Agama Buddha dan Psychotherapy

AGAMA BUDDHA DAN PSYCHO-THERAPY
ATAU PENYEMBUHAN SECARA KEJIWAAN.

Oleh :
GERALD DU PRE

Didalam artikel saya yang terdahulu, yang berjudul “Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan”, saya telah menyampaikan argumentasi saya, yang saya katakan bahwa bukan Yunani Kuno, tetapi orang-orang Hindu-lah yang telah meletakkan dasar studi tentang pengalaman, dan bahwa Pangeran Siddhartha, yang kemudian mencapai tingkat Buddha itu, yang telah mengangkat studi tersebut menjadi setingkat ilmu pengetahuan. Pengalaman itu terdiri dari semua sensasi, persepsi, ingatan-ingatan, perasaan-perasaan, emosi-emosi, gambaran di alam fikiran (= image), dan lambang-lambang, yang kita alami dari saat ke saat.

Saya berargumentasi bahwa Buddhisme itu menjadi ilmu pengetahuan, karena Agama Buddha telah menggabungkan observasi, eksperimen dan theori didalam semangat yang bebas untuk menanyakan dan mengadakan penyelidikan-penyelidikan. Paling penting dari semuanya, adalah perlu diingat bahwa Buddhisme itu adalah suatu therapy,- suatu penyembuhan-. Agama Buddha muncul, karena Pangeran Siddhartha telah menemukan suatu penyembuh untuk penyakit jiwa (yang setelah pada mulanya beliau agak ragu-ragu), lalu memutuskan untuk mewariskan ilmu penyembuhan ini kepada orang-orang lain.

Didalam artikel ini, saya akan mencoba memperbandingkan definisi dari Buddhisme dan definisi dari Dunia Barat, tentang penyakit-penyakit jiwa dan kesehatan jiwa, dan memperbandingkan therapy Buddhis dan psychotherapy dari Dunia Barat. Ini merupakan pokok uraian yang luas dan artikel ini hanya dapat saya uraikan berupa suatu survey yang ringkas saja.

Penyakit jiwa (= mental disorder) adalah istilah umum, bagi gangguan-gangguan mental yang sifatnya psychogenic, yaitu, yang gangguan-gangguannya tidak dapat kita lacak pada sesuatu sebab jasmaniah, yang misalnya berupa mengalami luka, adanya ketidak-seimbangan chemis, atau mengalami kemunduran jasmaniah. Istilah gangguan jiwa, atau penyakit jiwa, mencakup pengertian-pengertian, atau istilah-istilah: penyakit jiwa jenis phobia, penyakit jiwa jenis neurose, dan penyakit jiwa jenis psychose.

Para ahli psychiatry dan psychotherapy terus mengalami kesukaran besar didalam membuat sesuatu klasifikasi yang baik tentang berbagai type penyakit jiwa. Sama seperti itu, terbukti masih didapat kesukaran juga didalam orang membentuk standard kesehatan mental. Semua standar yang diusulkan bersifat sangat theoritis dan idealistic, dan sering dipengaruhi oleh nilai-nilai kultural dari Dunia Barat.

Buddhisme telah memberikan banyak pemecahan terhadap kesukaran-kesukaran ini. Agama Buddha telah menunjukkan bahwa setiap pengalaman itu merupakan suara batin yang selalu ada, yang meng-interpretasikan, atau menafsirkan, apa yang dipersepsi,- dicerap, bagaimana keputusan yang diambil atas aksi-aksinya, dan dapat memberi keyakinan kepada individu tentang keadaan dirinya sendiri. Didalam banyak hal, seperti pada kasusnya Pangeran Siddhartha sendiri, pengalaman itu menimbulkan adanya ketidak-puasan, penderitaan, dan ketidak-mampuan. Ini adalah gangguan kejiwaan, atau penyakit jiwa, yang sifatnya umum, yang dinamai dukkha, yang sejenis dengan jenis penyakit jiwa tarif ringan, yang dinamai neurosis, yang sifatnya umum dialami oleh hampir semua orang itu. Kebanyakan dari umat Buddha telah mengenal neurosis jenis ini, didalam pengalamannya, dan berharap bahwa Buddhisme dapat meringankan penderitaannya.

Buddhisme, memang meng-claim, dan tidak hanya mengatakan bahwa Agama Buddha dapat meringankan dukkha itu, tetapi bahkan juga mengatakan dapat menyembuhkannya sama sekali. Lebih lanjut, Agama Buddha meng-claim bahwa penyembuhannya, bersifat total, dan dijamin tidak mengalami sakit lagi, juga mengatakan dapat mencegah orang untuk tidak mengalami atau memperkembangkan sesuatu jenis penyakit jiwa, yang dinamai phobia, neurosis, atau psychosis, didalam kehidupannya.

Apabila suara batinnya telah dapat ditenangkannya, dan dukkha telah dapat disembuhkan, hasil yang didapat adalah dimilikinya keadaan pengalaman yang istilahnya adalah pencapaian Nirvana. Nirvana itu adalah keadaan dari kesehatan jiwa (= mental health). Nirvana itu bukan hanya dengan keadaan yang sifatnya theoritis, yang keberadaannya hanya sebagai suatu ideal atau suatu kemungkian yang belum terwujud. Ribuan orang telah dapat mencapai Nirvana, secara aktual. Itu tampaknya juga sama dimanapun dicapainya, dan tidak tercemari oleh sesuatu prasangka kultural

Claim yang dikemukakan oleh Agama Buddha untuk dapat menyembuhkan dukkha dan claim yang berupa pernyataan bahwa setiap orang itu mempunyai potensi untuk dapat mencapai Nirvana, adalah suatu hal yang benar-benar mengagumkan. Kedua hal itu, dapat diselidiki dan ditest. Adalah mungkin mengambil orang yang telah mencapai Nirvana, untuk dijadikan subject penyelidikan, untuk ditest, dengan test physiologis dan psychologis, yang diulang pengetestannya dalam selang waktu tertentu, selama banyak tahun. Keterangan sampai ke hal yang sekecil-kecilnya, mengenai pengalaman pencapaian Nirvana ini, dapat dikumpulkan data-datanya, dan dapat diperbandingkan yang satu, dengan yang lainnya untuk dipelajari.

Apabila penyelidikan dan pengetesan yang demikian itu, dapat menjadi pendukung terhadap claim Agama Buddha, maka jalannya akan menjadi lancar, bagi Nirvana untuk menjadi standard kesehatan mental, yang lingkupnya meliputi seluruh dunia. Jika Nirvana yang menjadi claimnya Agama Buddha itu, demikian keadaannya, maka standar kesehatan mental bagi manusia ini, merupakan suatu standard yang sifatnya universal. Hanya menunggu pengakuan dari dunia sajalah claim Agama Buddha yang demikian itu.

Claim penyelidikan ilmiahnya Buddhisme mungkin juga dapat membawa orang ke pengambilan kesimpulan tentang sifat dari gangguan mental, atau penyakit jiwa. Mungkin juga, misalnya, ternyata bahwa semua gangguan jiwa itu adalah hanya merupakan hal yang ekstrim dari bentuk dukkha, yang terhadap kasus ini, suatu bentuk penyembuhan secara umum terhadap dukkha dapat mencegah orang, untuk tidak sampai mengalami berkembangnya neurose dan psychose, pada dirinya.

Dukkha itu adalah suatu gangguan mental, suatu penyakit jiwa, dan Nirvana adalah keadaan teraturnya atau sehatnya mental, sehatnya jiwa. Therapy-nya Buddhisme itu berupa kegiatan yang menyangkut peringanan dan penyembuhan dukkha, dan pencapaian Nirvana. Lalu, apa itu therapy, atau penyembuhan, menurut Buddhisme, dan bagaimana itu kalau kita bandingkan dengan psychotherapynya Dunia Barat?

Keseluruhan therapy-nya Buddhisme, itu diringkaskan didalam sebuah daftar kelompok ajaran yang dinamai Jalan Delapan Utama. Ini dapat dibagi menjadi, yang satu mengenai therapy persiapan atau therapy pembantu, dan yang lainnya adalah therapy yang sesungguhnya. Therapy persiapan mencakup sejumlah disiplin mental dan tingkah-laku sehari-hari, dan pengantar ke theori dan filsafatnya Buddhisme. Sedang therapy-nya itu sendiri, atau therapy yang sesungguhnya, adalah yang dinamai dhyana, atau meditasi.

Di Dunia Barat, sekarang ini, psychotherapy-nya biasanya digunakan sebagai istilah umum, bagi semua therapy yang tujuannya untuk meringankan atau menyembuhkan gangguan mental atau tingkah-laku. Psychotherapy-nya dibagi menjadi dua type. Yang satu adalah “therapy pengalaman”, sebagai misalnya psychoanalisa dan therapy-therapy yang berasal dari psychoanalisa, yang meliputi interviwe dan diskusi. Type therapy satunya lagi adalah “therapy tingkah-laku”. Didalam perkembangannya, psychotherapy modern, terdiri dari pergabungan kedua type itu.

Apabila, therapy menurut Buddhisme kita perbandingkan dengan psychotherapy dari Dunia Barat, terdapat paralel-paralel yang agak berdekatan. Tampaknya, therapy intervieuw dan therapy diskusi, sebagai misalnya psychoanalisa, itu paralel dengan diskusi persiapan yang biasanya terjadi antara Guru dan Siswa, didalam therapy-nya Buddhisme. Meditasi itu sendiri, tampaknya paralel, dan sangat erat, dengan tehnik umum dari therapy tingkah-laku. Terdapat beberapa aspek vital dari meditasi, yang tetap merupakan sifat unique-nya dari Agama Buddha.

Didalam psychoanalisa dan didalam penyembuhan pendahuluan, dari therapy yang berupa meditasi, maupun dari therapy tingkah-laku, therapist dan pasien mendiskusikan problema-problema mentalnya yang masih belum terpecahkan masalahnya. Therapist dapat mempergunakan sesuatu jenis dari berbagai jenis pendekatan, dan pasien dapat menunjukkan sesuatu response emosional dan penghindaran verbal. Didalam semua kasus, therapist barangkali dapat menginterpretasi problema-problema yang dialami pasien, berdasarkan keterangan theori, khususnya mengenai gangguan mental dan penyembuhannya.

Perbedaan antara psychoanalisa, therapist Buddhisme, dan therapist menurut ilmu jiwa Behaviourisme, ialah bahwa therapist dari psychoanalisa itu secara aktual berusaha untuk menyembuhkan pasiennya dengan jalan memberi kepadanya, interpretasi, atau tafsiran, yang bersifat psychoanalistis, atas gangguan-gangguan mentalnya, dan dihubungkan dengan keadaan idealnya tentang kesehatan, yang dia inginkan untuk dicapai. Check pengontrolan yang akhir-akhir ini diadakan, memberikan saran yang kuat, bahwa therapy-therapy psychoanalistis itu sendiri, tidak memberikan kesembuhan. Walaupun beberapa orang memperoleh kemajuan dengan diberi therapy menurut psychoanalisa itu, namun banyak orang yang walaupun tidak diberi penyembuhan menurut psychoanalisa, juga memperoleh kemajuan atas penyakit yang dideritanya. 1

Keduanya, yaitu therapist menurut Buddhisme dan therapist menurut ilmu jiwa Behaviourisme setuju bahwa diperolehnya gambaran yang jelas tentang problema yang dihadapi (= insight) yang bersifat verbal, hanya dalam kata-kata saja, itu sendiri jarang dapat menyembuhkan, dan kalau dapat, hanya mampu meringankan kesukaran mentalnya, tingkat paling luar, atau lapisan dangkal saja. Dalam hal yang lain, kebanyakan therapist menurut Buddhisme dan therapist menurut ilmu jiwa Behaviourisme sependapat bahwa diperolehnya gambaran yang jelas dari problema yang dihadapi (= insight) yang bersifat verbal, itu berguna dalam penyembuhan pendahuluan, sebelum penyembuhannya sendiri. Didalam therapy menurut ilmu jiwa Behaviourisme, dan mungkin juga didalam therapy menurut Buddhisme, dicapai persentase yang besar didalam penyembuhan, apabila diberi penyembuhan pendahuluan yang demikian itu. 2 Keduanya, yaitu therapist dari Buddhisme dan therapist dari ilmu jiwa Behaviourisme menggaris bawahi keterangannya bahwa pasien yang diberi kesembuhan dengan cara diberi gambaran yang jelas dari problema yang dihadapi (= insight) yang bersifat verbal, itu sendiri, tidak dapat memberikan kesembuhan. Sebagian besar dari filsafatnya Buddhisme itu tampaknya secara khusus banyak mengemukakan pandangan yang demikian ini.

Apa yang kita katakan sebagai yang dapat menimbulkan kesembuhan, yang menjadi Penyembuhan yang sebenarnya, adalah yang didalam Buddhisme dinamai dhaya atau meditasi. Saya, disini, tidak dapat memberi keterangan yang selayaknya, atau yang cukup, tentang meditasi, tetapi hanya akan mengemukakan keterangan yang tampaknya merupakan elemen-elemen yang vital dari therapy.

Seseorang kiranya dapat menerangkan dengan singkat bahwa didalam meditasi, sang meditator hendaklah melatih agar memiliki relaksasi, atau kesantaian, mengenai otot-ototnya, yang digabungkan dengan kewaspadaan mental. Pada waktu yang bersamaan, sang meditator juga hendaklah berlatih diri untuk tidak melakukan reaksi, baik secara emosional, atau pun berupa sesuatu gerakan otot-otot terhadap apa pun, apakah itu terhadap persepsi, atau ingatan-ingatan, atau gambaran di alam fikirannya, atau kata-katanya, atau ide-idenya, atau pun terhadap sesuatu object lainnya dari pengalaman.

Therapy tingkah-laku yang paling umum adalah yang dinamai desensitisasi systematis. Ini dipergunakan bagi pasien-pasien yang menderita ketakutan yang irrasional, yang dinamai menderita phobia. Yang paling penting dari semuanya, hendaklah pasien itu mengalami kesantaian otot-ototnya. Lalu kepadanya dihadirkan benda yang dia takuti, sebagai misalnya seekor labah-labah. Ini dapat benda yang sebenarnya, atau (didalam desensitisasi imaginal), pasien diminta untuk membayangkannya. Penghadirannya diatur secara setingkat demi setingkat, yang sedemikian rupa, dari mulai yang dihadirkan yang paling berkeadaan tidak menakutkan, lalu dihadirkan yang lebih seram, sampai dengan akhirnya object yang tampak atau yang dibayangkan yang aspeknya paling menyeramkan. Sementara itu, pasien sambil tetap berkeadaan santai, diminta untuk tetap belajar untuk tidak ber-reaksi dengan emosi atau lari menghindarkan diri dari benda riilnya, atau bayangan di alam fikirannya itu.

Kesamaan antara desensitisasi dan dhayana itu jelas tampak. Didalam keduanya, pasien diminta berkeadaan relax, atau santai, namun diminta memiliki kewaspadaan mental. Didalam kedua kasus ini, dia belajar untuk tidak bereaksi terhadap rangsangan, dengan sesuatu response emosional, mental, atau tingkah-laku.

Tampak dengan jelas bahwa desensitisasi systematic ini merupakan sebuah versi yang khusus dari tehnik yang dipergunakan didalam meditasi. Ini merupakan tehnik khusus untuk mengatasi jenis penyakit jiwa tertentu, yang dinamai phobia, dan dengan demikian rangsangannya menyangkut yang sangat khusus dan terseleksi. Tehnik ini memang telah terbukti sangat berhasil didalam menyembuhkan banyak penyakit jiwa, jenis phobia. 3

Didalam meditasi, tujuannya adalah bukan penyembuhan yang bersifat khusus, tetapi yang bersifat umum, dan dengan demikian rangsangannya, apa pun yang terjadi, haruslah dengan cepat menjadi pengalaman. Selama melakukan meditasi, gambaran-gambaran di alam fikirannya itu meliputi rangsangan untuk jenis penyakit jiwa, yang dinamai phobia (= takut terhadap benda atau makhluk tertentu, yang sifat ketakutannya tidak rasional), obsessi (= terdapatnya di alam fikirannya gambaran fikiran yang tidak dapat dilenyapkan), atau jenis response-response neurotic lainnya. Tehnik ini, juga, telah terbukti sangat berhasil didalam melenyapkan response-response semacam itu.

Di masa-masa yang lampau, para penganut Buddhisme dan para ahli ilmu jiwa psychonalisa telah berusaha untuk mengadakan beberapa dialog, yang hanya menghasilkan suatu hasil yang terbatas saja. Adalah mungkin bahwa di masa-masa yang akan datang, diadakan dialog antara therapist dari kalangan Buddhisme dan therapist dari kalangan ilmu jiwa Behaviourisme, yang khusus membicarakan tentang desensitisasi, yang kiranya dapat membuahkan suatu hasil yang lebih bernilai.

Ada aspek-aspek lainnya dari meditasi yang tampak unique didalam Buddhisme. Salah satu diantaranya, adalah yang dinamai vipassana. Istilah vipassana diterjemahkan oleh orang Inggris dengan “insight” (= pandangan terang), tetapi pandangan terang ini tidak didapat oleh sang pasien dengan mendengarkan interpretasinya therapist, dan sama sekali bukan yang sifatnya verbal. Yang dimaksud adalah suatu “pandangan-terang” yang diperoleh orang selama melakukan meditasi, yang fikirannya tidak berisi banyak hal dan arah pemikirannya tidak berkeliaran kesana-kemari, dan yang fikiran atau jiwanya sedang dalam keadaan tenang.

Psychotherapy itu tampaknya tidak paralel dengan vipassana. Adalah jelas bahwa vipassana-lah yang membedakan meditasi Buddhisme dengan meditasi Hinduisme. Tampaknya vipassana-lah yang memegang peranan vital didalam proses, yang membawa therapy dhyana itu tingkat finalnya sampai kepada tahap pencapaian Kesadaran Bodhi, atau Kesadaran Nirvana, yang pada saat itu dapatlah kita terangkan, merupakan saat dicapainya penyembuhan secara total, atas dukkha yang telah lama dialaminya itu.

Didalam survey mengenai Buddhisme dan psychotherapy ini, saya telah mencoba mengemukakan, disini, walaupun agak banyak masalah, tetapi didalam bentuk yang padat dan ringkas. Kesimpulan-kesimpulannya, yang utama, dapatlah diringkaskan sebagai berikut ini.

Agama Buddha itu melihat disorganisasi mental (= penyakit jiwa) yang “normal”, sebagai suatu sebab, dibawah kondisi-kondisi tertentu, dari suatu penyakit yang kita namai dukkha. Agama Buddha dapat memberikan pengobatan total, yang dijamin tidak mengalami kemunduran, atau menjadi sakit lagi, setelah orangnya mengalami kesembuhan yang kita namai keadaan telah mencapai Kesadaran Nirvana. Apabila diselidiki secara ilmiah dengan testing, Agama Buddha akan membuktikan bahwa ciri-ciri dari orang yang telah mencapai Kesadaran Nirvana itu dapat menjadi standard kesehatan jiwa (= mental health) yang dapat diterima secara luas di seluruh dunia.

Therapy Buddhisme itu dinamai dhyana atau meditasi. Ini hanya merupakan langkah pendahuluan dari meditasi, yang menyerupai langkah pendahuluan dari therapy menurut psychoanalisa, dan didalam faktanya itu jauh lebih menyerupai suatu langkah pendahuluan dari therapy menurut ilmu jiwa Behaviourisme. Meditasi itu sendiri sangat dekat dengan therapy tingkah-laku yang dikenal dengan nama desensitisasi systematic. Beberapa aspek dari meditasi, sebagai misalnya yang dinamai vipassana, hanya masih terdapat didalam therapy-nya Buddhisme, yang merupakan penyembuhan total, yang dapat menolong membangunkan, atau mencapai Kesadaran Nirvana.

Agama Hindu mendirikan therapy pengalaman dan tingkah-laku, dan Pangeran Siddhartha-lah yang menyempurnakannya. Psychiatry (= Ilmu Penyakit Jiwa) hanya pada masa akhir-akhir ini saja memulai menemukannya bagi Dunia Barat.

Ada kebutuhan yang sangat mendesak bagi psychotherapynya Dunia Barat untuk memperoleh suatu pemahaman secara teliti tentang therapy menurut Buddhisme, dan bagi therapy-nya Buddhis untuk memperoleh pengakuan sebagai yang therapy-nya bersifat ilmiah. Apabila hal yang demikian itu tercapai, maka dengan cepat, therapynya Buddhisme akan menjadi cara penyembuhan utama, bagi penyakit-penyakit jiwa, yang sifatnya umum, yang dikenal dan dipergunakan diseluruh dunia.

REFERENSI :

1. R.P. Knight American Journal of Psychiatry, 1941.
Eysenck 1952; Powers and Witmer, 1951;
Cartwright anda Vogel, 1960, etc.
2. H.R. Beech Changing Man’s Behaviour, Pelican, 1969.
3. Rachman Psychological Bulletin, 1967

Leave a Reply 0 comments