Silavanaga Jataka

SĪLAVANĀGA-JĀTAKA

Sumber : Indonesia Tipitaka Center

“Semakin kurangnya rasa berterima kasih,” dan seterusnya. Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berada di Weluwana (Veḷuvana, Hutan Bambu) mengenai Dewadatta (Devadatta). Para bhikkhu duduk di Balai Kebenaran, berkata, “Awuso, Dewadatta tidak tahu berterima kasih dan tidak mengenali kebaikan dari Bhagawan.” Setelah memasuki Balai Kebenaran, Sang Guru bertanya apa yang menjadi topik pembicaraan mereka, dan mereka kemudian memberitahukannya kepada beliau. “Ini bukan pertama kalinya, para Bhikkhu,” kata beliau, “bahwa Dewadatta tidak tahu berterima kasih; pada kehidupan yang lampau ia juga bersikap demikian, ia tidak pernah mengetahui kebaikanku.” Setelah mengucapkan kata-kata tersebut, atas permohonan mereka, beliau menceritakan kisah kelahiran lampau ini.

___________________

Pada suatu ketika Brahmadatta memerintah di Benares, Bodhisatta dikandung oleh seekor gajah di Pegunungan Himalaya. Saat lahir, ia berwarna putih secara keseluruhan, seperti sebongkah perak yang besar. Matanya seperti batu berlian, laksana perwujudan dari lima kecemerlangan; merah mulutnya laksana kain yang berwarna merah tua; belalainya bagaikan perak dengan bintik merah keemasan; keempat kakinya seakan disemir dengan pernis. Demikian juga dengan dirinya, berhiaskan sepuluh kesempurnaan, yang merupakan perwujudan keindahan. Setelah dewasa, semua gajah di Pegunungan Himalaya dalam satu kesatuan [320] mengikutinya sebagai pemimpin mereka. Saat menetap di Pegunungan Himalaya dengan delapan puluh ribu (80.000) ekor gajah sebagai pengikutnya, ia menyadari timbulnya kesombongan karena menjadi pemimpin rombongan besar. Maka, setelah memisahkan diri dari mereka, ia tinggal dalam kesunyian di dalam hutan, dan kebaikan dalam menjalani kehidupannya membuat ia mendapat gelar Raja Gajah Yang Baik.

Sementara itu, ada seorang perimba 144 dari Benares yang datang ke Pegunungan Himalaya, ia masuk ke dalam hutan untuk mencari kayu-kayu sebagai mata pencahariannya. Karena kehilangan arah dan posisi, ia berjalan hilir mudik, merentangkan tangan dengan penuh keputusasaan dan menangis tersedu sedan, takut pada kematian yang telah berada di depan matanya. Mendengar suara tangisan seseorang, Bodhisatta digerakkan oleh rasa belas kasihan dan memutuskan untuk menolong lelaki tersebut yang membutuhkan pertolongan. Ia mendekati lelaki tersebut. Namun, saat melihat gajah tersebut, perimba itu lari ketakutan.145 Melihat ia melarikan diri, Bodhisatta tidak bergerak, hal ini membuat lelaki tersebut juga berhenti berlari. Lalu Bodhisatta bergerak maju, perimba itu kembali berlari, dan berhenti sekali lagi saat Bodhisatta berhenti. Lalu lelaki ini melihat kebenaran bahwa gajah itu berhenti jika ia berlari, dan hanya bergerak maju saat ia berhenti. Karenanya, ia menyimpulkan bahwa hewan itu tidak berniat untuk mencelakakannya, melainkan hendak menolongnya. Maka dengan berani ia tetap berdiri di tempat. Bodhisatta mendekat dan berkata, “Mengapa, temanku manusia, engkau menjelajahi tempat ini sambil meratap?”

“Tuanku,” jawab perimba itu, “saya kehilangan arah dan posisi, serta merasa takut akan kematian.”

Lalu gajah itu membawa lelaki tersebut ke tempat tinggalnya dan menjamunya selama beberapa hari di sana, menyuguhinya dengan semua jenis buah-buahan. Kemudian berkata, “Jangan khawatir, temanku manusia, saya akan membawamu kembali ke perkampungan manusia.” Gajah tersebut menempatkan perimba itu di punggungnya dan membawanya ke tempat tinggal manusia. Namun orang yang tidak tahu berterima kasih itu berpikir, jika ditanyai, ia harus mengungkapkan semuanya. Maka sepanjang jalan di punggung gajah tersebut, ia menandai semua posisi pohon dan bukit. Akhirnya gajah tersebut membawanya ke luar dari hutan dan menurunkannya pada jalan menuju Benares, sambil berkata, “Ini adalah jalan pulangmu, temanku manusia. Jangan katakan pada siapa pun, apakah kamu ditanya maupun tidak, tentang tempat tinggalku.” Dengan kata-kata tersebut, Bodhisatta menempuh perjalanan kembali ke tempat tinggalnya.

Setibanya di Benares, lelaki itu berjalan sesuai dengan tujuannya melalui kota menuju ke pasar para perajin gading. Ia melihat gading diolah menjadi berbagai bentuk dan kondisi. Ia bertanya kepada para perajin [321] apakah mereka akan memberikan sesuatu untuk gading seekor gajah yang masih hidup.

“Apa yang membuatmu mengajukan pertanyaan seperti itu?” tanya mereka. “Gading gajah yang masih hidup jauh lebih berharga daripada yang telah mati.”

“Kalau begitu, saya akan membawakan beberapa gading untuk kalian,” katanya dan segera berangkat menuju tempat tinggal Bodhisatta, dengan membawa bekal selama perjalanan dan juga sebuah gergaji yang tajam. Ketika ditanya apa yang membuat ia kembali, ia mengeluh bahwa ia sangat miskin dan dalam keadaan yang menyedihkan sehingga ia tidak bisa bertahan hidup. Karena itu, ia kembali untuk meminta sedikit gading dari gajah yang baik hati itu untuk dijual agar dapat menghidupi dirinya. “Baiklah, saya akan memberikan seluruh gading kepadamu,” kata Bodhisatta, “jika kamu mempunyai sebuah gergaji untuk memotongnya.” “Oh, saya membawa sebuah gergaji, Tuan.” “Kalau begitu, gergajilah gading-gading saya dan bawalah bersamamu,” kata Bodhisatta. Kemudian ia menekuk lututnya hingga berbaring di atas tanah seperti seekor sapi. Perimba itu menggergaji kedua gading utama Bodhisatta. Setelah gading-gading itu putus, Bodhisatta mengangkat gadinggading itu dengan belalainya dan berkata kepada lelaki itu, “Janganlah berpikir, temanku manusia, bahwa saya tidak menghargai atau tidak menjunjung gading-gading ini sehingga saya memberikan gading-gading ini kepadamu. Namun seribu kali, seratus ribu kali, saya lebih menyayangi gading pengetahuan tiada batas yang bisa memahami semua hal. Karena itu, semoga pemberian saya akan gading-gading ini kepadamu membawa pengetahuan tiada batas kepadaku.” Diiringi kata-kata tersebut, ia memberikan sepasang gading itu kepada perimba tersebut sebagai harga atas pengetahuan tiada batas.

Lelaki tersebut membawa kedua gading itu pergi dan menjualnya. Setelah menghabiskan uangnya, ia kembali menemui Bodhisatta, berkata bahwa kedua gading tersebut hanya cukup baginya untuk membayar hutang-hutang lamanya, dan memohon agar Bodhisatta memberikan sisa gadingnya. Bodhisatta menyetujuinya, dan memberikan sisa gadingnya setelah membiarkannya dipotong seperti sebelumnya. Perimba itu pergi dan menjual sisa gading itu juga. Kembali lagi, ia berkata, “Tidak ada gunanya, Tuanku. Saya tetap tidak bisa bertahan hidup. Jadi, berikanlah padaku pangkal gadingmu.”

“Ambillah,” kata Bodhisatta; dan ia berbaring seperti sebelumnya. Lalu penjahat yang sangat keji itu menginjak belalai Bodhisatta, belalai yang suci laksana untaian perak, dan merangkak naik ke atas pelipis calon Buddha itu, yang bagaikan puncak Gunung Kelasa (Kelāsa) yang bersalju,—menyepak akar gading itu hingga dagingnya terkelupas. Lalu ia menggergaji pangkal gading itu dan pergi setelah mendapatkannya. Begitu orang jahat itu menghilang dari pandangan Bodhisatta, tanah yang padat, yang tidak terbayangkan luasnya, [322] yang dapat menahan beban Gunung Sineru dan puncak-puncak yang mengelilinginya, beserta semua kotoran dunia yang menjijikkan, meledak hancur berantakan membentuk sebuah jurang yang menganga,—seakan tidak mampu menahan beban semua kekejian itu. Seketika itu juga, nyala api dari neraka yang paling bawah menyelubungi orang yang tidak tahu berterima kasih itu, membungkusnya seperti kain kafan kematian, dan membawanya pergi. Saat penjahat itu ditelan ke dalam perut bumi, dewa pohon yang tinggal di hutan itu membuat wilayah itu menggemakan kata-kata berikut, “Bahkan hadiah berupa kerajaan yang meliputi seluruh dunia pun tidak dapat memuaskan mereka yang tidak tahu berterima kasih dan tidak tahu bersyukur.” Dan dalam syair berikut, Dewa tersebut mengajarkan tentang kebenaran : —

Semakin kurangnya rasa berterima kasih, semakin
Banyak yang diminta;
Semua hal di dunia tidak dapat memuaskan nafsunya.

Dewa pohon membuat hutan itu bergema kembali dengan syair tersebut. Sementara Bodhisatta, setelah meninggal dunia, terlahir kembali di alam yang sesuai dengan perbuatannya.

____________________

Kata Sang Guru, “Ini bukan pertama kalinya, para Bhikkhu, bahwa Dewadatta menunjukkan rasa tidak tahu berterima kasih; ia juga menunjukkan sikap yang sama pada kelahiran yang lampau.” Setelah uraiannya berakhir, beliau menjelaskan kelahiran tersebut, “Dewadatta adalah orang yang tidak tahu berterima kasih pada masa itu, Sariputta adalah dewa pohon; dan saya sendiri adalah raja gajah yang baik.”

[Catatan : Cf. Milinda-pañho 202,29.]

Catatan kaki :

144 Menurut penjelasan di Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), bahwa perimba adalah orang yang mencari nafkah di rimba (hutan lebat, yang luas dengan pohon yang besar-besar).

145 Seekor gajah yang menyendiri, atau ‘terpisah dari kelompoknya’, sangat berbahaya untuk ditemui.

Leave a Reply 2 comments