AKHIRI KEBENCIAN
Kebencian tidak akan pernah berakhir
apabila dibalas dengan kebencian.
Kebencian baru akan berakhir
bila dibalas dengan tidak membenci.
Inilah satu hukum abadi
(Dhammapada I, 5)
Kehidupan manusia selalu diliputi oleh 2 hal yang saling bergantian yaitu suka-duka, untung-rugi, dipuji-dicela, memperoleh pangkat-dipecat, begitu pula dengan cinta dan benci. Berbagai perubahan antara kedua kondisi ini dilambangkan sebagai cakra atau roda Dhamma berjari-jari delapan yang berada di atas teras Vihara Samaggi Jaya ini.
Salah satu kondisi kehidupan yang perlu disoroti dalam kesempatan ini adalah timbulnya rasa cinta dan benci. Sebenarnya timbulnya rasa cinta dan benci ini sering membuat masalah dalam hidup seseorang. Dengan adanya cinta, misalnya, seseorang akan menjadi tidak enak makan, tidak enak tidur, kerja tidak dapat berkonsentrasi. Ia selalu terpikir orang yang dicintainya. Hal seperti ini sebenarnya menjadi masalah yang cukup serius. Meskipun demikian, biasanya orang masih dapat mengabaikannya. Malahan ada orang yang mengatakan : “Untung masih ada yang dicintai”. Mereka beranggapan bahwa dengan mempunyai orang yang dicintai, otomatis, ia pun mempunyai orang yang dirindukan. Ia merasa mempunyai ‘kesibukan’ tambahan dalam kehidupan sehari-harinya. Apabila hendak tidur, ia kini dapat sibuk memikirkan pacarnya. Jika sedang bekerja, ia pun dapat memikirkan orang yang dicintainya sehingga pekerjaannya tidak lagi membosankannya. Inilah kebahagiaan menurut orang yang sedang jatuh cinta. Ia mempunyai orang yang dirindukannya sepanjang waktu. Padahal, dalam pandangan Dhamma, kondisi pikiran semacam ini termasuk sebagai penderitaan.
Salah satu ayat Dhammapada menyebutkan bahwa dari yang dicintai akan timbul permasalahan. Meskipun demikian, tidak jarang orang melupakan kenyataan ini. Akibatnya, apabila obyek yang dicintainya itu mempunyai masalah, kondisi ini akan membuatnya tidak bahagia. Misalnya, seseorang menyayangi anjing. Ketika mengetahui bahwa anjingnya banyak kutu, maka akan timbul perasaan tidak suka dalam dirinya. Ia mungkin stress. Begitu pula jika anjing tersebut sakit. Ia mungkin akan menangis sedih untuknya. Kondisi seperti ini sebenarnya adalah permasalahan yang biasa terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Sayangnya, persoalan semacam ini sering dianggap sepele atau bahkan diabaikan sama sekali.
Permasalahan yang timbul karena obyek yang dicintai tersebut sebenarnya juga akan sama halnya dengan obyek yang dibenci. Apabila perasaan cinta membuat seseorang selalu memikirkan orang yang dicintainya sewaktu ia makan, akan tidur maupun melakukan berbagai kegiatan lainnya, demikian pula dengan rasa benci. Kebencian membuat seseorang menjadi tidak nyenyak tidur, tidak enak makan dan tidak dapat berkonsentrasi dalam bekerja. Kebencian membuat seseorang selalu memikirkan obyek yang dibencinya.
Agar proses timbul dan tenggelamnya perasaan cinta maupun benci ini tidak menjadi permasalahan batin, diperlukan adanya pola pikir yang tepat.
Pola pikir yang tepat ini dimulai dengan sebuah pertanyaan: “Kenapa saya bertemu dengan orang ini bukan orang yang lain ? Kenapa orang inilah yang saya cintai bukan orang yang lain ?”
Semua permasalahan ini tentu ada sebabnya. Pernah disebutkan dalam Dhamma, ketika Sang Buddha mengajarkan Dhamma untuk pertama kalinya di Taman Rusa Isipatana pada saat Asadha, salah satu dari kelima pertapa yang mendengarkan kotbah Beliau yaitu Y.A. Kondanna langsung menyimpulkan bahwa segala sesuatu itu muncul karena ada sebabnya. Segala sesuatu akan lenyap karena sebabnya habis.
Hukum Dhamma adalah hukum sebab dan akibat. Seseorang timbul perasaan senang kepada orang tertentu pasti ada sebabnya. Demikian pula seballiknya, pada saat ia membenci seseorang lainnya. Penyebab timbulnya rasa suka maupun tidak suka ini adalah karena adanya ikatan kamma dari berbagai kehidupan yang lalu.
Adanya ikatan kamma lampau tersebut dapat dirasakan apabila seseorang berdiri di depan pintu sambil mengawasi orang yang lewat di hadapannya. Pada saat melihat mereka, maka tidak jarang akan timbul perasaan suka maupun tidak suka walaupun sama sekali tidak mengenal mereka. Ia tidak mengenal namanya, keluarganya, alamatnya maupun perbuatannya. Namun, ia dapat merasakan simpati maupun benci kepadanya. Oleh karena itu, tidak heran apabila ada istilah ‘jatuh cinta pada pandangan pertama’. Namun tentu saja tidak tertutup kemungkinan adanya ‘jatuh benci pada pandangan pertama’. Jika hubungan dengan seseorang dimulai dengan perasaan suka, maka biasanya hubungan itu akan menjadi baik dan harmonis untuk waktu yang lama. Sebaliknya, apabila hubungan itu sudah dimulai dengan rasa benci, maka biasanya hubungan itu juga akan berakhir dengan permusuhan atau rasa tidak suka berkepanjangan.
Ikatan kamma ini bukan hanya berlaku antara sesama manusia saja, melainkan juga antara manusia dengan hewan maupun mahluk hidup lainnya. Oleh karena itu, mudah dijumpai orang yang lebih cinta hewan peliharaannya daripada keluarganya sendiri. Penyebab kejadian ini karena adanya ikatan kamma yang lebih kuat hubungannya dengan hewan tersebut daripada dengan keluarganya.
Timbulnya hubungan kamma yang menyebabkan adanya perasaan suka maupun tidak suka ini mungkin sudah terjadi dalam beberapa kehidupan yang lampau.
Salah satu contoh yang cukup dikenal dalam masyarakat Buddhis adalah kisah Devadatta yang selalu memusuhi Pangeran Siddhattha sejak banyak kehidupan yang lalu. Sebaliknya, Y.A. Sariputta, Y.A. Moggalana maupun Y.A. Ananda adalah orang-orang yang selalu dekat dengan Sang Buddha dari banyak kehidupan yang lalu.
Apa sebab timbulnya ikatan suka maupun tidak suka yang sedemkian berkepanjangan? Penyebabnya adalah karena seseorang sering tanpa disadari telah memberikan ‘minyak’ pada api cinta dan api benci tersebut. Perasaan cinta terus dipupuk terus. “Aku cinta pasangan hidupku. Aku sayang anjingku.’ Demikian seterusnya. Apabila orang tersebut meninggal dunia dengan perasaan cinta dan kemelekatan itu, maka mungkin saja ia akan terlahir sebagai kutu yang menempel pada badan anjing yang ia sayangi selama hidupnya itu.
Masalah kemelekatan yang menentukan kelahiran kembali ini dapat dijumpai kisahnya dalam Dhamma. Pada suatu hari, ada seorang bhikkhu yang sedang ber-pindapatta atau berjalan perlahan di sekitar tempat tinggal para umat dan simpatisan untuk menerima dana makan dari mereka. Pada saat menerima dana makan, bhikkhu tersebut melihat seekor anjing yang sedang beristirahat dengan tenang di bawah meja. Bhikkhu itu kemudian merenungkan sedemkian enak hidup sebagai anjing di sana. Ketika bhikkhu ini meninggal dunia dan terpikir akan anjing yang pernah dilihatnya tersebut, maka bhikkhu ini kemudian terlahir sebagai anak anjing itu. Kejadian ini menjadi contoh nyata tentang akibat kemelekatan untuk kelahiran kembali. Inilah salah satu bentuk pemberian ‘bahan bakar’ pada perasaan cinta yang timbul.
Tentu saja hal ini juga terjadi pada perasaan benci atau tidak suka. Apabila diberi ‘bahan bakar’ maka kebencian ini akan menghasilkan kesulitan dan penderitaan.
Salah satu contoh yang dapat diperoleh dalam Dhamma adalah kisah sepasang suami istri. Mereka sudah menikah untuk waktu yang lama. Meskipun demikian, mereka masih belum mempunyai keturunan. Oleh karena itu, si istri menyarankan kepada suaminya untuk menikah lagi dengan gadis yang ia pilihkan. Pada mulanya si suami tidak mau untuk mempunyai dua istri. Namun, karena desakan istri yang terus menerus, suami itu akhirnya menerima usulan si istri. Tidak lama kemudian, istri kedua memang hamil. Kehamilan ini menjadi hal yang menakutkan bagi istri pertama. Ia takut tidak dicintai lagi oleh suaminya. Oleh karena itu, ia berusaha keras untuk menggagalkan kandungan istri kedua. Ia memberikan bubur yang dicampur racun agar istri kedua keguguran. Karena ketidaktahuannya, maka kandungan istri kedua gugur. Istri kedua sangalah sedih. Istri pertama berpura-pura ikut bersedih. Selang beberapa bulan kemudian, istri kedua hamil kembali. Menyadari hal ini, istri pertama kembali berusaha menggagalkannya. Usaha kedua inipun berhasil sehingga istri kedua kehilangan bayinya. Namun, timbullah kecurigaan pada istri kedua atas perilaku istri pertama. Karena itu, ketika ia mengandung bayi ketiga, ia tidak lagi memberitahu istri pertama sampai kandunganya cukup besar. Hal ini sangat mencemaskan istri pertama. Upaya memberi racun pun dijalankan terus. Akibat usia kandungan yang sudah tinggi, maka pengaruh racun itu akhirnya membuat istri kedua dan anak dalam kandungan meninggal bersamaan. Istri kedua meninggal dengan penuh kebencian dalam dirinya. Ia kemudian terlahir sebagai musang. Istri pertama karena usia tua juga meninggal dan terlahir sebagai ayam betina. Ketika ayam betina bertelur, maka musang selalu mencuri telur dan memakannya. Hal ini terjadi berkali-kali. Akhirnya karena kejengkelannya, ayam betina ini mati dan terlahir sebagai harimau. Sedangkan musang mati terlahir sebagai rusa betina. Dalam kehidupan ini, setiap kali rusa mempunyai anak selalu dimakan oleh harimau. Rusa juga mati dengan kebencian dan terlahir sebagai yakkha atau mahluk halus pemakan manusia. Harimau mati dan terlahir sebagai wanita yang tinggal di Savatti dekat Jetavana tempat Sang Buddha berada. Wanita itu berumah tangga dan mempunyai bayi. Oleh yakkha tadi, bayi tersebut akan diambil dan dimakan. Si ibu mengetahui dan membawa bayinya berlari masuk vihara untuk bertemu Sang Buddha. Sang Buddha dengan mata batinNya telah mengetahui perselisihan yang mereka miliki sejak beberapa kehidupan yang lalu. Sang Buddha kemudian mengijinkan yakkha tersebut masuk vihara untuk diberikan pengertian Dhamma. Kepada mereka Sang Buddha menerangkan asal usul kebencian yang telah mencengkeram mereka. Sang Buddha bersabda: “Kebencian tidak akan berakhir dengan kebencian. Kebencian hanya akan berakhir dengan cinta kasih.” Mereka akhirnya sadar atas ikatan kebencian yang mereka miliki sampai saat ini. Mereka kemudian sepakat untuk mengakhiri ikatan kamma ini dengan mengembangkan cinta kasih. Dengan demikian, mereka dapat hidup bersama dengan penuh kebahagiaan.
Kisah yang terjadi di jaman Sang Buddha ini dapatlah dijadikan contoh untuk direnungkan dalam kehidupan sehari-hari saat ini. Apabila timbul rasa tidak suka terhadap seseorang, apalagi tanpa alasan yang jelas, maka mungkin saja kebencian tersebut sudah dimiliki sejak waktu yang lama. Oleh karena itu, setelah menyadari bahwa kebencian tidak akan berakhir dengan kebencian, seseorang hendaknya tidak memberikan ‘bahan bakar’ pada perasaan benci yang ia miliki. Ia hendaknya berusaha mengembangkan pikiran cinta kasih kepadanya. Dengan demkkian, diharapkan ikatan kamma akibat kebencian yang terjadi pada keduanya dapat segera diselesaikan.
Kadang, seseorang menjalin hubungan sebagai suami istri dengan fihak lain juga terjadi karena adanya ikatan perasaan cinta atau benci. Hal ini akan mudah dilihat dalam kehidupan sehari-hari mereka. Ada suami istri yang selalu cekcok dan tidak pernah harmonis kondisi rumah tangga mereka, namun, mereka tidak pernah bisa berpisah atau bercerai sampai salah satu dari mereka meninggal dunia. Dalam pandangan Dhamma, kondisi suami istri yang penuh dengan pertengkaran sampai akhir hayatnya ini disebabkan karena adanya ikatan kamma kebencian yang harus diselesaikannya. Oleh karena itu, mereka yang sudah menyadari hal ini hendaknya justru membangun kembali rumah tangganya dengan dasar cinta kasih. Jadikanlah kesempatan hidup sebagai suami istri ini untuk menyelesaikan ikatan kamma kebencian yang mungkin telah dimiliki dari banyak kehidupan yang lampau dengan kesabaran dan cinta kasih.
Sebaliknya, menjadi suami istri mungkin saja karena adanya ikatan kamma berdasarkan cinta kasih. Hal ini tampak dalam kehidupan sehari-hari mereka yang sangat harmonis, sedikit pertengkaran dan hidup bahagia sampai akhirnya kematian memisahkan mereka. Menyadari adanya ikatan kamma yang penuh cinta kasih ini, pasangan hendaknya terus mengembangkan pikiran baik dan penuh kasih sayang agar hidup di dunia ini bahagia, ketika meninggal juga mungkin akan terlahir di alam bahagia secara bersama-sama pula.
Menyadari uraian ini, maka jika dalam kehidupan seseorang sering berjumpa dengan fihak yang selalu mempersulit hidup atau menjengkelkan perasaan, maka tidak ada tindakan lain yang lebih penting untuk mengatasi ini yaitu dengan mengembangkan pikiran cinta kasih. Dengan terus dan terus mengembangkan pikiran cinta kasih diharapkan pertemuan dengannya di kehidupan ini menjadi pertemuan yang terakhir. Artinya, dalam kelahiran mendatang biarlah tidak bertemu lagi dengan mereka yang dibenci sehingga hidup akan damai, tentram, harmonis dan bahagia.
Pengembangan pikiran cinta kasih ini secara sederhana dapat dilakukan dengan sering mengucapkan dalam batin kalimat “Semoga semua mahluk berbahagia”. Ucapkan selalu kalimat ini jika timbul dalam pikiran kebencian maupun rasa tidak suka terhadap seseorang.
Oleh karena itu, sekarang pikirkanlah untung dan ruginya jika memelihara kebencian dalam waktu sehari, seminggu, sebulan, setahun, bahkan untuk waktu yang lebih lama lagi. Apakah hal ini akan bermanfaat? Menyimpan kebencian akan sama halnya dengan menyimpan barang busuk dalam diri sendiri. Kondisi tersebut justru akan merugikan mereka yang menyimpannya. Pada tahap selanjutnya, sikap buruk ini juga akan merugikan lingkungannya.
Jadi, mulailah sekarang juga untuk selalu berusaha mengembangkan pikiran cinta kasih kepada orang yang dibenci. Jika membenci si A, maka berusahalah untuk sering mengucapkan dalam batin kalimat ‘Semoga si A bahagia. Semoga semua mahluk berbahagia’. Pada mulanya, tentu agak sulit untuk mengendalikan perasaan benci dan jengkel yang timbul bersamaan dengan pengucapan kalimat tersebut. Namun, terus dan terus usahakan untuk mengucapkan kalimat itu, maka secara bertahap batin akan menjadi lebih tenang dan lebih mampu menerima kenyataan. Apabila akhirnya seseorang mampu mengucapkan kalimat cinta kasih itu dengan tulus, maka pada saat itulah ia sudah dapat disebut orang yang mampu memutuskan ikatan rantai kebencian yang mungkin sudah terbawa sejak banyak kehidupan yang lampau.
Rantai kebencian yang berbentuk bermacam ikatan keluarga, teman, kenalan dsb. akhirnya dapat diselesaikan dengan baik dan memberikan kebahagiaan kepada semua fihak yang terlibat.
Oleh karena itu, sesungguhnya :
KEBENCIAN TIDAK AKAN BERAKHIR DENGAN KEBENCIAN.
KEBENCIAN JUSTRU AKAN BERAKHIR, SELESAI, DENGAN CINTA KASIH.
Pancarkanlah cinta kasih kepada siapa pun juga. Kepada semua makhluk, baik yang tampak maupun tidak tampak. Para leluhur, musuh dari kehidupan lampau yang mungkin masih mengikuti terus menerus sehingga membuat sakit-sakitan dan sebagainya. Pancarkan cinta kasih, sehingga hubungan karena kebencian dengan mereka dapat dilenyapkan dan diselesaikan. Dengan demikian, hidup di dunia akan menjadi bahagia. Tentram dan damai. Terbebas dari berbagai permusuhan serta kebencian.
Semoga selalu berbahagia dalam Dhamma.
Semoga semua makhluk baik yang tampak maupun tak tampak memperoleh kebaikan dan kebahagian sesuai dengan kondisi kammanya masing-masing.
Sabbe sattã bhavantu sukhitattã.
Transkrip: Lie Ching, Medan
Editor: Bhikkhu Uttamo