ETIKA PERGAULAN
111. Manusia adalah makhluk sosial, saling bergantung satu sama yang lain. Selama paling kurang sepuluh tahun pertama dalam kehidupan kita, kita sangat tergantung pada orang-tua kita; dan pada usia tua mereka mungkin berbalik tergantung pada kita. Kita tergantung pada guru-guru dalam hal pendidikan kita, pula dalam menyiapkan masa depan kita; sebaliknya mereka mungkin menggantungkan nafkahnya dengan membagi ilmu dan pengalamannya pada kita. Kita memiliki kawan-kawan dan dimiliki oleh kawan-kawan. Kita menjual keahlian kita pada para majikan yang usahanya tergantung pada kita sebagai para pekerjanya. Sebagian besar manusia akan kawin, dengan pasangannya, mereka akan saling mengasihi secara emosional dan seksual. Para rohaniawan sekali pun, yang telah meninggalkan keduniawian untuk mencari kebenaran sejati, juga tetap tergantung pada orang lain untuk pemenuhan kebutuhan utamanya; yang kemudian pada gilirannya akan diminta petunjuknya dalam hal-hal yang menyangkut spiritual. Jalinan jaringan diantara manusia satu sama lainnya dan interaksi diantara mereka inilah, yang kita sebut sebagai masyarakat.
112. Disebabkan karena keserakahan, kebencian dan kegelapan-batin, masyarakat sekeliling kita sering diwarnai oleh kesemenaan dan kekerasan; sekelompok orang dengan posisi politik atau ekonomi yang kuat dapat menindas secara tidak adil pada kelompok yang lain. Kelompok yang tidak beruntung akan merasa dendam pada mereka yang mengeksploitasi mereka, dengan akibat timbulnya pengelompokan sosial, perang saudara dan kejahatan-kejahatan lainnya. Lalu, pada akhirnya pola keserakahan, kebencian dan kegelapan-batin ini akan mengembangkan keserakahan, kebencian dan kegelapan-batin baru lainnya. Sang Buddha menyadari, bahwa tatanan masyarakat yang adil dan seimbang akan memberikan kesempatan yang maksimal pada manusia untuk mencapai kebahagiaan dan pula kesempatan untuk mengembangkan kehidupan spiritual. Beliau juga menunjukkan, bahwa bila kita mencita-citakan masyarakat seperti itu, etika harus dikembangkan dalam hubungan antar manusia sama pentingnya dengan pengembangan etika dan perilaku perorangan. Tatanan masyarakat yang adil dan seimbang segera akan bersinar cemerlang, bila kita mulai memperlakukan sesama kita dengan cinta-kasih, adil dan seimbang. Oleh karenanya dapat dikatakan, bahwa etika pergaulan adalah hal yang sangat penting dalam kehidupan seorang Buddhis.
113. Dalam salah satu khotbah yang sangat terkenal, yang dikenal sebagai “Wejangan pada Sigala” (Sigalovada Sutta), Sang Buddha merumuskan enam macam hubungan utama antar manusia, yang didalamnya, pada umumnya setiap insan manusia akan terlibat dalam masa hidupnya. Pada tiap macam hubungan itu, Beliau mewejangkan bagaimana hendaknya tata cara pergaulan itu dilaksanakan. Dalam khotbah ini akan tampak betapa Sang Buddha menekankan pentingnya kepercayaan, cinta dan saling pengertian diantara manusia. Juga terkesan cara Sang Buddha mengajar yang senantiasa persuasif, namun penuh kecermatan. Di zaman India kuno, menyembah ke enam penjuru setiap hari, adalah suatu cara praktek keagamaan yang telah umum dilaksanakan. Dalam riwayat hidup Sang Buddha, seorang lelaki muda bernama Sigala melakukan hal itu setiap pagi, bukan karena dia adalah seorang penganut agama yang saleh, tapi karena hal itu dianjurkan oleh orang tuanya sebelum meninggal.1 Sang Buddha yang kebetulan melihat Sigala yang sedang menyembah ke enam penjuru tersebut menanyakan kepadanya alasan melakukan hal itu, Sigala lalu menceritakan perihal pesan ayahnya tadi. Sang Buddha ternyata tidak meremehkan kebiasaan Sigala diatas, walau Sang Buddha tahu jelas, bahwa tata cara ritual seperti itu sangat kecil nilainya; pula Sang Buddha tidak mengkritiknya karena Sigala ternyata melakukan hal itu tanpa pengertian sama sekali; namun Beliau melihat betapa lelaki muda itu melakukannya dengan tujuan yang tulus, sebagai penghormatan pada (pesan) ayahnya. Dengan bijaksana dan penuh kasih-sayang, Sang Buddha menganjurkan agar penyembahan ke enam arah tersebut dilaksanakan dengan cara lain, yang lebih berarti. Selanjutnya, Beliau kemudian memberi tafsiran pada penyembahan enam arah tersebut dalam lingkup pengembangan cinta-kasih, saling percaya dan saling hormat didalam enam macam hubungan antar manusia. Mari kita bahas apa yang diajarkan Sang Buddha tentang itu satu persatu:
114. Yang pertama dan paling penting adalah hubungan, yang mungkin berlangsung seumur hidup yakni hubungan antara orang-tua dan anak-anaknya. Disini, seperti halnya tipe hubungan yang lain, Sang Buddha menunjukkan keseimbangan antara tanggung-jawab dan hak, yang mendasari adanya perasaan “damai dan aman” diantara orang-tua dan anak. Dalam melukiskan hak dan tanggung-jawab itu, Sang Buddha bersabda:
Dengan lima cara, seorang anak hendaknya memperlakukan ibu dan ayahnya sebagai arah timur. Dia harus mencamkan: “Setelah disokong oleh mereka, maka saya harus mengganti menyokongnya. Saya harus menggantikan tugas mereka demi kebaikan mereka. Saya akan memelihara tradisi keluarga. Saya akan menghargai warisan saya. Setelah mereka meninggal, saya akan membagi pemberian atas nama mereka.”
Dengan lima cara, orang-tua berbalas memperlakukan anak-anaknya sebagai arah timur. Mereka menghindarkan mereka dari kejahatan, menganjurkan mereka berbuat kebaikan, mengajarkan mereka keahlian, mencarikan mereka pasangan yang tepat, dan pada waktu yang tepat memberi mereka warisan. Dengan cara ini, arah timur diperlakukan, membawa kedamaian dan kebebasan pada rasa takut.2
Bila tanggungjawab-tanggungjawab ini dilaksanakan secara penuh, maka dengan mudah akan terlihat betapa norma-norma tersebut akan membawa rasa-syukur, hormat dan cinta, dan betapa norma-norma tersebut akan menuntun kita pada suatu ikatan kekeluargaan yang kuat. Sang Buddha menyebutkan, bahwa menyokong ayah dan ibu (mata pitu upatthanam) dan menyayangi isteri dan anak (putta darassa sangaho) adalah salah satu kehidupan yang sangat terbekahi.3
115. Pada beberapa tradisi Konfusius, penghormatan anak-anak pada orang-tuanya ditekankan sedemikian rupa, sehingga seakan anak-anak berhutang budi pada ke dua orang-tuanya selama-lamanya. Hal ini dapat menuntun pengertian, bahwa apapun yang dilakukan anak pada orang-tuanya, tidak pernah akan cukup; hal ini akan menyebabkan perasaan bersalah dan perasaan seakan tak memenuhi kewajiban pada seorang anak terhadap orang-tuanya. Dengan menyadari pengorbanan ke dua orang-tua dalam membesarkan anak-anaknya, Sang Buddha berkata bahwa seorang anak dapat membayar kembali jasa orangtua dengan memperkenalkan Dhamma pada mereka. Beliau bersabda:
Ada dua orang manusia yang padanya engkau tidak pernah dapat membayarnya? Siapa mereka berdua? Ayah dan ibumu. Walau engkau mendukung mereka dipunggungmu ratusan tahun, menyokong mereka, mengurapi mereka dengan obat-obatan, memandikan dan menguruti anggota tubuh mereka dan membersihkan kekotorannya; hal itu tidak akan membayar kembali jasa mereka. Walau untuk itu engkau memberinya kekuasaan pada seluruh dunia, engkau tidak akan membayar kembali jasanya. Kenapa? Sebab orang-tua berbuat demikian banyak pada anak-anaknya – mereka membesarkannya, memberi mereka makan, mengenalkan isi dunia ini. Tetapi barang siapa dapat menyebabkan orang-tuanya yang tidak percaya menjadi percaya, orang-tuanya yang tak bermoral menjadi bermoral, orang-tuanya yang kikir menjadi dermawan, orang-tuanya yang dungu menjadi bijaksana, dialah seorang yang dengan melakukan hal diatas dapat membayar jasa orang-tua mereka, bahkan lebih dari sekadar pembalasan jasa.4
116. Para guru memainkan peranan penting dalam membangkitkan dan mematangkan daya intelektual seorang murid, dengan demikian sepantasnya mereka dihargai dan didengarkan secermat mungkin. Dengan sendirinya, tanggung jawab guru adalah sangat penting, seorang guru yang baik tidak hanya tertarik pada pendidikan muridnya sebagai obyek, tapi juga terlibat secara fisik dan emosi. Tanggung jawab murid pada usaha gurunya adalah menaruh hormat, memperhatikan dan menyiapkan diri untuk belajar.
Dengan lima cara, seorang murid hendaknya memperlakukan gurunya sebagai arah selatan, dengan bangkit menghormatinya, menunggunya, menyimak padanya, melayaninya, dan dengan menguasai apa yang diajarkannya. Dengan lima cara, seorang guru berbalas memperlakukan muridnya sebagai arah selatan. Mereka mengajarnya dengan hati-hati, membuat mereka mengerti apa yang harus dimengerti, memberi mereka dasar yang kuat dalam segala keahlian, merujuk mereka ke teman-teman dan rekan-rekannya, dan melindungi mereka dari segala arah. Dengan cara ini, arah selatan diperlakukan, membawa kedamaian dan kebebasan dari rasa takut.5
117. Hidup serumah bersama seorang selama bertahun-tahun memerlukan ketelatenan dan kesabaran. Bila seorang suami atau isteri tak dapat akrab satu sama lain, cinta yang mungkin pernah mereka berikan satu sama lain, bisa hancur, berubah menjadi kepahitan dan kebencian. Perkawinan yang tidak bahagia bisa menghancurkan kehidupan seorang seumur hidup, sebaliknya perkawinan yang bahagia akan menjadi sumber kebahagiaan selama hidup. Perkawinan yang berbahagia juga penting dalam satu segi, sebab perkawinan akan melibatkan anak-anak. Latar belakang orang-tua yang stabil adalah faktor yang penting dalam perkembangan emosi anak yang seimbang. Sang Buddha menyebutkan bahwa dengan saling setia, saling berbagi tanggung-jawab dan beban pikiran, yang adalah pencerminan rasa hormat dan cinta, adalah faktor kunci dalam kebahagiaan perkawinan. Perkawinan hendaknya adalah suatu persekutuan yang seimbang.
Dengan lima cara, seorang suami hendaknya memperlakukan isteri sebagai arah barat. Dia menghormati isterinya, dia tidak meremehkannya, dia setia kepadanya, memberinya keleluasaan, dan memberinya perhiasan. Dengan lima cara, seorang isteri hendaknya berbalas memperlakukan suaminya sebagai arah barat. Dia mengatur pekerjaannya dengan rapih, dia baik pada pelayan-pelayannya, dia setia kepada suaminya, dia melindungi apa yang dibawa pulang oleh suaminya, dan dia cermat dan rajin dalam semua yang dikerjakannya. Dengan cara ini, arah barat diperlakukan, membawa kedamainan dan kebebasan dari rasa takut.6
118. Agama Buddha melihat perkawinan sebagai suatu hubungan yang penting dalam kehidupan manusia dan sebagai salah satu sendi dari bangunan masyarakat yang kokoh dan sehat. Namun, adalah kenyataan bahwa cinta antara sepasang manusia bisa memudar, dan oleh karenanya mereka sering memutuskan untuk bercerai. Banyak hal-hal yang lebih mengerikan bisa terjadi, bila memaksakan dua manusia yang tidak saling mencintai, malah saling membenci, untuk hidup bersama. Mereka pada kenyatannya mungkin bisa mendapatkan kebahagiaan dengan pasangan yang lain. Agama Buddha tidak menganggap perceraian sebagai suatu dosa, tapi sebagai suatu cara penyelesaian masalah yang bersifat lebih resmi.
119. Hubungan antar manusia yang banyak ditekankan oleh Sang Buddha, adalah hubungan antar sahabat (mitta). Alasan dalam hal ini, mungkin adalah karena semua tipe pergaulan juga dapat dikembangkan menjadi persahabatan – seorang isteri, pada waktu yang sama juga adalah seorang kawan; demikian pula guru, majikan, saudara, rohaniawan dan rohaniawati. Persahabatan hendaknya terjalin pada setiap tipe hubungan. Alasan lain, adalah sebagai dimaklumi, bahwa bila dari satu sisi kedua orang-tua berperan dalam membentuk manusia macam apa diri kita sewaktu muda, maka sahabat dengan mudah menuntun kita berbuat baik, sebaliknya juga dengan mudah dapat menjerumuskan untuk berbuat yang tidak baik. Sang Buddha mengingatkan kita:
Menuruti para sahabat, seorang bertindak;
Menuruti para sahabat, seorang meneladani.
Demikian seorang akan jadinya,
Seperti para sahabatnya, demikian pula dia jadinya.7
120. Agama Buddha mengenal tiga macam sahabat – sahabat yang tidak baik, sahabat baik, dan sahabat spiritual. Sahabat yang tidak baik (papa mitta) adalah tipe sahabat yang menyukai kita, bukan karena siapa kita, tapi karena apa yang dapat diperolehnya dari kita. Mereka mungkin juga menyukai kita, atau setidaknya berpura-pura menyukai kita, karena mengharapkan kita berada dipihaknya bila dia melaksanakan suatu tindakan yang salah atau berbahaya. Tentu saja, tidak semua sahabat adalah tidak baik dalam arti menjerumuskan atau memanfaatkan diri kita. Banyak sahabat dalam pergaulan sehari-hari, yang mempunyai sifat dan kehendak yang tidak khusus, dan kita juga cenderung sama pada mereka; puas dengan gaya persahabatannya yang rata-rata dan kita pun puas dengan gaya persahabatannya yang rata-rata pula. Sahabat-sahabat seperti ini dapat tetap menyenangkan dalam waktu yang lama, tapi mereka tidak akan memberi tantangan bagi kita untuk berubah dan menjadi bijaksana.
Ada empat tipe manusia yang seharusnya dikenal sebagai “musuh yang menyaru sebagai teman”: orang yang serakah, orang yang berkata tapi tak melaksanakan, penyanjung dan pemboros. Si serakah adalah “musuh yang menyaru sebagai teman”, karena empat alasan. Dia serakah; dia memberi sedikit tapi meminta banyak; dia hanya melakukan hanya bila terpaksa demi pamrih tertentu; dia hanya mengejar kepentingannya sendiri semata. Dia yang berkata tapi tidak melaksanakan adalah “musuh yang menyaru sebagai teman”, juga karena empat alasan. Dia mengingatkan engkau kebaikannya di masa lalu yang dilakukan atas namamu; dia mengatakan kebaikan yang akan dibuatnya atas namamu di masa mendatang; dia mencoba mengalahkan kebaikanmu atas ucapan yang tak berdasar; bila ada kesempatan untuk menolong, dia berdalih seakan dalam keadaan yang tak bisa menolong. Si penyanjung adalah “musuh yang menyaru sebagai sahabat”, karena empat alasan. Dia membiarkan engkau berbuat salah; dia tak menganjurkan berbuat baik; dia memuji didepanmu; tapi mencela dibelakangmu. Si pemboros adalah “musuh yang menyaru sebagai teman”, juga karena empat alasan. Dia menemanimu, ketika engkau minum bermabuk-mabukan, ketika engkau menelusuri jalan dalam waktu-waktu tak terbatas, ketika engkau mengunjungi tempat pertunjukan dan keramaian yang tak senonoh, dan ketika engkau berjudi.
Sahabat yang selalu hanya ingin mengambil,
Sahabat yang berkata tapi tidak melaksanakan,
Sahabat yang selalu menggunakan kata sanjungan,
Sahabat yang menemanimu dalam berbuat kesalahan.Empat macam sahabat ini sebenarnya adalah musuh,
Dan seorang yang bijaksana, dengan pengertian ini,
Akan menghindari mereka dari kejauhan,
Sebab mereka adalah jalan yang salah.8
121. Sahabat yang baik (puñña mitta) atau seperti yang sering disebutkan oleh Sang Buddha sebagai sahabat berbaik-hati (suhada mitta)9 adalah tipe sahabat yang diinginkan semua orang – dapat dipercaya, bermurah hati, berkepentingan atau berminat yang sama dengan kita, dan memperhatikan kesejahteraan kita. Sang Buddha menjelaskan, cara terbaik untuk mendapatkan sahabat yang baik ialah dengan berusaha menjadi sahabat yang baik terlebih dahulu pada yang lainnya.
Dengan lima cara, seorang hendaknya memperlakukan para sahabatnya sebagai arah utara. Dia harus bermurah hati, berbicara yang baik padanya, memperhatikan kesejahteraannya, memperlakukannya seperti memperlakukan diri sendiri, dan dia hendaknya menepati kata-katanya.
Dengan lima cara, para sahabat berbalas memperlakukan sahabatnya sebagai arah utara; dengan melindunginya ketika dia tidak berwaspada, dengan melindungi miliknya ketika dia tidak berwaspada, dengan menghiburnya ketika dia dalam ketakutan, dengan menyertainya sewaktu dia dalam kesulitan, dan dengan turut menjaga anak-anaknya. Dengan cara ini arah utara diperlakukan, membawa kedamaian dan kebebasan dari rasa takut.10
122. Namun, tipe sahabat yang terbaik yang dapat kita miliki adalah sahabat spritual (kalyana mitta). Istilah ‘kalyana‘ secara harfiah berarti indah, dan mengacu pada kenyataan bahwa seorang sahabat spiritual memiliki (atau akan berusaha untuk dapat memenuhi) semua nilai-nilai yang diagungkan dalam agama Buddha – cinta-kasih, dapat dipercaya, pengertian, tak terikat, murah-hati dan kedamaian didalam hatinya. Bila seorang sahabat baik dapat menuntun kita untuk mendapatkan sarana-sarana kebaikan, maka seorang sahabat spiritual akan menuntun langsung secara intrinsik untuk menemukan kebaikan. Oleh karena itu, menurut Sang Buddha, sahabat spiritual adalah salah satu faktor penting dalam menempuh Jalan.
Lalu Ananda menghadap Sang Buddha dan berkata:
“Setengah dari kehidupan suci adalah persahabatan, persekutuan dan keintiman pada nilai spiritual.”
“Jangan berkata demikian, Ananda, jangan katakan demikian! Adalah semua dari kehidupan suci ini, bukan hanya setengah, persahabatan ini, persekutuan ini, keintiman ini pada nilai spiritual.”11
Tujuan hidup utama dari seorang sahabat spiritual adalah menjalani Jalan Berjalur Delapan serta untuk membantu setiap orang yang bertujuan sama. Bila persahabatan biasa diantara sahabat baik bercirikan daya tarik badaniah, keinginan-disertai dan kepentingan bersama; maka persahabatan diantara sahabat spiritual bercirikan keterbukaan, kepercayaan dan kejujuran. Diantara sahabat spiritual hendaknya secara bebas dapat didiskusikan kekurangan masing-masing tanpa kekwatiran akan timbulnya perselisihan. Mereka hendaknya tetap bersahabat walau diwarnai pertentangan paham. Mereka hendaknya dapat merasakan bahwa mereka dapat menyingkap pikiran-pikiran dan keinginan mereka yang paling mendalam satu sama lainnya. Dan, tentunya, sahabat spiritual hendaknya dapat mendengarkan dengan baik dan mempertimbangkan sepenuhnya saran-saran diantara mereka. Pernyataan “Dhamma harus dipahami oleh para bijaksana demi dirinya sendiri”, tidaklah berarti kita harus menyendiri. Sahabat spiritual adalah lebih dari sekadar sekutu dalam Jalan – dia dapat menunjukkan pelaksanaan Buddha Dhamma secara pribadi sesuai harkat manusia.
123. Hubungan antar majikan dan pekerja sering terlaksana tidak sewajarnya. Sebelum terbentuknya serikat pekerja, dan perhimpunan pengusaha dalam dua abad terakhir ini, para pekerja sering diwajibkan bekerja melampaui batas kemampuan dengan kondisi kerja yang tidak aman, dan dengan bayaran yang sangat kecil. Oleh karenanya Sang Buddha mendesak agar para majikan mempunyai tanggung jawab pada pekerjanya. Tanggungjawab-tanggungjawab tersebut adalam dalam bentuk hak-hak yang saat ini telah dinikmati para pekerja di negara-negara maju dalam bentuk gaji yang wajar, izin sakit, bonus dan cuti. Sebagai imbalannya, para pekerja diharapkan bekerja dengan jujur dan pula jujur pada majikannya.
Dengan lima cara, seorang majikan hendaknya memperlakukan para pelayan dan pekerjanya sebagai arah nadir (arah bawah). Dia memberi mereka pekerjaan sesuai kemampuannya, memberinya makanan dan upah yang setimpal, menyantuninya sewaktu sakit, membaginya manisan serta meliburkannya secara berkala.
Dengan lima cara, pelayan dan pekerja, berbalas memperlakukan majikannya sebagai nadir. Mereka harus bangun sebelum majikannya bangun, beristirahat sesudah majikan beristirahat, mengambil hanya yang diberikan, melakukan pekerjaannya dengan tepat, dan mereka hendaknya menjunjung nama baiknya sendiri. Dengan cara ini, arah nadir diperlakukan, membawa kedamaian dan rasa bebas dari takut.12
124. Dari sudut pandang pengajaran dan penyebarluasan Dhamma, hubungan sosial yang sangat penting adalah hubungan antar umat awam dengan para bhikkhu dan bhikkhuni. Umat berdana kebutuhan utama para bhikkhu, yang memungkinkan mereka menggunakan waktunya untuk belajar, menerapkan dan mengajar Dhamma. Sebaliknya, para bhikkhu mengajarkan Dhamma, memberi wejangan dalam masalah etika dan memberi dukungan spiritual sewaktu umat dalam masa krisis. Rasa saling hormat dan mendukung adalah jiwa dari hubungan antara umat-awam dan bhikkhu. Seperti dikatakan Sang Buddha:
Yang berumah dan yang telah meninggalkan rumah,
Dengan saling tergantung satu sama lain
Datang untuk menjalankan Dhamma dengan baik,
Kebebasan mutlak dari perhambaan.13
Seperti hubungan yang lain, hubungan ini juga didasari cinta kasih. Tapi lebih jauh lagi, kebajikan dan kasih sayang, memberi dan menerima; akan menyebabkan ikatan yang serasi antara umat-awam dan para bhikkhu yang kemudian berbuah kebijaksanaan dan kekuatan positif dalam masyarakat.
Dengan lima cara, seorang hendaknya memperlakukan para pertapa dan kaum brahmin sebagai arah zenith (atas). Dia hendaknya bersikap baik dalam tatakrama jasmaniah, hendaknya bersikap baik dalam berbicara, bersikap baik dalam berpikir tentang mereka, membuka rumah bagi mereka, dan berdana kebutuhan utama bagi mereka.
Dengan enam cara, para pertapa dan kaum brahmin hendaknya membalas memperlakukan orang itu. Mereka menghindarkan dia dari perbuatan jahat, menganjurkan dia berbuat baik, memperlihatkan kebajikan dan kasih sayang pada dia, mengajarnya hal-hal yang belum didengarnya, mengoreksi dan memperjelas hal-hal yang sudah didengarnya dan menunjukkan dia jalan ke surga.14