Kaccani Jataka

BUKU VIII.—AṬṬHA-NIPĀTA

No. 417

KACCĀNI-JĀTAKA214

Sumber : Indonesia Tipitaka Center

 

“Berjubah putih,” dan seterusnya. Sang Guru menceritakan kisah ini ketika berdiam di Jetavana, tentang seorang upasaka yang menghidupi ibunya.

Laki-laki itu berasal dari keluarga terpandang di Kota Savatthi.

Sepeninggal ayahnya, ia yang mengurus ibunya dan merawatnya dengan melayaninya membasuh mulut, membersihkan gigi, mandi, membasuh kaki dan sebagainya, dan juga dengan memasakkan bubur, nasi dan makanan lainnya.

Ibunya berkata kepada dirinya, “Anakku, masih ada kewajiban lain yang harus dilakukan dalam kehidupan seseorang; Anda harus menikah dengan seorang wanita yang berasal dari keluarga yang baik, yang nantinya akan mengurus diriku ini, dan saat itu Anda dapat melakukan pekerjaanmu.” “Ibu, ini kulakukan atas keinginan dan kemauanku sendiri dengan melayanimu, siapa lagi yang akan melayanimu dengan sangat baik seperti ini?” “Putraku, Anda harus melakukan sesuatu demi kelangsungan keluarga kita.” “Saya tidak peduli dengan kehidupan rumah tangga, saya hanya akan melayanimu. Dan jika nanti ibu meninggal, saya akan menjadi seorang petapa.”

Ibunya terus-menerus mendesaknya, dan akhirnya tanpa persetujuan  anaknya, ia membawakan seorang wanita dari sebuah keluarga yang baik. Ia pun menikahinya dan tinggal dengannya karena tidak mau menentang ibunya.

Istrinya melihat perhatian besar yang diberikan oleh suaminya kepada ibunya, dan ia menjadi berkeinginan untuk berbuat yang sama dengan melayaninya dengan sepenuh hati. Melihat pengabdian istrinya tersebut, mulai saat itu, ia memberikan semua makanan enak yang bisa didapatkannya.

Dengan waktu yang terus berjalan, dalam keangkuhannya, wanita itu berpikir dengan bodohnya, “Suamiku memberikan semua makanan enak yang didapatkannya, ia sebenarnya pasti berkeinginan untuk menyingkirkan ibunya, dan saya akan mencari cara untuk mewujudkannya.”

Maka pada suatu hari ia berkata, “Suamiku, ibumu memarahiku ketika Anda pergi.” Suaminya tidak berkata apa-apa. Istrinya kembali berpikir, “Saya akan membuat wanita tua itu menjadi marah dan tidak sependapat dengan putranya.”

Sejak saat itu, ia memberikan buburnya sewaktu masih sangat panas atau dingin, dengan banyak garam atau tanpa garam sama sekali. Ketika wanita tua itu mengeluh bahwa buburnya terlalu panas atau asin, istrinya itu akan menuangkan air dingin di piringnya. Dan ketika ibunya mengeluh bahwa buburnya terlalu dingin dan tidak asin, istrinya itu akan membentaknya, “Baru saja tadi Anda mengatakan buburnya terlalu panas dan asin! Siapa yang dapat memuaskan dirimu?”

Kemudian pada saat mandi, ia akan menyiram punggung wanita tua itu dengan air yang sangat panas. Ketika ibunya berkata, “Anakku, punggungku rasanya seperti terbakar,” kemudian ia akan menyiramkan air yang sangat dingin, dan ketika ibunya mengeluh akan hal ini lagi, ia akan mengarang cerita kepada para tetangganya, “Wanita ini sebentar mengatakan kalau airnya terlalu panas, kemudian berteriak, ‘Airnya terlalu dingin.’ Siapa yang dapat tahan dengan ulahnya itu?”

Jika wanita tua itu mengeluh bahwa ranjangnya penuh dengan kutu, istrinya itu akan mengeluarkan ranjangnya itu dan membersihkan ranjangnya sendiri di atas ranjang mertuanya dan kemudian membawanya kembali dan berkata, “Saya telah membersihkannya.” Wanita tua yang baik itu, yang menjadi dua kali lipat digigit oleh kutu, tidak bisa tidur di malam hari dan mengeluh karena digigit sepanjang malam. Istrinya itu akan membalasnya dengan berkata, “Ranjangmu baru saja dibersihkan kemarin dan dua hari yang lalu juga. Siapa yang dapat memuaskan keinginan seorang wanita yang demikian?”

Untuk membuat putra dari wanita tua itu menentang dirinya, ia menyebarkan dahak dan lendir dari hidung dan uban dimana-mana, dan ketika ditanya siapa yang membuat rumah itu menjadi sangat kotor, ia akan berkata, “Ibumu yang melakukannya. Jika dilarang untuk melakukannya, ia akan berteriak dengan keras. Saya tidak bisa tinggal serumah dengan wanita tua yang demikian. Anda harus memutuskan apakah dirinya atau saya yang tetap tinggal di sini.”

Suaminya mendengarnya dan berkata, “Istriku, Anda masih muda dan dapat mencari nafkah sendiri ke mana pun Anda pergi, sedangkan ibuku sudah lemah dan saya adalah tempatnya berlindung. Pergilah kembali ke keluargamu sendiri.” Ketika mendengar ini, istrinya menjadi takut dan berpikir, “Suamiku tidak bisa berpisah dengan ibunya yang sangat menyayanginya. Jika saya kembali ke rumahku sendiri, saya akan menjalani hidup yang terpisah dengan menyedihkan. Saya akan rujuk kembali dengan mertuaku dan merawatnya di masa tuanya.” [423] dan sejak saat itu, ia benar-benar merawat ibunya.

Pada suatu hari, suaminya pergi ke Jetavana untuk mendengarkan khotbah Dhamma. Setelah memberikan penghormatan kepada Sang Guru, ia berdiri di satu sisi. Sang Guru menanyakan apakah dirinya melakukan kewajibannya atau tidak dalam hal merawat ibunya. Ia menjawab, “Ya, Bhante. Ibu saya menikahkanku dengan seorang wanita di luar keinginanku, istriku melakukan hal-hal anu yang tidak pantas,” memberitahukan semuanya kepada Beliau, “akan tetapi wanita itu tidak dapat memisahkanku dengan ibuku, dan sekarang ia merawat ibuku dengan penuh hormat.”

Sang Guru mendengar ceritanya dan berkata, “Kali ini Anda tidak mengikuti permintaannya, tetapi di masa lampau Anda mengusir ibumu atas permintaan istrimu, dan karena diriku, Anda membawanya kembali ke rumah dan merawatnya.”

Atas permintaan upasaka itu, Beliau menceritakan sebuah kisah masa lampau.
____________________

Dahulu kala ketika Brahmadatta berkuasa di Benares, ada seorang pemuda yang berasal dari sebuah keluarga yang baik mengabdikan dirinya untuk merawat ibunya semenjak ayahnya meninggal, ceritanya sama seperti yang ada di cerita pembuka di atas.

Akan tetapi dalam cerita ini, ketika istrinya berkata bahwa ia tidak bisa tinggal serumah dengan wanita tua itu dan ia harus memutuskan salah satu dari mereka harus pergi, ia menuruti perkataan istrinya dengan mengatakan bahwa ibunya yang bersalah, ia berkata, “Ibu, Anda selalu memunculkan permusuhan di dalam rumah. Mulai saat ini, pergi dan tinggallah di tempat yang lain, di mana pun itu.”

Ibunya pun mendengarkan perkataan anaknya. Dengan menangis, ia pergi ke tempat seorang temannya dan bekerja dengan upah harian, dengan sangat sulit dirinya bertahan hidup.

Setelah ibunya keluar dari rumah itu, istrinya hamil, dan ia pergi ke sana dan ke sini dengan memberitahukan suami dan tetangganya bahwa ia tidak akan bisa hamil jika wanita tua itu tetap berada di rumah mereka.

Setelah anaknya lahir, ia berkata kepada suaminya, “Saya tidak bisa hamil sewaktu ibumu masih tinggal bersama kita di sini, tetapi sekarang saya telah melahirkan seorang putra. Jadi Anda bisa lihat sendiri betapa jahatnya dirinya itu. Wanita tua itu mendengar bahwa kelahiran cucunya itu baru didapatkan karena ia keluar dari rumah itu, dan ia berpikir, “Pastinya kebenaran sudah tidak ada lagi di dunia ini: [425] Jika kebenaran belum mati, orang-orang ini tidak akan mendapatkan seorang putra dan hidup nyaman setelah mereka memukul dan mengusir ibu mereka. Saya akan memberikan persembahan untuk kebenaran yang telah tiada.”

Maka suatu hari, ia mengambil wijen, beras, sebuah belanga kecil dan sendok, kemudian pergi ke kuburan dan menyalakan api di bawah kompor yang dibuat dari tiga tengkorak manusia. Ia masuk ke dalam air (mandi), membersihkan kepala dan semuanya, mencuci pakaiannya dan kembali ke perapian itu. Ia membiarkan rambutnya terurai dan mulai mencuci beras.

Pada waktu itu, Bodhisatta terlahir sebagai Dewa Sakka, raja surga, dan ia sedang berjaga. Saat itu ia melihat bahwa wanita tua ini memberikan persembahan kematian kepada kebenaran, seolah-olah kebenaran itu sudah mati.

Berkeinginan untuk menunjukkan kekuatannya membantu wanita tua itu, ia turun dari surga dengan menyamar sebagai seorang brahmana yang sedang mengembara. Sewaktu melihat wanita tua itu, ia menghampirinya dan memulai pembicaraan dengan berkata, “Ibu, biasanya orang tidak memasak di kuburan, apa yang akan Anda lakukan dengan minyak dan beras ini setelah masak nanti?”

Demikian ia mengucapkan bait pertama berikut:—

Berjubah putih, dengan rambut terurai,
mengapa, Kaccāni 215, memasak dengan belanga itu?
Dengan mencuci beras dan wijen di sana,
apakah Anda akan memakannya setelah masak?

Wanita itu mengucapkan bait kedua berikut untuk menjawabnya:—

Brahmana, bukan untuk makananku,
kumasak nasi dan wijen ini:
Kebenaran telah tiada,
kenangannya akan kutandai dengan pengorbanan.

[426] Kemudian Sakka mengucapkan bait ketiga berikut:—

Nyonya, pikirlah terlebih dahulu
sebelum memutuskan:
Siapa yang telah memberitahukanmu kebohongan anu?
Kuat dalam kekuasaannya dan memiliki seribu mata,
Kebenaran yang sempurna tidak akan pernah mati.

Mendengarnya berkata demikian, wanita tua itu mengucapkan dua bait kalimat berikut:—

Brahmana, saya mempunyai bukti yang kuat,
‘Kebenaran sudah mati’, saya percaya:
Semua orang yang berbuat jahat
mendapatkan banyak kemakmuran.

Suatu ketika, istri putraku mandul, ia memukulku,
dan kemudian mendapatkan seorang putra:
Ia menjadi nyonya di rumah kami,
saya menjadi diusir dan dibuang.

Kemudian Sakka mengucapkan bait keenam berikut:—

216Tidak, saya hidup selamanya;
Demi dirimulah saya datang:
Ia memukulmu; putranya dan dirinya
akan menjadi abu di dalam kobaran apiku.

[427] Mendengarnya berkata demikian, wanita tua itu berteriak, “Astaga, apa yang Anda katakan? Saya harus menyelamatkan cucuku dari kematian,” dan demikian ia mengucapkan bait ketujuh berikut:—

Raja para dewa, tugasmu akan selesai:
Jika demi diriku Anda meninggalkan langit,
biarkanlah anak-anakku
dan putra mereka tinggal bersamaku dengan akur.

Kemudian Sakka mengucapkan bait kedelapan berikut:—

Permintaan Kātiyāni akan dilaksanakan:
Setelah dipukul, Anda masih percaya dengan kebenaran:
Dengan anak-anakmu dan putra mereka,
Anda akan berbagi satu atap dengan akur.

Setelah mengucapkan ini, Sakka, dengan pakaian dewanya yang lengkap, berdiri melayang di angkasa dengan kekuatan gabinya dan berkata, “Kaccāni, jangan takut: Dengan kekuatanku, anak dan menantumu akan datang kepadamu. Setelah mendapatkan maaf darimu, mereka akan membawamu kembali dengan mereka. Kemudian hiduplah dengan mereka dalam kedamaian.” Kemudian ia pergi ke kediamannya.

Dengan kekuatan Dewa Sakka, mereka berpikir kembali akan kebaikan ibu mereka, dan dengan bertanya di seluruh desa mereka mengetahui bahwa ia berada di kuburan. Di sepanjang jalan menuju ke kuburan, mereka memanggilnya. Dan ketika mereka berjumpa dengannya, mereka langsung bersujud di kakinya dan meminta maaf, kemudian mereka pun mendapatkan maaf atas perbuatan buruk mereka. Wanita tua itu juga dengan senang hati menyambut cucu laki-lakinya tersebut. Maka mereka semua pulang ke rumah dalam kebahagiaan, dan sejak saat itu tinggal bersama.

Bahagia dengan istri putranya yang baik,
demikianlah akhirnya Kātiyāni tinggal bersama:
Dewa Indra mendamaikan permusuhan mereka,
anak dan cucu merawat dirinya dengan baik.

Bait kalimat ini diucapkan oleh Ia Yang Sempurna Kebijaksanaan-Nya.
____________________

[428] Setelah uraian-Nya selesai, Sang Guru memaklumkan kebenarannya dan mempertautkan kisah kelahiran mereka: Setelah kebenarannya dimaklumkan, upasaka itu mencapai tingkat kesucian Sotāpanna:—“Pada masa itu, upasaka yang menghidupi ibunya adalah laki-laki yang sekarang ini sedang menghidupi ibunya, istrinya masa itu adalah istrinya yang sekarang ini, dan Dewa Sakka adalah saya sendiri.”

____________________

Catatan kaki :

214 Lihat Morris, Folk-lore Journal, II. hal. 306.

215 Pada bait kedelapan, ia disapa dengan nama Kātiyāni.

216 Sakka menyebut dirinya sendiri sebagai kebenaran.

Leave a Reply 0 comments