Ceramah-ceramah Ajahn Brahm

BERJUDI

Sumber dari Internet,
Dikutip dari buku Membuka Pintu Hati

Mengumpulkan uang itu sulit, tetapi menghabiskannya mudah­ dan cara termudah untuk kehilangan uang adalah dengan berjudi. Semua penjudi pada akhirnya adalah pecundang. Meskipun demikian, masih saja orang senang meramal masa depan dan berharap mendapatkan banyak uang dari berjudi. Saya menceritakan dua kisah berikut ini untuk menunjukkan betapa berbahayanya meramal masa depan itu, sekalipun kita mendapat pertanda.

Pada suatu pagi, seorang teman terbangun dari sebuah mimpi yang terasa sangat nyata. Dia bermimpi tentang lima malaikat yang memberinya lima buah kendi emas yang besar sebagai lambang keberuntungan. Ketika dia membuka matanya, para malaikat itu tak ada di kamar tidurnya, dan sialnya guci-guci emasnya juga tidak ada. Bagaimanapun, itu adalah mimpi yang sangat aneh.

Ketika dia pergi ke dapur, dia melihat istrinya telah membuatkan lima butir telur  rebus dengan lima potong roti panggang untuk sarapannya. Di halaman depan koran pagi, dia mengamati tanggal hari itu, 5 Mei (bulan kelima). Hal-hal aneh terus berlanjut. Dia membalikkan lembaran koran ke halaman pacuan kuda. Dia tertegun melihat bahwa di Ascot (lima huruf), di balapan kelima, kuda nomor lima bernama… Lima Malaikat! Mimpi itu ternyata sebuah pertanda.

Dia mengambil cuti setengah hari. Dia menarik 5.000 dollar dari tabungannya di bank. Dia pergi ke arena pacuan kuda, ke bandar kelima, dan memasang taruhannya: 5.000 dollar untuk kuda nomor 5, balapan nomor 5, Lima Malaikat, untuk menang. Mimpi itu tak akan salah. Angka hoki 5 pasti tepat. Mimpinya ternyata memang tidak salah. Si kuda menyelesaikan balapan di urutan ke-5.

Kisah kedua terjadi di Singapura beberapa tahun yang lalu. Seorang pria Australia menikahi seorang gadis Cina cantik dari Singapura. Suatu ketika, saat mereka sedang mengunjungi keluarga di Singapura, datanglah ipar-iparnya mengajak pergi ke pacuan kuda. Dia setuju pergi bersama mereka.Tapi sebelum sampai di arena pacuan kuda, mereka singgah dulu di sebuah biara Buddhis terkenal untuk menyulut dupa dan bersembahyang agar beruntung. Saat mereka tiba, biara kecil itu dalam keadaan berantakan. Lantas mereka mengambil beberapa sapu, alat pengepel, dan air dan mulai membersihkan seluruh biara. Setelah itu barulah mereka menyulut dupa dan bersembahyang untulk memohon keberuntungan, lalu meluncur ke arena pacuan kuda. Akhirnya, mereka semua kalah besar.

Malam harinya, si Australia bermimpi pacuan kuda. Saat terbangun, dia dapat mengingat dengan sangat jelas nama kuda yang menjadi pemenang dalam mimpinya. Ketka dia membaca koran The Straits Times, ternyata kuda dengan nama itu memang ada, dan akan berlomba pada sore harinya. Dia lalu menelepon para iparnya untuk mengabarkan berita bagus itu. Namun para ipar tidak percaya bahwa dewa-dewa penjaga biara orang Singapura bersedia memberitahukan nama kuda pemenang kepada seorang bule, jadi mereka tak mempedulikan mimpi si bule. Si Australia lalu pergi ke arena pacuan kuda. Dia bertaruh besar pada kuda itu. Dan si kuda menang betulan.

Dewa-dewa biara Cina itu pasti menyukai orang Australia. lpar­-iparnya hanya bisa ngomel-ngomel.


MERAMAL MASA DEPAN

Sumber dari Internet,
Dikutip dari buku Membuka Pintu Hati

Banyak orang yang ingin mengetahui masa depan. Sebagian orang begitu tak sabarnya menanti apa yang akan terjadi, karena itu mereka mulai mencari jasa dukun dan peramal. Saya punya peringatan bagi Anda mengenai para peramal: jangan percaya pada peramal yang miskin!

Para bhikkhu yang berlatih meditasi dianggap sebagai peramal yang hebat, tetapi biasanya mereka tidak gampang diajak bekerja sama.

Suatu hari, seorang umat yang telah lama menjadi murid Ajahn Chah meminta sang guru besar untuk meramal masa depannya. Ajahn Chah menolak: bhikkhu yang baik tidak ramal- meramal. Tetapi si murid bersikukuh. Dia mengingatkan Ajahn Chah berapa kali dia sudah berdana makanan, berapa banyak dana yang telah dia sumbangkan untuk viharanya, dan bagaimana dia menyopiri Ajahn Chah dengan mobil dan biaya darinya, mengabaikan keluarga dan pekerjaannya sendiri. Ajahn Chah melihat bahwa orang itu terus bersikeras meminta untuk diramal, jadi dia berkata untuk sekali ini saja dia akan membuat perkecualian terhadap peraturan bahwa bhikkhu tidak boleh meramal. “Mana tanganmu. Sini kulihat telapak tanganmu.”

Si murid sangat senang. Ajahn Chah belum pernah membaca telapak tangan murid lainnya. Ini spesial. Lagi pula, Ajahn Chah dianggap sebagai orang suci yang punya kemampuan batin yang hebat. Apa pun yang dikatakan oleh Ajahn Chah akan terjadi, pasti akan terjadi.

Ajahn Chah menelusuri garis-garis telapak tangan si murid dengan jarinya. Setiap beberapa saat, dia bicara sendiri, “Ooh, ini menarik” atau “Ya, ya, ya” atau “Luar biasa”. Si murid yang malang itu risau dalam penantian.

Ketika Ajahn Chah selesai, dia melepaskan tangan si murid dan berkata kepadanya, “Murid, berikut ini adalah keadaan masa depanmu.”

“Ya, ya,” kata si murid dengan cepat.

“Dan saya tak pernah salah,” tambah Ajahn Chah.

“Saya tahu, saya tahu. Jadi, bagaimana nasib masa depan saya?” tanya si murid dengan penasaran memuncak.

“Masa depanmu akan tak pasti,” kata Ajahn Chah. Dan dia tidak salah!

CINTA SEJATI

Sumber dari Internet,
Dikutip dari buku Membuka Pintu Hati

Masalah dalam percintaan dimulai saat buyarnya fantasi, kekecewaan bisa sangat menyakiti kita. Pada cinta asmara, kita tidak benar-benar mencintai pasangan kita, kita hanya mencintai cara mereka yang membuat kita tersentuh.Yang kita cintai adalah “sengatan” yang kita rasakan dalam kehadiran mereka. Itulah sebabnya, ketika mereka tak ada, kita merindukannya dan meminta dikirimi sebotol… (lihat cerita sebelumnya). Seperti “sengatan” lainnya, tak berapa lama ini pun akan berlalu.

Cinta sejati adalah cinta yang tak mementingkan diri sendiri. Kita hanya peduli kepada orang lain. Kita berkata kepada mereka, “Pintu hatiku akan selalu terbuka untukmu, apa pun yang kamu lakukan,” dan kita bersungguh-sungguh dengan perkataan itu. Kita hanya ingin mereka bahagia. Cinta sejati itu langka.

Banyak dari kita suka berpikir bahwa hubungan istimewa kita adalah cinta sejati, bukan cinta asmara. Berikut ini adalah sebuah tes untuk menilai cinta Anda termasukjenis yang mana.

Pikirkanlah pasangan Anda. Bayangkan wajahnya di benak Anda. Kenanglah hari Anda bertemu dengannya dan saat-saat indah bersamanya. Sekarang bayangkan Anda menerima sepucuk surat dari pasangan Anda. Surat itu memberitahukan Anda bahwa si dia telah jatuh hati kepada sahabat Anda, dan mereka telah pergi untuk hidup bersama. Bagaimana perasaan Anda?

Jika cinta Anda adalah cinta sejati, Anda akan begitu tergetar bahwa pasangan Anda telah menernukan orang yang lebih baik dari diri Anda, dan dia bahkan sekarang lebih berbahagia. Anda akan merasa gembira karena pasangan dan sahabat Anda dapat berbagi hidup bersama-sama. Anda akan sangat gembira karena mereka saling mencintai. Bukankah kebahagiaan pasangan Anda adalah hal yang terpenting dalam cinta sejati Anda?

Cinta sejati itu langka.

Seorang ratu tengah melihat keluar dari jendela istananya ke arah Buddha yang sedang berjalan untuk menerima dana makanan di kota. Raja melihatnya dan menjadi cemburu terhadap kesetiaan sang ratu kepada Sang Petapa Agung. Dia memarahi sang ratu dan menuntut untuk tahu siapa yang lebih dicintai sang ratu, Buddha atau suaminya. Sang ratu adalah pengikut Buddha yang setia, tetapi pada saat itu Anda harus sangat hati-hati jika suami Anda adalah seorang raja. Hilang kepala berarti hilang kepala betulan. Sang ratu ingin menjaga kepalanya tetap utuh, maka dia menjawab dengan kejujuran yang tak terbantahkan, “Saya mencintai diri saya lebih dari Anda semua!”

KASMARAN

Sumber dari Internet,
Dikutip dari buku Membuka Pintu Hati

Saat kita sedang mabuk cinta, kita hanya melihat “bata bagus” di tembok pasangan kita. Itulah yang ingin kita lihat, jadi itulah yang kita lihat. Kita ini suka menyangkal. Pada kemudian hari, ketika kita menghadap pengacara untuk mengurus perceraian, kita hanya melihat “bata jelek” di tembok pasangan kita. Kita terbutakan oleh sifat-sifat yang tidak kita sukai. Kita tidak ingin melihat itu, jadi kita tidak melihatnya. Lagi-lagi kita menyangkal.

Apa sebabnya kasmaran dapat terjadi di keremangan cahaya klab malam, atau di keintiman makan malam dengan cahaya lilin, atau pada suatu malam di bawah sinar rembulan? Itu karena, pada situasi-situasi tersebut, Anda tak dapat melihat jelas jerawatnya, atau gigi palsunya. Dan di bawah remang cahaya, khayalan kita terbang bebas mengkhayalkan wanita di hadapan Anda sebagai supermodel, atau pria itu kelihatannya seperti bintang film. Kita ini menyukai fantasi, dan kita berfantasi dalam bercinta. Setidaknya kita jadi tahu apa yang kita lakukan.

Para bhikkhu tidak ada dalam percintaan bercahaya lilin, tetapi mereka menyalakan cahaya realita. Jika Anda ingin bermimpi, jangan mengunjungi vihara. Pada tahun pertama saya sebagai bhikkhu di Thailand timur laut, saya bepergian dengan mobil, duduk di belakang bersama seorang samanera (bakal bhikkhu) dan seorang bhikkhu Barat, beserta Ajahn Chah, guru saya, yang duduk di samping sopir. Ajahn Chah tiba-tiba menoleh ke belakang, memandang ke samanera Amerika yang duduk di sebelah saya, lalu mengatakan sesuatu dalam bahasa Thai. Si bhikkhu ketiga yang fasih berbahasa Thai lantas menerjemahkan perkataan Ajahn Chah, “Ajahn Chah bilang bahwa kamu sedang memikirkan pacarmu di L.A. sana.”

Rahang si samanera muda seolah copot ke lantai mobil saking kagetnya. Ajahn Chah telah membaca pikirannya dengan akurat. Ajahn Chah tersenyum, dan kata-kata berikutnya diterjemahkan sebagai, “Jangan khawatir. Kita bisa mengatasi itu. Lain kali kalau kamu menulis surat kepada si dia, mintalah dia mengirimkan sesuatu yang pribadi buatmu, sesuatu yang paling erat berkaitan dengannya, yang bisa kamu bawa-bawa ketika kamu rindu kepadanya, untuk mengingatkan kamu akan dirinya.”

“Apa itu boleh bagi seorang bhikkhu?” tanya sang samanera dengan terkejut.

“Tentu saja,” kata Ajahn Chah.

Barangkali para bhikkhu memahami soal percintaan setelah ini.

Apa yang dikatakan oleh Ajahn Chah berikutnya memerlukan waktu yang lama untuk diterjemahkan, sebab si penerjemah harus menghentikan tawa dan menenangkan dirinya dulu.

“Ajahn Chah bilang…” si penerjemah berjuang menahan tawa untuk mengeluarkan kata-kata berikut, sembari menghapus air mata geli dari matanya. “Ajahn Chah bilang kamu harus minta si dia untuk mengirimkan sebotol tahinya. Lalu kapan pun kamu merasa kangen dengannya, kamu bisa mengambil dan membuka botol itu!”

Ya, itu kan sesuatu yang pribadi. Dan saat kita mengungkapkan cinta kepada pasangan kita, bukankah kita sering mengatakan bahwa kita mencintai segala sesuatu dari dirinya? Nasihat yang sama juga berlaku bagi seorang biarawati yang kangen pada cowoknya.

Sudah saya katakan, jika Anda menginginkan fantasi asmara, minggat saja dari vihara kami.

APAKAH RASA TAKUT ITU?

Sumber dari Internet,
Dikutip dari buku Membuka Pintu Hati

Rasa takut adalah mencari-cari kesalahan dengan masa depan. Jika saja kita selalu ingat bahwa masa depan itu tak pasti, kita tak akan pernah mencoba meramalkan apa yang bisa salah. Rasa takut berakhir saat ini juga.

Suatu hari, ketika saya masih kecil, saya begitu takut kalau harus pergi ke dokter gigi. Meskipun saya sudah bikin janji untuk bertemu dengan dokter gigi, tetap saja saya tak ingin pergi. Saya khawatir sendiri dengan tololnya. Saat tiba di tempat praktik dokter gigi, saya diberi tahu bahwa dokter giginya berhalangan. Saya belajar betapa sia-sianya rasa takut itu.

Rasa takut terlarut dalam ketidakpastian masa depan. Namun jika kita tidak memakai kebijaksanaan kita, kitalah yang akan dilarutkan oleh rasa takut. Ada seorang samanera cilik yang hampir terlarut oleh rasa takut, namanya Si Belalang Kecil, seorang tokoh dari film seri kuno di televisi yang berjudul Kung Fu. Saya dulu gemar sekali menonton film seri ini pada tahun terakhir sebagai guru sekolah, sebelum saya menjadi bhikkhu.

Suatu hari, gurunya yang buta mengajak Si Belalang Kecil ke ruangan di belakang biara, yang biasanya terkunci. Di dalam ruangan itu terdapat kolam selebar enam meter, dengan sebuah papan sempit sebagai jembatan yang menghubungkan sisi satu dengan sisi seberangnya. Sang guru memperingati Si Belalang Kecil untuk tidak dekat-dekat dengan pinggir kolam, karena kolam itu bukan berisi air, melainkan berisi larutan asam yang sangat pekat.

“Tujuh hari lagi,” Si Belalang diberi tahu, “kamu akan diuji. Kamu harus berjalan menyeberangi kolam asam ini dengan menjaga keseimbangan di atas papan kayu yang sempit itu. Tapi hati­-hati! Kamu lihat kan tulang-belulang di dasar kolam itu?”

Si Belalang melongok was-was melalui pinggir kolam, dan melihat banyak tulang-belulang di dasar kolam itu.

“Itu dulunya tulang samanera muda seperti kamu.”

Sang guru lantas mengajak Si Belalang keluar dari ruangan yang mengerikan itu, menuju halaman biara yang diterangi sinar mentari. Di sana, beberapa bhikkhu senior telah memasang papan kayu dengan ukuran hampir sama dengan yang ada di kolam asam, hanya yang ini ditaruh di atas tanah dengan disangga oleh tumpukan dua batu bata. Selama tujuh hari berikutnya Si Belalang Kecil dibebaskan dari tugas-tugasnya untuk berlatih keseimbangan di atas papan itu.

Itu mudah. Dalam beberapa hari saja dia dapat berjalan dengan keseimbangan sempurna, dengan mata tertutup sekalipun, menyeberangi papan di halaman biara. Dan tibalah harinya ujian.

Si Belalang dibawa gurunya menuju ruangan dengan kolarn asam itu. Tulang-belulang para samanera yang jatuh tampak putih berkilauan dari dasar kolam. Si Belalang naik ke ujung papan dan menoleh ke arah gurunya. “Jalan!” perintah sang guru.

Papan di atas kolam asam itu ternyata lebih sempit dari papan di halaman kuil. Si Belalang mulai melangkah, tetapi langkahnya goyah; dia mulai bergoyang-goyang. Bahkan belum setengah jalan, dia semakin terhuyung-huyung. Kelihatannya dia akan segera tercebur ke larutan asam. Tiba-tiba film itu terpotong oleh iklan.

Saya harus bersabar dari iklan sialan itu, rasanya lama sekali mengkhawatirkan nasib Si Belalang Kecil yang malang itu.

Nah, pariwara selesai, kita kembali ke kolam asam, tampak Si Belalang mulai kehilangan rasa percaya dirinya. Saya melihat dia melangkah dengan gemetar, lalu oleng…, dia jatuh!

Guru tua yang buta tertawa terbahak-bahak ketika mendengar suara Si Belalang tercebur ke kolam. Itu bukan asam, itu cuma air. Tulang-belulang tua itu telah ditaruh di dalam kolam sebagai “tipuan khusus”. Mereka telah mengakali Si Belalang Kecil, termasuk saya juga jadi korban akal-akalan.

“Apa yang membuatmu jatuh?” tanya sang guru dengan serius. “Rasa takutlah yang menjatuhkanmu, Belalang Kecil, hanya rasa takut.”

CABUT GIGI SENDIRI

Sumber dari Internet,
Dikutip dari buku Membuka Pintu Hati

Seorang anggota komunitas kami mempunyai gigi yang sangat buruk. Dia perlu mencabut beberapa giginya, tetapi dia lebih suka melakukannya tanpa dibius. Akhirnya, dia menemukan seorang ahli bedah gigi yang bersedia mencabut giginya tanpa pembiusan. Dia telah ke sana beberapa kali, dan tak ada masalah.

Membiarkan gigi dicabut tanpa pembiusan oleh dokter gigi mungkin lumayan mengesankan, tetapi tokoh kita ini ternyata lebih mengesankan lagi. Dia berani mencabut sendiri giginya tanpa pembiusan.

Kami melihatnya, di luar bengkel vihara, dengan sebuah tang biasa, dia memegang gigi segar yang baru dicabutnya dan masih berlumur darah. Tak masalah: dia membersihkan darah dari tang itu sebelum mengembalikannya ke bengkel.

Saya bertanya kepadanya bagaimana dia melakukan hal itu. Apa yang dia katakan memberikan satu contoh lagi tentang rasa sakit sebagai faktor utama dari rasa takut.

“Ketika saya memutuskan untuk mencabut sendiri gigi saya­—kok repot-repot ke dokter gigi segala—itu tidak menyakitkan. Ketika saya berjalan menuju bengkel, itu tidak menyakitkan. Saat saya mengambil tang, itu tidak menyakitkan. Ketika saya menjepit gigi dengan tang, itu masih tidak menyakitkan. Ketika saya menggeliatkan tang dan mencabut giginya, itu baru menyakitkan, tetapi cuma beberapa detik saja. Saat gigi sudah tercabut, tak ada lagi rasa sakitnya. Rasa sakitnya hanya lima detik saja. Itu saja kok.”

Anda, para  pembaca, mungkin akan meringis ketika membaca kisah nyata ini. Karena takut, barangkali Anda akan merasa lebih kesakitan ketimbang dia! Jika Anda mencoba cara yang sama, itu mungkin akan sangat menyakitkan, bahkan sebelum Anda mengambil tang dari bengkel. Antisipasi—rasa takut—adalah faktor utama dari rasa sakit.

TIDAK KHAWATIR

Sumber dari Internet,
Dikutip dari buku Membuka Pintu Hati

Membiarkan berlalu “si pengatur”, lebih menyadari saat ini dan terbuka terhadap ketidakpastian masa depan, membebaskan kita dari penjara rasa takut. Hal ini membuat kita dapat menjawab tantangan kehidupan dengan kebijaksanaan kita sendiri yang unik, dan menyelamatkan diri kita dari situasi­-situasi yang tak menyenangkan.

Saya tengah berdiri di salah satu dari enam antrean di sebuah loket imigrasi di bandara Perth, barusan pulang dari perjalanan indah ke Sri Lanka via Singapura. Antrean bergerak lambat; para petugas memeriksa setiap orang dengan cermat. Seorang petugas imigrasi muncul dari pintu samping lobby sambil menuntun anjing pelacak yang terlatih untuk melacak narkoba. Para pelancong yang baru tiba terlihat tegang saat si petugas menuntun anjing pelacaknya untuk memeriksa setiap antrean. Meskipun mereka tak membawa narkoba, Anda tetap dapat merasakan adanya pelepasan ketegangan setelah si anjing mengendus mereka dan berlalu menuju orang berikutnya.

Ketika anjing kecil yang lucu itu mendekati saya dan mengendus, dia berhenti. Dia membenamkan moncongnya ke jubah saya dan mengibas-ibaskan ekornya dengan cepat. Si petugas sampai harus menyentakkan tali pengikatnya untuk membawa si anjing pergi dari saya. Penumpang yang ada di depan saya, yang sebelumnya cukup ramah, sekarang maju selangkah menjauhi saya. Dan saya yakin pasangan yang ada di belakang saya, pun mengambil jarak dengan saya.

Setelah lima menit, saya, makin dekat ke loket, saat mereka membawa anjing pelacak untuk memeriksa lagi. Si anjing memeriksa setiap barisan dari ujung ke ujung, memberikan sedikit ciuman kepada setiap pelancong dan berpindah lagi. Saat si anjing tiba pada saya, dia berhenti lagi. Kepalanya masuk ke jubah saya dan ekornya berkibasan. Sekali lagi, si petugas harus menarik paksa si anjing untuk berlalu dari saya. Sekarang saya merasa semua mata menatapi saya. Biarpun sebagian orang mungkin merasa sedikit khawatir pada saat seperti itu, saya sendiri malah tenang-tenang saja. Jika pun saya harus masuk penjara, yah, saya punya banyak teman di sana, dan makanan di penjara lebih baik daripada di vihara!

Ketika saya, mencapai pemeriksaan imigrasi, mereka memeriksa saya dengan cermat. Saya tidak membawa narkoba, jangankan itu, bhikkhu bahkan tidak boleh minum minuman beralkohol. Mereka tidak menggeledah saya; saya rasa itu karena saya tak menunjukkan rasa gentar. Mereka cuma bertanya apa yang saya pikir mengenai anjing pelacak yang selalu berhenti pada saya. Saya bilang bahwa para bhikkhu punya belas kasih yang besar terhadap para binatang, dan mungkin itu sebabnya si anjing jadi mengendus-endus; atau mungkin juga si anjing dulunya adalah seorang bhikkhu pada salah satu kehidupan lampaunya. Setelah itu mereka membiarkan saya pergi.

Suatu kali saya pernah hampir dipukul oleh seorang pria Austratia berbadan besar yang sedang marah dan setengah mabuk. Ketidakgentaran telah menyelamatkan hari itu, serta hidung saya.

Kami baru saja pindah ke vihara kota kami yang baru, sedikit ke utara dari Perth. Kami mengadakan upacara peresmian, dan alangkah terkejut dan gembiranya kami, Gubernur Australia Barat, Sir Gordon Reid, dan istrinya, berkenaan hadir pada upacara tersebut.  Saya ditugaskan untuk mengurusi tenda­-tenda kebun dan kursi-kursi untuk para undangan dan tamu VIP. Saya diminta oleh bendahara kami untuk mencari penyewaan yang terbaik; kami ingin mengadakan pertunjukan yang sangat bagus.

Setelah mencari-cari, saya menemukan perusahaan penyewaan yang sangat mahal. Perusahaan itu berlokasi di salah satu kawasan elit di pinggir Perth dan biasa menyewakan tenda-tenda kebun untuk para jutawan. Saya menjelaskan apa saja yang saya perlukan dan mengapa itu semua harus yang terbaik. Si wanita yang bicara dengan saya bilang bahwa dia paham, jadi dengan itu pesanan telah disepakati.

Saat tenda-tenda dan kursi-kursi tiba pada Jumat sore, saya sedang berkeliling untuk membantu seseorang. Ketika saya datang untuk memeriksa barang-barang yang diantarkan, truk dan sopir pengangkutnya telah pergi. Saya tidak percaya saat melihat keadaaan tenda yang diantarkan. Tenda-tenda itu berdebu tebal. Saya merasa kecewa, tetapi persoalan itu bisa diatasi. Kami mulai menyemprot tenda-tenda itu dengan air untuk membersihkan debunya. Lalu saya memeriksa kursi-kursi untuk para undangan, dan kursi-kursi itu sama saja kotornya. Lap-lap dikeluarkan dan para, relawan kami yang berjasa mulai membersihkan kursi-kursi itu. Akhirnya, saya memeriksa kursi­-kursi untuk para tamu VIP. Kursi-kursi itu memang istimewa: tak satu pun kaki-kakinya yang sama panjangnya! Semua bergoyang-goyang, kerasa betul.

Ini tak dapat dipercaya. Ini sudah keterlaluan. Saya, bergegas pergi ke pesawat telopon, menelepon perusahaan penyewaan itu dan memergoki si wanita yang nyaris saja pergi untuk berakhir pekan. Saya menjelaskan situasinya, menandaskan bahwa kami tak ingin Gubernur Australia Barat bergoyang­-goyang di atas kursi goyangnya selama upacara berlangsung. Bagaimana kalau beliau sampai terjatuh? Wanita itu mengerti, memohon maaf, dan menjamin bahwa kami akan mendapat gantinya dalam waktu sejam.

Kali ini saya menunggu kedatangan truk pengantarnya. Saya melihatnya berbelok ke jalan menuju tempat kami. Setengah jalan dari jalur masuk, kira-kira enam puluh meter dari vihara, tatkala truk itu masih melaju cukup cepat, seseorang melompat keluar dari truk tersebut dan berlari ke arah saya dengan matanya yang liar dan tangannya yang terkepal.

“Mana orang yang berwenang?” teriaknya. “Aku mau bertemu dengan orang yang berwenang di sini.”

Belakangan saya mengetahui bahwa pesanan kami yang pertama kali diantarkan tadi adalah tugas terakhir mereka untuk pekan ini. Setelah tadi mengantar ke tempat kami, orang-orang itu lantas berkemas dan mengaso di bar untuk berakhir pekan. Mereka pasti sedang asyik berakhir pekan sambil minum­-minum ketika managernya datang dan menyuruh mereka kembali bekerja. Orang-orang Buddha itu ingin kursi-kursinya diganti.

Saya mendatangi orang itu dan berkata lembut, “Saya yang berwenang di sini, ada yang bisa saya bantu?”

Dia mendekatkan wajahnya ke wajah saya, dengan tinju kanannya teracung hampir mengenai hidung saya. Matanya menyala-nyala oleh amarah. Saya mencium bau bir dari mulutnya yang hanya beberapa inci dari wajah saya. Saya tak merasa takut atau angkuh, saya hanya tenang.

Yang katanya teman-teman saya berhenti membersihkan kursi­-kursi untuk menonton kami.Tak ada satu pun dari mereka yang datang menolong saya. Terima kasih banyak, kawan-kawan!

Tatap muka itu berlangsung beberapa menit. Saya jadi kagum pada apa yang terjadi kemudian. Si pekerja yang marah itu diam mematung saja terhadap sikap saya. Pengkondisian dalam dirinya hanya dipakai untuk menghadapi rasa takut atau serangan balik. Tapi otaknya tak tahu bagaimana menyikapi seseorang yang tetap tenang ketika salah satu tinjunya berada dekat dengan cuping hidung mereka. Saya tahu dia tak akan memukul saya, bergerak pun tidak. Ketidakgentaran telah membuatnya bingung.

Beberapa saat kemudian truk itu parkir dan bosnya mendatangi kami. Dia meletakkan tangannya di bahu si pekerja yang sedang membeku itu, lalu berkata, “Ayo, turunkan kursi-kursinya.” Kebekuan pun pecah, menunjukkan jalan keluar baginya.

Saya berkata, “Ya, saya akan bantu Anda.” Dan kami pun bersama-sama menurunkan kursi-kursi itu.

KEMARAHAN

Sumber dari Internet,
Dikutip dari buku Membuka Pintu Hati

Marah bukanlah respon yang cerdas. Orang bijak selalu bahagia, dan orang yang bahagia tak akan marah. Marah, terutamanya, adalah tak masuk akal.

Suatu hari, mobil vihara kami berhenti di lampu merah di samping sebuah mobil lainnya. Saya memperhatikan pengemudi mobil itu memaki-maki lampu merah: “Kamu lampu brengsek! Kamu tahu aku ada janji penting! Kamu tahu aku sudah terlambat dan kamu membiarkan mobil di depanku lewat. Dasar babi! Ini juga bukan yang pertama kali….”

Dia menyalahkan lampu merah, seolah-olah si lampu merah punya banyak pilihan. Dia pikir si lampu merah memang sengaja menyakitinya: “Aha! Ini dia datang. Aku tahu dia terlambat. Aku akan membiarkan mobil lain lewat dulu, lalu… merah! Berhenti! Kena dia!” Si lampu merah mungkin tampak jahat, tetapi mereka hanyalah lampu merah, itu saja. Apa sih yang Anda harapkan dari sebuah lampu merah?

Saya membayangkan orang itu terlambat pulang dan istrinya memakinya, “Kamu suami brengsek! Kamu tahu kita ada janji penting. Kamu tahu tidak boleh terlambat dan kamu malah mendahulukan urusanmu ketimbang aku. Dasar babi! Ini juga bukan yang pertama kali…”

Si istri menyalahkan suaminya, seolah-olah si suami punya banyak pilihan. Dia pikir suaminya memang sengaja menyakitinya: “Aha! Aku ada janji penting dengan istriku. Aku akan terlambat. Aku akan bertemu dulu dengan orang lain. Terlambat! Kena dia!” Para suami mungkin tampak jahat, tapi mereka hanyalah para suami, itu saja. Apa sih yang Anda harapkan dari para suami?

Tokoh-tokoh dalam cerita ini boleh diubah-ubah untuk menyesuaikan kasus-kasus kemarahan yang sering terjadi.

PENYUNYIAN

Sumber dari Internet,
Dikutip dari buku Membuka Pintu Hati

Pemicu dari kemarahan kita kebanyakan adalah pengharapan yang tak sampai. Kadang kita begitu menginvestasikan diri ke dalam sebuah proyek yang ketika tak menghasilkan sesuatu sebagaimana seharusnya, kita jadi marah. Semua “seharusnya” merujuk pada pengharapan, suatu prediksi masa depan. Sekarang kita mungkin menyadari bahwa masa depan itu tak pasti, tak dapat diramalkan. Terlalu mengandalkan suatu pengharapan masa depan, suatu “seharusnya”, itu namanya cari-cari masalah.

Seorang umat Buddha dari Barat yang saya kenal beberapa tahun lalu menjadi bhikkhu di Timur Jauh. Dia bergabung dengan sebuah kelompok meditasi yang sangat ketat, di sebuah vihara terpencil di pegunungan. Setiap tahun mereka mengadakan penyunyian (retret) meditasi selama 60 hari. Latihannya keras, kaku, dan bukan untuk pikiran yang lemah.

Mereka bangun pada pukul 3.00 dini hari, dan pada pukul 3.10 mereka bermeditasi dengan duduk bersila. Sepanjang hari diatur ketat dalam rutinitas 50 menit meditasi duduk, 10 menit meditasi jalan, 50 menit meditasi duduk, 10 menit meditasi jalan, dan seterusnya. Mereka makan di dalam aula tempat bermeditasi, duduk bersila di tempat untuk bermeditasi; tak diperbolehkan bercakap-cakap. Pada pukul 10 malam mereka boleh tidur, tetapi hanya di aula di tempat yang sama ketika mereka duduk bermeditasi. Bangun pada pukul 3 dini hari itu tidak wajib: Anda boleh saja bangun lebih awal jika mau, tapi tidak boleh terlambat. Istirahat hanya pada saat wawancara harian dengan guru yang sangar, dan tentu saja sedikit waktu untuk ke toilet.

Setelah tiga hari, kaki dan punggung si bhikkhu Barat terasa sangat nyeri. Dia tak terbiasa duduk lama dalam posisi yang terasa sangat tidak nyaman bagi orang Barat. Lebih-lebih, dia masih harus melewati delapan minggu lagi. Dia mulai sungguh­-sungguh sangsi apakah dia mampu bertahan selama itu.

Pada akhir minggu pertama, segala sesuatunya tak menjadi lebih baik. Dia sering merasa tersiksa sekali, berjam-jam duduk seperti itu. Mereka yang pernah mengikuti retret meditasi 10 hari pasti tahu bagaimana sakitnya. Dan dia masih harus menghadapinya tujuh setengah minggu lagi.

Namun orang ini sangat keras hati. Dia menghimpun segenap tekadnya dan terus bertahan, detik demi detik. Pada akhir dari dua minggu pertama, dia benar-benar sudah tak tahan: rasa sakitnya sudah kelewatan. Tubuh Barat-nya tak cocok untuk perlakuan seperti ini. Ini sih bukan ajaran Buddha, bukan Jalan Tengah. Lalu dia memandang sekeliling, melihat bhikkhu-bhikkhu Asia, mereka juga tengah menggeretakkan gigi; rasa gengsi mendorongnya untuk melewatkan dua minggu berikutnya. Selama periode ini, tubuhnya terasa seperti terbakar rasa sakit. Satu-satunya kelegaan adalah saat gong pukul 10 malam, saat dia dapat merentangkan tubuhnya yang tersiksa untuk sedikit santai. Tapi rasanya begitu dia terlelap, gong pukul 3 dini hari berbunyi lagi, membangunkannya untuk hari penuh siksaan berikutnya.

Pada akhir hari ke-30, harapan terlihat berkedip-kedip suram di kejauhan. Sekarang dia telah melewati tanda setengah jalan. Dia sedang dalam perjalanan mudik, “Hampir sampai,” dia mencoba meyakinkan dirinya sendiri. Hari-hari terasa bertambah panjang dan rasa sakit pada lutut dan punggungnya terasa makin menusuk. Pada saat-saat itu dia rasanya akan menangis. Tetapi tetap saja, dia maju terus. Dua minggu lagi. Satu minggu lagi. Pada minggu terakhir, waktu terasa seperti diseret semut. Sekalipun sekarang dia sudah terbiasa menahan rasa sakit, masih saja itu tidak lebih mudah. Kalau menyerah sekarang, pikirnya, itu namanya tidak setia pada segala sesuatu yang telah ditahannya sejauh ini. Dia tetap ingin merampungkannya, sekalipun dia bisa terbunuh; dan pada saat itu dia pikir itu bisa saja terjadi.

Dia terbangun oleh gong pukul 3 dini hari pada hari ke-60. Dia sudah hampir rampung. Rasa nyerinya pada hari terakhir itu sudah tak terperikan lagi. Seolah-olah rasa nyeri ingin mengolok­-oloknya untuk maju terus, tetapi sekarang sudah tak ada lagi pukulan-pukulan yang menderanya. Bahkan meskipun hanya tersisa beberapa jam saja, dia masih sangsi apakah dia mampu bertahan. Lalu tibalah 50 menit terakhir. Dia memulai sesi itu dengan membayangkan semua hal yang akan dia lakukan, mulai dari satu jam begitu retret usai: berendam air hangat, makan yang enak-enak, ngobrol, bermalas-malasan—tiba-tiba rasa nyeri menginterupsi rencananya, menuntut seluruh perhatiannya. Dia membuka sedikit matanya, dengan diam­-diam, beberapa kali selama sesi akhir untuk mengintip jam. Dia tidak percaya sang waktu bergerak begitu lambatnya. Mungkin baterai jam itu perlu diganti? Mungkin jam itu akan berhenti selamanya tepat lima menit sebelum retret berakhir? Lima puluh menit terakhir terasa seperti lima puluh kalpa, tetapi bahkan yang paling abadi pun harus berakhir juga suatu hari.Termasuk yang ini. Gong pun berbunyi, begitu manisnya, untuk mengakhiri retret.

Gelombang kegembiraan mengaliri tubuhnya, menenggelamkan rasa sakit ke balik tabir. Dia berhasil. Sekarang dia bisa bersenang-senang. Ayo berendam!

Sang guru menabuh gong lagi untuk meminta perhatian semua orang. Dia punya pengumuman. Dia berkata, “Ini adalah sebuah retret yang luar biasa. Banyak bhikkhu yang mencapai kemajuan besar, dan beberapa menyarankan kepada saya, saat wawancara pribadi, untuk sebaiknya melanjutkan retret ini selama dua minggu lagi. Saya rasa ini usulan yang hebat. Retret ini dilanjutkan. Ayo duduk lagi.”

Semua bhikkhu melipat kaki lagi dan duduk diam bermeditasi, untuk memulai retret selama 2 minggu lagi. Si bhikkhu Barat bercerita bahwa dia tak merasa sakit lagi di tubuhnya. Dia hanya mencoba menduga-duga siapa gerangan bhikkhu sialan yang telah menyarankan sang guru untuk melanjutkan retret ini, dan berpikir apa yang akan dia lakukan kalau nanti dia tahu siapa bhikkhu itu. Dia punya rencana tak berperi-kebhikkhu-an buat si bhikkhu yang tak berperasaan itu. Kemarahannya mengeringkan semua rasa sakitnya. Dia, menjadi sangat marah. Dia menjadi garang. Dia belum pernah merasa semarah itu sebelumnya. Tiba-tiba gong berbunyi lagi. Itu adalah 15 menit tercepat dalam hidupnya.

“Retret selesai,” kata sang guru. “Ada makanan dan minuman untuk kalian semua di ruang makan. Silakan bersantai. Kalian boleh bercakap-cakap sekarang.”

Si bhikkhu Barat jadi kebingungan. “Saya pikir kita akan bermeditasi selama dua minggu lagi. Ada apa?” Seorang bhikkhu senior yang bisa berbahasa Inggris melihat kebingungannya dan datang menghampiri. Sembari tersenyum dia berkata, “Jangan khawatir! Sang guru berbuat begitu setiap tahun!”

TAKUT BERBICARA DI DEPAN UMUM

Sumber dari Internet,
Dikutip dari buku Membuka Pintu Hati

Saya diberi tahu bahwa salah satu rasa takut paling besar yang dirasakan orang adalah berbicara di depan umum. Saya harus sering berbicara di depan umum, di vihara-vihara, di konferensi, di upacara pernikahan dan pemakaman, di radio, dan bahkan di siaran langsung televisi. Semua itu adalah bagian dari pekerjaan saya.

Saya ingat pada suatu peristiwa, lima menit menjelang saya memberikan ceramah, ketika rasa takut membanjiri saya. Saya belum mempersiapkan apa pun untuk ceramah itu. Saya tak punya ide apa yang akan saya katakan. Sekitar tiga ratus orang sudah duduk di aula, berharap untuk dapat ilham. Mereka telah merelakan waktu malamnya untuk mendengarkan saya bicara. Saya mulai berpikir, “Bagaimana kalau saya tidak punya apa­-apa untuk diomongkan? Bagaimana kalau saya salah omong? Bagaimana kalau saya tampak bego?”

Seluruh rasa takut dimulai dengan pikiran “bagaimana kalau” dan berlanjut dengan sesuatu yang membawa bencana. Saya telah menduga-duga apa yang akan terjadi, dan dengan cara yang negatif. Saya telah berlaku bodoh. Saya tahu saya telah berlaku bodoh; saya tahu semua teori, tetapi itu tidak jalan. Rasa takut terus bergulir. Saya berada dalam masalah.

Pada saat itulah saya mengerahkan sebuah trik, yang dalam istilah para bhikkhu disebut “cara-cara lihai”, yang dapat mengatasi rasa takut saya, dan terbukti ampuh sampai sekarang. Saya memutuskan masa bodoh pendengar saya menikmati ceramah saya atau tidak, asalkan saya sendiri menikmatinya. Saya memutuskan untuk bersenang-senang saja.

Sekarang, kapan saja saya memberikan ceramah, saya bersenang-senang saja. Saya bergembira-ria. Saya membawakan cerita-cerita lucu, sering saya sendiri jadi korban, dan tertawa bersama hadirin. Pada suatu siaran langsung radio di Singapura, saya bercerita tentang ramalan Ajahn Chah mengenai mata uang masa depan (warga Singapura tertarik dengan hal-hal yang berbau ekonomi).

Ajahn Chah meramalkan kelak ketika dunia kehabisan kertas dan logam untuk membuat uang, orang-orang harus mencari sesuatu yang lain untuk transaksi sehari-hari. la meramalkan bahwa mereka akan memakai butiran-butiran yang terbuat dari tahi ayam. Orang akan bepergian ke mana-mana dengan kantong penuh tahi ayam. Bank-bank akan penuh dengan benda itu dan para perampok akan mencoba mencurinya. Orang-orang kaya akan merasa begitu bangga dengan banyaknya tahi ayam yang mereka miliki dan orang-orang miskin akan bermimpi memenangkan lotere berhadiah segunduk tahi ayam.

Ketika jumlah tahi ayam yang beredar cukup besar, pemerintah akan mencermati betul-betul situasi tahi ayam di negaranya, isu-isu lingkungan dan sosial akan dikesampingkan dahulu.

Apakah perbedaan hakiki antara kertas, logam, dan tahi ayam? Tidak ada!

Saya menikmati menuturkan cerita, itu. Cerita itu mengandung pernyataan memprihatinkan mengenai budaya kita saat ini. Dan itu menggelikan.Warga Singapura senang mendengarkannya.

Saya jadi mengerti bahwa jika Anda memutuskan untuk bersenang-senang ketika harus berbicara di depan umum, Anda akan merasa santai. Secara psikologis, mustahil ada rasa takut dan kegembiraan pada saat yang sama. Saat saya santai, gagasan-gagasan mengalir dengan bebas dalam benak saya selama berceramah, lalu dengan fasihnya meluncur melalui mulut saya. Lagi pula, hadirin jadi tidak bosan kalau ceramahnya lucu.

Seorang bhikshu Tibet suatu ketika menjelaskan pentingnya membuat hadirin tertawa pada saat ceramah.

“Begitu mereka membuka mulut,” katanya, “Anda dapat melemparkan pil kebijaksanaan ke dalamnya.”

Saya tak pernah mempersiapkan ceramah saya. Alih-alih, saya mempersiapkan hati dan pikiran saya. Para bhikkhu di Thailand terlatih untuk tidak mempersiapkan ceramahnya, tetapi untuk selalu siap berceramah kapan saja, tanpa pemberitahuan terlebih dahulu.

Saat itu adalah Magha Puja, hari raya Buddhis terpenting kedua di Thailand timur laut. Saya sedang berada di vihara Ajahn Chah, Wat Nong Pah Pong, dengan sekitar dua ratus bhikkhu dan ribuan umat awam. Ajan Chah memang sangat terkenal; saat itu adalah tahun kelima saya sebagai bhikkhu.

Setelah kebaktian malam, tiba saatnya untuk ceramah utama. Dalam acara-acara besar, biasanya Ajahn Chah yang berceramah, tetapi tidak selatu.Terkadang ia akan menoleh ke barisan para bhikkhu dan, jika matanya berhenti pada Anda, berarti Anda dalam masalah. la akan meminta Anda memberikan ceramah. Sekalipun saya termasuk yang termuda di antara para bhikkhu, itu bukan jaminan bahwa saya tak akan dipilihnya, tak ada yang bisa menebak Ajahn Chah.

Ajahn Chah memandangi barisan para bhikkhu. Matanya tiba pada saya, tetapi lewat lagi. Diam-diam saya menghembuskan napas lega. Lalu sapuan matanya menelusur balik barisan para bhikkhu. Tebak, di mana ia berhenti?

“Brahm,” Ajahn Chah memerintahkan, “ayo berikan ceramah utama.”

Tak ada jalan keluar. Saya harus memberikan ceramah dadakan dalam bahasa Thai selama satu jam, di depan guru saya, rekan­-rekan bhikkhu, dan ribuan umat awam. Tidak masalah apakah itu akan menjadi ceramah yang bagus atau tidak. Masalahnya, sayalah yang harus melakukannya.

Ajahn Chah tak pernah mengatakan apakah ceramah Anda bagus atau tidak. Bukan itu intinya. Suatu ketika ia meminta seorang bhikkhu Barat yang sangat mahir untuk memberikan ceramah kepada umat awam yang berkumpul di viharanya untuk kebaktian mingguan. Setelah satu jam, sang bhikkhu bermaksud untuk mengakhiri ceramahnya, tetapi Ajahn Chah mencegahnya dan menyuruh dia melanjutkan selama satu jam lagi. Itu berat. Sang bhikkhu masih mampu berceramah, dan setelah berjuang untuk jam keduanya dalam bahasa Thai, sang bhikkhu bermaksud menutup ceramahnya, tetapi seketika itu pula Ajahn Chah menyuruh dia untuk terus berceramah. Itu hal yang mustahil. Bhikkhu Barat biasanya tidak banyak tahu bahasa Thai. Anda hanya bisa mengulang-ulang. Para pendengar akan bosan. Tetapi tak ada pilihan lain. Pada akhir jam ketiga, sebagian besar hadirin sudah beranjak pergi, dan yang masih bertahan pun sibuk mengobrol dengan sesamanya. Bahkan para nyamuk dan cecak pun sudah pergi tidur. Pada akhir jam ketiga, Ajahn Chah menyuruhnya untuk berceramah sejam lagi! Sang bhikkhu Barat tetap patuh. Dia bercerita setelah pengalaman itu (ceramah itu berakhir juga setelah jam keempat), ketika Anda telah menyelami dalam-dalam respon hadirin, Anda tidak akan takut lagi berbicara di depan umum.

Begitulah kami dilatih oleh Ajahn Chah yang agung.

TAKUT SAKIT

Sumber dari Internet,
Dikutip dari buku Membuka Pintu Hati

Rasa takut adalah unsur utama rasa sakit. Rasa takut membuat rasa sakit tambah menyakitkan. Enyahkan rasa takut, maka perasaan sajalah yang tertinggal. Pada pertengahan tahun 70- an, di sebuah vihara hutan kecil yang terpencil di bagian timur laut Thailand, saya mengalami sakit gigi yang parah. Tidak ada dokter gigi, tidak ada telepon, dan tidak ada listrik. Kami bahkan tidak punya aspirin atau parasetamol di kotak obat. Bhikkhu hutan memang diharapkan dapat bertahan dalam keadaan seperti itu.

Petang harinya, seperti penyakit pada umumnya, sakit gigi saya menjadi makin parah saja. Saya merasa diri saya adalah seorang bhikkhu yang lumayan kuat, tetapi sakit gigi itu sedang menguji kekuatan saya. Satu sisi dari mulut saya terasa penuh dengan rasa sakit. Itu adalah sakit gigi terhebat yang pernah saya alami, atau barangkali yang pernah ada. Saya mencoba lari dari rasa sakit dengan melakukan meditasi pernapasan. Saya pernah belajar memusatkan pikiran pada napas sewaktu digigit nyamuk; kadang-kadang dengan berhitung sampai empat puluh pada saat yang sama, dan saya bisa mengatasinya. Namun rasa sakit ini benar-benar keterlaluan. Saya mengisi pikiran saya dengan sentuhan napas selama dua atau tiga detik, lalu rasa sakit itu kembali mendobrak pintu pikiran yang telah saya tutup dan meledak dengan kekuatan yang dahsyat.

Saya berdiri, keluar dan mencoba meditasi jalan. Tak lama kemudian saya menyerah lagi. Bukannya meditasi “dengan berjalan”, tetapi saya meditasi “dengan berlari”. Saya tidak dapat berjalan perlahan. Rasa sakit menguasai saya; membuat saya berlarian. Tapi mau kabur ke mana? Serasa dalam siksaan. Saya jadi gila.

Saya masuk kembali ke pondok, duduk, dan mulai menguncarkan paritta yang dikatakan mempunyai kekuatan gaib. Paritta bisa membawa keberuntungan, menjauhkan binatang buas, dan menyembuhkan penyakit dan rasa sakit­—begitulah kata orang. Saya tidak percaya. Saya adalah mantan ilmuwan. Paritta sakti adalah semacam bim-salabim, hanya untuk orang-orang yang lugu. Tapi sekarang saya mencoba membaca paritta, siapa tahu itu akan berhasil. Saya putus asa. Tak lama kemudian, saya berhenti membaca. Saya meneriakkan kata-kata parittanya karena saking sakitnya! Malam telah larut dan saya takut bhikkhu-bhikkhu yang lain terbangun. Teriakan saya bisa jadi telah membangunkan seluruh penduduk desa yang berkilo-kilo meter jauhnya! Kekuatan rasa sakit membuat saya tidak bisa menguncarkan paritta dengan normal.

Sendirian, ribuan mil dari negara asal saya, di hutan terpencil tanpa fasilitas apa pun, dalam rasa sakit yang tak tertahankan dan tiada henti. Saya sudah mencoba semua yang saya ketahui, semuanya. Tak tahu harus bagaimana lagi. Seperti itulah.

Sebuah momen keputusasaan kadang bisa membuka pintu kebijaksanaan, pintu yang tak terlihat dalam keadaan biasa. Pintu itu terbuka dan saya masuki. Sejujurnya, saya memang tidak punya pilihan.

Saya teringat dua kata singkat ini: “let go” (lepaskan). Saya sudah mendengar kata-kata ini berkali-kaii. Saya sudah menjelaskan maknanya kepada teman-teman saya. Saya pikir saya tahu apa artinya itu, ya begitulah gelap batin itu. Saya bersedia mencoba apa saja, jadi saya mencoba melepas, seratus persen lepas. Untuk pertama kalinya dalam hidup saya, saya benar-benar melepas.

Apa yang terjadi benar-benar mengejutkan. Rasa sakit yang luar biasa tadi dengan cepat lenyap, digantikan oleh perasaaan yang sangat menyenangkan. Gelombang demi gelombang kenikmatan menggetarkan seluruh tubuh. Pikiran saya berdiam pada satu kedamaian yang dalam, begitu hening, begitu menyenangkan. Saya bermeditasi dengan mudah, tanpa kesulitan. Setelah bermeditasi, pada dini hari, saya berbaring untuk beristirahat. Saya tidur dengan nyenyak dan damai. Sewaktu terbangun, saya menyadari ada sakit gigi, tapi rasanya tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan yang semalam.

BIARLAH RASA SAKIT BERLALU

Sumber dari Internet,
Dikutip dari buku Membuka Pintu Hati

Dalam cerita sebelumnya, yang saya biarkan berlalu adalah rasa takut akan rasa sakit. Saya menyambut rasa sakit, mendekapnya, dan mengizinkannya. Karena itulah rasa sakit itu pergi.

Beberapa kawan saya yang menderita rasa sakit yang hebat telah mencoba metode ini dan tidak berhasil! Mereka mendatangi saya untuk mengadu, mengatakan bahwa sakit gigi yang saya derita tak ada apa-apanya dibandingkan rasa sakit yang mereka derita. Itu tidak benar. Rasa sakit bersifat pribadi dan tidak dapat diukur. Saya menjelaskan kepada mereka mengapa metode “biarlah berlalu” tak berhasil pada kasus mereka dengan cerita tiga murid berikut ini.

Murid pertama, dalam rasa sakit yang hebat, mencoba untuk membiarkan berlalu.

“Berlalulah,” bujuk mereka, dengan lembut, dan menanti. “Berlalulah!” ulang mereka ketika tak ada perubahan.”Pergilah sana!” “Ayo, pergilah.” “Aku bilang, pergilah!” “PERGILAH!”

Kita mungkin merasa itu lucu, tetapi itulah yang kita lakukan selama ini. Kita membiarkan pergi hal yang salah. Kita seharusnya membiarkan pergi orang yang berkata “berlalulah”.

Kita semestinya membiarkan berlalu “si pengatur” yang ada dalam diri kita, dan kita semua tahu siapa itu. Membiarkan berlalu berarti “tak ada si pengatur”.

Murid kedua, dalam rasa sakit yang mengerikan, ingat akan petuah di atas dan membiarkan berlalu pengendalinya. Lalu mereka duduk bersama rasa sakit, mengira mereka telah membiarkannya berlalu. Setelah sepuluh menit rasa sakit itu masih sama saja, jadi mereka mengeluhkan metode ini tidak jalan. Saya menjelaskan kepada mereka bahwa metode membiarkan berlalu ini bukan metode untuk membebaskan diri dari rasa sakit, melainkan metode untuk bebas dari rasa sakit. Murid kedua telah mencoba untuk membuat kesepakatan dengan rasa sakit: “Aku akan membiarkan kamu selama sepuluh menit, dan setelah itu, hei kamu, rasa sakit, akan pergi. OK?”

Itu sih bukan membiarkan rasa sakit berlalu, tetapi mencoba untuk membebaskan diri dari rasa sakit.

Murid ketiga, dalam rasa sakit yang menakutkan, berkata kepada rasa sakit itu kata-kata seperti ini: “Sakit, pintu hatiku selalu terbuka untukmu, apa pun yang kamu lakukan. Masuklah ”

Murid ketiga bersedia dengan sepenuh hati mengizinkan rasa sakit terus berlanjut selama yang diinginkannya, bahkan selama seumur hidup, bahkan membolehkan mereka bertambah parah. Mereka memberikan kebebasan bagi rasa sakit. Mereka berhenti mengendalikannya. Itulah yang disebut membiarkan berlalu. Apakah rasa sakit itu masih ada atau tidak, sama saja jadinya. Hanya dengan itulah, rasa sakit lenyap.

BEBAS DARI RASA TAKUT

Sumber dari Internet,
Dikutip dari buku Membuka Pintu Hati

Jika rasa bersalah itu seperti memandang tembok bata masa lalu kita dan hanya melihat dua bata jelek saja, maka ketakutan adalah menerawang tembok bata masa depan kita dan hanya melihat apa yang bisa salah. Saat kita dibutakan oleh rasa takut, kita tak dapat melihat adanya kemungkinan bahwa bagian tembok lainnya bisa saja merupakan tembok yg sempurna. Rasa takut, karena itu, diatasi dengan melihat keseturuhan tembok, seperti pada kisah berikut yang terjadi di Singapura baru-baru ini.

Rangkaian empat ceramah saya telah diatur sejak beberapa bulan sebelumnya, sebuah auditorium besar dan mahal berkapasitas 2.500 tempat duduk yang terletak di pusat kota Singapura telah dipesan jauh-jauh hari, dan poster-poster telah dipajang di halte bis. Lalu datanglah wabah SARS (Severe Acute Respiratory Syndrome). Ketika saya tiba di Singapura, semua sekolah telah ditutup, apartemen dikarantina, dan pemerintah menganjurkan seluruh warga untuk menghindari pertemuan-pertemuan umum. Rasa takut melanda luas pada waktu itu. Saya ditanya, “Apa kita batal saja?”

Pada pagi itu juga, halaman depan surat kabar memberi peringatan dengan angka yang tercetak besar dan tebal bahwa ada 99 orang Singapura yang telah terjangkit SARS. Saya bertanya berapa jumlah penduduk Singapura pada saat itu.

Ternyata mendekati 4 juta jiwa. “Jadi,” saya menyimpulkan, “itu berarti ada 3.999.901 orang Singapura yang tak terjangkit SARS. Ayo kita jalan terus.”

“Tetapi bagaimana jika seseorang lalu terjangkit SARS?” si rasa takut berbisik.

“Tetapi bagaimana jika ternyata tidak?” kata si bijak. Dan si bijak didampingi oleh si kemungkinan.

Jadi acara ceramah itu jalan terus. Seribu lima ratus orang datang pada malam pertama dan jumlahnya terus meningkat hingga penuh sesak pada malam terakhir. Seluruhnya ada sekitar 8.000 orang yang datang ke rangkaian ceramah itu. Mereka belajar untuk melawan ketakutan yang tak masuk akal, dan itu akan memperkuat nyali mereka pada masa yang akan datang. Mereka menikmati ceramah itu dan pulang dengan bahagia, itu berarti sistem kekebalan tubuh mereka telah ditingkatkan. Dan seperti yang saya tekankan pada akhir setiap ceramah, karena mereka tertawa gara-gara cerita-cerita lucu saya, mereka telah melatih paru-paru mereka dan hal itu memperkuat sistem pernapasan mereka! Tentu saja, tak seorang pun dari para hadirin yang terjangkit SARS.

Masa depan penuh dengan kemungkinan yang tak terbatas. Ketika kita terfokus pada kemungkinan yang tak menguntungkan, itulah yang disebut ketakutan. Bila kita berfokus pada kemungkinan sebaliknya, yang biasanya lebih disukai, itulah yang disebut bebas dari rasa takut.

Leave a Reply 0 comments