Penghidupan Sejati

PENGHIDUPAN SEJATI

99. Agama Buddha sering dituduh terlalu menjauhi keduniawian dan tidak mengajarkan masalah praktis sehari-hari. Pada kenyataannya malah Sang Buddha lebih banyak mengajar aspek kehidupan ekonomi dibanding dengan pengajar agama yang lain, baik aspek perorangan ataupun aspek nasional, yang adalah kepentingan orang banyak. Justru karena menganggap penting masalah kehidupan ekonomi, maka Beliau mengajarkan Penghidupan Sejati (samma ajiva). Melalui ajaran itu Sang Buddha mengajarkan bagaimana kita berusaha dan apa yang hendaknya diperbuat dengan kekayaan yang kita peroleh, sebagai salah satu langkah Jalan ke Nibbana. Alasan untuk itu sangat jelas. Pada umumnya manusia mengisi bagian besar dari waktu hidupnya dengan bekerja, pekerjaan yang kita lakukan itu dengan sendirinya akan turut membentuk kepribadian kita, baik positif ataupun negatif. Sewajarnya, bila agama melibatkan seluruh aspek pengalaman manusia, maka agama seyogyanya juga memberi petunjuk cara bagaimana mengusahakan dan bagaimana menggunakan kekayaan, Sang Buddha ternyata memberi petunjuk itu.

100. Dalam masyarakat, pengumpulan kekayaan sering dihubungkan dengan kejahatan, terutama dalam topik-topik keagamaan. Tapi agama Buddha, walau mengakui bahwa uang dan keserakahan kadang-kadang berhubungan, namun juga menyadari bahwa dengan dorongan dan pengertian yang benar, banyak hal-hal yang baik yang dapat dilakukan dengan terkumpulnya kekayaan melebihi kebutuhan. Telah kita kenal sebelumnya, bahwa agama Buddha membagi hal-hal sebagai hal intrinsik dan hal sebagai sarana (67). Bila uang hanya dilihat sebagai hal intrinsik saja, yakni sekadar benda/hal dalam batasnya sendiri, maka manusia akan melangkahi dasar-dasar moral, semena-mena pada lainnya, mencelakakan dirinya sendiri, hanya demi mengumpul uang sebanyak mungkin. Namun, bila uang dilihat sebagai benda/hal sebagai sarana, yakni yang menjadi sesuatu yang berarti karena apa yang dapat dilakukan dengannya, maka uang akan menjadi sumber kebahagiaan bagi diri sendiri juga pada diri sesama kita. Dengan sumber keuangan yang memadai, kita dapat melengkapi kebutuhan primer diri kita dan keluarga kita. Untuk tujuan ini sendiri uang adalah sesuatu yang mutlak. Bila kita telah mengumpulkan lebih banyak, kita dapat melengkapi baik kebutuhan sekarang maupun kebutuhan masa depan, yang pada gilirannya membebaskan kita dari kekwatiran. Lalu, bila telah mengumpulkan lebih banyak lagi, kita dapat menyumbang pada lembaga keagamaan atau sosial lainnya, yang pada gilirannya juga akan memberi kita kebahagiaan, kepuasan dan juga keuntungan lainnya. Sang Buddha menyadari nilai kebahagiaan, dan melukiskan tiga macam kebahagiaan yang dapat dinikmati dari kekayaan.

Dan apakah kebahagiaan dari kepemilikan? Menyangkut hal ini, perumah tangga yang memperoleh kekayaan berkat usaha yang keras, membanting tulang dan bercucuran keringat, secara jujur dan tak melanggar hukum. Dengan memikirkan hal itu, dia akan merasa berbahagia dan puas.
Dan apakah kebahagiaan dari kekayaan? Menyangkut hal ini, perumah tangga yang memperoleh kekayaannya dengan jujur dan tak melanggar hukum, dan dengan kekayaannya dia berbuat banyak kebaikan. Dengan memikirkan hal itu, dia akan merasa berbahagia dan puas.
Dan apakah kebahagiaan dengan terbebas dari hutang? Menyangkut hal ini, perumah tangga tidak berhutang pada siapapun besar ataupun kecil. Dengan memikirkan hal itu, dia akan merasa berbahagia dan puas.1

Semua diatas, pula segala macam kebahagiaan dengan sendirinya akan menuntun seorang sehingga memperoleh kecakapan dalam ketrampilan (sippanca)2, dapat mengatur pekerjaannya dengan baik dan hati-hati (susamvihita-kammantam)3 serta melaksanakannya dengan rajin (atanditam)4.

101. Ada dua ciri yang hendaknya dipenuhi didalam melaksanakan pekerjaan, baik sebagai pengusaha atau sebagai profesi, agar sejalan dengan ajaran Penghidupan Sejati. Pertama, pekerjaan itu dapat mencukupi kebutuhan hidup kita, yakni makanan, pakaian, perumahan, kesehatan dan pendidikan. Ke dua, pekerjaan tersebut secara etis, adalah baik. Kenyataannya banyak pekerjaan yang dapat menghasilkan uang, malah yang mungkin dapat melebihi dari cukup, tapi melibatkan kecurangan, kesemenaan ataupun kekerasan. Sang Buddha menyebutkan beberapa pekerjaan yang ada pada zaman kehidupan Beliau yang adalah tak sejalan dengan moral.

Ada lima perdagangan yang wajib dihindari oleh para perumah tangga. Apa lima itu? Berdagang senjata, berdagang manusia, berdagang daging, berdagang minuman keras dan berdagang racun.5

Pada zaman kita sekarang daftar tersebut tentunya sudah bertambah. Industri periklanan (yang keunggulan produknya dilebih-lebihkan, hanya benar sebagian atau sama sekali tidak benar), jurnalistik kuning, industri pertahanan/persenjataan, penjualan sistim piramid (sistim penjualan dengan keuntungan berlebihan), prostitusi, membuat dan menjual produk pornografi dan penujuman/peramalan adalah contoh dari cara penghidupan yang salah. Perdagangan atau pekerjaan yang tidak merugikan orang lain, yang tidak menyebabkan kecurangan, dan yang diharapkan memberi pengaruh positif pada masyarakat adalah cara penghidupan yang secara etis adalah benar. Ini termasuk menjadi guru, perawat, berdagang perdagangan tertentu, bertani yang tidak melibatkan pembunuhan, bertoko, pelayanan masyarakat, dan sebagainya.

102. Namun, ber-Penghidupan Sejati bukan sekadar masalah apa yang dikerjakan, tetapi juga bagaimana mengerjakannya. Suatu pekerjaan mungkin secara etis adalah baik, tapi kita bisa saja tidak melaksanakannya dengan cara yang etis. Praktek kedokteran sebagai contohnya, adalah pekerjaan yang secara etis adalah baik, namun seorang dokter mungkin saja menarik pembayaran yang terlalu tinggi atau malah menghancurkan kehidupan dengan melakukan pengguguran kehamilan. Demikian pula, berdagang tidak mesti tidak-jujur, tapi dapat dilakukan secara tidak jujur. Seperti dikatakan Aryasura:

Cara yang umum, untuk menawarkan barang adalah memuji mutunya, tapi menyembunyikan kekurangannya.6

Menggaji pekerja terlalu rendah, membayar gaji tidak sesuai hari atau jam kerja akan merubah cara penghidupan yang telah benar menjadi salah. Seorang Buddhis, oleh karenanya seyogyanya berusaha agar pekerjaan atau usahanya berada dalam norma yang etis, berusaha dengan jujur dan terpadu. Etik senantiasa menjadi bagian pada pekerjaan atau usahanya, tidak hanya ketrampilan dan profesionalisme.

103. Seperti telah disebutkan sebelumnya, uang tidak mempunyai nilai dalam dirinya, namun nilainya tergantung dari bagaimana mendapatkannya dan bagaimana menggunakannya. Apabila, nafkah telah kita peroleh melalui usaha yang rajin dan jujur, maka hasil tersebut bukannya untuk ditimbun saja, namun untuk digunakan dengan baik. Sang Buddha menganjurkan agar membagi penghasilan dan menggunakannya dalam empat tujuan khusus. Pertama, digunakan untuk mencukupkan diri kita dan para tanggungan kita akan kebutuhan-kebutuhan utama serta rasa aman.

Menyangkut hal ini, dengan kekayaan yang didapatkan dengan usaha yang keras, membanting tulang dan bercucuran keringat, dengan jujur dan tak melanggar hukum, siswa yang mulia akan membahagiakan dirinya, ibu dan ayahnya, isteri dan anak-anaknya, pelayan dan para pekerjanya, teman-teman dan kerabatnya, dia menciptakan kebahagiaan yang sejati. Inilah manfaat pertama yang diraihnya, digunakan demi kebaikan dan dimanfaatkan secara tepat.7

104. Selanjutnya, sebagian dari penghasilan hendaknya ditabung untuk digunakan sewaktu dalam keadaan sulit dikemudian hari. Pada zaman Sang Buddha ini berarti menyembunyikan harta atau emas didalam tanah; zaman sekarang hal ini dapat dilakukan dengan menabung di bank, ikut dana pensiun ataupun usaha semacamnya.

Pula, dengan kekayaan yang didapatkan dengan usaha yang keras, membanting tulang dan bercucuran keringat, dengan jujur dan tak melanggar hukum, siswa yang mulia akan menjadikan dirinya merasa aman dalam keadaan bencana yang buruk seperti kebakaran, banjir, para raja dan bangsawan penakluk, para musuh penakluk, atau para pewaris tahta yang tak dikehendaki. Dia akan mengambil langkah untuk membela dirinya dan membuat dirinya aman. Inilah manfaat kedua yang diraihnya, digunakan demi kebaikan dan dimanfaatkan secara tepat.8

Dalam khotbah yang lain, Sang Buddha menganjurkan agar separuh dari penghasilan kita digunakan untuk menambah modal usaha kita, dan seperempat disimpan untuk dipergunakan pada masa-masa sulit seperti diatas.9 Saat ini, mungkin tidak perlu dan tidak mungkin dibagi sedemikian persentasenya, namun hal diatas menunjukkan betapa Sang Buddha menekankan pentingnya rasa-aman dalam hal keuangan bagi kita.

105. Sebagaimana keuangan hendaknya dicadangkan untuk apa yang disebut pada zaman India kuno sebagai persembahan berganda-lima.

Pula, dengan kekayaan yang didapatkan dengan usaha yang keras, membanting tulang dan bercucuran keringat, dengan jujur dan tak melanggar hukum, siswa yang mulia akan memberi persembahan berganda-lima, yakni para handai taulan, para tamu-tamu, para handai taulan yang akan pergi, para raja-raja, dan para dewata. Ini manfaat ketiga yang diraihnya, digunakan untuk kebaikan dan dimanfaatkan secara tepat.10

Saat ini, hal di atas berarti membayar kewajiban perpajakan.

106. Dan terakhir, sebagian dari penghasilan kita hendaknya digunakan untuk mendukung para rohaniawan dan lembaga keagamaan.

Terakhir, dengan kekayaan yang didapatkan dengan usaha yang keras, membanting tulang dan bercucuran keringat, dengan jujur dan tak melanggar hukum, siswa yang mulia akan memberi persembahan pada para pertapa dan kaum brahmin, yang tidak bermalas-malasan, yang menjalankan kebajikan dan kesabaran, yang telah mengendalikan, menenangkan dan mendinginkan dirinya sendiri. Kepada merekalah, dia mempersembahkan pemberian yang akan mengantarnya pada kebijaksanaan, pada kelahiran kembali yang berbahagia, pada kehidupan di alam surga yang menyenangkan.11

Para bhikkhu dan bhikkhuni, tentunya, tidak diberi uang, tapi diberi perlengkapan utama mereka, seperti jubah, makanan, pernaungan dan sebagainya. Para bhikkhu dan bhikkhuni, karena sudah meninggalkan keduniawian demi kepentingan Dhamma dan pula telah mengakhiri kepemilikan uang atau benda lain, mempunyai kebutuhan yang berbeda dibanding dengan apa yang mereka miliki semasa hidup sebagai orang biasa. Para bhikkhu dan bhikkhuni hendaknya hidup dalam cinta kasih, bukan dalam uang dan harta benda lain. Sang Buddha berkata:

Dan apakah kekayaan seorang bhikkhu? Menyangkut hal ini, dia telah tinggal-berdiam dalam pikiran yang penuh cinta kasih, ber-welasasih, ber-simpati dan penuh keseimbangan, meliputi perempat pertama, kedua, ketiga dan keempat. Dia tinggal-berdiam meliputi seluruh dunia-keatas, kebawah, keseberang, kesemua penjuru dengan pikiran dipenuhi oleh cinta kasih, welas asih, simpati dan keseimbangan, berlimpah kebahagiaan, tidak terbatas, tanpa kebencian atau keinginan-jahat. Inilah kekayaan seorang bhikkhu.12

Uang hanya dapat dipersembahkan untuk membangun vihara, mencetak buku Dhamma dan menyokong pelayanan keagamaan dan amal lainnya.

107. Suatu hal yang menarik, ialah bahwa ternyata Sang Buddha mengajarkan agar dukungan hendaknya diberikan kepada setiap rohaniawan yang benar dan tulus, tidak hanya kepada rohaniawan agama Buddha semata.13 Pada zaman Sang Buddha, kebanyakan guru agama lain menganjurkan kedermawanan pada agamanya sendiri, tapi tidak menganjurkan menyokong keyakinan lain. Sikap licik dan picik ini masih menonjol dalam praktek keagamaan tertentu pada saat ini. Agama Buddha sebaliknya, seperti telah dibahas didepan menyadari segi-segi kebajikan pada agama lain dan turut bergembira pada hal tersebut, dengan demikian seorang Buddhis dapat dan pada tempatnya turut memberi dukungan pada lembaga keagamaan non Buddhis. Sang Buddha mengingatkan kita, bahwa kemurahan hati yang memihak akan menghalangi kita sama halnya menahan pemberian kita pada orang lain.

Vacchagota berkata pada Sang Buddha: “Saya pernah mendengar, bahwa Dikau, Gotama yang baik, pernah berkata bahwa sumbangan hendaknya hanya diberikan pada-Mu, bukan pada yang lainnya; pada para pengikut-Mu, bukan pada pengikut guru lainnya. Mereka yang berkata demikian, apakah benar-benar sesuai pendapat-Mu, tanpa melebih-lebihkannya? Apakah mereka berbicara sesuai ajaran-Mu? Oleh karenanya, Gotama yang baik, saya kwatir berprasangka yang salah pada-Mu.”
Sang Buddha berkata: “Vaccha, perkataan mereka bukanlah pendapat Saya, mereka berprasangka yang salah dengan mengatakan yang tidak benar. Sebenarnya, siapapun yang menganjurkan orang lain agar tidak berderma sebenarnya telah menghalangi pula tiga hal. Apa yang tiga itu? Dia menghalangi si pemberi untuk berbuat kebaikan, dia menghalangi si penerima untuk menerima kebaikan, dan pula dia telah menghancurkan dirinya sendiri dengan kepicikannya.”14

108. Karena kekayaan adalah penting untuk kehidupan, sebab dapat memberi keamanan jasmani dan rohani, dan karena dengannya banyak hal-hal yang baik yang dapat dilakukan, maka Sang Buddha menganjurkan agar kita menggunakan penghasilan kita dengan teliti dan berhati-hati. Menurut Sang Buddha, mengawasi kekayaan, yang telah kita peroleh melalui usaha keras yang jujur adalah salah satu faktor yang mengantar ke keberhasilan di dunia ini.

Dan apakah tujuan berwaspada? Menyangkut hal ini, apapun cara seseorang mencari nafkahnya, apakah bertani, berdagang, memelihara ternak, pemanah, pelayan raja ataupun seniman, dia akan menjadi trampil dan bergairah, berbakat dan cekatan dalam tata-cara dan peralatan, dan mampu mengatur dan menyelesaikan pekerjaannya. Dan apakah tujuan dari berhati-hati? Menyangkut hal ini, apapun yang diusahakan dan dikerjakan seseorang, yang didapatkan dengan usaha yang keras, membanting tulang dan bercucuran keringat, dengan jujur dan tak melanggar hukum, dia akan berhemat, berwaspada dan bersiaga sedemikian rupa sehingga raja penakluk tidak akan merampasnya, pencuri tidak akan mencurinya, air atau api tidak akan menghancurkannya, dan para pewaris tahta yang tak diinginkan tidak akan menyitanya.15

109. Beliau juga mewejangkan apa yang disebut-Nya sebagai penghidupan seimbang, yang berarti membuat perimbangan antara pengeluaran dan pemasukan kita. Untuk itu, tentunya diperlukan penentuan anggaran, penghematan dan menejemen yang baik.

Dan apakah penghidupan yang seimbang? Menyangkut hal ini, seseorang yang mengetahui pemasukan dan pengeluarannya, tidak berfoya-foya tidak pula hidup sengsara, mengetahui bahwa pemasukan harus berimbang dengan pengeluaran, dan pengeluaran tidak melebihi pemasukan. Seperti seorang pandai emas atau pembantunya, mengetahui cara menggunakan timbangan, seberapa banyak jarum timbangan naik dan turun, sedemikian pula dia harus mengetahui pemasukan dan pengeluarannya. Seorang yang pemasukannya kecil, tapi hidup berfoya-foya, merekalah yang dikatakan: “Dia menikmati kekayaannya seperti seorang rakus pelahap buah-buahan di hutan.” Demikian pula, bila seseorang dengan penghasilan yang bercukupan namun hidup sengsara, merekalah yang dikatakan: “Dia akan mati seperti seorang pengemis.”
Terdapat empat saluran yang darinya kekayaan yang telah dikumpulkan seseorang akan habis: kebejatan moral, mabuk-mabukan, berjudi dan berkelompok dengan para penjahat. Bayangkan sebuah tanki air dengan empat keran masuk dan keluar, seorang menutup keran masuk tapi membiarkan keran keluar terbuka. Bila tak ada hujan, maka jumlah air akan berkurang. Sama halnya, melalui empat saluran diatas seorang akan menghabiskan kekayaannya.
Terdapat empat saluran yang darinya kekayaan yang telah dikumpulkan seseorang akan terjaga: menghindari kebejatan moral, tidak mabuk-mabukan, tidak berjudi dan tidak berkelompok dengan para penjahat. Bayangkan sebuah tanki air dengan empat keran masuk dan keluar, dan seorang membuka keran masuk tapi menutup keran keluar terbuka. Dengan melakukan hal itu dan bila hujan turun, maka jumlah air akan bertambah. Sama halnya, melalui empat saluran diatas seseorang dapat menjaga kekayaannya.16

110. Sebagian orang sangat menikmati pekerjaannya, pekerjaan memberi mereka kepuasan, mereka menikmati tantangan-tantangan dalam bekerja, pekerjaan memberi arti bagi hidupnya yang bagi orang lain justru hidupnya itu kelihatan tak mempunyai arti lagi. Sebagian orang lagi, tidak menikmati pekerjaannya, tapi menikmatinya lewat apa yang dihasilkan melalui pekerjaan.
Konsekwensinya, adalah mudah bagi sebagian orang untuk berpikir, bahwa bekerja dan menimbun kekayaan adalah bagian yang terpenting dalam hidupnya, atau malah dijadikan tujuan hidupnya. Mereka tidak tertarik pada masalah lain selain bekerja dan menjadi kaya, dengan demikian bila dia kehilangan pekerjaan, atau tidak dapat lagi bekerja, atau sewaktu dia kehilangan kekayaannya, mereka merasa benar-benar kehilangan daya dengan perasaan hancur luluh. Sang Buddha dengan cermat mengingatkan kita, bahwa walau pekerjaan dan kekayaan adalah penting, namun bukanlah segala-galanya; pekerjaan dan kekayaan adalah tetap hal yang berprasyarat, mempunyai keterbatasan dan senantiasa berubah. Pekerjaan dan kekayaan adalah sesuatu yang bernilai, karena dapat menopang kehidupan kita, sementara kita mengembangkan nilai spiritual yang pada akhirnya membawa kita kealam dimana perjuangan keras tidak diperlukan lagi dan kebahagiaan adalah satu-satunya kekayaan kita. Seperti dikatakan Sang Buddha:

Sangatlah tidak berarti hilangnya hal-hal seperti kekayaan dibanding dengan kehilangan kebijaksanaan. Sangatlah tidak berarti menimbun hal-hal seperti kekayaan dibanding dengan menimbun kebijaksanaan.17