Safari Dhamma ke-8
Oleh : YM UTTAMO MAHATHERA
“SENI MENGHADAPI PERUBAHAN”
Safari Dhamma ke-8 ini, mengambil tema “Seni Menghadapi Perubahan”. Selama 3 hari berturut-turut, pada tempat yang berbeda, YM Uttamo Mahathera memberi bimbingan kepada kita bagaimana menghadapi perubahan dengan beberapa cara.
Balai Budaya, Gianyar (Jumat, 5 Maret 2010)
Segala bentuk perubahan itu bisa dilihat dari 2 sudut. Sudut baik dan sudut jelek. Seni menghadapi perubahan adalah bagaimana kita selalu melalui setiap perubahan dari sudut pandang yang menyenangkan. Sehingga bertemu dengan yang dicintai akan berbahagia, berpisah dengan yang dicintai pun tetap tidak menderita.
Dimana letak kebahagiaan itu semua tergantung dari pola pikir kita. Cara menyikapi perubahan itulah yang membuat kita bahagia atau menderita. Hidup selalu berubah, tapi pola pikir kita untuk menghadapi perubahan itulah yang paling penting. Seni menyikapi perubahan adalah bagaimana kita selalu bahagia menghadapi setiap perubahan.
Kalau perlu, buatlah catatan di buku, segala sesuatu yang membahagiakan. Mulai dari hal-hal yang kecil. Semakin mampu mencatat lebih banyak kejadian yang membahagiakan dalam setiap harinya, semakin bahagia pula hidup yang dirasakannya.
Salah satu cara sederhana untuk merasakan kebahagiaan setiap saat adalah dengan menggunakan mantra ‘UNTUNG”. Mantra ini akan mengkondisikan kita selalu melihat segala sesuatu dari segi positif.
Misalnya, ketika mengalami kerugian kerja sebesar X rupiah, maka agar mampu menerima kenyataan ini, katakanlah dalam batin, “untung saya hanya rugi X rupiah, bukan 2X atau bahkan 4X”. Dengan pemikiran ini, batin menjadi lebih tenang menghadapi segala bentuk perubahan. Dalam hal ini, harapan mendapatkan keuntungan ternyata berubah menjadi kerugian.
Namun, kemampuan menerima kenyataan bukanlah akhir segalanya. Kemampuan ini hanya awal untuk menjadikan pengalaman tersebut sebagai pelajaran.
Dengan demikian, pengalaman buruk yang kita dapatkan, setelah mampu diterima dengan kata ‘UNTUNG’, kemudian jadikanlah pengalaman buruk itu sebagai pelajaran. Carilah penyebab timbulnya pengalaman tersebut, misalnya penyebab kerugian yang telah terjadi. Setelah menemukan penyebabnya, gunakanlah kesempatan saat ini untuk memperbaiki atau bahkan menghindari kejadian buruk yang tidak diharapkan tersebut muncul kembali di masa depan.
Sebaliknya, apabila mengalami kebahagiaan, misalnya keuntungan, maka jadikanlah pengalaman ini sebagai pelajaran dengan mencari sebab keuntungan itu diperoleh. Gunakanlah kesempatan saat ini untuk mempertahankan bahkan meningkatkan kebahagiaan yang telah diperoleh agar terjadi kembali di masa mendatang.
Kesimpulannya, jadikanlah segala suka duka kehidupan di segala bidang sebagai pelajaran untuk meningkatkan kualitas diri di masa sekarang maupun di masa depan.
Gunakan mantra “UNTUNG” ini sebanyak-banyaknya dalam setiap kesempatan. Jadikan segala pengalaman dalam kehidupan kita ini sebagai pelajaran. Semakin lama dan trampil kita menggunakan teori UNTUNG ini, semakin bahagia pula kehidupan kita, di rumah tangga, pekerjaan dan dimana saja.
Kalau kita merasakan kebahagiaan di segala segi kehidupan, kita mampu selalu tersenyum. Kita juga bisa menularkan ‘virus’ senyuman kepada keluarga, lingkungan, masyarakat. Apalagi semakin banyak orang yang menggunakan teori UNTUNG, semakin banyak pula orang mempunyai seni menghadapi perubahan. Tentu saja akan semakin banyak orang yang tersenyum dalam masyarakat. Dengan demikian, terwujudlah masyarakat yang ramah dan penuh senyum karena banyak orang terbiasa mengatakan UNTUNG, UNTUNG dan UNTUNG sebagai seni menghadapi perubahan.
Hotel Banyu Alit, Singaraja (Sabtu, 6 Maret 2010)
YM Uttamo Mahathera menghubungkan perubahan dengan perpisahan. Ada pertemuan, ada perpisahan. Kemudian ada kelahiran, ada kematian. Ada bumi terbentuk, ada kiamat. Perubahan adalah milik kita semua.
Membahas tentang kiamat, bisa dibagi menjadi tiga jenis yaitu kiamat besar adalah hancurnya bumi kita, kiamat menengah adalah kematian sebagai akhir kehidupan dan kiamat kecil adalah perpisahan setelah terjadi pertemuan.
KIAMAT BESAR yaitu hancurnya bumi yang dalam pengertian Buddhis pasti akan terjadi namun masih perlu waktu yang sangat lama. Disebutkan dalam Dhamma, salah satu tanda penunjuk sudah dekatnya kiamat bumi adalah Agama Buddha dilupakan orang. Tidak ada lagi vihara, bhikkhu maupun buku Dhamma. Padahal, saat ini bhikkhu di seluruh dunia masih sangat banyak, demikian pula buku Dhamma maupun vihara. Dengan demikian, kiamat bumi pasti belum terjadi dalam waktu beberapa tahun ke depan. Mungkin masih perlu puluhan, ratusan bahkan ribuan tahun lagi.
Adapun KIAMAT MENENGAH atau kematian mungkin saja terjadi setiap saat. Dalam Ajaran Sang Buddha disebutkan bahwa hidup tidak pasti, kematian itulah yang pasti. Setiap orang mengetahui bahwa saat ini ia masih hidup. Namun, orang tidak mengetahui sampai berapa lama ia masih tetap hidup. Ia hanya mengetahui, bahwa suatu saat, ia akan meninggal dunia. Karena itu, tentu timbul pertanyaan dalam batin mereka yang bijaksana, apakah yang harus dilakukan selama hidup ini sehingga siap menghadapi kematian sebagai kiamat menengah.
Sedangkan KIAMAT KECIL adalah pertemuan yang pasti berakhir dengan perpisahan. Di dunia, bahkan di alam semesta ini tidak ada sesuatu yang kekal. Hanya ketidakkekalan itulah yang kekal. Oleh karena itu, seseorang hendaknya selalu mengisi pertemuan dengan berbagai hal baik melalui badan, ucapan dan juga pikiran. Dengan demikian, pada saat terjadi perpisahan sebagai kiamat kecil, ada banyak kenangan indah yang berkesan untuk kedua belah fihak.
Dengan selalu mengisi KEBAJIKAN SETIAP SAAT, maka bukan hanya kiamat kecil yang memberikan kesan baik melainkan juga ketika suatu saat tiba kiamat menengah, ia pun telah banyak memiliki jasa kebajikan yang dapat mengkondisikan terlahir di alam bahagia setelah kehidupan ini. Bahkan, ketika bumi ini pun hancur sebagai kiamat besar, dengan bekal kebajikan yang dilakukan setiap saat, seseorang tidak akan menderita di kehidupan yang selanjutnya. Ia akan terkondisi lahir di alam bahagia untuk waktu yang lama.
Oleh karena itu, seni menghadapi perubahan dalam hidup hendaknya diwujudkan dengan selalu menambah kebajikan melalui badan, ucapan dan pikiran di setiap kesempatan, di setiap segi kehidupan. Jadikanlah setiap kehadiran kita di satu saat dan di satu tempat selalu memberikan kesan baik kepada siapapun yang kita temui pada waktu itu.
Hongkong Garden Restaurant, Denpasar (Minggu, 7 Maret 2010)
Dalam kehidupan ini, kita harus bisa menerima hal baik dan buruk. Bahagia-Menderita, Sehat-Sakit, Untung-Rugi, adalah saudara kembar yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan kita. Kita tidak bisa hanya mengharapkan yang menguntungkan, menolak yang merugikan. Tidak akan pernah bisa. Kita harus bisa menerima kedua-duanya. Sesungguhnya perubahan di dalam kehidupan ini, adalah kenyataan yang tidak bisa ditolak. Perubahan adalah keniscayaan.
Lantas bagaimana kita menghadapi perubahan? KASIH adalah kunci untuk menyikapi perubahan. KASIH itu adalah kiat, seni menghadapi perubahan.
Apa yg disebut KASIH? KASIH itu adalah memberi. Sikap kita untuk menerima perubahan, dimulai, dilatih, dikondisikan, dengan kemampuan melepas sebagian dari milik kita. Ketika kita memiliki barang, kita ingat dengan pihak lain yang tidak memiliki. Ini adalah latihan berbagi, memberi, mengasihi lingkungan kita.
Hukum di alam itu, kita menanamkan KASIH, baru menerima KASIH. Kalau kita memberi baru kita akan mendapat. Tetapi dalam masyarakat, sering kita mendengar istilah ‘terima kasih’ yang dapat diartikan bahwa kalau kita bertemu dengan seseorang, lalu di dalam batin kita berpikir, “saya bisa menerima apa dari kamu sehingga nanti aku baru bisa memberi sesuatu kepada kamu”.
Tapi ada kasih yang lebih tinggi kualitasnya daripada kerelaan dalam bentuk materi. Kasih atau kerelaan yang berhubungan dengan perubahan ini, adalah memberikan EGO kita, yang sesungguhnya menjadi dasar kesiapan mental kita menghadapi perubahan.
Kita takut menghadapi perubahan karena EGO. Tidak mau melepas, zona kenyamanan (comfort zone) yang telah kita miliki. Padahal kita tahu bahwa pertemuan pasti berakhir dengan perpisahan. Kita harus terima perubaha itu sebagai kenyataan. Kita tidak bisa mengubah “perubahan”. Yang bisa kita ubah adalah sikap mental kita menghadapi perubahan, yang dapat dilatih dengan pelepasan.
Segala sesuatu selalu berubah setiap saat, tapi kalau kita bisa mengendalikan batin kita, EGO kita, maka kita tidak akan melekat pada masa lampau, tidak juga terlalu ketakutan akan masa depan. Tapi kita akan selalu hidup masa kini mengikuti proses yang terjadi setiap saat.
Masa lampau hendaknya dijadikan pelajaran untuk diperbaiki pada saat ini. Masa depan menjadi tujuan untuk melangkah secara pasti yang harus dimulai pada saat ini juga. Dan, saat ini adalah kehidupan, saat ini adalah perubahan, saat inilah pelaksanaan kasih untuk mencapai kebahagaian.
Inilah kasih. Inilah kerelaan terhadap ego yang dimiliki sebagai seni menghadapi perubahan.
Semoga rangkuman ini bisa memberikan manfaat bagi kita semua.
Sabbe Satta Bhavantu Sukhitatta.
Dirangkum oleh : Citra, Officer BUC Bali
Sumber :
Facebook Bodhigiri Uttama Caritta (BUC)
Editor :
Samaggi Phala