dirinya secara alami ditolak oleh penggabungan, yaitu, oleh kondisi yang tidak memuaskan. Semua penggabungan sama sekali tidaklah memuaskan. Segara setelah seseorang memahami bahwa penggabungan sama sekali tidak memuaskan, ia akan langsung menjadi bosan terhadap penggabungan itu. Penggabungan pada dasarnya tidaklah memuaskan. Kata “gabungan” secara langsung menunjukkan kekecewaan. Tidak ada gabungan yang memuaskan. Ketika penggabungan berhenti, muncullah Nirwana, kondisi yang dicita-citakan.

Akan tetapi baris terakhir dari kutipan tersebut mencakup penggabungan maupun yang bukan penggabungan. Tidak ada apapun, apakah merupakan penggabungan atau bukan penggabungan, yang merupakan diri yang bisa dirangkul sebagai diri seseorang. Inilah ucapan yang terakhir. Hasil penggabungan itu senantiasa berubah; hasil penggabungan atau bukan penggabungan, bersifat sedemikian sehingga tidak bisa dirangkul sebagai diri atau milik dari seseorang. Hanya setelah kenyataan ini dipandang secara jelaslah, Jalan Sejati dimulai; setelah itulah seseorang benar-benar mulai bergerak menuju penaklukan kondisi yang tidak memuaskan, yaitu untuk menuju Nirwana.

Kata “Jalan” mempunyai beberapa makna. Yang pertama-tama dan yang paling mendasar kata ini haruslah diartikan sebagai sinonim dari “latihan” (patipatti) atau “jalan latihan (patipada). Kedua istilah ini menunjukkan kemajuan bertahap bagaikan menapaki sebuah jalan; dan juga menunjukkan jalan yang ditelusuri itu. Kata “jalan” secara khusus menunjuk pada yang dilatih atau ditelusuri, tetapi berbicara secara tegas, Jalan dalam proses menapakinya tidaklah seharusnya dibeda-bedakan. Proses berjalan, orang yang berjalan, dan jalan yang diikuti tidaklah boleh dipandang sebagai hal yang terpisah. Di dalam bahasa Pali, sebuah kata tunggal digunakan dalam hal ini, atau setidak tidaknya sebuah akar kata yang sama digunakan dalam bentuknya yang sedikit berbeda untuk menunjukkan secara berturut-turut orang yang berjalan, jalan diikuti, dan proses berjalan. Semua ini dalam bahasa Pali berasal dari satu akar kata. Jadi, ketika kita mendengar kata latihan (patipatti) atau jalan latihan (patipada). Marilah kita camkan didalam pikiran bahwa kduanya menunjukkan proses mengikuti Jalan.

Dan terdapat banyak istilah yang semuanya menunjukan Jalan yang sama. Seseorang, yang belum mempelajari masalah ini secara terinci, menjumpai istilah sebanyak ini yang bersamaan maknanya mungkin akan berkesimpulan bahwa masing-masing kata menunjukan arti yang berbeda-beda. Sebenarnya, semua itu menunjukkan Jalan yang sama. Misalnya Tugas (kammapatha) adalah Jalan untuk diikuti; Sepuluh tindakan Bermanfaat (kusalakammapatha) juga adalah Jalan; Moral, Meditasi, dan kebijaksanaan (sila-samadhi-panna) adalah Jalan; Jalan Mulia Beruas Delapan (ariya atthangika magga) sekali lagi adalah Jalan; dan bahkan memahami bahwa semua hasil penggabungan adalah bersifat sementara dan tidak memuaskan, serta semua hal sebagai bukan diri-ini juga adalah Jalan. Setiap orang yang telah berpikir bahwa berbagai istilah yang berbeda-beda ini menunjukkan hal yang berlain-lainan haruslah memperbaiki kesalahannya dalam ini. Semua nama yang berlainan ini menunjukkan hal yang sama dan jalan yang sama yang dipandang ari sudut yang berbeda untuk tujuan instruksi.

Sekarang apakah Sepuluh tindakan yang Bermanfaat itu? Ini adalah sepuluh jenis usaha untuk menghindar dari perilaku fisik, ucapan, dan sikap batin yang buruk. Semuanya disebut sebagai Sepuluh Tindakan yang Bermanfaat karena setiap orang yang mempraktekannya berarti menapaki Jalan yang tinggi. Sang Buddha menggunakan gaya bahasa tertentu ini ketika mengajarkan umat awam. Ketika beliau hendak mengajar pada tingkatan yang lebih tinggi atau dengan istilah yang lebih padat makna, demi kemajuan orang-orang yang tingkat pemahamannya lebih tinggi dari pada tingkatan rata-rata, Beliau menggunakan istilah Jalan Mulia Beruas Delapan – pemahaman benar, pengertian benar, ucapan benar, tindakan benar, mata pencaharian benar, usaha benar, perhatian benar, dan meditasi benar. Jalan Mulia Beruas Delapan ini adalah jenis latihan yang lebih tinggi daripada tingkatan yang ditujukan kepada umat perumah tangga biasa. Akan tetapi, tujuannya sama saja. Ini juga bertujuan mencapai Nirwana, berbeda dari pola latihan lain hanya dalam intensitas atau tingkatannya.

Sekarang marilah kita tinjau pernyataan ringkas Sang Buddha bahwa bilamana sifat sementara, tidak memuaskan, dan tanpa inti (anicca, dukkha, anatta) telah dipahami dengan kebijaksanaan, itulah Jalan. Ini bahkan merupakan pernyataan yang-jelas ditunjukan untuk orang- orang yang mencapai kebijaksanaan. Pepatah dalam bahasa Pali mengatakannya dengan jelas : “Ketika sifat tidak kekal, tidak memuaskan, dan tanpa inti dipahami dengan kebijaksanaan, itulah Jalan.”

Perenungan akan menunjukkan bahwa ketika kita mempunyai kebijaksanaan dan pemahaman benar akan ciri sebenarnya dari segala penggabungan, yaitu, sifat dari Alam itu sendiri, maka pada saat itulah perilaku kita, fisik, ucapan, dan batin, akan menjadi sebagaimana seharusnya. Kita akan berperilaku benar-tetap tidaklah benar hanya dalam konteks buku ilmu hokum atau moral umum masyarakat, atau adat kebiasaan, bukan sekedar benar secara tidak mendasar dengan kata lain, jika seseorang benar-benar memahami sifat ketidak kekalan, penderitaan, dan tanpa inti, ia tidaklah mungkin melakukan kesalahan dalam hal tubuh, ucapan, dan pikiran karenakekuatan pemahamannya bertindak sebagai sebuah pengatur. Jika kita secara benar mengetahui dan memahami serta memandang ketiga cirri ini, kita pastilah tidak akan berpikir tentang hal-hal yang salah atau mempunyai pengertian yang salah, atau mengatakan atau melakukan hal yang salah. Setelah mendapatkan kebijaksanaan yang jelas akan sifat sejati segala sesuatu, kita tidak akan lagi menjadi terobsesi pada semua benda itu. Tindakan yang berlandaskan kebijaksanaan benar senantiasa merupakan tindakan benar. Jadi moral, meditasi, dan kebijaksanaan (atau Jalan Mulia Beruas Delapan, atau Sepuluh Tindakan yang Bermanfaat, dan sebagainya) akan muncul dengan sendirinya.

Andaikan sekarang, bahwa setelah mencapai puncak kebijaksanaan akan sifat ketidakkekalan, penderitaan. Dan tanpa inti, kita kemudian mencapai penurunan. Setiap yang kita lakukan pada tingkatan yang lebih rendah ini akan merupakan tindakan yang sepenuhnya benar. Dan dengan kata lain, jika kita berusaha dari dasar, kita harus membentuk landasan yang kokoh berupa tindakan fisik, ucapan, dan pikiran yang benar, yang dengan dukungannya kita akan bisa mencapai kemajuan dalam kebijaksanaan hari demi hari. Jadi manusia di dunia ini, seseorang yang masih merupakan makhluk duniawi yang penuh dengan ilusi, haruslahberkeyakinan akan kemanjuran Sepuluh Tindakan yang Bermanfaat serta mencoba sebaik mungkin untuk berlatih. Jika ia melakukan hal ini dengan terus menerus, ia dengan segera akan mencapai kemajuan dalam kebijaksanaan karena inilah cara yang benar untuk menapaki Jalan. Akhirnya ia akan mencapai puncak, mencapai kebijaksanaan akan sifat tidak kekal, tidak memuaskan, dan tanpa inti. Jadi, tidak memandang apakah Jalan itu dipandang dari akhir ke awal, atau dari awal ke akhir, Jalan itu dipandang sebagai sesuatu yang bisa diikuti – asalkan tentu saja orang yang bersangkutan dilengkapi dengan baik dalam hal sifat pembawaan, organ indera, dan kecerdasan. Setiap orang yang telah dilahirkan di dunia dan diberkahi dengan usia panjang, haruslah serius untuk mengembangkan kebijaksanaannya, sedikit demi sedikit, setiap hari, hingga ia mencapai tahap di mana ia mampu memahami tiga ciri dari semua benda, memahami proses penggabungan yang tidak berakhir sebagai yang tidak memuaskan, dan memandang pelepasan dari kekecewaan ini sebagai kondisi pembebnasan dari penggabungan.

Inilah Jawaban yang cukup terhadap pernyataan mengapa Sang Buddha mengajarkan Jalan dengan berbagai cara yang berbeda-beda. Pada tingkat yang tinggi, Beliau mengajarkan Empat Latihan dalam Perhatian Penuh (satipatthana) sebagai Jalan Tunggal, system yang sempurna bagi seseorang yang berusaha sendiri, satu – satunya jalan dengan nama Perhatian Penuh, dan dengan banyak nama yang lain lagi yang tidak perlu kita bahas secara mendalam disini.

Yang ingin kita lakukan di sini ialah menyadari bahwa yang disebut dengan Jalan ini akan merupakan Jalan Sejati segera setelah muncul kebijaksanaan akan sifat tidak kekal, tidak memuaskan, dan tanpa inti. Selama kebijaksanaan ini masih belum muncul, belumlah bisa disebut Jalan Sejati, melainkan awal mulanya. Jadi, bilamana seseorang masih belum mendapat kebijaksanaan akan ketiga cirri ini, ia masih belum mengetahui Jalan yang perlu diikuti. Sebaliknya, ia berkelana mencari hal-hal yang tidak kekal, tidak memuaskan, dan tanpa inti lebih-lebih dari yang sebelumnya ia lakukan, dan hidupnya menjadi semakin tidak memuaskan. Akan tetapi, jika seseorang telah memahami bahwa semua penggabungan adalah tidak kekal, tidak memuaskan, dan tanpa inti, pikirannya akan berusaha untuk menghindari penggabungan tersebut. Pikirannya akan melampaui semua benda itu, untuk berada di atasnya, sehingga benda-benda itu tidak bisa mencelakakannya. Inilah Jalan Sejati, Jalan yang menuntun kita jauh dari penderitaan dan ke arah untuk menanggulanginya.

Jadi, tergantung pada masing-masing di antara kita untuk mengembangkan Jalan Sejati yang didasarkan pada kebijaksanaan dan berusaha untuk mendapatkan pemahaman akan sifat tidak kekal, tidak memuaskan, dan tanpa inti dari penggabungan, untuk memahaminya sebagai yang pada dasarnya tidak memuaskan, sebagai tidaklah lain dari penderitaan, sebagai kondisi yang tidak memuaskan itu sendiri, untuk menghindari semua kerugian yang mungkin timbul darinya. Dengan memahami hal ini, perilaku kita akan menjadi bebas dari penggabungan dengan keterikatan dan kemelekatan. Begitu sifat tidak kekal, tidak memuaskan, dan tanpa inti telah dipahami, kemelekatan dan keterikatan tidak akan bisa muncul lagi. Yang tertinggal ialah kebijaksanaan. Kebijaksanaan yang berfungsi mencegah munculnya kemelekatan dan keterikatan. Dengan demikian hidup ini bisa menyatu dengan Jalan. Hidup bisa menjadi sebuah kemajuan yang maju pesat; hidup ini akan bisa menjadi satu dan sama dengan menapaki Jalan.

Saya harap anda semua sekarang akan menaruh minat yang lebih besar pada ketiga istilah ini: tidak kekal, tidak memuaskan, tanpa inti. Jangan hanya menghafalkan penjelasan seseorang tentang topik ini. Buktikanlah sendiri bahwa benda-benda yamg terus-menerus menggabung dan berubah memiliki ketiga ciri ini. Bilamana seseorang tidak memahami sifat sejati benda-benda, ia dengan tidak sengaja menganggapnya sebagai yang kekal, berharga, sesuatu yang menjadi milik mereka. Anda bisa bayangkan masalah yang kemudian timbul. Ibarat memaksakan suatu benda yang mempunyai sifat tertentu untuk menunjukkan sifat sifat yang berlainan. Ini tidak mungin bisa berhasil sebagaimana kita menginginkan api yang tidak panas. Akibatnya akan menjadi bahan lelucon dan tragis.

Jadi kebanyakan orang percaya bahwa setelah dilahirkan di dunia dalam kehidupan ini, kitaharus mengejar sesuatu hal, sesuai dengan keinginankita dan gembira jika kita mendapatkan yang kita inginkan dan kecewa jika tidak berhasil. Ketika orang-orang mempunyai anak, mereka tidak mempunyai sesuatu yang lebih baik untuk diajarkan kecuali filsafat primitifini. Inilah yang mereka wariskan. Ini menyimpang sekali dari Jalan yang diajarkan oleh Sang Buddha. Anak-anak berjalan pada jejak lama orang tua mereka, dan demikianlah berlangsung dari satu generasi ke generasi berikutnya. Tidak ada perkembangan, tidak ada variasi, tidak ada perbaikan yang didasarkan padapengetahuan bahwa segala sesuatu bersifat tidak kekal, penuh penderitaan, dan bukan diri tertentu, dan olehkarenanya tidak boleh dirangkul. Jika anak-anak kita dan kita sendiri juga, ingin berjalan mengikuti Jalan dengan mudah dan cepat, kita diharuskan untuk memperhatikan masalah merangkul dan tidak merangkul ini, untuk melatih diri kita sendiri di dalamnya dan mengajarkan orang lain.

Benar, kita harus hidup di dunia ini. Kita harus makan, memanfaatkan berbagai fasilitas, memahami dan berhubungan dengan semua jenis benda. Akan tetapi, mungkin saja untuk hidup dengan benda-benda ini tanpa merangkul dan melekat padanya. Kita harus bertindak dengan cerdas, senantiasa waspada akan ketiga ciri ini. Ketika anak cucu kita mempunyai kebijaksanaan ini, ketika mereka telah memahami bahwa tidak ada yang layak dirangkul dan dilekati, barulah kita bisa melepaskan mereka untuk mengurus diri mereka sendiri. Dengan demikian, mereka telah bisa berfikir, berbicara, dan bertindak dengan benar dengan sendirinya, dengan cara yang bebas dari kondisi yang menyedihkan. Terserah kepada kita untuk mau mengajar dan melatih anak-anak kita dengan hal merangkul dan tidak merangkul ini sedemikian sehingga mereka bisa terbebaskan dari tekanan dan gejolak yang berlebih-lebihan. Mereka harus mengembangkan tingkat kecerdasan yang cukup untuk mempertahankan diri mereka tetap berada di atas benda-benda yang jika tidak akan menjadikan mereka tertawa atau menangis. Mereka harus berkembang dalam kebijaksanaan ini sebagaimana mereka berkembang secara fisik. Beginilah cara menjadi orang tua yang baik mewariskan kepada anaknya tugas untuk menapaki Jalan secara benar dan cepat. Demikianlah seharusnya, sehubungan dengan prinsip bahwa manusia dilahirkan untuk menapaki Jalan sehingga tujuan itu suatu hari bisa tercapai.

Sekarang marilah kita tinjau Thailand, dan ratusan negara janggal di dunia, dan melihat hal-hal seperti apakah yang diajarkan orang tua kepada anak-anaknya. Hal seperti apakah yang dilakukan orang-orang? Apakah yang merupakan nafsu keinginan mereka, yang tindakannya mengakibatkan dihasilkannya sedemikian banyaknya penderitaan dan kesedihan disetiap bagian dunia pada masa sekarang ini?

Kita akan menemukan bahwa orang-orang, jauh dari Jalan yang benar, mengikuti Setan, Hantu, Mara, atau apapun namanya, yang merupakan sumber semua penderitaan. Ini semua tidaklah sesuai dengan tujuan kelahiran sebagai seorang manusia, menjadikan seseorang sebagai manusia yang telah bertemu dengan ajaran Sang Buddha. Bahkan umat awam mana pun tidaklah seharusnya bertindak sedemikian, karena istilah “manusia” (bahasa Sansekerta: manusya) berarti sesuatu yang agak khusus. Ini menunjukkan makhluk yang berpikiran tinggi, turunan dari Manu si bijak, sesuatu yang lebih tinggi daripada tingkat rata-rata. Untuk layak disebut sebagai manusia, seseorang harus mengikuti Jalan Sejati. Begitu seseorang menyimpang dari Jalan, ia tidak lagi menjadi manusia dalam makna yang sebenarnya. Jika seseorang berpikir tidak sejalan dengan Jebenaran Dharma bahkan untuk sekejap saja, maka pada saat itu pulalah ia tidak lagi menjadi seseorang manusia Sejati dan sebaliknya berjalan pada jalur Mara atau jalur para hewan. Pemeriksaan kita harus dilakukan sedemikian telitinya sehingga kita mengikuti Jalan setiap saat, dalam setiap nafasyang kita tarik, setiap menit dan setiap detik. Kita harus menapaki Jalan setiap saat. Begitu kita lengah, kitaakan menyimpang.

Jadi janganlah kita terjatuh dalam pola pemikiran yang membawa kepada kelalaian atau kesombongan diri, atau gagasan bahwa perjalanan ini gampang. Juga bahaya jika kita santai dan mengikuti jalan yang menurun, oleng terbawa oleh arus. Ini adalah salah satu dari bahaya besar. Sang Buddha mengajarkan kita untuk tetap waspada menapaki Jalan pada setiap “momen pemikiran”. Begitu kita lalai untuk sekejap, pikiran akan berada diluar jalur lagi. Kadang-kadang pikiran sedemikian jauh menyimpang sehingga untuk kembali ke Jalan akan sulit sekali dan membutuhkan waktu yang lama sekali. Andaikan seseorang jatuh ke dalam salah satu dari “kondisi yang menyedihkan” seperti alam neraka. Ini berarti ia telah melakukan kesalahan, lengah, dan membiarkan pikiran jatuh ke tingkat rendah yang dikenal sebagai neraka, sehingga akan sukar untuk kembali lagi dengan segera. Penyimpangan dari Jalan ini bagaikan masuk ke dalam perangkap, jatuh ke selokan atau lubang. Ini disebabkan oleh kelalaian tidak bertahan pada Jalan, tidak waspada akan ketiga cirri tersebut: tidak kekal, penuh penderitaan, dan bukan inti. Dan tidak ada teman seperjalanan yang akan membantu kita bertahan pada jalan yang lurus dan sempit. Tidak ada yang mengawasi kita dan menjamin bahwa kita tidak berkelana menyimpang dari Jalan. Kita masing- masing hanyalah orang buta yang dituntun oleh orang buta juga. Kebanyakan diantara kita hanya meraba-raba. Ini disebabkan kebanyakan orang selalu lalai dan menyimpang dari Jalan sehingga seluruh dunia berada dalam kondisi yang menyedihkan dan putus harapan.

Sadarilah bahwa masalah Jalan dan usaha untuk mengikutinya bukanlah masalah yang ringan, bukan lelucon, Sebaliknya, ini adalah masalah yang paling penting bagi kita semua. Ini adalah tigas bagi umat manusia. Ini adalah tugas yang harus diselesaikan dengan kecerdasan dan kemampuan yang bisa dimiliki semua orang. Jangan lengah untuk sekejap, bahkan untuk sepersekian detik! Setiap saat seseorang bisa menyimpang dari Jalan. Jika pikiran tidak waspada setiap saat, ada bahaya bahwa pikiran akan menyimpang dan bahkan jatuh ke dalam neraka. Ini menghimbau kita untuk merenungkan bahaya kelengahan seperti ini, dan bersikeras untuk mempertahankan kebijaksanaan yang jernih dan tidak terhalangi akan sifat tidak kekal, tidak memuaskan, dan bukan inti dari segala sesuatu. Setiap tindaka, ucapan, dan pemikirannya akan menjadi sejalan dengan kebijaksanaan tersebut. Ia tidak akan bisa lalai dan mengakibatkan timbulnya penderitaan lagi.

Ini, dengan demikian, secara ringkas adalah cara untuk menapaki Jalan. Ini hanyalah ringkasan sekilas, hanya intisarinya. Topik ini bisa digeluti dengan lebih rinci lagi untuk mencakup berbagai bentuk latihan yang berbeda-beda yang bisa menjadi pilihan setiap orang untuk mendapatkan jenis yang paling sesuai dengan pembawaan dirinya. Seseorang bisa melihatnya sebagai Jalan Mulia Beruas Delapan, atau Empat Latihan Perhatian Penuh, atau Sepuluh Tindakan yang Bermanfaat, atau yang lain, sebagaimana pilihannya. Kita bisa memilih untuk menganggapnya sebagai Sepuluh Kebajikan, yang dimiliki oleh seorang Buddha. Kebajikan tersebut sekali adalah Jalan yang harus diikuti dari status seorang manusia menuju Kebuddhaan. Jika kita menganggap bahwa sepuluh Kebajikan terlalu banyak bagi kita untuk dipenuhi, tidak apa-apa; dan jika kita merasa bahwa kita bisa melakukannya semua tetapi tidak hingga tingkatan yang mungkin bagi seorang Buddha, tidak apa-apa juga. Kebajikan ini hanyalah merupakan suatu bentuk latihan yang dituntun oleh kebijaksanaan akan sifat yang sepenuhnya tidak memuaskan dari kondisi dunia ini, lingkaran samsara ini, penggabungan ini. Tugas kita ialah menyeberangi diri dari semua ini menuju pantai seberang, Nirwana, dengan menggunakan jenis tindakan yang memahami segala benda sebagaimana adanya, sebagai yang tidak kekal, penuh penderitaan, dan bukan inti. Jadi kita berlatih sedemikian sehingga untuk menghapuskan semua kemelekatan dan keterikatan pada benda-benda yang tidak kekal, penuh penderitaan, dan bukan inti itu. Kita berlatih untuk berderma, berniat baik, jujur toleransi, dan semua kebajikanyang kita sadari akan menguasai jenis pemikiran rendah, yang buta dari ketiga ciri tersebut.

Sebagai rangkuman, usaha untuk menapaki Jalan harus dimulai, dikembangkan dan berakhir pada kebijaksanaan yang sepenuhnya jernih akan ketiga ciri tersebut. Inilah gunanya semua ajaran itu. Saya berharap anda akan mengikuti Jalan yang diajarkan oleh Sang Buddha ini dan memetik manfaat darinya.

Sumber :
MENGAPA KITA DILAHIRKAN ?
Judul asli : Why Were We Born ? Another kind of Birth
Penulis : Bhikkhu Buddhadasa
Penerjemah : Bhadravajra Heng Tuan
Editing : Suryananda
Penerbit : Yayasan Penerbit Karaniya
Kotak Pos 1409 Bandung 40001

JENIS KELAHIRAN YANG LAIN

Kelahiran adalah penderitaan abadi.
Kebahagiaan sejati terdapat dalam penghapusan gagasan ‘aku‘. Masalah umat manusia berakar pada masalah penderitaan, baik yang ditimbulkan oleh orang lain maupun diri sendiri.

Bahasa sehari-hari Bahasa Dharma : Dalam bahasa sehari – hari istilah kelahiran hanyalah menunjukkan kelahiran fisik dari tubuh seorang ibu; di dalam bahasa Dharma kelahiran menunjukkan suatu kejadian batiniah yang timbul dari ketidak tahuan, kemelekatan, dan keterikatan.

Bilamana muncul gagasan “aku“ yang menyimpang, “aku“ dilahirkan; orangtuanya ialah ketidaktahuan dan kemelekatan.

Jenis kelahiran yang mengakibatkan masalah bagi kita ialah kelahiran batiniah.

Setiap orang yang gagal mencerna masalah ini tidak akan berhasil dalam memahami apa pun di dalam ajaran agama Buddha.

Topik yang kita bahas di sini adalah yang saya kira setiap orang seharusnya telah kenali sebagai beban, yaitu dua pernyataan dari Sang Buddha berikut ini :

“Kelahiran adalah penderitaan abadi.“ (Dukkha jati punappunam)
“Kebahagian sejati terdapat dalam penghapusan gagasan ‘aku’.“ (Asmimanassa vinayo etam veparamam sukham)

Masalah umat manusia berakar pada masalah penderitaan, baik yang ditimbulkan oleh orang lain maupun diri sendiri melalui kekotoran batin (kilesa), Inilah masalah utama bagi setiap umat manusia, karena tidak ada orang yang menghendaki penderitaan. Di dalam pernyataan di atas, Sang Buddha menyamakan penderitaan dengan kelahiran: “kelahiran adalah penderitaan abadi”; dan beliau menyetarakan kebahagiaan dengan pelepasan sepenuhnya gagasan “aku”, “milikku”, “aku adalah”, “ aku ada” yang salah.

Pernyataan bahwa kelahiran merupakan penyebab dari penderitaan adalh pernyataan yang kompleks, mempunyai berbagai tingkatan makna. Kesulitan utama terletak pada penafsiran kata “ kelahiran”. Kebanyakan di antara kita tidak memahami maksud dari kata “kelahiran“ dan cenderung menerimanya dalam arti kata sehari-hari sebagai kelahiran fisik dari tubuh seorang ibu. Sang Buddha mengajarkan bahwa kelahiran adalah penderitaan abadi. Apakah mungkin bahwa dalam konteks ini Beliau mengartikannya sebagai kelahiran fisik? Pikirkanlah hal ini. Jika yang Beliau maksudkan ialah kelahiran fisik, pastilah Beliau tidak akan melanjutkan mengatakan bahwa, “Kebahagiaan sejati terdapat dalam penghapusan gagasan ‘aku’,”karena pernyataan ini dengan jelas menunjukkan bahwa yang mengakibatkan penderitaan ialah gagasan “aku” yang salah. Bilamana gagasan “aku“ telah dengan sepenuhnya dibasmi, itulah kebahagiaan sejati. Jadi penderitaan sebenarnya terdapat dalam gagasan salah “aku“, “aku adalah”’ “aku mempunyai”. Sang Buddha mengatakan, “kelahiran adalah penderitaan abadi.” Apakah yang dimaksudkan disini oleh kata “kelahiran“? Jelaslah “kelahiran” tidaklah lain menunjukkan bangkitnya gagasan “aku “ (asmimana).

Kata “kelahiran” menunjukkan bangkitnya gagasan salah “aku”, “diriku”. Kata ini tidaklah mengacu pada kelahiran fisik, sebagaimana yang dianggap oleh umum. Dugaan keliru bahwa kata “kelahiran” berarti kelahiran fisik adalah halangan utama dalam memahami ajaran Sang Buddha.

Perlu dicamkan di dalam pikiran bahwa secara umum sebuah kata bisa mempunyai berbagai makna sesuai dengan konteks pemakaiannya. Ada dua kasus utama yang perlu diketahui: (1) bahasa yang menunjukkan hal-hal fisik, yang digunakan oleh orang-orang secara umum; dan (2) bahasa yang menunjukkan hal-hal batiniah, bahasa kejiwaan, bahasa Dharma, yang digunakan oleh orang-orang yang mengetahui Dharma ( Kebenaran yang lebih tinggi, ajaran Sang Buddha). Jenis yang pertama mungkin disebut dengan “ bahasa sehari-hari”, bahasa yang dipergunakan oleh orang-orang secara umum; jenis yang kedua disebut dengan “ bahasa Dharma “, bahasa yang digunakan oleh seseorang yang mengetahui Dharma.

Orang awam berbicara dengan cara sebagaimana ia telah belajar berbicara, dan ketika mengunakan kata “kelahiran” ia maksudkan kelahiran fisik, kelahiran dari tubuh seorang ibu; akan tetapi, dalam bahasa Dharma, bahasa yang dipergunakan oleh seseorang yang mengenal Dharma, “kelahiran” menunjukkan munculnya gagasan “aku”. Jika pada saat tertentu muncul di dalam pikiran gagasan salah tentang “ aku “, maka pada saat itulah “aku” dilahirkan. Ketika gagasan salah ini berakhir, tidak ada lagi ‘aku’, ‘aku’ telah untuk sementara lenyap. Jika gagasan ‘aku’ muncul kembali dalam pikiran, “aku’ dilahirkan lagi. Inilah maksid kata ‘ kelahiran di dalam bahasa Dharma. Tidak menunjukkan kelahiran fisik dari tubuh seorang ibu yang terdiri atas daging dan darah, melainkan kelahiran batiniah dari “ibu” batiniah, yaitu kemelekatan, ketidaktahuan, keterikatan (tanha, avijja, upadana). Seseorang bisa menganggap kemelekatan sebagai ibunda dan ketidaktahuan sebagai ayahanda; dalam kasus yang mana pun, kelahiran “aku” adalah akibatnya, bangkitnya gagasan “ aku” secara salah. Ayah dan ibu dari Ilusi “ aku “ ialah ketidaktahuan dan kemelekatan atau keterikatan. Ketidaktahuan, ilusi, kesalahpahaman, melahirkan gagasan “aku”, “ saya”. Dan jenis kelahiran inilah yang merupakan penderitaan abadi. Kelahiran fisik tidak menjadi masalah; setelah dilahirkan dari seorang ibu, seseorang tidak lagi mempunyai hubungan dengan kelahiran itu. Kelahiran dari seorang ibu hanya memakan waktu beberapa menit; dan tidak ada orang yang mengalami lebih dari satu kali kelahiran dalam hidupnya.

Sekarang kita dengan tentang kelahiran kembali, kelahiran yang berulang-ulang, dan penderitaan yang tidak terelakkan sejalan dengannya. Apakah maksud kelahiran kembali ini? Apakah yang dilahirkan kembali? Kelahiran yang dimaksudkan ialah kejadian batiniah, sesuatu yang berlangsung di dalam pikiran, sisi non fisik dari penampilan kita. Inilah “kelahiran di dalam bahasa Dharma. “ Kelahiran” dalam bahasa sehari-hari ialah kelahiran dari seorang ibu; “kelahiran” di dalam bahasa Dharma adalah kelahiran dari ketidaktahuan, kemelekatan, keterikatan, bangkitnya gagasan salah tentang “aku“ dan “milikku“. Inilah kedua makna dari kata “kelahiran“.

Ini adalah masalah penting, yang harus dipahami. Setiap orang yang gagal menerimanya tidak akan berhasil dalam memahami apapun dalam ajaran Sang Buddha. Jadi, berilah perhatian khusus pada hal ini. Ada dua jenis bahasa, dua tingkatan makna ini: bahasa sehari-hari, mengacu pada hal fisik, dan bahasa Dharma, mengacu pada hal batiniah, dan digunakan oleh mereka yang memahaminya. Untuk menjelaskan hal ini, berikut ini ada beberapa contoh.

Perhatikan kata “jalan“. Biasanya, ketika kita menggunakan kata “jalan”, maksud kita ialah sebuah jalur yang bisa dilalui oleh kendaraan, manusia, dan hewan. Akan tetapi, kata “jalan“ juga bisa menunjukkan Jalan Mulia Beruas Delapan, jenis latihan yang diajarkan oleh Sang Buddha – pemahaman benar, pemikiran benar, ucapan benar, tindakan benar, mata pencaharian benar, usaha benar, perhatian benar, meditasi benar – yang membawa kepada Nirwana. Di dalam bahasa sehari –hari “jalan” menunjukkan sebuah jalur fisik; di dalam bahasa Dharma, kata ini menunjukkan jalan beruas delapan yang dikenal sebagai Jalan Mulia. Inilah kedua makna kata “jalan “.

Sama halnya dengan kata “Nirwana” (Nibbana). Di dalam bahasa sehari-hari, kata ini menunjukkan sebuah obyek panas yang menjadi dingin. Misalnya, ketika arang membara menjadi dingin, dikatakan telah mengalami “nirwana”; ketika makanan hangat di piring atau mangkuk menjadi dingin, dikatakan mengalami “ nirwana”. Ini dalam bahasa sehari-hari. Di dalam bahasa Dharma, “Nirwana” menunjukkan jenis kedamaian yang dihasilkan dari dihapuskannya kekotoran batin. Setiap saat bila ada pembebasan dari kekotoran batin, pada waktu itu pulalah ada kedamaian, Nirwana sementara. Jadi “Nirwana” atau “kedamaian” mempunyai dua makna, bergantung pada bahasa yang digunakan pemakaiannya, bahasa sehari-hari atau bahasa Dharma.

Kata penting lainnya ialah “kekosongan“ (sunyata, sunnata). Di dalam bahasa sehari-hari, bahasa fisik, “kekosongan” berarti tidak adanya obyek apa pun; di dalam bahasa Dharma, kata ini berarti tiadanya gagasan “aku”, “milikku”. Ketika pikiran tidak merangkul atau melekat pada apa pun sebagai “aku” atau “milikku”, pikiran itu berada dalam kondisi “kekosongan”. Kata “kosong” mempunyai dua jenis makna ini, yang satu menunjukkan hal fisik, dan yang satu lagi menunjukkan hal batiniah, yang satu dalam bahasa sehari-hari, dan yang satu lagi dalam bahasa Dharma. Kekosongan fisik adalah tiadanya obyek apa pun, kevakuman. Kekosongan batiniah ialah kondisi dimana semua obyek dunia fisik muncul sebagaimana biasanya, tetapi tidak ada yang dirangkul atau dilekati sebagai “milikku”. Pikiran yang sedemikian dikatakan sebagai “kosong”. Ketika pikiran telah memahami benda-benda sebagai yang tidak layak dilekati, tidak layak ditiru, tidak layak dirangkul dan dilekati, pikiran itu akan kosong dari keinginan, tiruan, kemelekatan, keterikatan. Pikiran seperti ini merupakan pikiran yang kosong atau hampa, tetapi tidak dalam arti kosong dari isi. Semua obyek masih ada sebagaimana sebelumnya dan proses pemikiran berlangsung sebagaimana biasanya, tetapi tidak berada dalam proses dirangkul dan dilekati dengan gagasan “ aku “ dan “ milikku ‘. Pikiran menjadi kosong dari kemelekatan dan keterikatan dan dengan demikian disebut sebagai pikiran yang kosong atau hampa. Dinyatakan dalam kitab suci: “Sebuah pikiran dikatakan kosong bilamana kosong dari nafsu keinginan, kebencian, dan ilusi (raga, dosa, moha). “Dunia juga disebut sebagai kosong, karena kosong dari segala sesuatu yang bisa diidentifikasikan sebagai “ aku” atau “milikku”. Dalam konteks inilah, dunia disebut sebagai kosong. “Kosong” dalam bahasa Dharma tidaklah berati kekosongan fisik, kosong dari isi.

Anda bisa dipahami kekacauan dan kesalahapahaman yang mungkin timbul jika kata-kata ini ditangkap dalam makna sehari-hari. Selama kita tidak memahami bahasa Dharma, kita tidak akan bisa memahami Dharma; dan bagian yang paling penting dalam bahasa Dharma ialah memahami istilah “kelahiran”.

Jenis kelahiran yang menjadi masalah bagi kita ialah kelahiran batiniah, kelahiran atau munculnya gagasan “aku” yang salah. Sekali gagasan “aku” telah bangkit tidak pelak lagi akan muncul gagasan “aku” adalah ini dan itu “. Misalnya, “aku adalah seorang manusia”, “aku adalah makhluk hidup”, “aku adalah orang yang baik”, “aku bukanlah orang baik”, atau gagasan lain yang sejenis. Dan sekali gagasan “aku adalah ini dan itu” telah muncul, akan diikuti dengan gagasan tandingan: “aku lebih baik daripada si A”, “aku tidak sebaik si B”, “aku dan si C sama baiknya”. Semua gagasan ini sama jenisnya; semuanya merupakan bagian dari gagasan salah tentang “aku adalah”, “aku ada”. Hal-hal seperti inilah yang dimaksudkan dalam istilah “kelahiran”. Jadi dalam satu hari, kita bisa dilahirkan berkali-kali, lusinan kali. Bahkan dalam satu jam kita mungkin mengalami banyak sekali kelahiran. Bilamana muncul gagasan “aku” dan gagasan “aku adalah ini dan itu”, di sanalah ada kelahiran. Bilamana tidak ada gagasan seperti ini, tidak ada kelahiran, dan pembebasan dari kelahiran ialah kondisi kedamaian. Jadi inilah suatu prinsip yang harus dipahami: bilamana muncul gagasan “ aku “, “milikku”, pada waktu itulah lingkaran Samsara telah muncul di dalam pikiran, dan ada pula penderitaan, pembakaran, perputaran; dan bilamana ada pembebasan dari cacad seperti ini, akan ada Nirwana, jenis Nirwana yang disebut sebagai tadanga-nibbana atau vikkhambhana-nibbana.

Tadanga-nibbana disinggung-singgung dalam Anguttara-nikaya. Ini adalah kondisi yang muncul seketika bilamana kondisi eksternal ada, secara tidak sengaja, sedemikian sehingga tidak ada gagasan “aku” atau “milikku” yang muncul. Tadanga-nibbana adalah pelenyapan sementara dari gagasan “aku”, “milikku”, oleh karena kondisi luar yang mendukung. Pada tingkatan yang lebih tinggi dari ini, jika kita melibatkan diri dalam beberapa jenis latihan Dharma, terutama jika kita mengembangkan meditasi, sehingga gagasan “aku”, “milikku” tidak bisa muncul, sehingga lenyapnya “aku”, “milikku” disebut dengan vikkhambhana-nibbana. Dan akhirnya, bilamana kita berhasil dalam menghapuskan sepenuhnya semua kekotoran batin, itulah Nirwana penuh, Nirwana lengkap.

Sekarang kita harus membatasi topik bahasan kita pada kehidupan sehari-hari seorang umat awam. Perlu dipahami bahwa pada setiap saat ketika muncul gagasan “aku”, “milikku”, pada waktu itu pulalah ada kelahiran, penderitaan, lingkaran Samsara. “Aku” dilahirkan, bertahan untuk semntara waktu, dan kembali lenyap, dilahirkan kembali, bertahan untuk sementara waktu, dan lenyap lagi-yang merupakanalasan proses itu disebut sebagai lingkaran Samsara. Ini adalah penderitaan karena kelahiran “aku” . Jika pada suatu saat kondisinya memungkinkan, sehingga gagasan “aku” tidak muncul, akan ada kedamaian-yang disebut dengan tadanga-nibbana, Nirwana sementara, rasa awal dari Nirwana, sebuah contoh Nirwana, kedamaian, ketenangan.

Makna berikut dari ”Nirwana” menjadi semakin jelas ketika kita meninjau bagamana kata ini digunakan dalam Angunttara Nikaya. Di dalam kitab ini, kita menemukan bahwa obyek panas yang telah menjadi dingin disebut mengalami nirwana. Hewan yang telah dijinakkan, dijadikan patuh dan tidak membahayakan, juga dikatakan mengalami nirwana. Bagaimana manusia bisa menjadi “damai”? Pertanyaan ini dikomplikasi dengan kenyataan bahwa pengetahuan dan pemahaman manusia sekarang tentang kehidupan ini tidak diperoleh secara seketika melainkan telah mengalami evolusi bertahap selama rentang waktu yang panjang.

Pada masa sebelum Sang Buddha orang-orang mengira bahwa Nirwana adalah kegembiraan Inderawi, karena seseorang yang mendapatkan persis kenikmatan. Inderawi yang ia dambakan akan mengalamijenis kedamaian tertentu. Mandi dihari yang panas akan memberikan rasa sejuk (damai) tertentu; dan tinggal di tempat yang tenang akan mendatangkan kedamaian tertentu pula, Jadi pada tahap permulaan, orang-orang tertarik pada jenis Nirwana yang mencakup berlimpahnya kesenangan inderawi. Kemudian, orang bijak mengajarkan bahwa kenikmatan inderawi terutama adalah ilusi (maya), sehingga mencari kedamaian dalam keheningan batin melalui meditasi (jhana). Jhana ialah kondisi kedamaian batin sejatidan inilah jenis Nirwana yang menarik perhatian banyak orang pada masa-masa menjelang Pencerahan Sang Buddha. Para guru mengajarkan bahwa Nirwana sama dengan kondisi meditasi batin yang paling halus. Guru terakhir Sang Buddha, Udakatapasa Ramaputra, mengajarkan Beliau bahwa mencapai “jhana persepsi maupun bukan persepsi” (N’eva sanna n’asnnayatana) berarti mencapai pelenyapan sepenuhnya penderitaan. Akan tetapi Sang Buddha tidak menerima ajaran ini; Beliau tidak menganggap ini sebagai Nirwana sejati. Beliau pergi dan menggeluti masalah ini sendiri hingga akhirnya menyadari Nirwana yang merupakan pelenyapan sepenuhnya setiap jenis kemelekatan dan keterikatan. Sebagaimana Beliau selanjutnya mengajarkan, “Kebahagiaan sejati terkandung dalam pencabutan gagasan ‘aku’. Ketika kekotoran batin telah dihapuskan semuanya, itulah Nirwana. Jika kekotoran batin hanya absen untuk sementara, yang ada hanyalah Nirwana sementara. Demikianlah ajaran tentang tadanga-nibbana dan vikkhambhana-nibbana telah dibahas. Istilah ini menunjukkan suatu kondisi yang bebas dari kekotoran batin.

Sekarang jika kita periksa diri kita sendiri kita akan menemukan bahwa kita tidak didominasi oleh kekotoran batin setiap saat. Ada kalanya kita bebas dari kekotoran batin; jika tidak demikian halnya, kita segera akan menjadi gila karena kekotoran batin itu dan kemudian mati, dan tidak akan banyak orang yang tertinggal di dunia ini. Bersyukurlah pada periode pendek pembebasan dari ketegangan yang mengakibatkan kekotoran batin sehingga kita semua tidak menderita penyakit jiwa dan menjadi gila atau mati. Marilah kita memuji Alam oleh karena ini dan berterima kasih kepadanya karena kita dijadikan sedemikian sehingga kita mengalami periode yang cukup untuk berada jauh dari kekotoran batin setiap hari. Ada waktunya kita tidur, dan ada waktunya pikiran kita jernih, damai, dan tenang. Seseorang yang berhasil melakukan sebagaimana proses Alam berlangsung akan bebas dari penyakit saraf dan jiwa; ia yang tidak mampu akan mengalami penyakit saraf hingga akhirnya ia menjadi sakit atau bahkan meninggal dunia. Marilah kita berterima kasih kepada Nirwana sementara, jenis Nirwana peralihan yang muncul ketika kondisinya memungkinkan. Untuk momen yang singkat ada pembebasan dari kemelekatan, tipuan, dan gagasan salah, terutama, pembebasan dari gagasan “aku” dan “milikku”. Pikiran menjadi kosong, bebas, cukup lama untuk beristirahat atau terlelap, dan dengan demikian menjadi sehat.

Pada masa yang silam, kondisi seperti ini lebih umum daripada sekarang ini. Manusia modern, dengan pengetahuan dan perilakunya yang senantiasa berubah-ubah, akan lebih dekat dengan gangguan kekotoran batin daripada manusia di masa lampau. Sebagai akibatnya, manusia modern lebih rentan terhadap penyakit jiwa dan saraf – yang tidak sehat. Semakin banyak ilmu pengetahuan ilmiah yang ia miliki, semakin rentanlah ia terhadap penyakit! Jumlah pasien rumah sakit jiwa semakin meningkat sehingga tidak mampu ditampung oleh rumah sakit itu sendiri. Ada sebuah alas an sederhana atas kondisi ini: orang-orang tidak tahu bagaimana cara untuk beristirahat batin. Mereka terlalu ambisius ketika masih kecil. Mereka mengalami keluhan kejiwaan sejak masa kanak-kanaknya dan pada waktu mereka lulus dari sekolah, mereka telah menjadi orang yang terganggu jiwanya. Ini bersumber dari tidak perdulinya kita terhadap ajaran Sang Buddha bahwa kelahiran gagasan “aku” dan “milikku” ialah puncak penderitaan.

Sekarang marilah kita lanjutkan dengan masalah “kelahiran”. Tidak peduli jenis kehidupan apakah seseorang dilahirkan, tidaklah lain dari penderitaan, karena kata “kelahiran” di sini menunjukkan keterikatan yang tidak diikuti oleh kewaspadaan. Ini adalah hal penting yang harus kita pahami benar-benar: jika di dalam pikiran seseorang muncul gagasan “aku adalah ini dan itu” dan ia sadar bahwa gagasan itu telah muncul, permunculan itu bukanlah sebuah kelahiran ( sebagaimana dimaksudkan dalam bahasa Dharma). Jika di sisi lain, ia secara membuta mengidentifikasi dengan gagasan itu, ini adalah kelahiran. Jadi Sdang Buddha menhimbau agar kita waspada penuh. Jika kita tahu siapa diri kita, apa yang harus kita lakukan, dan melakukannya dengan penuh kewaspadaan, tidak akan ada penderitaan, karena tidak ada kelahiran “aku” atau “milikku”. Bilamana ilusi, kelalaian, dan keteledoran muncul, akan muncul pula nafsu keinginan dan keterikatan pada gagasan salah “aku”, “milikku”, “aku adalah ini dan itu”,…,dan inilah kelahiran.

Kelahiran adalah penderitaan: dan jenis penderitaan bergantung pada jenis kelahiran; kelahiran sebagai seorang ibu akan mendatangkan penderitaan seorang ibu, kelahiran sebagai seorang ayah akan mendatangkan penderitaan seorang ayah. Jika, misalnya, muncul di dalam diri seseorang gagasan khayalan sebagai seorang ibu dan akibatnya menginginkan ini, itu, dan hal yang lain – itulah penderitaan sebagai seorang ibu. Sama halnya dengan seorang ayah. Jika ia mengidentifikasi dengan gagasan sebagai seorang ayah, menginginkan ini dan itu, merangkul dan melekat – itulah penderitaan seorang ayah. Akan tetapi, jika seseorang mempunyai kewaspadaan, tidak akan ada kekacauan dan gangguan sepeerti ini; ia akan mengetahui dengan sejelas-jelasnya apa yang harus ia lakukan sebagai seorang ayah atau seorang ibu dan menjalankannya dengan pikiran yang mantap, tidak melekat pada gagasan “aku adalah ini”, “aku adalah itu”. Dengan demikian, ia terbebas dari penderitaan; dan dalam kondisi ini ia berada dalam kondisi yang sesuai untuk memelihara anak-anaknya dengan baik dan mendapatkan manfaat yang terbaik. Kelahiran sebagai seorang ibu mendatangkan penderitaan sebagai seorang ibu; kelahiran sebagai seorang ayah membawa penderitaan seorang ayah; kelahiran sebagai seorang milyuner memberikan penderitaan seorang milyuner; kelahiran sebagai seorang pengemis mendatangkan penderitaan seorang pengemis. Yang dimaksudkan disini bisa diilustrasikan dengan perbandingan berikut ini.

Pertama-tama lihatlah seorang milyuner, dengan terselubung oleh ilusi, nafsu keinginan, keterikatan, kemelekatan pada gagasan “aku adalah seorang milyuner”, Gagasan ini pada dasarnya adalah penderitaan; dan apa pun yang dikatakan atau dilakukan oleh orang tersebut dikatakan dan dilakukannyadibawah pengarus kekotoran batin tersebut dan dengan demikian menjadi penderitaan lanjutan. Bahkan setelah ia berbaring di tempat tidurnya, ia menggeluti gagasan sebagai seorang milyuner dan demikian tidak bisa tidur. Jadi kelahiran sebagai seorang milyuner mendatangkan penderitaan seorang milyuner. Kemudian, lihatlah seorang pengemis, yang memusingkan kemalangan nasibnya, kemiskinannya, penderitaan dan kesukarannya – inilah penderitaan seorang pengemis. Sekarang jika setiap saat kedua orang ini ingin bebas dari gagasan ini semua, pada saat itulah ia akan bebas penderitaannya; si milyuner akan bebas dari penderitaan sebagai seorang milyuner, si pengemis akan bebas dari penderitaan seorang pengemis. Oleh sebab itulah, kita kadang-kadang melihat seorang pengemis yang bernyanyi gembira, karena pada waktu itu ia tidak dilahirkan sebagai seorang pengemis, tidak mengidentifikasikan dirinya sebagai seorang pengemis atau berada dalam bentuk kesulitan tertentu. Setiap saat ia melupakannya, ia tidak lagi dilahirkan sebagai seorang pengemis melainkan terlahir sebagai seorang penyanyi, seorang musisi. Andaikata seorang pendayung perahu yang miskin. Jika ia melekat pada gagasan bahwa ia hidup miskin, dan mendayung perahunya dengan perasaan prihatin dan sedih, ia akan menderita, eakan-akan ia terjatuh ke dalam neraka. Akan tetapi ia tidak mendlami gagasannya, merenungkan bahwa ia melakukan apa yang seharusnya ia kerjakan, bahwa kerja adalah halyang biasanya bagi manusia, dan melakukan pekerjaannya dengan waspada serta kemantapan pikiran, ia akan bernyanyi ketika mendayung perahunya.

Jadi perhatikanlah dengan seksama, hati-hati, dan jelas-jelas pertanyaan ini: apakah yang dimaksudkan sebagai kelahiran ? Jika setiap saat seorang milyuner “lahir” sebagai seorang milyuner, dalam momen itu ia mengalami penderitaan sebagai seorang milyuner; jika seorang pengemis dilahirkan sebagai seorang pengemis, ia mengalami penderitaan sebagai seorang pengemis. Jika bagaimana pun, seseorang tidak mengidentifikasi dengan cara demikian, ia tidak “dilahirkan”, dan dengan demikian bebas dari penderitaan – baik seorang milyuner, pengemis, pendayung perahu, atau apa pun. Pada masa sekarang ini, kita tidak menaruh perhatian pada masalah ini. Kita memberikan diri kita didominasi oleh khayalan, kemelekatan, keterikatan. Kita mengalami kelahiran sebagai ini, itu, atau yang lain, yang tidak tahu berapa banyak kali dalam sehari. Setiap jenis kelahiran tanpa pengecualian adalah penderitaan, sebagaimana dikatakan oleh Sang Buddha. Satu-satunya cara untuk bebas dari penderitaan ini ialah memebebaskan diri dari kelahiran. Oleh sebab itu, seseorang harus menaruh perhatian, senantiasa mempertahankan pikiran dalam kondisi kewaspadaan dan kebijaksanaan, tidak diganggu dan dibingungkan oleh “aku” dan “milikku”. Seseorang dengan demikian akan bebas dari penderitaan. Apakah seseorang adalah seorang petani, seorang pedagang, seorang tentara, seorang pegawai negeri, taua apa pun, bahkan seorang dewa dari surga, ia akan terbebas dari penderitaan.

Segera setelah muncul gagasan “aku”, akan ada penderitaan. Camkan prinsip penting ini di dalam pikiran dan anda akan bisa memahami inti sari ajaran agama Buddha, dan menarik manfaat dari agama Buddha, memetik manfaat yang besar dari kehidupan sebagai seorang manusia dan bertemu dengan agama Buddha. Jika anda tidak mencapainya, maka walaupun anda adalah seorang umat Buddha anda tidak akan mendapatkan manfaat darinya: anda hanya akan menjadi seorang umat Buddha KTP saja, hanya tercatat sebagai umat Buddha; anda akan terpojok dan meratap bagaikan semua orang lain yang bukan umat Buddha sejati; anda akan terus-menerus mengalami penderitaan sebagaimana umat non-Buddha. Untuk menjadi umat Buddha sejati, anda harus mempraktikkan ajaran sejati dari Sang Buddha, terutama himbauan: jangan mengidentifikasikan diri anda sebagai “aku” atau “milikku”, bertindaklah dengan penuh waspada dan tidak akan ada penderitaan. Dengan demikian anda akan bisa menjalankan tugas anda dengan baik, dan tugas itu akan menyenangkan. Bilamana pikiran anda terlibat dalam “aku” dan “milikku”, semua pekerjaan akan merupakan penderitaan; ia tidak akan senang dalammenjalankantugasnya; tugas ringan akan menjadi tugas berat, membebankan dari segala seginya. Akan tetapi, jika pikiran anda tidak merangkul dan melekat pada gagasan “aku”, “mikikku”, jika anda waspada, semua tugas, bahkan yang berat atau pekerjaan yang kotor, akan terasa menyenangkan.

Inii adalah kebenaran yang mendalam, terselubung, yang perlu dipahami. Intinya terletak pada kata tunggal “kelahiran”. Kelahiran adalah penderitaan; sekali kita bisa membebaskan diri dari “kelahiran”, kita akan menjadi bebas dari penderitaan. Jika seseorang mengalami lusinan kelahiran dalam sehari, ia harus menderita lusinan kali dalam sehari pula; jika ia tidak mengalami penderitaan sama sekali, ia tidak akan menderita sama sekali. Jadi praktek langsung Dharma, inti dari ajaran Sang Buddha, mencakup penelusuran dekat terhadap pikiran, sehingga tidak membangkitkan kondisi yang disebut dengan lingkaran samsara, sehingga tetap berada dalam kondisi yang disebut dengan Nirwana. Seseorang harus bersikap was-was, mengawasi pikiran setiap saat sehingga kondisi kedamaian itu tetap ada, dan tidak memberikan kesempatan bagi munculnya samsara. Pikiran dengan demikian akan menjadi terbiasa dengan kondisi Nirwana siang dan malam serta kondisi itu mungkin akan kekal dan lengkap. Kita telah mempunyai Nirwana sementara, jenis Nirwana yang muncul ketika kondisinya memungkinkan, Nirwana yang merupakan contoh, rasa pembuka. Pertahankanlah ini dengan hati-hati. Jangan biarkan adalah celah bagi samsara, bagi gagasan ‘aku”, “milikku”. Jangan biarkan gagasan “aku” lahir. Berwaspadalah, hati-hatilah, kembangkan kebijaksanaan penuh. Apapun yang akan dilakukan, hari demi hari, jam demi jam, menit demi menit, lakukanlah itu dengan kewaspadaan. Jangan terlibat dalam “aku” dan “milikku”. Maka samsara tidak akan bisa muncul; pikiran akan tetap dalam Nirwana hingga menjadi terbiasa dan tidak bisa lenyap – dan itulah Nirwana penuh atau sempurna.

Sejak masa kecil kita telah hidup dengan cara yang mendukung lahirnya “aku” dan “milikku”, dan menjadi terbiasa dengan lingkaran samsara. Kebiasaan ini sukar untuk menghancurkan. Ini telah menjadi bagian dari hidup kita dan oleh karenanya kadang-kadang disebut sebagai belenggu (samyojana) atau pembawa laten (anusaya), sesuatu yang menempel pada kepribadian kita. Istilah ini menunjukkan kebiasaan melahirkan “aku”, “milikku”. Menghasilkan makna “aku”, “milikku”. Dari satu bentuk, ini disebut dengan ketamakan (lobha); dari bentuk lain disebut dengan amarah (krodha); dalam bentuk lain disebut dengan ilusi (moha). Dalam bentuk apapun, itu semua adalah gagasan “aku”, “milikku”, egoisme. Bilamana “aku” itu ingin mendapatkan sesuatu, ada ketamakan; bilamana ia tidak berhasil mendapatkan sesuatu, akan ada amarah; bilamana ia ragu dan tidak tahu apa yang diinginkan, ada kebingungan, pergelutan harapan dan kemungkinan. Ketamakan, amarah, dan ilusi jenis apa pun merupakan bentuk dari gagasan “aku”, dan bilamana semua itu muncul di dalam pikiran, itulah samsara yang kekal, lenyapnya Nirwana. Seseorang yang berada dalam kondisi ini tidak hidup lama. Akan tetapi alam membantu. Seperti kita lihat dari awal, melalui rasa jenuh alami itu kadang-kadang berhenti dengan sendirinya, kita tidur atau bentuk istirahat yang lain, dan kondisi seseorang meningkat, menjadi bisa dimaklumi, dan kematian dicegah.

Berbagai makhluk yang mencapai pencerahan yang muncul di dunia ini telah menemukan bahwa mungkin untuk memperpanjang periode Nirwana ini, dan telah mengajarkan cara yang paling langsung menuju tujuan ini, yaitu Delapan Jalan Mulia. Inilah jalan latihan yang dimaksudkan untuk memperpanjang periode kedamaian, atau Nirwana, dan mengurangi periode penderitaan itu, atau samsara, dengan mencegah sejauh mungkin kelahiran “aku” dan “milikku”. Ini sedemikian sederhana sehingga sukar dipercaya – sebagaimana Sang Buddha katakana, “Jika para bhikkhu mempraktikkan kehidupan benar, dunia tidak akan kosong dari arahat (makhluk yang mencapai pencerahan).” (Sace me bhikkhu samma vihareyyum asunno loko arahantehi assa) Seseorang akan sukar mempercayainya. Akan tetapi jika ia membuktikan, ia harus mempercayainya.

Di dalam pernyataan sederhana, “Jika para bhikkhu mempraktikkan kehidupan benar, dunia tidak akan kosong dari arahat,” ungkapan “kehidupan benar” mempunyai makna yang penting dan mendalam. Kehidupan benar berarti hilangnya gagasan “aku”, “milikku”. Kita hidup hari demi hari, tetapi kita tidak hidup dengan benar, sehingga gagasan “aku” dan “mikikku” muncul. Gagasan ini timbul beberapa kali dalam sehari, sehingga tidak ada kesempatan bagi Nirwana penuh untuk muncul dan kita tidak menjadi seorang arahat. Kehidupan benar berarti hidup sesuai dengan Jalan Mulia Beruas Delapan: pemahaman benar, pemikiran benar, ucapan benar, tindakan benar, mata pencaharian benar, usaha benar, perhatian benar, dan meditasi benar. Jika kita mempunyaikedelapan kesempurnaan ini. Kita mempraktikkan kehidupan benar. Dan jika kita hidup benar secara demikian, kekotoran batin tidak akan bisa muncul, “aku” dan “milikku” tidak akan bisa lahir; keduanya akan terkuali lemas, bagaikan hewan yan tidak mendapatkan bahan makanan. Kehidupan benar mengurangi bahan makanan bagi “aku” dan “milikku”, dan dengan demikian menjauhkannya dari eksistensi. Ketika mereka ini kehilangan tenaga dan tiba hari ketika akhirnya mereka itu terkuras lenyap untuk selamanya, itulah yang disebut dengan pencapaian Buah Hasil dari Jalan, Nirwana penuh.

Hal yang penting ialah pemahaman benar dan tindakan benar yang terus-menerus, sehingga gagasan “aku” dan “milikku” tidak bisa muncul, sehingga tidak ada kelahiran. Ketika tidak ada lagi kelahiran, tidak akan ada penderitaan apa pun, dan itulah kebahagiaan sejati, sebagaimana disebut oleh Sang Buddha. Sekali seseorang telah membuktikan hal ini dan menyadari bahwa kelahiran senantiasa merupakan penderitaan, setiap saat, ia akan dengan penuh waspada menghindari kelahiran. Gampang untuk dipahami bahwa kelahiran yang dimaksudkan ialah sesuatu yang bersifat batiniah, sesuatu yang ada di dalam pikiran, tetapi sukar sekali untuk menaklukkan kelahiran ini. Di dalam satu hari atau bahkan dalam satu jam seseorang mungkin mengalami jenis kelahiran ini berkali-kali, lusinan kali. Berhati-hatilah terhadap masalah kelahiran ini; ini adalah masalah yang menghadapi kita disini dan sekarang. Jika kita bisa menguasai kelahiran ini di sini dan sekarang kita juga akan bisa menguasai kelahiran yang muncul setelah kematian fisik tubuh ini. Jadi, janganlah memusingkan diri kita dengan kelahiran yang mengikuti kematian fisik ini; sebagai gantinya marilah kita perhatikan dengan serius kelahiran yang berlangsung sebelum kematian fisik, jenis kelahiran yang berlangsung ketika kita masih hidup, yang berlangsung berkali-kali dalam sehari; marilah kita belajar untuk menguasainya dan masalahnya akan terpecahkan. Jika kelahiran bisa diatasi sekarang dan disini, dalam kelahiran ini, itulah akhir dari kelahiran untuk selama-lamanya dan setuntasnya.

Setiap orang mempermasalahkan pertanyaan yang sepele mengenai dalam bentuk kelahiran apakah ia akan dilahirkan kembali setelah meninggal dunia, memusingkan dalam delapan alam kehidupan manakah ia akan mengalami kelahiran kembali: sebagai makhluk neraka, binatang, preta (setan kelaparan), asura (setan ketakutan), manusia, dewa di alam inderawi (kamavacara), brahma bertubuh fisik, atau brahma tak bertubuh fisik. Masing-masing dari kemungkinan bentuk kelahiran kembali ini berada dalam salah satu dari kelompok sugati atau duggati, bergantung pada sifat dari perasaan yang bersangkutan. Kondisi yang didambakan atau memuaskan disebut dengan sugati; kondisi yang sebaliknya disebut dengan duggati. Akan tetapi, ini bukanlah doktrin yang diajarkan oleh Sang Buddha. Beliau mengajarkan: jika ada kelahiran, yang ada hanyalah penderitaan abadi; dan ini berlaku tidak peduli di alam kehidupan manakah seseorang terlahir, karena “kelahiran” menunjukkan kemelekatan dan keterikatan, seperti yang telah kita bahas. Tidak peduli sebagai apakah seseorang terlahir, itulah peduli sebagai apakah seseorang terlahir, itulah penderitaan. Jenis penderitaan itu mungkin bervariasi, sebagaimana kasus seorang milyuner dan pengemis, tetapi bagaimana kasus seorang milyuner dan pengemis, tetapi bagaimana pun ini adalah penderitaan, penderitaan yang seberat dengan yang dialami di alam duggati. Dan sementara kelahiran di alam duggati mendatangkan penderitaan alam duggati, kelahiran di alam sugati membawakan penderitaan alam sugati juga. Kelahiran harus dihentikan seketika. Jangan memusingkan tentang apa bentuk kehidupan anda pada kelahiran kembali nanti; jangan mengkhayalkan kelahiran kembali sebagaimana manusia, atau seorang dewa, atau seorang brahma. Akibatnya ialah penderitaan seorang manusia, seorang dewa, atau seorang brahma, karena bahkan brahma juga mengalami penderitaan, penderitaan para brahma. Jika para brahma bebas dari penderitaan, tidak perlu lagi ada agama Buddha. Agama Buddha lahir untuk menghasilkan ariya, orang yang telah mengakhiri segala jenis penderitaan, penderitaan manusia, dewa, atau brahma. Inilah sebabnya Sang Buddha diberi gelar “Guru para dewa dan manusia”: Beliau mengajarkan cara untuk mengakhiri penderitaan bagi semua makhluk.

Disini kewaspadaan dibutuhkan. Seseorang dalam kehidupan sekarang ini memiliki kemungkinan untuk dilahirkan kembali di dalam alam kehidupan apa pun di dalam lingkaran Samsara yang besar: ke dalam salah satu dari alam lebih rendah atau Duggati sebagai makhluk neraka, binatang, preta, atau asura; ke dalam alam menengah sebagai seorang manusia; atau ke dalam salah satu dari alam lebih tinggi sebagai dewa alam inderawi, brahma bertubuh fisik, atau (pada tingkatan tertinggi) sebagai brahma tak bertubuh. Jadi, ada delapan kemungkinan: empat kondisi yang menyedihkan atau alam tingkat rendah, alam manusia atau alam menengah, dan tiga surga atau alam tingkat tinggi. Masing-masing dari delapan bentuk kelahiran kembali ini adalah penderitaan dalam kasusnya sendiri. Jika seseorang mengidentifikasikan diri dengan alam kehidupannya, ia akan mengalami jenis penderitaan yang berhubungan dengan bentuk kelahirannya tersebut- dan kita semua telah, dalam kehidupan sehari-hari mengalami delapan bentuk kelahiran tersebut. Marilah kita berusaha untuk memahami apa maksudnya. Kita harus menggeluti pertama-tama kelahiran dalam kondisi yang menyedihkan, kelahiran sebagai makhluk neraka, binatang, preta (setan kelaparan), atau asura ( setan ketakutan).

Maksud sebenarnya dari “neraka” ialah kecemasan “(secara harafiah, artinya “bara batiniah”). Kecemasan membakar seseorang bagaikan api. Jika seseorang berada dalam kegelisahan, terbakar oleh kecemasan, ia disebut sebagai makhluk neraka. Baik seorang Bhikkhu, pemula, umat awam, umat perumah tangga, atau apa pun, jika ia terbakar nyala api kecemasan (“bara batiniah”), terbakar melalui keterlibatan di dalam “aku”, “milikku”, inilah neraka.

Jika pada suatu waktu, seseorang terselubung halusinasi diri, maka pada waktu tersebut ia adalah binatang bisu. Setiap waktu seseorang, laki-laki atau perempuan, bhikkhu atau umat awam, atau apa pun, jatuh dalam khayalan, ia disebut sebagai seorang binatang. Maksud dari kelahiran sebagai binatang ialah khayalan diri.

Setiap saat “aku” dan “milikku” tersebut mengalami rasa lapar dan haus batiniah, sebagaimana ketika seorang tukang judi atau orang yang membeli tiket lotre menderita rasa lapar akan uang, lapar untuk memenangkan hadiah, lapar batiniah, itulah kelahiran sebagai preta (setan kelaparan). Kelahiran sebagai preta adalah kelaparan batiniah yang luar biasa.

Jika ada rasa takut, malu-malu, itulah kelahiran sebagai asura (setan ketakutan). Kata “asura” berarti “tidak berani”; seorang asura ialah seseorang yang malu-malu, ketakutan.

Di dalam satu hari kita mungkin terlahir dalam keempat-empat kondisi tersebut. Berhati-hatilah! Perhatikanlah dalam bentuk apakah “aku” dan “milikku” muncul. Jika ia muncul dalam bentuk kecemasan, seseorang telah terlahir sebagai penghuni neraka; jika sebagai khayalan, seorang binatang; jika sebagai rasa lapar batiniah, seorang preta; dan jika muncul bentuk ketakutan, seseorang terlahir sebagai asura. Disini ada sebuah contoh untuk menggambarkannya.

Seorang penjudi yang melakukan kesalahan dan kehilangan harta bendanya mengalami rasa cemas, seakan-akan terbakar oleh api; ia telah jatuh ke dalam neraka ketika berada dalam rumah perjudian itu. Sekali lagi, ia sedemikian terhalusinasi sehingga berpikir bahwa berjudi akan memecahkan masalahnya, ia adalah binatang bisu – bahkan sebelum mulai berjudi. Ketika, pada saat berjudi, ia mempunyai rasa lapar batiniah yang tidak terkendalikan, ia adalah preta. Dan ketika ia ketakutan akan kekalahan dan kehilangan segala-galanya, ia adalah asura. Contoh sederhana ini, kasus seorang penjudi dalam rumah penjudian, menunjukkan bagaimana seseorang bisa terlahir sebapai makhluk neraka, binatang, preta, atau asura.

Kakek nenek kita tidaklah bodoh, jika tidak demikian; tidak akan ada pepatah : surga berada dalam hati; neraka ada dalam pikiran”. Sebenarnya anak cucu merekalah yang bodoh karena mereka ini berpikir bahwa seseorang masuk ke neraka atau surga hanya setelah kematian, setelah ditempatkan ke dalam peti mati. Buktikanlah kebenaran pepatah ini dan anda akan melihat betapa bodohnya kita. Jadi, marilah kita bersikap secerdas kakek nenek kita, setidak-tidaknya hingga tahap mengenali bahwa surga dan neraka ada di dalam pikiran.

Pikirkanlah contoh seorang penjudi, yang bisa menjadi seorang penghuni neraka, binatang, preta atau asura. Kecemasan bisa muncul dari perbuatan salah atau sebagai akibat dari karma. Kecemasan adalan neraka. Khayalan kadang-kadang bisa sedemikian buruk hingga sukar untuk mempercayainya. Pikirkanlah baik-baik; amatilah dan anda akan melihat bahwa kadang-kadang kita secara tidak kita sadari terhalusinasi. Khayalan seperti ini membawa kita pada sikap yang salah atau tindakan yang jelek. Mengenai kelaparan, rasa ini senantiasa muncul: nafsu keinginan akan kesenangan, nafsu keinginan akan ketenaran, dan seterusnya. Jika ini mencapai titik rasa lapar batiniah, seseorang akan menjadi preta. Mengapa harus menjadi lapar? Kita mempunyai tingkat kecerdasan yang cukup untuk mengetahui apa yang harus kita lakukan, jadi, marilah kita menghadapinya dengan sikap yang matang, tanpa rasa lapar preta. Bahkan jika kita membeli tiket lotere, kita tidak perlu melakukannya dengan rasa lapar preta. Kita bisa membeli tiket tersebut hanya sebagai kegiatan iseng-iseng, atau kita bisa berpikir bahwa dengan begitu kita telah membantu menyumbangkan dana untuk membangun negara. Kita tidak perlu membeli tiket lotere itu dengan rasa lapar, sebagai preta. Jika ada kewaspadaan, “aku” dan “milikku” tidak akan muncul dan seseorang tidak lapar, bukan preta. Akan tetapi, jika kewaspadaan itu kurang, seseorang akan lapar, ia akan menjadi preta disini dan saat ini. Sama halnya dengan ketakutan. Ketakutan bisa menjadi kebiasaan. Pikirkanlah hal ini. Takut, sebagaimana beberapa orang mengalaminya, pada ulat, cicak, tokek, dan tikus adalah sikap yang berlebih-lebihan. Ini adalah rasa takut yang tidak beralasan. Lalu ada rasa takut pada setan, yang kehadirannya tidak bisa dilihat nyata. Dan kadang-kadang yang paling ditakuti seseorang ialah Dharma. Mereka takut bahwa dengan mempraktikkan Dharma, hidup mereka akan menjadi hambar dan gersang. Oleh sebab itu, mereka takut akan Dharma dan Nirwana. Orang seperti ini adalah sepenuhnya asura, disini dan saat ini juga.

Sekarang kita maju ke alam kehidupan manusia. Istilah “manusia” di dalam konteks ini menunjukkan kelelahan, kecapaian, keringat yang bercucuran, kerja keras, membanting tulang demi makanan dan kesenangan inderawi. Jika tidak ada hubungannya dengan kecemasan, khayalan, atau yang lainnya; yang berlangsung ialah curahan keringat seseorang untuk mendapatkan apa yang ia inginkan. Inilah yang dimaksudkan dalam istilah “manusia”. Janganlah membayangkannya sebagai jenis yang sama dengan istilah “makhluk neraka”, “binatang”, “preta”, dan “asura”, yang menunjukkan sesuatu yang tingkatannya rendah. “Neraka” berarti kecemasan, ”binatang” berarti khayalan. “Preta” berarti rasa lapar, “asura” berarti rasa takut. “Manusia” menunjukkan arti yang sepenuhnya berbeda. Istilah ini berarti perjuangan, usaha mempertahankan hidup, bekerja untuk mendapatkan benda-benda yang seseorang inginkan secara jujur dan wajar, membelinya dengan hasil cucuran keringat seseorang. Beginilah menjadi seorang manusia. Singkatnya, kata “manusia” berarti lelah, suatu kondisi kelelahan yang biasa.

Lebih tinggi daripada ini ialah dewa surga kamavacara (inderawi). Inilah para dewa yang kita dengar-dengar memiliki rumah mewah surgawi, malaikat penunggunya, dan seterusnya. Acuannya ialah kondisi yang bebas dari kelelahan, dan berlimpah ruahnya kesenangan inderawi. Yang lebih tinggi lagi ialah kondisi seseorang yang telah menjadi bosan dengankesenangan inderawi sebagai sesuatu yang meracuni, dan berkeinginan untuk hidup tanpa kontaminasi serta suci. Inilah surga para brahma bertubuh fisik (rupabrahma), yang didalamnya ada kontak dengan benda materi. Yang lebih tinggi dari ini ialah tingkatan dimana seseorang memahami tubuh sebagai yang tidak kekal, tidak layak untuk digeluti, dan merasa bahwa akan lebih baik jika tidak mempunyai tubuh sama sekali. Seseorang yang merasa demikian disebut sebagai seorang brahma yang tidak bertubuh fisik (arupabrahma).

Makna dari istilah-istilah ini tidaklah sama dengan pemakaian dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya neraka yang digambarkan dalam lukiran dinding di kelenteng, dengan periuk tembaga yang besar sekali, lautan asam, hujan tombak dan pedang, ini semua adalah metafora, suatu ilustrasi dalam istilah materi atas kondisi batiniah yang tidak bisa digambarkan. Itu adalah ilustrasi fisik dari kecemasan dan kekhawatiran (“bara batiniah”). Sama halnya kita mempunyai perlambangan fisik untuk khayalan, rasa lapar, dan rasa takut. Juga demikian halnya “alam manusia” merupakan kondisi yang melelahkan. Dan surga kamavacara ialah pemuasan inderawi yang setinggi-tingginya; ketika seseorang mempunyai dengan uang, kekuasaan, keberuntungan, atau apa pun, mencapai kepuasan kesenangan inderawi, dan lepas dari rasa lelah, ia adalah dewa di dalam inderawi, yang disebut dengan kamavacara. Dan seorang brahma yang tidak bertubuh fisik ialah seseorang yang telah bosan dengan ini semua, yang telah berhenti dari keterlibatan dalam kesenangan inderawi dan hanya bersukaria terhadap hal-hal yang suci, benda-benda yang tidak mengkontaminasi.

Marilah kita periksa kondisi pikiran kita masing-masing. Kadang-kadang kita tergila-gila akan kesenangan inderawi, tetapi ketika kita mengulanginya berulang-ulang kali, kila menjadi jenuh dengannya dan ingin menjauhkan diri darinya. Kadang-kadang, kita ingin bermain, atau menaruh minat pada benda lainnya, dan benda-benda tersebut gagal memberikan kepuasan, dan kita mulai berpikir akan hal-hal nonfisik seperti keberuntungan baik, nama, dan ketenaran. Marilah kita tinjau kasus yang sederhana. Ada orang yang tergila-gila akan kesenangan inderawi dan ada orang yang lebih suka menghibur diri mereka dengan hobi, misalnya berkebun atau memelihara ikan atau burung merpati, dan menggeluti hobinya itu. Pikiran akan bisa berubah. Sekarang bisa saja terjadi bahwa seseorang pada waktu tertentu memahami bahwa semua kegiatan itu adalah sumber kekacauan serta tidak bisa dibandingkan dengan hal-hal batiniah pemikiran dan impian akan keberuntungan baik, tentang kecantikan, atau tentang nama baik dan ketenaran yang mungkin didapatkan, yang bukan bersifat fisik. Kondisi seperti ini bervariasi sekali diantara mereka itu; sehingga membentuk sederetan tingkatan. Hal yang perlu dicatat ialah bahwa seseorang akan bisa mengalami salah satu dari antara delapan bentuk kelahiran ini. Periksalah diri anda sendiri dan lihatlah berapa banyak kondisi berbeda yang bisa dialami oleh pikiran. Pada suaru hari, seseorang mungkin tenggelam dalam kesenangan inderawi selama satu jam atau selama jangka waktu tertentu. Lalu ia mungkin merasa ingin melepaskannya dengan pergi berolah raga atau menghibur dirinya dengan beberapa kegiatan yang menjadi hobinya. Diwaktu lain, ia mungkin merasa ingin beristirahat total, bebas dari segala macam gangguan. Kadang-kadang, ia harus menjadi “manusia”, bekerja selama rentang waktu yang panjang, menjadi lelah. Dan kadang-kadang ia menghabiskan waktu beberapa menit di neraka (kecemasan); atau dalam kondisi binatang (khayalan), atau preta (kelaparan), atau asura (ketakutan). Jadi, seseorang bisa mengalami beberapa jenis kelahiran dalam satu hari; dan dalam seminggu ia bisa mengalami kedelapan jenis kelahiran tersebut. Ia mungkin terlahir dalam salah satu dari kondisi yang menyedihkan (neraka, binatang, preta, asura), di dalam alam manusia, atau di dalam surga dewa dan brahma. Akan tetapi, jenis kelahiran apa pun itu, tidaklah lain daripada penderitaan; pembebasan dari penderitaan hanya akan tercapai melalui pembebasan dari kelahiran. Pernyataan terakhir ini sukar untuk dipahami; tetapi sekali anda telah memahaminya, anda akan memahami keseluruhan ajaran agama Buddha.

Ungkapan “pembebasan dari kelahiran” tidaklah menunjukkan bahwa seseorang terlahir lagi setelah kematian fisik, bahwa setelah meninggal dunia dan ditempatkan di dalam peti mati, seseorang tidak lagi terlahir kembali. Mohon pikirkan hal ini: jika dalam perputaran roda kehidupan sehari-hari hanya ada kewaspadaan, mencegah munculnya “aku” dan “milikku”, gagasan “diri”, egoisme, itulah pembebasan dari kelahiran. Bilamana tidak ada yang tersisa kecuali kewaspadaan, seseorang akan bisa melakukan apayang harus dilakukan, dan melakukannya dengan benar. Dalam kondisi ini, melakukan tugas akan terasa menyenangkan; bisa menyelesaikan tugas tanpa adanya “aku” atau “milikku” adalah kegembiraan. Inilah inti ajaran agama Buddha. Intinya ialah menhimbau kita untuk hidup dengan pikiran yang bebas dari gagasan “aku”, “milikku”. Setiap agama mengajarkan hal ini; ini didasarkan pada hokum alam, yang bisa dibuktikan dengan mantap, secara ilmiah.

Agama Buddha mengajarkan bahwa jika pemikiran seseorang mencakup gagasan diri, egoisme, itulah penderitaan. Agama Kristen mengajarkan hal yang sama; agama ini mengajarkan kita untuk tidak berpikir dalam konteks “aku” atau “milikku”, tidak salah mengidentifikasi sebagai “aku” atau “milikku”. Akan tetapi, kebanyakan umat Kristen tidak memahami ajaran ini, sama seperti kita umat Buddha tidak memahami ajaran agama Buddha tentang masalah ini. Hal yang sama terjadi di seluruh penjuru dunia dan di dalam setiap agama: tidak ada yang memahami inti sejati dari agamanya sendiri. Kita umat Buddha tidak memahami apa yang dimaksudkan dengan, “Jangan dilahirkan! Hentikan kelahiran!” Kita tidak memahaminya dan oleh karenanya kita menjadi bingung, tidak mempercayainya, atau bahkan menanggapinya sebagai ajaran yang salah. Mungkin tidak bertindak sedemikian jauh hingga menuduh Sang Buddha telah mengajarkan ajaran yang salah, tetapi pikiran ke arah itu ada saja di dalam pikiran kita; atau kita mungkin berpikir bahwa setiap bhikkhu yang mendalami ajaran ini salah dalam menyebarkan agama Buddha. Inilah yang terjadi. Jadi kita gagal total untuk memahami ajaran anatta (tanpa diri) dan sunnata (kekosongan), ajaran bahwa tidak ada “aku” atau “milikku”. Sebagai akibatnya, kita mengalami penderitaan. Kita sering sekali dilahirkan; kita lebih banyak mengalami Samsara daripada mengalami Nirwana.

Bukti dari ini semua ialah kenyataan bahwa rumah sakit untuk penyakit jiwa dan tekanan batin kelebihan pasien. Inilah bukti yang diperlukan; kita tidak perlu lagi bertanya lebih lanjut. Orang-orang tidak memahami kebenaran tentang cara untuk menghindari pengakit jiwa. Inilah tujuan dari ajaran Sang Buddha. Yang hendak dicapai Sang Buddha ialah kehidupan yang penuh kewaspadaan, kewaspadaan yang berkelanjutan, memandang dunia sebagai sesuatu yang tidak mempunyai “aku”, “milikku”, mempertahankan pikiran agar senantiasa bebas dari gagasan “aku”, “milikku”, hanya menyisakan kewaspadaan, sehingga seseorang tahu apa yang harus dilakukan, dan melakukannya. Inilah inti dari ajaran Sang Buddha; tidak ada lagi yang melebihinya lagi dalam hal ini.

Sekarang, mengenai masalah ini, saya harus mengatakan sesuatu tentang agama Kristen yang umat Kristiani sendiri tidak menaruh perhatian padanya. Adalah kutipan dalam Perjanjian Baru, dalam Kitab Korintus, yang didalamnya Santo Paulus merangkumkan keseluruhan ajaran Yesus. Kutipannya berupa instruksi singkat kepada orang-orang Korintus, “Jika anda mempunyai isteri, bayangkanlah seolah-olah anda tidak mempunyai isteri. Jika anda mempunyai harta kekayaan, bayangkanlah seakan-akan anda tidak mempunyai harta kekayaan. Jika anda menderita, bayangkanlah seakan-akan anda tidak menderita. Jika anda bahagia, bayangkanlah seolah-olah anda tidak bahagia. Jika anda pergi berbelanja ke pasar, pulanglah dengan tidak membawa apa-apa.

Di sini kita menemukan inti ajaran agama Buddha dalam Alkitab: “Jika anda mempunyai isteri, bayangkanlah seolah-olah anda tidak mempunyai istri.” Paulus menunjuknya kepada kaum pria; ia tidaklah menyinggung bahwa seorang wanita yang mempunyai suami harus berpikir seakan-akan ia tidak bersuami, tetapi ini sudah dipahami; pernyataan itu baik untuk suami dan juga istri. Maksudnya ialah : “Jangan merangkul dan melekat; janganlah mengidentifikasikan sebagai “milikku”. “Jika anda mempunyai harta kekayaan, janganlah melekat padanya, berpikir bahwa itu adalah kekayaan saya; sebaliknya, dihimbau untuk membayangkan seakan-akan anda tidak mempunyai harya kekayaan. Jika penderitaan muncul, maklumilah dan penderitaan itu akan berlalu. Janganlah memikirkannya sebagai penderitaan saya. Jika anda merasa bahagia, janganlah memikirkannya sebagai kebahagiaan saya. Jika anda pergi berbelanja ke pasar, pulanglah dengan tidak membawa apa-apa. Ini berarti: ketika sedang membawa barang belanjaan, pikiran kita tidak mengidentifikasikannya sebagai “milikku”. Dalam kasus ini, kita tidak membawa pulang apa-apa. Inilah ajaran agama Kristen, inti dari agama Kristen. Saya pernah menanyakan seorang umat Kristen, seorang guru kelas kakap, bagaimana penafsirannya terhadap ayat tersebut. Pada awalnya ia terdiam, kemudian mengatakan, “Saya tidak pernah memperhatikan ayat ini. “ Ia tidak menaruh perhatian pada kutipan dari Alkitab tersebut karena ia mengira bahwa ayat tersebut tidak penting. Ia telah menaruh perhatian besar pada masalah keyakinan dan seterusnya, tetapi tidak memperdulikan masalah ini, topik yang paling penting dari antara semuanya. Setiap agama besar bertujuan utama untuk mengajarkan pembebasan dari egoisme. Setiap agama mencakup ajaran penting pembebasan dari diri dan dari perhatian atas diri, yang di dalamnya, bagaimanapun, pengikutnya tidak memberikan minat yang cukup baik. Mereka itu bagaikan kita umat Buddha, yang tidak memperdulikan ajaran sunnata dan anatta, ajaran yang mencirikan agama Buddha.

Bisa dikatakan, dengan demikian, bahwa umat manusia tidak memberikan perhatian pada masalah yang paling penting bagi umat manusia. Orang-orang hanya tertarik pada cengerama dan pesta pora, menghabiskan waktu secara egois yang meningkatkan sikap “aku” dan “milikku”. Sebagai konsekuensinya, mereka lebih sering menjadi penghuni neraka, binatang, preta, dan asura, daripada menjadi manusia. Dan ketika mereka menjadi manusia, mereka berjuang dan bercucuran keringat terlalu banyak, tidak tahu bagaimana untuk beristirahat. Jika mereka berada dalam salah satu alam surgawi, mereka mengalami jenis penderitaan yang bersangkutan sebagai dewa, atau brahma, atau apa pun. Ini disebabkan mereka tidak mengerti, mereka telah jatuh dalam pengaruh Mara (setan): mereka itu telah terjerat ke dalam jalur Mara dan bukan pada jalan Buddha.

Mara (setan) adalah hal lain yang tidak kita pahami dengan benar. Pada kenyataannya, “Mara” menunjukkan semua hal memukau yang menarik pikiran dan menaklukannya. Mara adalah hal-hal seperti itu, terutama kenikmatan seksual dan inderawi lainnya. Panglima tertinggi Mara memerangkapkan kita ke dalam surga paranimmmitavasavatti, surga yang terikat dalam kegembiraan inderawi, di mana pengikut Mara menunggu kita, melayani kita dan memenuhi semua keinginan kita. Inilah yang dimaksudkan dengan “panglima tertinggi Mara”. Pada saat sekarang ini, kita adalah jajahan atau korban dari Mara karena kita mendambakan itu semua dan dengan demikian menanamkan “aku” dan “milikku”. Sekali “aku” dan “milikku” telah muncul, tidak akan ada akhirnya; seseorang terbawa oleh arus Mara dan bukan arus Buddha. Demikianlah adanya Mara. Bilamana di dalam pikiran muncul gagasan “aku”, “milikku”, maka Mara ada di sana, orang tersebut menjadi jajahan Mara. Dan bilamana pikiran bebas dari “aku”, “milikku”, seseorang menjadi pengikut Sang Buddha. Dalam satu hari, anda akan bisa menjadi jajahan Mara selama beberapa jam dan pengikiu Buddha selama beberapa jam pula. Setiap orang menyadari hal ini sehingga tidak perlu dibahas disini. Setiap orang bisa membuktikan sendiri bahwa dalam satu hari “aku dan “milikku” bisa muncul selama beberapa jam, dan absen selama beberapa jam.

Setiap saat ketika “aku” dan “milikku” muncul, seseorang terlahir sebagai ini atau itu, dan mengidentifikasi dengannya; dan itulah penderitaan, setiap saat. Kita seharusnya memerangi sikap yang memalukan ini dan mengambil langkah untuk mencegah bangkitnya. Kita harus mempertahankan dan memperpanjang periode kekosongan dan keheningan atau Nirwana, dan sejalan dengan waktu kita akan bebas dari semua penyakit, baik yang bersifat batin maupun fisik. Diabetes, tekanan darah tinggi, penyakit jantung – semua ini bersumber dari “aku” atau “milikku” adalah sumber dari gangguan yang mencegah kita dari istirahat yang cukup. Bilamana pikiran kacau, metabolisme zat gula di dalam tubuh menjadi tidak normal, naik dan turun secara tajam, dan akibatnya ialah beberapa jenis penyakit fisik. Penyakit kejiwaan juga timbul, dalam bentuk penderitaan-penderitaan batin. Singkatnya, tubuh tidak bisa menahan ketegangan yang timbul dan akibatnya ialah penyakit kejiwaan atau batin, atau bahkan kematian. Walaupun kita mungkin menghindari dari kematian, ia pasti akan mengalami lebih banyak penderitaan dan kesedihan, seakan-akan ia telah jatuh dalam salah satu daeri neraka-neraka.

Keseluruhan pertanyaan bisa ditinjau dalam rincian yang lebih mendalam. Misalnya, kita telah membicarakan tentang neraka sebagai yang ekivalen dengan kecemasan, walaupun kitab yang lebih rinci mengenali adanya elapan belas, atau dua puluh delapan, atau bahkan lebih banyak lagi rentangan alam neraka yang berbeda-beda. Akhirnya, bagaimanapun, semua itu akan melibatkan penderitaan yang menyengant; tidak ada neraka yang dingin. Hal yang sama terjadi juga pada preta. Ada beberapa jenis preta: preta bengis, preta yang mulutnya sekecil mata lubang jarum tetapi perutnya sebesar gunung (sehingga tidak akan bisa memuaskan rasa lapar mereka), dan lain-lain. Akan tetapi, semuanya mengalami hal yang sama: kelaparan. Anda bisa menginterprestasikan semua ini secara terinci sebagaimana yang anda inginkan, sebanyak atau sedikit yang anda sukai, selama anda memahami makna dasarnya: penghuni neraka menderita kecemasan, binatang tertutup halusinasi, preta mengalami kelaparan, asura ketakutan, manusia kelelahan, dewa kamavacara tenggelam dalam kegembiraan inderawi, brahma bertumbuh fisik menggeluti benda-benda fisik yang suci, dan brahma tak bertubuh fisik menggeluti hal-hal batiniah yang suci. Inilah semua bentuk “kelahiran”. Tanpa kecuali, setiap orang yang “dilahirkan” pasti akan mengalami penderitan. Cobalah untuk melepaskan semua pengidentifikasian ini. “Kebahagiaan sejati terdapat dalam penghapusan gagasan ‘aku’. “Pertahankan kewaspadaan dan kebijaksanaan; agar anda bisa terbebaskan dari “aku” dan “milikku” dan anda akan menjadi bebas dari penderitaan. Pertahankan kondisi ini, bilamana ini telah bersifat permanen, inilah yang disebut dengan Nirwana sejati dan sempurna.

Kita telah mempunyai Nirwana sementara. Marilah kita memperpanjangnya, mengurangi penderitaan, atau Samsara, sebanyak mungkin. Janganlah kita membuang dengan percuma kesempatan ini, kehidupan yang lamanya delapan puluh atau seratus tahun ini yang telah kita jalani. Jika kita tidak menunjukkan kemajuan dalam hal ini kita tidak akan menjadi apa pun, bahkan walaupun kita hidup ribuan tahun lamanya; tetapi jika mengalami kemajuan, kita akan bisa mencapai Nirwana penuh dalam kehidupan yang sekarang ini juga. Apakah seseorang masih kecil, seorang remaja, dewasa, atau telah berusia delapan puluh tahun, jika ia memahami dengan benar makna dari ini semua, bagaimana penderitaan muncul danbagaimana pula penderitaan lenyap, ia akan bisa mengibati semua penyakitnya dengan efektif, untuk mengendalikan egoisme, “aku” dan “milikku”; ia akan dengan sendirinya menjadi jenuh terhadap itu semua, dan mulai mengalami ketenangan, kebahagiaan, pembebasan dari penderitaan. Inilah maksud dari semuanya. Sang Buddha merangkumkannya dengan ringkas ketika mengatakan, “Jangan merangkul atau melekat pada segala sesuatu pun (Sabbe dhamma nalam abhinivesaya), yaitu jangan melekat padanya sebagai “aku” atau “milikku”. Tidak peduli benda apakah itu – obyek fisik, fenomena, tindakan, obyek mental, akibat dari tindakan, atau apa pun – janganlah memikirkannya sebagai “aku” atau “milikku”. Pikirkanlah itu semua sebagai milik Alam, sebagai Alam itu sendiri, sebagai bagian dari Alam yang mengikuti Hukum Alam, sebagai milik Alam. Janganlah menganggapnya sebagai “aku”, “milikku”. Setiap orang yang sedemikian polosnya sehingga berpikir bahwa itu semua adalah “aku” atau “milikku”, adalah seorang pencuri , merebut benda yang menjadi milik Alam. Tidak ada kebaikan yang timbul dari pencurian; ini akan mengakibatkan penderitaan sebagai seorang pencuri. Oleh sebab itulah, ajaran Sang Buddha menghendaki kita untuk tidak merangkul atau melekat pada apa pun sebagai “aku” atau “milikku”. Demikian pula pernyataan Beliau, sedemikian singkatnya sehingga sukar untuk dipahami dan bahkan lebih sukar lagi untuk diterima, “Jika orang-orang mau mempraktikkan kehidupan benar, dunia ini tidak akan kosong dari arahat.” Pernyataan ini meringkaskan semua ajaran diatas.

Saya berharap anda semua menaruh perhatian pada ajaran Sang Buddha ini, sehingga anda akan memikirkannya, membuktikannya, dan memahaminya. Ini adalah inti yang mendalam dan penting dari Dharma dari Dharma dan sungguh-sungguh mampu membantu kita untuk mencapai pembebasan dari penderitaan

 

Sumber :
MENGAPA KITA DILAHIRKAN ?
Judul asli : Why Were We Born ? Another kind of Birth
Penulis : Bhikkhu Buddhadasa
Penerjemah : Bhadravajra Heng Tuan
Editing : Suryananda
Penerbit : Yayasan Penerbit Karaniya
Kotak Pos 1409 Bandung 40001

 

 

 

Leave a Reply 0 comments