Penuntun Menuju Kesadaran

PENUNTUN MENUJU KESADARAN
(A Guide To Awareness)

Khotbah Dhamma Tentang Dasar-dasar Kesadaran
(Satipatthana Sutta);
Oleh : Somdet Phra Nyanasamvara;
Editor : Ir. Lindawati T.

Kata Pengantar
Buku Penuntun Menuju Kesadaran ini merupakan hasil terjemahkan dari buku berbahasa Inggris berjudul “A Guide To Awareness”, karya Somdet Phra Nyanasamvara, Wat Bovoranives Vihara, Bangkok, Thailand. Buku aslinya yang berbahasa Thai –Naew Patibat Nai Satipatthan (cara berlatih dalam Satipatthana)– diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Bhikkhu Ariyesako dan Bhikkhu Kantasilo.

Buku ini berisikan 22 percakapan Dhamma tentang Dasar-dasar Kesadaran (Satipatthana) yang merupakan intisari dari Ajaran Sang Buddha. Uraian Dhamma di dalam buku ini dimaksudkan untuk memberi manfaat kepada para bhikkhu maupun umat awam.

Adapun maksud dan tujuan diterjemahkan serta disusunnya buku ini adalah pertama, untuk ikut berpartisipasi di dalam pengembangan dan pelestarian Buddha Dhamma di persada Nusantara; kedua, untuk berbuat serta menyumbangkan sesuatu yang berarti dan bernilai dalam hidup ini kepada sesama, kepada orang banyak, untuk dapat dimanfaatkan dan dinikmati bersama-sama, bukan hanya untuk diri sendiri yang tiada berarti ini.

Seperti yang dapat kita maklumi bersama, bahwa setiap buah atau hasil dari sebuah karya, pastilah memerlukan dan melalui suatu rangkaian proses sebelumnya. Ia tidak begitu saja, tiba-tiba saja ada, muncul, atau hadir di hadapan kita. Tidak. Demikian jualah dengan hasil –buku ini. Ia tidak begitu saja jadi atau muncul di hadapan kita. Dibutuhkan suatu usaha yang tekun, yang memeras banyak perhatian, konsentrasi, tenaga, waktu, serta berbagai hal lainnya, yang harus diatasi dengan sekuat tenaga, dengan keteguhan hati, keuletan, pengertian, kesabaran, serta pengorbanan yang tidak tanggung-tanggung untuk dapat menyelesaikan penerjemahan dan penyuntingan buku ini hingga berhasil diwujudkan dalam bentuk buku seperti yang kita lihat sekarang. Untuk itu kita patut bersyukur menyambut dan menerima buah kebajikan ini.

Seperti kata pepatah; ‘Nafsu-besar tenaga-kurang’, maka meskipun kami mempunyai keinginan yang besar untuk dapat memberikan semaksimal mungkin –mencetak buku ini sebanyak mungkin–. tetapi apa daya, kemampuan kami sangat terbatas. Jumlah yang dapat dicetak pada cetakan pertama ini sangat sedikit dibandingkan dengan jumlah permintaan yang ada serta amat tidak sebanding dengan besarnya nilai yang dikandung buku ini. Oleh karena itu kami mohon maaf yang sebesar-besarnya apabila tidak semua pesanan dan permintaan dari berbagai kota dan daerah di seluruh Indonesia, dapat kami penuhi dengan memuaskan.

Karena itu, meskipun kami sadar masih terdapat banyak kendala dan tantangannya, kami tetap menaruh harapan bahwa suatu saat kami dapat mencetak buku yang berbobot tinggi ini, untuk menebus kekurangan saat ini, serta menyebarkan dan menjangkau lebih luas saudara-saudara kita yang ada di berbagai tempat di Tanah air. Semoga harapan baik ini akan mendapat sambutan positif dan uluran tangan dari rekan-rekan se-Dhamma, yang ikut merasa bertanggung jawab terhadap perkembangan dan pelestarian Buddha Dhamma.

Kami amat bersyukur dengan adanya simpati, dukungan, bantuan, dan partisipasi aktif dari sahabat-sahabat serta saudara-saudara sedhamma terhadap usaha mulia ini, sehingga terwujudlah karya ini dalam bentuk seperti yang sedang kita pegang dan simak ini. Kami sadar, tanpa adanya dukungan, bantuan, simpati, dan partisipasi aktif dari para simpatisan & partisipan, mustahillah buku ini bisa terwujud. Maka pada kesempatan ini izinkanlah kami atas nama Tim Penerjemah, Penyunting, dan Penyusun buku ini menyampaikan rasa hormat dan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada para pendukung khususnya para sponsor buku ini. Semoga mereka yang telah menanam jasa kebajikan yang besar ini selalu berada dalam limpahan dan lindungan Sang Triratna, dan semoga segala harapan, tujuan, dan cita-cita dalam hidupnya dapat tercapai dengan lancar dan sukses.

Seperti kata pepatah, “Tiada gading yang tak retak”, maka usaha pengalihbahasaan ini pun tak terlepas dari adanya kekurangan-kekurangan, disebabkan oleh keterbatasan kami di dalam pemahaman isi khususnya terhadap makna-makna yang dalam, maupun di dalam pemilihan kata-katanya. Kami persilakan agar para pembaca dapat mengkaji serta mengecek uraian-uraian yang ada, sesuai dengan hasil latihan dan pengalaman para pembaca sendiri.

Akhirnya, dengan segala ketulusan hati kami persembahkan buku ini kepada para pembaca, kepada para sahabat sesama hidup. Semoga memberikan arti dan manfaat yang besar di dalam hidup dan kehidupan ini.

Semoga berkat jasa-jasa kebajikan ini, kami dapat terbebas dari penderitaan, demikian pula dengan kita semua, dan semua makhluk yang ada di alam semesta. Semoga kita semua dapat mencapai hidup yang sadar, tenang, tentram, bebas, dan bahagia.

Sabbe satta bhavantu sukhitatta

Semoga semua makhluk turut berbahagia.

Dengan Metta,

Penyusun

Pendahuluan

Memang, buku yang sulit dimengerti belum tentu buku yang bagus dan berbobot. Namun, buku yang berbobot tidak selalu harus buku yang mudah dimengerti. Misalnya saja buku-buku eksakta, kimia, fisika, filsafat, dan lain-lain. Buku-buku tersebut tidak bisa sekali dibaca langsung dimengerti. melainkan memerlukan pemikiran yang aktif untuk merenungkan, menganalisa, dan mengujinya untuk sampai pada pemahaman yang terang dan jelas. Demikian pula dengan buku-buku Dhamma umumnya dan buku ini khususnya. Ia menuntut pembacanya untuk ikut terjun ke dalam penghayatan terhadap pola pemikiran, arah, dan, tujuannya dengan mencurahkan perhatian, keseriusan, dan konsentrasi. yang cukup.

Percakapan atau uraian Dhamma di dalam buku ini bukanlah semata-mata teori yang cukup hanya dibaca saja, tetapi lebih jauh lagi merupakan tuntunan dan bimbingan bagi para pembacanya untuk dapat dimengerti dan dipraktikkan dengan nyata, sehingga dapat mencapai hasil yang semestinya. Dalam hal ini, dapatlah ia diibaratkan sebagai instruktor atau ‘guru’ meditasi.

Isi uraian dalam buku ini, seperti yang dapat kita simak pada halaman depan atau sampul, lebih banyak menekankan pada pengamatan ke dalam diri sendiri untuk mencapai penyadaran, pengertian benar tentang hakikat diri dan alam semesta, atau hakikat hidup dan kehidupan ini.

Apa yang sering kita dangar atau baca sebagai inti ajaran agama Buddha tentang Penderitaan (Dukkha), sebab-sebab Dukkha, peleburannya, serta jalan menuju peleburannya, akan dapat kita jumpai lebih detail di dalam buku ini.

Dengan membaca, menghayati, dan mempraktikkan isi buku ini, diharapkan dapat memberikan pemahaman dan penerangan yang lebih jelas tentang hidup dan kehidupan, untuk dipraktikkan oleh diri sendiri sehingga dapat mencapai hidup yang sadar, tenang, terang, tentram, dan damai.

Sadhu, sadhu, sadhu.

Semoga demikianlah adanya.

Pengantar Penulis

Yang pertama kali menyusun suatu seri percakapan Dhamma di Wat Bovoranives Vihara adalah Tan Chao Kun Phra Brahmamuni (Suvaca Thera). Setiap kali seusai beliau menyampaikan khotbah, para bhikkhu akan menguncarkan paritta, sementara semua yang hadir akan duduk bermeditasi.

Saya diminta untuk melanjutkan tradisi ini, dan saya menerima tugas tersebut karena saya pikir hal ini bermanfaat. Akan tetapi saya kemukakan di sini bahwa saya bukanlah seorang guru meditasi. Saya masih memikul tanggung jawab yang menyangkut tentang pengajaran serta berbagai tugas lainnya, sehingga saya tidak dapat berlatih sepenuhnya untuk pengembangan diri saya sendiri, apalagi mencapai suatu tingkatan tertentu untuk mampu melatih orang lain. Karena itu penjelasan Dhamma dari saya bergantung kepada naskah tersebut, dan bila saya kebetulan melenceng dari naskah tersebut, saya merasa seolah-olah saya telah salah jalan. Saya harus bergantung kepada jejak mereka-mereka yang telah lebih dulu melaluinya (yang telah berpengalaman) untuk menunjukkan jalannya, yang saya sendiri tidak mampu menanganinya.

Pada mulanya, khotbah-khotbah dari Tan Chao Kim Brahmamuni tersebut didiktekan. Kemudian pada masa vassa 2504 BE (1961), saya mulai menyampaikan percakapan Dhamma saya sendiri. Percakapan-percakapan ini direkam pada pita/tape dan belakangan ditulis menjadi naskah.

Maha Satipatthana Sutta, Khotbah Agung Tentang Dasar-dasar Kesadaran, diuncarkan secara teratur di Wat Bovoranives Vihara. Saya bisa menguncarkan seluruh Sutta ini, yang sangat menolong di saat saya menyampaikan Uraian Dhamma. Khotbah ini merupakan pilar utama di dalam latihan ketenangan maupun pandangan terang (insight), karena itu dipilih sebagai teks yang pertama untuk disampaikan.

Percakapan Dhamma ini diberikan dua kali setiap minggu, pada senja hari di saat bulan muncul seperempat dan besok malamnya. Karena mereka yang datang mendengar khotbah tidak hadir pada setiap kesempatan, maka saya selalu merangkum dan meringkaskan percakapan Dhamma sebelumnya.

Keduapuluh-dua percakapan Dhamma ini mesti dibaca dan direnungkan dengan cermat hingga tidak akan melenceng dari cara-cara praktik yang benar tentang Dasar-dasar dari Kesadaran.

Uraian yang disampaikan di sini mengikuti cara yang terdapat dalam Khotbah tentang Dasar-dasar Kesadaran, yang memiliki latihan yang penting dan bertingkat. Ini merupakan jalan yang dihormati dan dihargai oleh mereka yang melatihnya. Akan tetapi, sebagian orang mungkin mengatakan hal ini sebagai kurang tepat dan kurang bermanfaat karena ia menimbulkan suatu perasaan lelah dan depresi. Tampaknya mereka yang mengatakan hal ini, benar-benar takut untuk merealisasi kebenaran (kesunyataan). Hal ini sama seperti perasaan takut akan hasil pemeriksaan seorang dokter terhadap penyakit yang diidapnya, atau menutup mata terhadap kebenaran. Ini bukanlah karakter dari seorang intelek.

Bila anda membaca buku ini, anda akan menemukan kebenaran tentang “kerumitan” serta problem-problem yang terdapat di dalam diri anda sendiri. Singkatnya, hal ini dapat dilukiskan sebagai “kerumitan dari penderitaan”. Kemudian anda juga mungkin dapat melihat metode untuk menyelesaikan kerumitan tersebut serta melindungi diri dari penderitaan. Bila latihan ini betul-betul dilaksanakan, anda akan dapat mengusir penderitaan diri anda sendiri sesuai dengan yang diajarkan oleh Sang Buddha. Anda juga akan merasakan kegembiraan yang sebelumnya tidak anda ketahui.

Somdet Phra Nyanasamvara


PERCAKAPAN 1

Kammatthana: Medan Berlatih (Obyek Meditasi)

Kammatthana adalah medan berlatih, dan yang dimaksudkan di sini adalah di mana seseorang melatih pikirannya sendiri. Sebenarnya pikiran dari setiap orang selalu bekerja dan merencana/berangan-angan, yang menyebabkan timbulnya nafsu (raga) dan ketamakan (lobha), kebencian dan keengganan (dosa) serta lahirnya kebodohan atau pandangan keliru (moha). Pikiran kemudian terseret untuk membuat berbagai persoalan dan urusan; dan biasanya hal ini lalu menjadikan batin ternoda. Pikiran yang gelisah dan tidak tenang seperti itu tidak akan pernah menemukan kedamaian, bagaikan ombak di lautan yang tak henti-hentinya bergerak/bergelora.

Pikiran yang disusupi oleh kekotoran atau noda, yang cenderung dipenuhi oleh prasangka buruk dan tidak seimbang tersebut, tak mungkin dapat menyadari kebenaran dan tak dapat melihat kondisi segala sesuatu sebagaimana adanya. Misalnya pikiran yang dipengaruhi oleh nafsu ketamakan, pasti cenderung mengarah kepada sisi yang menyenangkan atau sisi yang menarik dari benda-benda, sehingga menciptakan kesukaan atau kegemaran kepada benda-benda tersebut. Dengan menyukainya, maka ia cenderung berat sebelah dan kemudian muncul penilaian: “sangat bagus”, “bagus”, atau “cukup bagus”; tergantung pada seberapa besar seseorang menyukainya. Walaupun sebenarnya sesuatu itu tidaklah bagus, tetapi ia akan menganggapnya bagus karena ia telah tertarik kepada benda tersebut, disebabkan oleh pengaruh nafsu dan ketamakan (lobha).

Ketika pikiran dikuasai oleh kebencian (dosa) maka ia akan melihat pada sisi yang negatif dari segala sesuatunya, dan lalu akan menjauhinya. Tak perduli apapun yang dibenci, yang akan timbul selalu adalah penilaian: “benar-benar jelek”, –atau tergantung dari tingkat kebenciannya–, “agak jelek”, atau “tidak terlalu bagus”, dan sebagainya.

Jika pikiran dikuasai oleh kebodohan atau pandangan keliru (moha), maka lebih sukar pulalah ia melihat kebenaran. Seperti seorang yang buta sebelah, maka hanya dapat melihat sesuatu dengan kabur. Meskipun ia dapat menduga-duga, tapi umumnya tidak akan cocok dengan yang sebenarnya (kesunyataan), karena pikiran telah dikuasai oleh kebodohan/pandangan keliru (moha).

Nafsu, ketamakan, kebencian, dan kebodohan ini tidak hanya membuat ketidakseimbangan dan merusak pikiran, tetapi juga menutupi perkembangan kebijaksanaaan (panna), dimana kebijaksanaan inilah yang mampu menembus hakikat sesungguhnya yang akan dapat menyelaraskan bekerjanya pikiran. Dua obyek (kammatthana) tersebut yaitu:

  • Samatha Kammatthana : adalah pelatihan pikiran untuk mengembangkan ketenangan (samatha).
  • Vipassana Kammatthana : adalah pelatihan pikiran untuk mencapai Pandangan Terang (vipassana) tentang kesunyataan.

Mengusahakan ketenangan pikiran adalah langkah pertama, karena pikiran memerlukan pembersihan dari kekotoran-kekotoran atau noda-noda yang menutupi kejernihannya. Baru kemudian seseorang dapat berlatih melihat ke dalam diri (insight) sebagai akibat dari tenangnya pikiran yang telah bebas dari pengaruh noda batin tersebut. Apapun yang nantinya ditemui dan dialami, dapat dilihat dengan jelas sebagaimana adanya. Dengan demikian pengetahuan dan kebijaksanaan akan berkembang.

Tempat Perlindungan (SARANA)

Bagaikan bumi ini, menerima dan menjadi landasan dari tempat kita berpijak, itu pula diperlukan –saat permulaan dalam mengembangkan obyek latihan ini–, untuk mencari landasan yang kuat bagi pikiran. Dan tempat perlindungan yang tepat dari pikiran adalah Tiga Permata –Ti Ratana–, yaitu: Buddha, Dhamma, Sangha.

Pertama, seseorang haruslah menetapkan bahwa Buddha, Dhamma, dan Sangha adalah tempat perlindungan yang benar baginya, dengan mengingat kembali serta merenungkan kebajikan-kebajikan dan sifat-sifat luhurnya. Dengan demikian, Sang Buddha adalah memang benar-benar Ia, Yang Telah Mencapai Pencerahan Sempurna; Sang Dhamma adalah memang benar-benar merupakan sang Jalan untuk dilaksanakan atau dipraktikkan, yang menuntun menuju kepada akhir penderitaan; dan Sang Sangha adalah mereka yang dengan sungguh-sungguh mengikuti dan melaksanakan Jalan Dhamma, hingga mencapai hasil.

Mengusahakan penghargaan yang tinggi akan sifat-sifat luhur Sang Ti Ratana, membutuhkan pengertian yang dalam dari apa yang telah Sang Buddha ajarkan, yaitu dengan mempunyai keyakinan, akan menuntun ke arah berakhirnya semua penderitaan. Semakin dalam seseorang dapat merasakan keindahan Dhamma, maka ia semakin dapat menghargai dan mengagumi prestasi atau pencapaian Sang Buddha tersebut. Batin mereka teguh tak tergoncangkan dalam berlindung kepada Buddha, Dhamma, dan Sangha.

Kemantapan pikiran seseorang dalam berlindung kepada Sang Ti Ratana adalah langkah awal dalam mengembangkan obyek latihan dalam kammatthana ini. Jadi marilah kita meneguhkan hati dan pikiran dalam menerima Tiga Perlindungan ini, yakin sepenuhnya dalam Buddha, Dhamma, Sangha; dan juga percaya akan kesanggupan diri untuk berlatih, terutama dalam menggunakan obyek kammathana yang telah kita pilih untuk kita laksanakan/latih tersebut. Mengetahui bahwa ia akan membawa kita kepada ketenangan dan kedamaian, untuk menjadi bijaksana dan berpengetahuan luas. Inilah hal yang benar untuk mendukung pikiran kita.

Aturan dan Kebajikan Moral (SILA)

Sekarang kita beralih kepada suatu dasar, dimana pikiran dapat disandarkan. Ia adalah kebajikan moral (sila), yang mana ini sebenarnya merupakan bagian dari pikiran yang alamiah (pakati) yang tidak terganggu oleh kekotoran-kekotoran (noda-noda). Noda-noda inilah yang mendorong dan menyeret pikiran untuk berkeinginan atau berkehendak (cetana), sehingga menyebabkan terjadinya perbuatan-perbuatan salah dari jasmani dan batin. Kadang-kadang kita merasa sangat sulit untuk memelihara sesuatu yang alamiah ini (sila), karena lingkungan pekerjaan kita, dan lain sebagainya. Namun bagaimanapun juga, bila anda masuk pada Pelaksanaan Dhamma, anda harus mampu menjauhi dan menahan diri dari perbuatan-perbuatan salah serta tingkah laku buruk lainnya. Minimal, jangan melanggar Panca Sila.*)

Dari sekarang, anda harus berhati-hati untuk menjaga kemurnian pikiran anda. Jangan biarkan ia terdorong ke arah yang jelek. Jika Anda dapat memelihara pikiran yang alamiah ini (sila), maka anda akan merasakan pikiran yang terberkati oleh kebajikan moral. Sekali kebajikan itu timbul, ia akan menjadi dasar dari sang Pikiran. Dan bila pikiran anda telah mempunyai dasar -bersama dengan Tiga Perlindungan-, ia akan dapat melindungi pelaksanaan Dhamma anda dari serangan-serangan nafsu buruk dan kekotoran-kekotoran batin lainnya, sehingga kesempatan akan terbuka: kesempatan untuk terjun dalam praktik dengan obyek dari kammatthana, yang akan dapat menguatkan, meningkatkan, dan mengembangkan pikiran anda sendiri. ***

4 Agustus 1961

Catatan :

*) Lima Aturan Kemoralan (Panca Sila) adalah:
1. Saya berusaha menghindari diri dari pembunuhan makhluk hidup.
2. Saya berusaha menghindari diri dari pencurian.
3. Saya berusaha menghindari diri dari perilaku seksual yang salah.
4. Saya berusaha menghindari diri dari kebohongan dan ucapan yang salah.
5. Saya berusaha menghindari diri dari penggunaan makanan/minuman yang memabukkan (alkohol, obat bius, dll).


PERCAKAPAN 2

Dasar-dasar dari Kesadaran: Satipatthana

Pelajaran mengenai Dasar-dasar dari Kesadaran (Satipatthana Sutta) adalah secara langsung membahas dan menjelaskan tentang latihan dari pikiran. Sesungguhnya Sang Buddha telah dengan tegas menyatakan bahwa inilah, satu-satunya jalan untuk mengatasi penderitaan, untuk dapat melihat Dhamma dengan jelas, dan untuk mencapai akhir dari penderitaan dengan cara merealisasi Nibbana. Ini tentu termasuk kesempurnaan dari Ketenangan dan Pandangan Terang. Karena itu, sebagai permulaannya, kita perlu mengetahui dasar daripada latihan ini, yaitu kammatthana. Ini –yang telah disebutkan sebelumnya (dalam percakapan 1- red)– berarti medan berlatih, tempat bekerjanya pikiran. Dibutuhkan kebulatan tekad untuk mendirikan dasar bagi latihan kita ini. Di manakah dapat ditemukan dasar untuk konsentrasi kita?

Berusaha membentuk pikiran dengan cara memperhatikan kejadian-kejadian atau obyek-obyek di luar, seperti obyek penglihatan (visual), suara, bebauan, rasa, atau obyek-obyek batin, hanya akan menyebabkan masuknya kekotoran-kekotoran atau noda-noda batin ke dalam pikiran. Pikiran lalu akan bersandar pada kekotoran tersebut, bukannya pada kammatthana. Jadi keputusan yang benar, di mana seseorang mesti mengarahkan dan meletakkan dasar latihan, adalah sangat penting.

Sang Buddha mengajarkan bahwa kita seharusnya mengarahkan perhatian kita ke dalam diri kita sendiri. Dasar untuk pengembangan pikiran akan dapat dijumpai di sini juga, di dalam diri kita sendiri, sama sekali bukan pada benda-benda atau obyek-obyek di luar diri kita. Pada spesifikasinya, di dalam diri seseorang, meliputi tentang: badan jasmani (kaya), perasaan (vedana), pikiran (citta) dan bentuk-bentuk batin (dhamma). Semuanya lengkap ada dalam diri kita masing-masing.

Jasmani (Kaya)

Mengalihkan perhatian kita untuk kembali kepada diri sendiri –melihat dari luar ke dalam–, pertama-tama kita akan melihat jasmani kita. Kita melihat bahwa –apakah sewaktu terbangun atau tidur– terdapat suatu fungsi atau kegiatan jasmani yang mendasar dan penting, yaitu bernafas. Terdapat pula beberapa posisi badan, seperti: berjalan, berdiri, duduk, dan berbaring. Dari itu terjadi beberapa posisi lagi, misalnya ketika berjalan, seseorang mengayunkan dan menekuk lengan dan kakinya atau berputar dan memandang sekilas ke sekelilingnya. Demikian pula bila sedang duduk, kaki akan mengambil posisi tertentu pula.

Kemudian ada beberapa bagian lain dari jasmani ini, yang terbentuk dari organ-organ di dalam dan di luar (permukaan). Yang di luar (permukaan) adalah: rambut kepala, bulu badan, kuku, gigi, dan kulit. Yang di dalam misalnya: daging, urat, tulang, sumsum tulang, empedu, ginjal, hati, dan lain sebagainya.

Unsur-unsur jasmani ini seluruhnya dapat digolongkan dan dianggap sebagai suatu unsur (dhatu). Sebagai contoh misalnya organ tubuh yang bersifat keras tergolong unsur tanah, yang bersifat cair tergolong unsur air, yang bersifat panas tergolong unsur api, dan yang bersifat menimbulkan gerak tergolong unsur udara.

Selama unsur-unsur jasmani itu berada dalam kesatuan yang kompak, maka jasmani akan terlihat normal; tetapi bila mereka tercerai-berai, maka yang tinggal hanyalah seonggok jasmani yang mati (mayat). Misalnya jika unsur udara tidak berfungsi, maka pernafasan akan terhenti. Jasmani kemudian menjadi bengkak lalu membusuk sampai tinggal kerangka tulang saja. Akhirnya kerangka tulang ini pun akan terurai. Memang sebelumnya jasmani ini tidaklah ada, dan pada akhirnya pun ia akan kembali menjadi tiada. Inilah bagian pembahasan terhadap jasmani.

Perasaan (Vedana)

Dalam jasmani yang hidup, dimana unsur-unsurnya berada dalam keharmonian, terdapatlah pula Perasaan (Vedana), yaitu: perasaan yang menyenangkan (sukha-vedana), perasaan yang menyakitkan (dukkha-vedana), dan perasaan yang netral –dimana ia bukan menyakitkan dan bukan menyenangkan (adukkha-m-asukha-vedana). Contohnya jasmani mengalami rasa dingin-panas, lembut-keras.

Pikiran (Citta)

Jasmani yang lengkap dan unsur-unsurnya berfungsi lancar, akan memberikan dukungan dan kemudahan bagi sang pikiran. Keadaan pikiran tiap-tiap orang adalah berubah-ubah. Kadang-kadang muncul keserakahan yang menguasai pikiran, kadang-kadang surut; kadang-kadang ia dikuasai oleh kebencian atau kebodohan, kadang-kadang surut.

Obyek-obyek Batin (dhamma)

Bila kita memeriksa batin dengan lebih seksama, maka akan kita dapati bahwa ia selalu terlibat dan tersangkut dengan berbagai kejadian; kadang-kadang membuatnya menjadi baik, buruk, atau netral. Seperti yang disebutkan dalam bahasa Pali:

Kusala dhamma : semua obyek batin yang baik/bermanfaat
Akusala dhamma : semua obyek batin yang tidak baik/tidak bermanfaat
Abyakata dhamma : semua obyek batin yang di antaranya (netral).

Semua ini ada di dalam batin setiap orang.

Jadi sekarang dapat dikatakan bahwa jasmani ini, perasaan-perasaan, pikiran, dan obyek-obyek batin ini, bersama-sama membuat apa yang dikatakan sebagai AKU, dan di sinilah dasar dari perhatian dan kesadaran kita tujukan. Dalam praktiknya, pertama kita harus berkonsentrasi hanya pada satu obyek dahulu.

Memperhatikan Nafas

Langkah pertama adalah memperhatikan masuk-keluarnya nafas sebagai dasar untuk menguatkan Perhatian. Setiap makhluk hidup pastilah bernafas, tetapi kita hampir tidak pernah memperhatikannya. Jadi latihan kita yang sekarang adalah memusatkan perhatian pada pola pernafasan yang alamiah ini.

Sang Buddha menjelaskan (dalam khotbah-Nya), kita harus menopang badan dengan tegak — di sini dimaksudkan adalah duduk dengan kaki bersila, dalam posisi samadhi — dan dengan sungguh-sungguh memusatkan perhatian. Perhatian ditujukan kepada nafas yang masuk dan nafas yang keluar. Sebagai ganti membiarkan pikiran melayang kemana-mana (mengembara), kita konsentrasikan ia sepenuhnya kepada nafas. Ini akan mengantarkan kita menuju pada penyadaran yang lebih tajam. Nafas-panjang yang masuk, sadarilah ia. Nafas-keluar yang panjang, sadarilah ia. Demikian juga sadar akan nafas-masuk yang pendek dan nafas-keluar yang pendek; tetapi jangan dengan cara membuat-buat atau memaksakan jalannya nafas itu. Biarkan ia berproses secara alamiah, hanya perlu diketahui atau disadari saja.

Penjelasan dilanjutkan dengan instruksi untuk memperhatikan keseluruhan jasmani. Alami dan ketahui seluruh jasmani anda seperti nafas yang masuk dan keluar. Perluas kesadaran anda agar melingkupi seluruh jasmani, termasuk juga kelompok batin (nama-kaya) dan kelompok jasmani (rupa-kaya).

Berkenaan dengan kelompok batin, awasi keadaan dari pikiran, keadaan kesadaran dan konsentrasi anda pada saat itu. Bagaimana keadaan mereka saat itu? Catat/perhatikan jasmani anda dengan seksama, bagaimana keadaan dan posisinya. Bagaimana dengan sikap duduk anda? Dari telapak kaki ke atas dan dari atas kepala ke bawah: sadari sepenuhnya jasmani anda.

Setelah kita menyempurnakan sepenuhnya penyadaran pada kedua kelompok tersebut, pelajaran dilanjutkan dengan cara menenangkan nafas yang masuk dan keluar. Tidak dengan cara memaksakan atau menahan nafas, tetapi membuat ia tenang dengan cara alamiah. Ketika pikiran telah semakin tenang, maka begitu pula dengan nafas. Sang Buddha berkata bahwa jika pikiran tidak tenang, maka nafas akan menjadi kasar dan besar (berbunyi). Demikian pula bila pikiran menjadi tenang, maka nafas pun akan menjadi halus dan lembut. Kadang-kadang anda akan merasakan nafas berhenti, anda tidak perlu panik. Tenanglah karena nafas anda masih ada.

Empat hal pokok dalam Latihan

Anda harus memiliki SEMANGAT dan KEBULATAN TEKAD (ATAPA) dalam melakukan latihan, termasuk juga kesungguhan hati. Misalnya anda telah menetapkan berlatih untuk jangka waktu tertentu, maka anda harus memenuhi maksud tersebut tanpa rasa malas atau mempersingkat waktunya. Meskipun mungkin anda merasa gagal dan ingin menyerah, anda harus meneruskan untuk menyelesaikan maksud anda itu. Dengan kesungguhan hati, semuanya akan berjalan dengan lancar dan baik. Jadi semangat dan kebulatan tekad (atapa) adalah hal pokok yang pertama di dalam latihan.

Prinsip yang kedua adalah KESADARAN dan PENGERTIAN JELAS (SAMPAJANNA) terhadap diri sendiri pada setiap saat. Jangan lupa diri atau lalai oleh rasa kantuk atau kehilangan perhatian. Membiarkan tertidur dan membiarkan perhatian anda memudar, menunjukkan hilangnya kewaspadaan dalam latihan kammatthana anda. Ini sama seperti orang tersesat di jalan dan jatuh ke dalam jurang atau lubang. Oleh karena itu, kesadaran dan pengertian jelas harus dijaga dan didukung dengan baik. Ini adalah hal pokok yang kedua.

Prinsip berikutnya adalah: PERHATIAN MURNI (SATI), yaitu kesadaran yang dibangun dengan mantap dan kuat tanpa menyimpang dari obyek yang telah dipilih. Mungkin obyek batin lain tiba-tiba muncul mengganggu, seperti kegiuran (piti) atau keriaan, maka janganlah biarkan dirimu hanyut oleh hal-hal tersebut, tapi cepat-cepatlah kembali kepada obyek semula. Misalnya, tolaklah semua gangguan-gangguan tersebut dan kembalikan perhatian anda sepenuhnya pada masuk dan keluarnya nafas.

Apabila Perhatian Murni ini dapat dipertahankan, maka latihan Anda akan maju tanpa halangan –yang mungkin timbul dari kelalaian pikiran–, mengusir bentuk-bentuk pikiran dan emosi yang telah muncul. Halangan muncul bila kita terlalu mudah melepaskan kesadaran dan melamun tanpa perhatian. Oleh karena itu bangunlah dengan kuat perhatian anda, jangan lengah! Ini adalah hal pokok yang ketiga.

Prinsip yang ke-4 adalah MENGATASI KEMELEKATAN TERHADAP KEINGINAN DAN KEBENCIAN TERHADAP DUNIA/KEHIDUPAN. Ini adalah hal yang penting. Misalnya bila kita mengalami pengalaman batin yang menyenangkan dalam latihan, kita harus menganggapnya sebagai sesuatu yang palsu dan suatu persepsi yang keliru/salah. Demikian juga pengalaman yang tidak menyenangkan muncul, kita harus menyadarinya bahwa tidak ada satu pun darinya yang nyata/riil. Dengan tiada menyenangi maupun membenci sesuatu yang muncul, kita harus melanjutkan perhatian pada obyek yang telah dipilih dan berpusatlah di sana. Dengan cara ini, konsentrasi (samadhi) dan kebijaksanaan (panna) akan muncul, dan latihan anda akan maju dengan pesat.

Empat hal pokok ini adalah sangat penting bagi setiap orang yang berlatih. Jika mereka (hal-hal pokok tersebut) dilepaskan, maka latihan akan gagal –dan kemungkinan mengakibatkan bahaya. Namun dengan menggunakan prinsip-prinsip yang benar, latihan tersebut akan dapat memberikan manfaat dan kemajuan yang besar.***

5 Agustus 1961

Leave a Reply 0 comments