Empat Jalan Ke Surga
Di dunia ini ia bergembira, di dunia sana ia bergembira;
pelaku kebajikan bergembira di kedua dunia itu.
Ia bergembira dan bersuka cita karena
melihat perbuatannya sendiri yang bersih.
(Dhammapada I, 16)
Saudara-saudara, para umat Buddha yang hadir pada saat ini, bersama-sama kita telah membacakan paritta dalam rangka peringatan 40 hari wafatnya Almarhum Bapak Supangat. Kepergian Almarhum memang sangatlah mengejutkan kita semua. Hal ini karena pada tanggal 1 November kita masih berkumpul bersama di tempat ini, tidak disangka pada tanggal 3 November beliau telah meninggalkan kita semua. Pada waktu saya mendapatkan berita yang mengagetkan itu, saya sedang berada di Makassar. Saya merasa kehilangan beliau. Pak Pangat semasa hidupnya sangat besar jasanya untuk pembinaan agama Buddha di Blitar dan sekitarnya. Pada waktu saya mendengar berita tersebut, karena memang saya tidak bisa meninggalkan tempat bertugas, maka saya hanya bisa mengharapkan beliau dari jauh agar beliau memperoleh kebaikan dan kebahagiaan di kelahirannya sekarang sesuai dengan kondisi karma yang telah beliau lakukan selama ini.
Saudara-saudara, mengamati ataupun merenungkan tentang peristiwa kematian, kadang-kadang akan timbul pertanyaan. Kalau si A sudah menyelesaikan kehidupan dan kemudian berangkat meninggalkan kita semua, si B menyelesaikan kehidupan dan berangkat meninggalkan kita, si C juga begitu, si D, semua juga pergi meninggalkan kita, seketika itu kita berpikir bahwa suatu saat pasti akan tiba giliran kita pula. Orang kadang mengatakan bahwa kalau kita merenungkan tentang kematian, maka seharusnya kita juga menyadari bahwa diri kita adalah calon-calon jenazah. Kalau kita sudah merenungkannya sampai pada pengertian bahwa kita ini adalah calon-calon jenazah, selanjutnya apakah yang bisa kita lakukan dalam kehidupan yang sangat singkat ini? Apa yang bisa kita manfaatkan dalam hidup ini? Apa yang bisa kita kerjakan dalam hidup ini, semasa kita masih sebagai calon jenazah, belum sebagai jenazah yang sesungguhnya.
Tentu kita menginginkan hidup di dunia berbahagia. Kita juga ingin kehidupan setelah kematian berbahagia. Memang itulah harapan kita semua. Kita tidak ingin hidup di dunia bahagia, namun setelah kematian menderita. Apabila hidup di sini bahagia, memperoleh apa saja yang kita inginkan, tetapi setelah meninggal nanti kita terlahir di neraka, maka hal itu tentunya bukanlah merupakan hal yang menyenangkan. Sebaliknya, ada orang yang hidupnya di dunia menderita, lalu dia berpikir bahwa kalau nanti meninggal ia dapat terlahir di surga. Ada juga orang yang ketika hidup di dunia menderita, setelah kematian pun masih terlahir di alam menderita. Harapan manusia adalah apabila dalam hidup di dunia ia menderita, semoga setelah meninggal ia dapat terlahir di alam surga. Namun, bila ia hanya merasakan penderitaan kehidupan tanpa melakukan sesuatu, ataupun ia berperilaku yang keliru, maka apabila ia meninggal belum tentu ia dapat terlahir di alam surga. Kenapa hal ini bisa terjadi?
Di zaman dahulu, ada orang yang menyiksa diri dengan mengangkat salah satu kakinya untuk waktu yang cukup lama. Ia mengangkat sebelah kakinya bukan hanya untuk satu atau dua hari saja melainkan sampai satu atau dua tahun atau bahkan lebih lama lagi. Ia berdiri di atas satu kaki selama bertahun-tahun, sehingga kaki yang diangkat itu menjadi lebih kecil dari yang lainnya sehingga tidak bisa digunakan lagi. Ada juga orang yang mengangkat sebelah tangannya ke atas sampai belasan tahun, atau mengambil posisi yang sulit-sulit lainnya sampai bertahun-tahun. Mereka yang menjalankan cara-cara seperti itu memiliki harapan agar semua karma buruknya habis sehingga apabila ia meninggal dunia ia dapat terlahir kembali di alam surga. Ketika Sang Buddha bertemu dengan mereka, Beliau menanyakan kepada mereka bahwa setelah menyiksa diri seperti itu, apakah mereka telah mengetahui seberapa banyak jumlah karma buruk yang mereka miliki? Apabila mereka tidak mengetahui dengan pasti jumlah karma buruknya dan mereka telah terlanjur menyiksa diri untuk menghabiskan karma buruknya, maka tentunya manfaat perilaku penyiksaan diri tersebut perlu dipertanyakan kembali. Ada kemungkinan, penyiksaan diri mereka jauh lebih banyak daripada buah karma buruk yang seharusnya mereka terima.
Hal ini dapat diibaratkan dengan contoh berikut. Penyiksaan diri adalah seperti seseorang yang sedang membayar hutang, namun ia tidak mengetahui secara tepat jumlah hutangnya. Kemudian ia mengangsur sedikit demi sedikit. Ada uang seribu rupiah, dia berikan seribu; ada lima ribu, dia berikan lima ribu. Ia terus mengangsur dengan cara ini sampai dua belas tahun atau bahkan lima belas tahun lamanya. Padahal, berapa hutang yang sesungguhnya? Apabila jumlah hutangnya hanya sepuluh ribu rupiah, maka angsuran yang diberikan ternyata jauh melebihi hutangnya. Terlalu berlebihan.
Oleh karena itu, Sang Buddha mengajarkan bahwa selama hidup, seseorang harus melakukan suatu perbuatan yang positif dan bermanfaat. Dengan demikian, ia tidak perlu mengurangi karma buruk yang dimilikinya dengan cara menyiksa diri. Ia hendaknya justru dapat menggunakan kehidupan ini untuk melakukan kebajikan sehingga akhirnya ia dapat berbahagia di dunia ini maupun setelah kematian nantinya.
Tentunya sekarang kita juga merenungkan hal ini, mengingat pada tanggal 1 kita masih bisa ketemu dengan bapak Supangat, namun pada tanggal 3 kita telah mendapat berita bahwa beliau sudah meninggalkan kita semua. Kalau demikian, waktu berjalan sangat cepat. Di dalam Dhamma pernah dikatakan bahwa bila seseorang yang ditemui pada malam hari belum tentu besok pagi masih bisa dijumpai. Mungkin salah satu di antaranya sudah ada yang meninggal, sudah tidak lagi bersama-sama. Demikian pula orang yang ditemui pada pagi hari, belum tentu bisa dijumpai pada malam harinya. Karenanya, waktu sangatlah cepat berlalu. Lalu, apakah yang harus kita lakukan?
Dalam Anguttara Nikaya IV, 288 disebutkan ada beberapa hal yang perlu dimiliki agar seseorang dapat hidup bahagia di dunia serta terlahir di surga setelah kehidupan ini.
Pertama, ia hendaknya memiliki keyakinan yang dalam Dhamma disebut sebagai Saddhasampada . Dalam bahasa sederhana, ia memiliki agama. Mengapa seseorang perlu memiliki agama? Karena agama inilah yang dapat dijadikan pegangan hidup. Apalagi bila seseorang mengenal Buddha Dhamma sebagai agamanya. Dhamma bukan hanya sekedar mengajarkan tata cara sembahyang, bukan pula hanya dengan mempercayai kepada Sang Buddha kemudian segalanya akan beres. Bukan demikian. Namun, Dhamma mengajarkan kepada umat manusia bahwa orang harus melakukan sesuatu. Menanam kebajikan tumbuh kebahagiaan, menanam kejahatan tumbuh penderitaan. Kalau seseorang ingin memperoleh kebahagiaan, tanamlah banyak kebajikan. Itulah yang menjadi keyakinan dalam Dhamma. Keyakinan kepada Buddha, keyakinan kepada Dhamma, keyakinan kepada Sangha, keyakinan pada Hukum Kamma yaitu keyakinan bahwa segala suka dan duka yang diterima adalah buah dari perbuatan yang telah pernah dilakukan sebelumnya. Dengan memiliki keyakinan ini, orang akan memperoleh ketenangan dalam menghadapi segala bentuk suka dan duka.
Saya teringat sekali ketika Bu Pangat berjumpa dengan saya di rumah Ibu Budiman. Beliau mengatakan bahwa ‘saya bisa menerima semua ini karena peristiwa ini adalah merupakan buah karma saya’. Ketabahan menghadapi kenyataan hidup ini dapat timbul dari keyakinan yang dimilikinya. Apabila seseorang tidak memiliki keyakinan, tidak memiliki Saddhasampada , maka ia mungkin akan ngomel, protes. Mungkin ia malah berpikir, ‘kenapa orang yang sudah banyak berbuat baik, orang yang berjasa besar kepada agama Buddha malah meninggal dengan cepat?’ Pertanyaan ini dapat timbul karena orang tidak menyadari bahwa jalannya karma bukanlah hanya sekedar melakukan kebaikan lalu pasti berbuah kebahagiaan dalam bentuk usia panjang. Karma bukanlah seperti bapak kita yang bila dibantu pekerjaannya akan menghadiahkan kepada kita sejumlah uang. Sebaliknya ia tidak akan memberikan hadiah kepada kita bila tidak dibantu. Hal seperti itu adalah perilaku bapak kita. Namun, karma tidak demikian jalannya. Walaupun seseorang berbuat baik, bila memang waktunya telah tiba, usianya telah habis, maka ia akan meninggal dunia juga. Namun, ia akan terlahir kembali di alam lain sesuai dengan perilaku yang telah dikerjakan selama hidupnya. Dengan bekal kebajikan yang telah dilakukan selama hidupnya di dunia ini, ia akan mendapatkan kebahagiaan di kelahiran yang berikutnya. Ia akan terlahir di alam bahagia atau alam surga. Sebaliknya, sering dijumpai pula bahwa ada orang yang berperilaku jahat namun ia tidak kunjung meninggal. Orang-orang mungkin akan memprotesnya. Namun, sekali lagi, karma bukanlah seperti bapak kita yang akan menghukum orang yang jahat. Tidak begitu. Karma akan berbuah sesuai dengan apa yang memang seharusnya. Jadi hendaknya kita jangan berpikir bahwa orang baik kenapa cepat meninggal atau pendek usia sedangkan orang jahat tetap dibiarkan hidup berumur panjang. Tidak demikian cara memandangnya.
Pengertian Dhamma itulah yang menyebabkan Ibu Pangat dapat mengatakan bahwa ‘saya bisa menerima kepergian Pak Pangat untuk selamanya itu karena memang inilah buah karma saya sendiri’. Itulah buah keyakinan kepada Buddha Dhamma. Dengan hanya memiliki keyakinan saja, apakah sudah dapat menyelesaikan masalah? Mungkin, mungkin saja. Minimal dengan memiliki keyakinan akan dapat membuat orang menjadi tenang. Orang akan dapat menerima peristiwa pahit ini sebagai bagian dari kenyataan hidup yang sedang dihadapi. Orang akan menjadi tenang. Dengan demikian, bila memiliki keyakinan saja sudah dapat membuatnya bahagia di dunia ini, apalagi setelah ia meninggal dunia nantinya. Kebahagiaan setelah meninggal ini dapat diperoleh pula karena orang yang memiliki keyakinan ataupun mempunyai kepercayaan pada agama, akan selalu mengisi kehidupannya dengan melakukan kebajikan sesuai dengan tuntunan agamanya. Ia mengetahui dengan jelas bahwa dengan menanam kebajikan akan menumbuhkan kebahagiaan. Kita bisa mengingat Pak Pangat semasa hidupnya, telah banyak kebajikan yang dilakukannya demi agama Buddha. Segala bentuk kebajikan itu dapat timbul dari keyakinan yang dimilikinya. Kita yang hadir di sini, kalau kita sudah beragama Buddha, sudahkah kita yakin dengan agama Buddha tersebut? Apakah tandanya seseorang telah yakin dengan Buddha Dhamma? Orang yang telah yakin kepada Dhamma adalah orang yang dapat menyadari bahwa semua kesulitan dan semua kebahagiaan adalah buah perbuatannya sendiri. Selama seseorang masih sering protes dan mengeluh dengan mengatakan: ‘Kenapa hidupku susah terus?’, maka sesungguhnya ia masih belum yakin akan kebenaran Hukum Kamma. Dengan demikian, orang tersebut hanyalah orang yang sekedar beragama Buddha namun belum memiliki Saddhasampada , keyakinan kepada Dharma.
Setelah memiliki Saddhasampada , berikutnya seseorang hendaknya juga memiliki Silasampada yaitu mempunyai tekad untuk mengendalikan diri, paling tidak pada lima hal: tidak membunuh, tidak mencuri, tidak melanggar kesusilaan, tidak bohong dan tidak mabuk-mabukan. Apalagi kalau ia dapat melatih lebih banyak sila atau latihan kemoralan dengn melaksanakan delapan sila (atthasila) , atau bahkan mungkin menjadi samanera dengan sepuluh sila atau bahkan menjadi bhikkhu yang melaksanakan 227 sila.
Sebagai umat Buddha yang hidup dalam masyarakat, bisa juga ia melaksanakan lima sila setiap hari, namun pada pada hari-hari tertentu misalnya tanggal 1, 8, 15, dan 23 menurut penanggalan Imlek, ia dapat melatih delapan sila. Mungkin juga dapat menggunakan hari lahirnya yang seminggu sekali untuk melaksanakan delapan sila. Dengan melaksanakan sila atau kemoralan inilah yang lama kelamaan akan membuat seseorang lebih mampu mengendalikan dirinya sendiri.
Tentang pelaksanaan sila ini ada sebuah cerita. Terdapatlah sekelompok anak-anak yang dengan senangnya berlari kesana kemari. Apa yang membuat mereka berbahagia dan berseri-seri seperti itu? Anak-anak ini ternyata sedang bermain dengan capung. Mereka mengikat ekor capung itu dengan benang. Mereka membiarkan capung itu terbang dengan mengulur dan menarik benangnya sambil tertawa bahagia. Mereka ternyata berbahagia di atas penderitaan mahluk lain. Hal ini sungguh memprihatinkan. Kalau sejak kecil anak-anak tersebut sudah dibiasakan berbahagia di atas penderitaan mahluk lain seperti itu, maka bagaimana jadinya apabila mereka telah dewasa nantinya? Jadi, masalahnya bukan pada obyek permainannya yang berupa capung itu, melainkan pada mental anak yang suka menyakiti mahluk lain.
Bagaimana dengan pelaksanaan lima sila yaitu tidak melakukan pembunuhan, tidak mencuri, tidak melanggar kesusilaan, tidak berbohong dan tidak mabuk-mabukan? Ada orang yang mengetahui tentang lima latihan kemoralan ini lalu mengatakan bahwa sungguh sulit untuk menjadi seorang umat Buddha, membunuh nyamuk saja tidak boleh. Membunuh semut juga tidak boleh. Sebetulnya masalahnya bukan pada pembunuhan nyamuk, semut, kecoa ataupun mahluk yang lain. Bukan itu. Pelaksanaan sila atau kemoralan adalah sarana untuk mendidik agar orang tidak merasa bahagia terhadap penderitaan mahluk lain, sekalipun kepada mahluk kecil. Sebab, apabila seseorang dapat menghargai kehidupan mahluk yang kecil, maka ia pun cenderung bisa menghargai kehidupan makhluk yang lebih besar. Ia akan mampu menjaga diri agar tidak menyakiti makhluk lain. Inilah manfaat memiliki sila: hidup akan menjadi bahagia karena terbebas dari kesalahan dengan tidak menyakiti mahluk lain, tidak melakukan pembunuhan, tidak melakukan penganiayaan, dan setelah meninggalpun akan menyebabkan kebahagiaan karena ia akan terlahir di alam bahagia.
Sesudah memiliki Saddhasampada, Silasampada maka kualitas diri yang ketiga yang perlu dimiliki dalam melaksanakan Buddha Dhamma adalah mempunyai Cagasampada yaitu rasa ingin berbuat baik kepada makhluk lain. Kalau Silasampada adalah perilaku yang harus dijaga: tidak membunuh, tidak mencuri, tidak melanggar kesusilaan, tidak berbohong, tidak mabuk-mabukan. Sebaliknya Cagasampada adalah perilaku yang harus dikerjakan. Kalau tidak melakukan pembunuhan, apakah yang bisa dikerjakan? Mengasihi makhluk hidup. Kalau tidak mencuri, apakah yang dapat dikerjakan? Berdana. Kalau tidak melanggar kesusilaan, apakah yang harus dilakukan? Melakukan kebajikan. Kalau tidak berbohong, apakah yang harus dilakukan? Mengembangkan kejujuran. Kalau tidak mabuk-mabukan, apakah yang harus dilakukan? Mengembangkan meditasi. Jadi bukan hanya melaksanakan lima latihan yang tidak boleh dikerjakan saja, melainkan juga harus melakukan perilaku yang positif, sesuatu yang baik dan bermanfaat untuk makhluk lain.
Apabila seseorang telah memiliki keyakinan, kemoralan dan juga keinginan untuk selalu berbuat baik, maka ia akan selalu hidup berbahagia, kenapa? Karena orang di lingkungannya akan selalu menyukainya. Ia akan selalu mengabdikan hidupnya untuk kebajikan. Ia akan menjadi orang baik, jujur, bermanfaat untuk lingkungan, sehingga ketika meninggal pun dapat terlahir di alam bahagia.
Setelah memiliki Saddhasampada, Silasampada dan Cagasampada , maka kualitas diri yang keempat adalah Pannyasampada yaitu memiliki kebijaksanaan agar dapat mengetahui hal yang penting untuk dikerjakan juga mengetahui hal yang tidak boleh dikerjakan. Kadang orang mengalami kesulitan untuk melakukan pembedaan tersebut. Misalnya sebagai seorang pelajar, walaupun sedang masa ujian, ia justru melakukan hal yang tidak berhubungan dengan bahan ujian tersebut. Ia tidak belajar, malah pergi bermain sepanjang hari. Hal ini menunjukkan bahwa ia tidak memiliki Pannyasampada . Ia tidak mengetahui hal yang penting dan harus dikerjakan, dan hal yang tidak penting serta harus dihindarkan. Ada pula ibu rumah tangga yang tidak bisa menentukan sikap karena tidak ada kebijaksanaan ini. Ia kadang berpikir bahwa mencari hiburan lebih penting daripada mengurus keluarga.
Oleh karena itu, menurut Buddha Dhamma ada empat cara untuk mendapatkan kebahagiaan di dunia ini maupun setelah kehidupan ini yaitu dengan memiliki keyakinan akan kebenaran Hukum Kamma, menjaga segala bentuk perilaku dan ucapan yang dapat menimbulkan kesalahan, bersemangat memberikan kebahagiaan kepada mahluk lain serta mempunyai kebijaksanaan agar dapat mengetahui hal yang harus dikerjakan dan hal yang harus ditinggalkan. Dengan memiliki kualitas diri yang demikian sebagai landasan perilaku hidupnya, maka orang akan hidup di dunia berbahagia dan ketika meninggal pun ia akan terlahir di alam surga. Inilah empat jalan menuju ke surga.
Memiliki dan melaksanakan keempat kualitas diri tersebut dalam kehidupan inilah yang menjadi tugas sebagai seorang umat Buddha agar dapat memenuhi kewajibannya sebagai calon jenazah, sehingga pada saatnya nanti apabila ia telah menjadi jenazah yang sesungguhnya, kebahagiaan akan menjadi miliknya.
Semoga dengan kekuatan dan kebaikan yang telah dilakukan, kita semua memperoleh kebaikan dan kebahagiaan. Semoga dengan upacara yang telah dilakukan pada saat ini, Almarhum Bapak Supangat akan memperoleh kebaikan dan kebahagiaan di kelahiran yang sekarang. Kepada keluarga yang ditinggalkan semoga juga dapat memperoleh kekuatan dan kebaikan. Semoga kita semua yang hadir di sini akan memperoleh kebahagian pula.
Semoga semua makhluk baik yang tampak maupun tidak tampak akan memperoleh kebaikan dan kebahagiaan sesuai dengan kondisi karmanya masing-masing.
Sabbe satta bhavantu sukhittata
Ditranskrip dari kaset ceramah oleh: NN, Jakarta
Editor: Bhikkhu Uttamo