9. Visakha
Seperti dari setumpuk bunga dapat dibuat banyak karangan bunga; demikian pula hendaknya banyak kebajikan dapat dilakukan oleh manusia di dunia ini.
Visakha adalah puteri dari seorang hartawan dari Bhaddiya bernama Dhananjaya dan ibunya bernama Sumanadevi. Kakek Visakha adalah seorang hartawan bernama Ram, yang merupakan salah satu dari lima hartawan di wilayah kerajaan Raja Bimbisara.
Pada suatu hari, ketika kakek Visakha mendengar kabar bahwa Sang Buddha sedang berjalan memasuki kota, ia mengajak Visakha yang baru berusia tujuh tahun bersama lima ratus pengawalnya untuk memberikan penghormatan kepada Sang Buddha.
“Cucuku sayang, hari ini hari bahagia untukmu dan untukku, kumpulkan lima ratus pengawal beserta lima ratus pelayan. Mari kita temui Sang Buddha”, kata kakek Visakha.
“Baiklah!” jawab Visakha. Keesokan harinya kakek Visakha mengundang Sang Buddha bersama para bhikkhu untuk menerima persembahan dana darinya. Setelah mendengar khotbah Sang Buddha, Kakek Visakha, Visakha dan lima ratus pengawalnya mencapai tingkat kesucian Sotapatti.
Ketika Visakha dewasa, dia tumbuh menjadi wanita yang sangat cantik. Ia dipersunting oleh Punnavaddhana, putra Migara, seorang hartawan dari Savatthi. Pada waktu ia pindah mengikuti suaminya ke Savatthi, ayahnya meminta 8 orang penasihat mengiringinya ke Savatthi.
Pada suatu hari, ketika ayah mertuanya sedang makan siang di rumahnya, seorang bhikkhu berhenti di rumah tersebut untuk berpindapatta, Visakha yang pada saat itu sedang berdiri di dekat ayah mertuanya, ketika melihat bhikkhu itu, ia lalu berpikir, adalah tidak tepat jika saya memberitahukan kepada ayah mertua tentang kedatangan bhikkhu tersebut. Ia lalu bergeser ke samping supaya ayah mertuanya melihat kedatangan bhikkhu itu.
Tapi ketika ayah mertua melihat kedatangan bhikkhu tersebut, beliau tidak perduli, dan meneruskan makan siangnya. Visakha berpikir, “Ayah mertuaku sudah melihat kedatangan bhikkhu itu tapi beliau tidak perduli.” Akhirnya ia berkata kepada bhikkhu tersebut, “Bhante, maafkanlah ayah mertua saya sedang makan makanan sisa,”
Ayah mertua yang sedang makan, mendengar ucapan menantunya bahwa ia makan makanan sisa, lalu mengibaskan tangannya dan berkata dengan marah, “Buang makanan ini dan usir perempuan itu dari rumah sekarang juga!”
Visakha yang mendengar ayah mertuanya marah dan mengusirnya, berkata dengan lembut, “Ayah, tidaklah cukup alasan yang mengharuskan saya pergi dari rumah ini, ayah saya mengirim 8 orang penasihat untuk mengawasi saya apabila saya melakukan kekeliruan. Saya akan mengundang mereka dan menjelaskan apa yang terjadi.”
Ayah mertuanya menyetujui ucapan Visakha untuk memanggil ke 8 penasihat tersebut. Ketika para penasihat itu berkumpul, Migara berkata, “Ketika saya sedang makan dengan piring emas, Visakha mengatakan saya sedang makan makanan sisa, maka saya mengusirnya keluar dari rumah ini.”
“Apakah benar anakku?” tanya para penasihat. “Saya tidak mengatakan demikian yang terjadi sebagai berikut, ketika seorang bhikkhu sedang berpindapata, berdiri di depan pintu, ayah mertua yang sedang makan dengan piring emas tidak mempedulikan bhikkhu tersebut.” Jadi saya berkata, “Bhante, maafkanlah ayah mertua saya sedang makan makanan sisa. Saya pikir ayah mertua saya tidak mau melakukan perbuatan baik saat ini, beliau hanya makan hasil dari perbuatan baiknya di masa lampau.”
“Apakah saya berkata salah, Tuan?” tanya Visakha kepada para penasihat. “Tidak, kamu tidak bersalah, apa yang Visakha katakan seluruhnya benar”, jawab para penasihat. “Mengapa tuan marah kepadanya?” tanya salah satu penasihat kepada Migara.
Akhirnya ayah mertuanya menyadari kekeliruannya, lalu Visakha berkata, “Tuan-tuan, meskipun pada mulanya tidaklah benar bila saya meninggalkan rumah ini atas perintah ayah, dan sekarang anda telah membebaskan saya atas semua tuduhan terhadap saya, maka sekaranglah waktu yang tepat bagi saya untuk pergi dari rumah ini.”
Visakha lalu memberi perintah, “Beritahu kepada semua pembantu baik laki-laki atau perempuan, persiapkan kereta dan segalanya, saya mau pulang ke rumah orang tuaku.” Ayah mertua menghampirinya, “Saya memaafkanmu, menantuku.”
“Ayah, saya sebagai murid Sang Buddha, tidak dapat tinggal diam apabila ada para bhikkhu yang sedang berpindapata. Namun, apabila saya diijinkan untuk mengundang dan berdana kepada para bhikkhu, saya akan tinggal”, jawab Visakha kepada ayah mertuanya.
Kemudian ayah mertuanya berkata, “Menantuku, kamu dapat mengundang para bhikkhu sesuai dengan keinginanmu.” Visakha lalu mengundang Sang Buddha dan murid-murid-Nya ke rumah mertuanya untuk keesokan harinya.
Ketika dana makanan telah disajikan Visakha mengundang ayah mertua untuk bertemu dengan Sang Buddha, tetapi ayah mertuanya yang mempercayai pertapa yang berpandangan salah, melarangnya. Untuk kedua kalinya Visakha meminta ayah mertuanya untuk datang.
Namun ayah mertuanya tetap bersikeras tidak mau menemui Sang Buddha. Namun Visakha bersepakat dengan ayah mertuanya untuk mendengarkan kotbah Sang Buddha dari balik tirai.
Setelah mendengar kotbah, Migara mencapai tingkat kesucian Sotapatti. Migara amat berterima kasih kepada Sang Buddha dan kepada menantunya. Sejak saat itu ia menyatakan Visakha sebagai ibunya, yang kemudian dikenal sebagai Migara mata. Visakha lalu berdana makanan dan kebutuhan lain kepada Sang Buddha dan murid-murid-Nya.
Visakha hidup bahagia dan makmur, dan dari pernikahannya itu, Visakha mempunyai sepuluh anak laki-laki dan sepuluh anak perempuan.
Pada suatu hari, Visakha pergi ke Vihara Jetavana bersama pelayannya, sesampainya di vihara ia melepaskan perhiasan yang dihadiahi ayahnya ketika ia menikah, karena terlalu berat, lalu membungkusnya dengan selendang dan meminta pelayannya untuk menjaganya. Namun, ketika pulang pelayan itu lupa membawa perhiasan tersebut. Sudah menjadi kebiasaan Yang Arya Ananda menyimpan barang-barang yang ditinggalkan oleh umat.
Visakha mengirim kembali pelayannya ke vihara dan berkata, “Pergi dan lihatlah perhiasan permata itu, tetapi jika Yang Arya Ananda telah menemukan dan menyimpannya di suatu tempat, jangan bawa pulang kembali; Saya mendanakan perhiasan permata itu kepada Yang Arya Ananda.” Tetapi Yang Arya Ananda tidak menerima dana tersebut.
Maka Visakha memutuskan untuk menjual perhiasan tersebut dan kemudian akan mendanakan hasil penjualannya. Tetapi tidak seorang pun yang mampu membeli perhiasan tersebut. Akhirnya Visakha membelinya sendiri seharga sembilan crore dan satu lakh. Dengan uang tersebut ia membangun sebuah vihara di bagian timur kota; Vihara itu dikenal dengan nama Pubbarama, ia lalu mempersembahkan vihara itu dengan rasa bahagia kepada Sang Buddha dan murid-muridnya-Nya. Selain itu Visakha juga berdana makanan, obat-obatan dengan penuh rasa hormat, ia amat bahagia karena semua keinginannya telah terpenuhi dan ia tidak lagi punya keraguan, kemudian sambil melantunkan lima syair kegembiraan ia berputar menglilingi vihara.
Syair itu berbunyi :
Kapankah aku dapat mempersembahkan sebuah vihara,
tempat tinggal yang dibangun dengan semen dan batu bata.
Semoga tercapai keinginanku.Kapankah aku dapat mempersembahkan
perlengkapannya-perlengkapannya, kasur-kasur,
kursi-kursi, karpet dan bantal-bantal.
Semoga tercapai keinginanku.Kapankah aku dapat mempersembahkan
makanan dan minuman.
Semoga tercapai keinginanku.Kapankah aku dapat mempersembahkan
jubah dan kain-kain.
Semoga tercapai keinginanku.Kapankah aku dapat mempersembahkan
obat-obatan, madu dan mentega.
Semoga tercapai keinginanku.
Para bhikku yang mendengar suaranya, berkata kepada Sang Buddha, “Yang Mulia, selama ini kami tidak pernah mendengar Visakha bernyanyi, tapi pada hari ini, dengan dikelilingi anak-anak dan cucu-cucunya, ia bernyanyi sambil mengelilingi vihara. Apakah ia sudah kehilangan akal sehatnya ?”
Sang Buddha menjawab, “O, para bhikkhu, anakku Visakha tidak bernyanyi, tapi ia melantunkan syair karena semua keinginannya telah terpenuhi dan hatinya dipenuhi rasa bahagia. Visakha pada masa lampau selalu berbuat kebaikan-kebaikan yang besar dan mempunyai keyakinan yang kuat kepada ajaran Para Buddha. Seperti seorang ahli bunga menyusun banyak rangkaian bunga dari setumpuk bunga-bunga.”
Kemudian Sang Buddha mengucapkan Syair 53 :
Seperti dari setumpuk bunga dapat dibuat banyak karangan bunga; demikian pula hendaknya banyak kebajikan dapat dilakukan oleh manusia di dunia ini.