Pengenalan

PENGENALAN

55. Sebagian besar umat manusia niscaya sependapat, bahwa kebenaran adalah harta yang tak ternilai dalam kehidupan kita. Masalahnya kemudian terletak pada patokan atau dasar yang seharusnya dipakai untuk menetapkan benar tidaknya “kebenaran” itu. Ribuan agama, sekte dan falsafah yang ada saat ini membuat pernyataan yang sama seperti pernyataan agama-agama, sekte-sekte yang ada pada zaman Sang Buddha, yakni bahwa “hanya ini yang benar, yang lain salah”1. Agama Buddha juga menyatakan mengajarkan kebenaran, yakni kebenaran dotrin utama yang dikenal sebagai Empat Kebenaran Mulia; namun, agama Buddha tidak secara dogmatis menyatakan kebenarannya tanpa alasan, juga tidak menekankan agar kita menerima kebenarannya mentah-mentah tanpa mempertanyakannya kembali; justru agama Buddha menganjurkan kita, agar melangkah lebih jauh, meneliti, menemukan serta mengetahui kebenaran itu demi diri sendiri. Untuk meneliti kebenaran dari suatu pernyataan, dengan sendirinya kita memerlukan metoda atau cara. Marilah kita lihat, cara dan strategi terbaik, yang diajarkan oleh Sang Buddha, yang dapat membantu kita dalam pencarian kebenaran.

56. Usaha pemahaman dan penghayatan adalah proses-proses yang dengan sendirinya memakan waktu. Fakta harus dikumpulkan, disusun secara benar, dipertimbangkan dan mungkin ditata kembali secara teliti untuk menjadi fakta baru, yang tentunya tidak dengan cara tergesa-gesa. Kadang-kadang orang-orang tertentu ingin mengalihkan kita ke agamanya, mencoba secepatnya agar kita dapat menerima ajaran agamanya tanpa penelitian mendalam dan pemikiran terlebih dahulu. Mereka melakukannya karena gairah berlebihan pada keyakinan mereka, tapi mungkin juga karena mereka berharap dapat mengalahkan kesetiaan pada keyakinan kita sebelum kita sempat menemukan semua fakta, fakta yang diperkirakan menjadi kelemahan dari agamanya sendiri. Bagaimanapun juga, membuat keputusan secara terburu-buru adalah suatu kesalahan. Sang Buddha dalam riwayat hidupnya tidak pernah mendesak secepatnya seseorang untuk menerima ajaran-Nya. Beliau malah akan menganjurkan untuk tidak tergesa-gesa menerima ajaran-Nya, bila Beliau berpendapat bahwa seseorang yang sedang dihadapi-Nya menerima Dhamma hanya karena gairah berlebihan, bukan didasarkan pada pemikiran yang matang. Sekali waktu, setelah diskusi yang lama, seorang tokoh yang bernama Upali berharap agar dapat diterima menjadi siswa oleh Sang Buddha, tetapi justru Sang Buddha berkata kepadanya:

Upali, telitilah secara mendalam terlebih dahulu. Penelitian yang mendalam adalah sangat baik, bagi orang yang terkenal seperti dirimu.2

Kita hendaknya menerima nasehat seperti itu pula. Penerimaan atau penolakan suatu keyakinan, seyogyanya dilakukan setelah suatu perenungan yang hati-hati dan tidak tergesa-gesa.

57. Setiap sudut pandang dari suatu masalah mempunyai dua sisi, sisi yang baik dan sisi yang jelek, dengan kata lain kekuatan dan kelemahannya. Pengikut-pengikut tertentu dari setiap agama senantiasa berusaha untuk menonjolkan argumentasi dan bukti yang mendukung keyakinannya, dan berusaha menyembunyikan yang tidak mendukungnya. Sebaliknya, juga senantiasa berusaha menggaris-bawahi ketaktaatasasan dan fakta-fakta yang saling bertentangan, seraya berusaha mengabaikan segi-segi yang kuat dari keyakinan yang tak dianutnya. Semestinya, demi untuk mendapatkan pengertian yang seimbang dan tidak memihak dari setiap sudut pandang, kita hendaknya mempertimbangkan argumentasi kedua pihak. Sang Buddha bersabda:

58. Walaupun kita telah berhasil membentuk keyakinan kita, namun adalah sangat penting, bahwa kita meyakininya dengan luwes, dengan cara membiarkan batin dan pikiran kita tetap terbuka. Ada orang-orang berpendapat bahwa mereka baru dapat membuktikan keyakinan pada agama sendiri, dengan cara mempertahankan keyakinan sendiri secara dogmatis dan menolak untuk mendengarkan pandangan yang lain. Dari pandangan Buddhis, pendapat ini salah. Sebab setelah menerima suatu ajaran agama tertentu, mereka tidak dapat lagi mempelajari sesuatu yang baru, mereka hanya melihat kepercayaannya dari sudut pandangan mereka sendiri, atau memperoleh nilai-nilai wawasan yang rendah melalui tafsiran-tafsiran belaka. Alhasil, dalam usaha mencari kebenaran, mereka sering terlibat pertengkaran kecil-kecil dengan yang lainnya. Sang Buddha menceritakan suatu perumpamaan yang sangat menarik untuk melukiskan masalah ini:

Sekali waktu, ada seorang raja di Savatthi. Dia memanggil pengawalnya dan berkata: “Ke sini, pengawalku yang baik, pergi dan kumpulkanlah mereka yang buta sejak lahir di Savatthi ini, pada satu tempat.” “Baik, tuanku”, sahut pengawalnya, lalu dia melaksanakan titah rajanya, lalu setelah selesai dikumpulkan, raja berseru lagi kepadanya: “Sekarang, pengawalku yang baik, tunjukkan pada orang-orang buta ini seekor gajah.” “Baik, tuanku”, kata pengawalnya, lalu melaksanakan lagi titah rajanya. Dia mendekatkan salah seorang dari orang-orang buta itu di kepala gajah, seorang lagi di telinganya, seorang di gadingnya, seorang di belalainya, seorang di kakinya, seorang di punggungnya, seorang di ekornya, seorang lagi di ujung-ekornya lalu pengawal berseru: “Wahai, orang-orang buta, inilah yang disebut gajah”. Setelah itu, sang pengawal kembali menghadap pada raja dan berkata: “Tuanku, gajah telah ditunjukkan kepada semua orang buta. Sesuai titah baginda.” Sang raja kemudian menghampiri orang-orang buta, sudahkah engkau tahu bagaimana gajah itu?” “Ya, tuanku, kita telah mengetahuinya,” kata mereka. “Bila demikian, katakan bagaimana yang disebut gajah.” Orang buta yang memegang kepala gajah berkata “Gajah menyerupai tempayan.” Yang memegang telinga berkata: “Gajah menyerupai kipas.” Demikian seterusnya, mereka mengatakan gading seperti ujung bajak, belalai seperti pegangan bajak, badan gajah seperti lumbung padi, kaki seperti tiang, bokong seperti lesung, dan ekor sebagai alu-nya, ujung ekor seperti sapu. Mereka mulai bertengkar, berteriak: “Ya, begitu!” “Tidak, tidak begitu!” “Gajah, tidak seperti itu!” “Ya, seperti itu!”. Mereka kemudian berkelahi, dan sang raja malah menikmati apa yang dilihatnya.5

Makna dari perumpamaan ini sangatlah jelas. Mereka yang menarik kesimpulan dengan tergesa-gesa, tanpa menelitinya dari segala sudut, adalah sama halnya mendapat sebagian sudut pandang dari suatu kebenaran, dan bila dia menutup mata batinnya dan tergantung kepada pandangannya saja secara dogmatis, kecil kemungkinan bagi mereka untuk mengerti sesuatu secara lengkap.

59. Murid Sang Buddha bernama Kumara Kassapa memakai suatu perumpamaan serupa dalam menyarankan kita untuk menghindari masalah seperti itu.

Sekali waktu, seluruh penduduk dari suatu kecamatan meninggalkan wilayahnya. Lalu ada seorang berkata pada kawannya: “Mari, kita kembali ke sana lagi; mungkin kita masih menemukan sesuatu yang berharga.” Kawannya menyetujui, dan ketika mereka sampai di sana, mereka menemukan setumpuk tali ramin yang dibuang di jalanan desa. “Mari kita mengikat dan membawanya, orang itu berkata pada kawannya, yang segera menyetujui, dan merekapun melakukannya. Tidak lama, mereka pun sampai di desa lain, di sana mereka menemukan setumpuk kain ramin, dari tali ramin yang telah ditenun, orang itu lalu berkata pada kawannya: “Demi kain ramin inilah, sehingga kita mengumpulkan tali ramin tadi. Buang saja tali ramin itu, mari kita bawa saja kain ramin ini.” Tetapi kawannya berkata: “Saya telah membawa tali ramin ini sepanjang jalan tadi, lagi pula ini telah terikat rapih. Saya akan tetap membawa tali ramin ini saja. Lakukan saja kehendakmu sendiri.” Lalu, orang pertama tadi membuang tali raminnya dan membawa kain ramin tersebut. Tak lama dalam perjalanan selanjutnya, mereka menemukan benang linen, kain linen, kapas, benang katun, kain katun, besi, tembaga, kaleng, timah dan perak; dan setiap kali menemukan yang lebih berharga, orang tadi mengganti bawaannya, sedang si kawannya tetap membawa tali raminnya. Tak lama kemudian, mereka sampai di suatu desa yang lain, di sana mereka menemukan setumpuk emas, dan orang tadi berseru kepada kawannya: “Emas ini adalah yang paling kita inginkan dari segalanya. Buanglah tali raminmu, saya juga akan membuang perakku, lalu kita bawa emas ini.” Tetapi kawannya berkata: “Saya telah membawa tali ramin ini sepanjang perjalanan, lagi pula ini telah terikat rapih. Saya tetap akan membawanya. Lakukan saja olehmu sendiri.” Dengan demikian, orang tadi membuang perak tersebut, lalu membawa emas itu. Ketika mereka akhirnya tiba kembali di rumahnya masing-masing, orang yang membawa tali ramin tidaklah membawa kegembiraan pada keluarganya, juga tidak pada dirinya sendiri; sedangkan orang yang membawa emas telah pula membawa banyak kegembiraan baik pada keluarganya, maupun pada dirinya sendiri.6

Pandangan atau pendapat tentang kebenaran tak ubahnya bayangan cermin seseorang. Pandangan atau pendapat itu bayangan-cerminnya sedang kebenaran adalah orang itu sendiri. Pandangan mewakili kenyataan, namun bukanlah kenyataan itu sendiri. Bila kita senantiasa mengingat ini dalam batin, pandangan-pandangan dapat menunjukkan kita ke arah kebenaran, dan bila kita tetap berusaha maju, kita akan secara bertahap melepaskan pandangan-pandangan itu dan menggantikannya dengan penghayatan langsung.