1. Pangeran Magha Menjadi Dewa Sakka
“Bila seseorang merawat ibu dan ayahnya.
Menghormat kepada anggota keluarga yang lebih tua.
Lemah lembut dan ramah di dalam bertutur kata.
Menghindari berbicara buruk tentang orang lain.
Dengan teguh melenyapkan keserakahan.
Jujur, dapat mengatasi kemarahan.
Orang demikian disebut seorang yang baik oleh para dewa
Dari alam ke Tiga Puluh Tiga Dewa.”
Pada suatu ketika, Sang Buddha berkata :
“Inilah, Mahali, yang telah dilakukan oleh Sakka pada kehidupannya yang lampau sebagai Pangeran Magha.”
Mahali yang ingin mendengar seluruh kisah dari Dewa Sakka, berkata :
“Yang Mulia, apakah yang telah dilakukan oleh Pangeran Magha?”
“Baik, dengarkanlah,” kata Sang Guru, Beliau lalu mengisahkan cerita tentang Dewa Sakka:
Pada masa yang lampau, seorang Pangeran bernama Magha tinggal di Kerajaan Magadha. Pada suatu hari, dia mengunjungi tempat berlangsungnya suatu kegiatan di daerahnya, dengan kakinya ia membersihkan debu di tempat dia berdiri dan kemudian dia berdiri dengan santai di tempat tersebut. Kemudian seseorang datang memukul dan mendorongnya ke samping dan merebut tempatnya. Pangeran Magha tidak marah dengan orang itu, dia membersihkan tempat lain dan berdiri di situ. Dengan cara yang sama, satu demi satu, orang-orang yang keluar dari rumahnya, memukul Pangeran Magha dan mendorongnya dari tempat yang telah dibersihkannya. Pangeran Magha berpikir:
‘Kelihatannya orang-orang ini menikmati apa yang telah saya kerjakan. Karena hal ini membuat orang lain berbahagia, tentunya perbuatan saya ini merupakan perbuatan yang berjasa.’
Demikianlah pada keesokan harinya, Pangeran Magha membawa sekop dan membersihkan tempat yang lebih luas, dan orang-orang berdatangan dan berdiri di situ. Pada musim dingin, Pangeran Magha membuat perapian, agar orang-orang dapat menghangatkan badan mereka, dengan demikian tempat itu menjadi suatu tempat peristirahatan yang disukai oleh semua orang.
Kemudian Pangeran Magha berpikir: ‘Suatu kesempatan yang baik bagi saya untuk membuat jalan menjadi licin dan rata.’
Pagi-pagi dia mulai melicinkan dan meratakan jalan, memotong dan memindahkan batang-batang pohon. Dengan melakukan hal ini, Pangeran Magha menghabiskan waktu luangnya.
Seseorang melihatnya dan bertanya : “Tuan, apakah yang sedang Anda lakukan ?”
Pangeran Magha menjawab : “Saudara, saya sedang meratakan jalan menuju surga.”
“Saya ingin ikut bergabung.”
“Silahkan bergabung dengan saya, surga adalah tempat yang menyenangkan bagi banyak makhluk.”
Melihat kedua orang itu, orang ketiga menanyakan pertanyaan yang sama dan mendapatkan jawaban yang sama, dia pun ikut bergabung. Kemudian orang keempat, kelima hingga ketiga puluh tiga. Ketiga puluh tiga orang ini bekerja bersama-sama dengan menggunakan sekop dan kapak, meratakan jalan sepanjang 1 atau 2 league ( 1 league = 4,8 kilometer ).
Kepala desa melihat mereka dan berpikir : ‘Orang-orang ini melakukan pekerjaan yang salah, kalau mereka mau menangkap ikan, memburu binatang di hutan, menikmati minuman keras, atau melakukan hal-hal semacam itu, saya dapat mengambil keuntungan dari mereka.’
Dia lalu memanggil ketiga puluh tiga, orang itu dan bertanya kepada mereka :
“Apa yang kalian kerjakan ?”
“Meratakan jalan menuju surga, Tuan.”
“Itu bukanlah pekerjaan yang sesuai bagi perumah tangga (orang awam).”
“Yang harus kalian lakukan adalah menangkap ikan, berburu binatang, menikmati minuman keras dan bersenang-senang.”
Ketiga puluh tiga orang itu menolak melakukan saran kepala desa, semakin dipaksa, semakin keras mereka menolak untuk melakukannya. Akhirnya kepala desa menjadi marah :
“Saya akan menghancurkan mereka,” katanya.
Kepala desa lalu menemui Raja dan melaporkan :
“Yang Mulia, saya melihat sekelompok pencuri sedang melakukan kejahatan.”
Raja lalu berkata :
“Tangkap mereka dan bawa kemari.”
Kepala desa menangkap ke tiga puluh tiga orang itu dan membawa mereka ke hadapan Raja. Tanpa menyelidiki dan menanyakan apa yang telah mereka perbuat, Raja memberikan perintah :
“Hukum mati mereka dengan injakan seekor gajah liar yang ganas.”
Pangeran Magha menasehati para pengikutnya :
“Teman-teman, kita tidak mempunyai perlindungan apapun selain cinta kasih. Oleh karena itu tenangkanlah hati kalian, jangan marah kepada siapapun. Penuhilah hati kalian dengan cinta kasih kepada Raja, kepala desa dan kepada gajah yang akan menginjak-injak kita dengan kakinya.”
Mereka mengikuti nasihat Pangerah Magha. Sedemikian kuat pancaran cinta kasih mereka sehingga gajah tidak berani menginjak mereka.
Ketika Raja mengetahui hal tersebut, beliau berkata:
“Ketika gajah itu melihat begitu banyak orang, tentu saja ia tidak mampu menginjak-injak mereka. Sekarang tutupilah mereka dengan kain terpal, kemudian biarkanlah gajah liar itu menginjak-injak mereka.”
Kepala desa lalu menutupi mereka dengan terpal yang tebal dan melepaskan gajah liar itu ke arah mereka. Tetapi ketika gajah itu diarahkan menuju mereka, gajah itu balik kembali dan lari.
Ketika Raja mendengar apa yang telah terjadi, ia berpikir: “Seharusnya ada suatu sebab atas kejadian ini.” Raja lalu memanggil ketiga puluh tiga orang itu untuk menghadapnya dan beliau bertanya:
“Saudara-saudara, apakah ada sesuatu yang tidak kamu terima dari tanganku ?”
“Yang Mulia, apakah yang Anda maksudkan ?”
“Saya mendapat laporan bahwa kalian adalah sekelompok pencuri yang berkeliaran di hutan, dan sedang melakukan kejahatan.”
“Yang Mulia, siapakah yang mengatakan hal ini ?”
“Saudara-saudara, kepala desalah yang mengatakan hal ini kepada saya.”
“Yang Mulia, kami sesungguhnya bukanlah sekelompok pencuri, kami sedang membuat sebuah jalan menuju surga bagi diri kami sendiri. Kepala desa berusaha membujuk kami untuk melakukan perbuatan-perbuatan buruk dan ketika kami menolak untuk mengikuti anjurannya, dia menjadi marah dan ingin menghancurkan kami. Karena itulah dia mengatakan hal yang seperti itu tentang kami.”
“Saudara, gajah ini mengetahui kebaikan kalian, namun saya, seorang manusia, tidak dapat mengetahuinya, maafkanlah saya.”
Setelah berkata demikian, Raja lalu memerintahkan kepala desa beserta isteri dan anak-anaknya untuk menjadi pelayan dari ke tiga puluh tiga orang itu. Raja juga memberikan gajah untuk dikendarai dan menghadiahkan desa itu kepada mereka.
Pada saat berkeliling di desa itu mereka sepakat :
“Sudah menjadi tugas kita untuk menambah perbuatan baik. Apa lagi yang harus kita lakukan ?”
Kemudian timbullah pemikiran di antara mereka :
“Untuk kepentingan orang banyak, marilah kita membangun sebuah rumah peristirahatan yang kuat dan aman.”
Mereka lalu memanggil ahli bangunan dan memintanya untuk membangun sebuah aula besar.
Pangeran Magha merawat ibu dan ayahnya, menghormati anggota keluarganya yang lebih tua, berbicara benar, menghindari kata-kata kasar, menghindari membicarakan keburukan orang lain, menghilangkan keserakahan, mengatasi kemarahan. Dia telah menyempurnakan ke tujuh sila yang disebut sebagai berikut:
- Merawat ibu dan ayahnya,
- Menghormati anggota keluarga yang lebih tua,
- Lemah lembut dan ramah di dalam percakapan,
- Menghindari membicarakan keburukan orang lain,
- Menghindari keserakahan,
- Jujur,
- Dapat mengatasi kemarahan.
Orang seperti ini, oleh para dewa dari Alam Ke Tiga Puluh Tiga Dewa disebut sebagai orang yang baik. Setelah mencapai keadaan yang terpuji ini, pada saat dia meninggal dunia, dia terlahir kembali di Alam Ke Tiga Puluh Tiga Dewa, sebagai Sakka Raja Para Dewa. Demikian pula dengan para pengikutnya, mereka juga terlahir kembali di alam itu.
“Demikianlah Mahali, Pangeran Magha sangat bersungguh-sungguh. Karena dia sangat bersungguh-sungguh, dia memperoleh keagungan, penghormatan dan menjadi pemimpin dari Alam Dewa. Kesungguhannya dipuji oleh Para Buddha dan oleh semua makhluk. Karena dengan bersungguh-sungguh, semua makhluk dapat mencapai Pencapaian tertinggi, di alam ini dan juga di alam yang lebih tinggi.”
Setelah berkata demikian, Sang Buddha mengucapkan syair:
“Dengan menyempurnakan kewaspadaan,
Dewa Sakka dapat mencapai tingkat pemimpin di antara Para Dewa.
Sesungguhnya, kewaspadaan itu akan selalu dipuji,
Kelengahan akan selalu dicela.”