5. Sopaka Yang Malang
Tersebutlah seorang anak bernama Sopaka. Ia berasal dari keluarga yang sangat miskin. Ketika Sopaka berusia tujuh tahun, ayahnya meninggal dunia. Ibunya kawin lagi dengan seorang laki-laki yang amat kejam, jahat dan kasar. Ia selalu memukul, mencaci-maki dan membentak Sopaka kecil yang ramah, tidak berdosa dan baik hati itu. Ayah tirinya selalu berpikir:
“Anak ini selalu menyusahkan saja. Ia tidak ada gunanya. Saya amat membencinya tetapi tidak dapat melakukan apa-apa kepadanya, karena ibunya amat mencintainya. Apa yang harus saya lakukan?”.
Pada suatu malam ia berkata kepada Sopaka:
“Anakku, marilah kita berjalan-jalan”.
Sopaka sangat heran karena ayah tirinya berbicara begitu ramah sehingga ia berpikir:
“Ayah tiriku tidak pernah berbicara begitu ramah kepadaku. Tetapi sekarang kelihatannya amat baik. Mungkin ibuku yang memintanya untuk berlaku ramah kepadaku”.
Lalu ia ikut pergi bersama ayah tirinya.
Ayah tirinya membawanya ke kuburan yang banyak mayat berserakan. Lalu ia mengikat Sopaka ke satu mayat dan meninggalkannya di sana. Sopaka segera menangis:
“Ayah, saya mohon ayah tidak mengikat saya ke mayat yang bau dan kotor ini. Saya mohon, ayah. Saya amat takut, ayah”.
Sopaka menjerit sekerasnya. Tetapi ayah tirinya pergi tanpa memperdulikan Sopaka lagi.
Di sekitar tempat itu amat gelap, Sopaka amat ketakutan. Tak ada seorang pun di kuburan itu. Karena Sopaka amat ketakutan, rambutnya berdiri dan keringat mulai menetes membasahi seluruh tubuhnya. Bajunya basah oleh keringat yang menetes. Apalagi ketika ia mendengar suara-suara harimau, serigala, macan tutul, dan binatang buas lainnya, Sopaka menangis dan menjerit sekeras-kerasnya. Sopaka menyadari bahwa ia hanya seorang diri di situ dan tidak ada seorang pun yang dapat menolongnya.
Tiba-tiba ia melihat seorang laki-laki yang berwajah amat mulia, tampan dan bersinar amat terang mendatanginya. Sopaka mendengar ia berkata dengan suaranya yang amat lembut:
“Sopaka, janganlah menangis. Saya ada disini untuk menolongmu. Jangan takut!”.
Dan pada saat itu juga Sopaka dapat melepaskan ikatannya dan berdiri di hadapan Sang Buddha di Vihara Jetavana.
Sopaka tidak mempercayai penglihatan dan pendengarannya. Meskipun Sang Buddha berada di tempat yang sangat jauh dari kuburan itu, tetapi Beliau mendengar tangisan Sopaka, dan mengirimkan sinar terang ke depan Sopaka dan memutuskan tali ikatan dengan kekuatanNya. Sesampainya Sopaka yang malang di Vihara, Sang Buddha memandikan dan memakaikannya jubah, lalu memberinya makanan, dan menghiburnya.
Ketika ayah tiri yang kejam tersebut pulang ke rumah, ibu Sopaka bertanya:
“Kemana anakku?”.
“Saya tidak tahu”, jawab laki-laki kejam itu.
“Ia pulang sebelum saya pulang. Saya pikir, ia sedang tidur”.
Ibu Sopaka lalu mencari-cari anaknya tetapi tidak ditemukannya. Ia tidak bisa tidur sepanjang malam. Ia menangis dan menangis terus menerus memikirkan Sopaka.
Keesokan paginya ia berpikir:
“Sang Buddha pasti mengetahui semuanya, masa lampau, masa kini dan masa yang akan datang. Saya harus ke Vihara menemui Sang Buddha, dan bertanya dimanakah anak saya berada?”.
Dengan menangis dan bercucuran air mata, ia pergi ke Vihara.
Sang Buddha bertanya kepadanya:
“Mengapa engkau menangis?”.
“Oh, Sang Buddha”, kata ibu Sopaka, “Saya hanya mempunyai seorang anak laki-laki. Ia hilang sejak semalam. Suami saya membawanya berjalan-jalan, ketika pulang ke rumah, ia berkata bahwa ia tidak tahu apa yang terjadi dengan anak saya”.
“Jangan khawatir, anakmu selamat. Ia ada di sini”.
Setelah berkata demikian, Sang Buddha memanggil Sopaka, yang sekarang telah menjadi samanera, bukan sebagai Sopaka yang dahulu lagi. Ibu Sopaka amat bahagia melihat anaknya kembali.
Mendengar ajaran Sang Buddha, ibu Sopaka amat berbahagia, dan berterima kasih kepada Sang Buddha yang telah menyelamatkan anaknya. Kemudian ia menjadi pengikut Sang Buddha.