No. 416
PARANTAPA-JĀTAKA
Sumber : Indonesia Tipitaka Center
“Teror dan rasa takut,” dan seterusnya. Sang Guru menceritakan ini ketika berdiam di Uruvella, tentang percobaan Devadatta untuk membunuh Sang Buddha.
Para bhikkhu membahas ini di dalam balai kebenaran, “Āvuso, Devadatta [415] berusaha untuk membunuh Sang Tathāgata, ia telah menyewa para pemanah, menjatuhkan sebuah batu karang yang besar, melepaskan Nāḷāgiri, dan menggunakan cara-cara khusus lainnya untuk menghancurkan Beliau.”
Sang Guru datang dan menanyakan pokok bahasan mereka. Ketika mereka memberitahukan-Nya, Beliau berkata, “Para Bhikkhu, ini bukan pertama kalinya ia berusaha untuk membunuhku: tetapi ia bahkan tidak mampu membuat diriku takut, dan hanya mendapatkan penderitaan bagi dirinya sendiri,” dan kemudian Beliau menceritakan sebuah kisah masa lampau.
____________________
Dahulu kala ketika Brahmadatta memerintah di Benares, Bodhisatta terlahir sebagai putranya.
Ketika dewasa, ia mempelajari semua ilmu pengetahuan di Takkasila dan memperoleh kemampuan untuk dapat mengerti bahasa hewan.
Setelah selesai mendapatkan pengajaran dari gurunya, ia kembali ke Benares. Ayahnya menjadikannya sebagai wakil raja. Walaupun ayahnya memberikan jabatan itu, tetapi ayahnya berniat untuk membunuhnya dan bahkan tidak mau melihatnya.
Seekor serigala betina dengan dua ekor anaknya masuk ke dalam kota di malam hari dari saluran air bawah tanah ketika orang-orang telah lelap tertidur.
Di dalam istana Bodhisatta, ada sebuah ruangan di dekat kamar tidurnya tempat seorang pengembara berada, yang menanggalkan sandalnya dan meletakkannya di lantai, sedang berbaring di papan dan belum tidur.
Anak-anak serigala itu lapar dan menangis. Ibu mereka berkata dalam bahasa serigala, “Jangan ribut, Anak-anakku: ada seorang laki-laki di ruangan itu yang telah menanggalkan sandalnya dan meletakkannya di lantai: ia sedang berbaring di papan tetapi belum tertidur. Setelah ia tertidur, ibu akan mengambil sandalnya dan memberikan kalian makanan.”
Dengan kemampuannya, Bodhisatta mengerti semua perkataan induk serigala tersebut, kemudian ia keluar dari kamar tidurnya dan membuka jendela, seraya berkata, “Siapa yang ada di sana?” “Saya adalah seorang pengembara, Yang Mulia.” “Di manakah sandalmu?” “Di lantai.” “Ambil dan gantunglah sandalmu.” Mendengar perkataannya, serigala itu menjadi marah dengan Bodhisatta.
Pada suatu hari, serigala betina itu kembali masuk ke dalam kota dengan cara yang sama.
Pada hari itu, seorang laki-laki mabuk [416] sedang duduk minum di kolam teratai. Karena terjatuh ke dalamnya, ia hanyut dan tenggelam. Ia memiliki dua benda di dalam pakaian yang dikenakannya, uang seribu keping di pakaian dalamnya dan sebuah cincin di jarinya. Anak-anak serigala itu berteriak kelaparan dan ibunya berkata, “Diamlah, Anak-anakku, ada seorang laki-laki yang mati di kolam teratai ini, ia memiliki benda anu; ia sedang berbaring tidak bernyawa di tangga kolam teratai itu, ibu akan memberikan dagingnya kepada kalian untuk dimakan.”
Bodhisatta yang mendengar perkataan serigala itu, membuka jendela dan berkata, “Siapa yang ada di kamar?” Seseorang bangkit dan berkata, “Saya.” “Pergi dan ambillah uang seribu keping dan cincin dari laki-laki yang terbaring tak bernyawa di kolam teratai sana, dan tenggelamkan mayatnya sehingga tidak dapat muncul di atas air.” Orang itu melakukan sesuai perintahnya.
Induk serigala menjadi marah kembali: “Kemarin Anda membuat anak-anakku tidak dapat makan sandal, hari ini Anda membuat mereka tidak dapat makan mayat seorang laki-laki. Baiklah, pada hari ketiga dari hari ini, seorang musuh raja akan datang dan menyerang kota, ayahmu akan mengutusmu untuk bertempur dan mereka akan memenggal kepalamu. Saat itu saya akan meminum darah dari tenggorokanmu dan memuaskan permusuhanku. Anda sendiri yang membuat dirimu menjadi musuhku dan saya akan menyelesaikannya,” demikian ia berteriak mencaci maki Bodhisatta. Kemudian ia membawa anak-anaknya pergi.
Pada hari ketiga, musuh raja datang dan menyerang kota. Raja berkata kepada Bodhisatta, “Pergilah, Putraku, bertarunglah dengannya.” “Wahai Paduka, saya telah melihat sebuah gambaran. Saya tidak boleh pergi karena saya akan kehilangan nyawa.” “Apa bedanya kamu hidup atau mati bagiku? Pergi.” Sang Mahasatwa mematuhinya, dengan membawa anak buahnya, ia menghindari pintu gerbang tempat musuh raja itu membuat barak, dan keluar dari jalan lainnya yang sudah dibukanya. Sewaktu ia pergi, seluruh kota menjadi seperti tidak berpenghuni karena semua orang pergi bersamanya. Ia berkemah sementara di sebuah tempat terbuka dan menunggu.
Raja berpikir, “Wakil rajaku telah mengosongkan isi kota dan lari dengan semua pasukanku, sedangkan musuh berbaris di sekeliling kota. [417] Saya akan mati.” Untuk menyelamatkan dirinya, ia membawa serta ratu, pendeta kerajaan dan seorang pelayan yang bernama Parantapa: Dengan mereka, ia melarikan diri dengan menyamar di malam hari dan masuk ke dalam hutan.
Mendengar tentang pelarian dirinya, Bodhisatta kembali masuk ke kota, mengalahkan musuh raja itu di dalam pertempuran dan mengambil alih kerajaan.
Ayahnya membuat sebuah gubuk daun di tepi sungai dan tinggal di sana, bertahan hidup dengan memakan buah-buahan yang tumbuh liar. Ia dan pendeta kerajaannya yang selalu pergi mencari buah-buahan, sedangkan pelayannya, Parantapa, tinggal di dalam gubuk bersama dengan ratu.
Ratu sebenarnya sedang mengandung seorang anak dengan raja, tetapi dikarenakan selalu bersama dengan Parantapa, ia pun akhirnya berbuat zina dengannya.
Suatu hari, ratu berkata kepadanya, “Jika raja mengetahui hal ini, kita berdua akan mati; bunuhlah ia terlebih dahulu.” “Bagaimana caranya?” “Ia selalu menyuruhmu membawakan pedang dan pakaian mandinya di saat ia pergi mandi, buat dirinya menjadi tidak terjaga di tempat pemandian itu dan penggal kepalanya, potong tubuhnya menjadi kecil-kecil dengan pedang itu kemudian kubur di dalam tanah.” Parantapa pun menyetujuinya.
Pada suatu hari, pendeta kerajaan pergi untuk mencari buah-buahan, ia memanjat pohon yang ada di dekat tempat pemandian raja dan memetik buah-buahan yang ada di sana. Raja yang pada saat itu hendak mandi, datang ke tempat tersebut bersama dengan Parantapa yang membawakan pedang dan pakaian mandinya. Sewaktu raja hendak mandi, Parantapa mencekiknya dan menghunuskan pedangnya dengan maksud membunuhnya ketika ia sedang tidak terjaga. Raja pun berteriak keras dengan rasa takut akan kematiannya. Pendeta kerajaan mendengar teriakannya dan melihat dari atas sana bahwa Parantapa sedang berusaha untuk membunuh raja, tetapi ia sendiri sangat ketakutan dan dengan turun dari pohon itu ia bersembunyi di semak-semak. Parantapa mendengar suara ribut yang ditimbulkannya sewaktu ia berusaha turun dari pohon itu.
Setelah membunuh dan mengubur mayat raja, ia berpikir, “Tadi ada suara ribut seperti sesuatu turun dari cabang pohon di sekitar sana, siapa di sana?” Tetapi karena tidak melihat siapa pun, ia mandi dan kemudian pergi. Kemudian pendeta kerajaan keluar dari tempat persembunyiannya; [418] setelah mengetahui bahwa raja telah dipotong-potong dan dikubur di dalam lubang, ia mandi dan karena takut akan keselamatan dirinya sendiri, ia berpura-pura menjadi buta dan kembali ke gubuk.
Parantapa melihat dirinya dan menanyakan apa yang telah terjadi dengannya. Ia berpura-pura tidak mengenali Parantapa dan berkata, “Wahai raja, saya kembali dengan kehilangan penglihatanku; di dalam hutan saya tadi sedang berdiri dekat suatu gundukan rumah semut yang penuh dengan ular, dan racun dari ular berbisa itu pasti telah mengenai mataku.” Parantapa berpikir bahwa ia menyebutnya sebagai raja dikarenakan ia tidak tahu apa-apa, dan untuk menenangkan pikirannya ia berkata, “Brahmana, tidak apa-apa, saya akan merawatmu,” dan demikian ia menghibur dirinya dengan memberikan banyak buah-buahan.
Mulai saat itu, Parantapa yang pergi mencari buah-buahan. Ratu melahirkan seorang putra. Sewaktu putranya tumbuh dewasa, ratu berkata kepada Parantapa pada suatu pagi ketika mereka sedang duduk bersantai, “Apakah ada orang yang melihatmu membunuh raja?” “Tidak ada orang yang melihatku. Akan tetapi, saya mendengar suara ribut seperti ada yang terjatuh dari cabang pohon, apakah itu orang atau hewan, saya tidak tahu. Tetapi kapan saja nantinya rasa takut menyerang diriku, itu pastilah berasal dari penyebab suara cabang pohon yang patah tersebut,” dan demikian ia berbicara dengannya dan mengucapkan bait pertama berikut:—
Teror dan rasa takut
yang nantinya menyerangku,
adalah orang atau hewan
yang menggoyangkan cabang pohon itu.
Mereka berpikir bahwa pendeta kerajaan sedang tidur, tetapi sebenarnya ia sudah bangun dan mendengar pembicaraan mereka. Suatu hari, ketika Parantapa telah pergi untuk mencari buah-buahan, pendeta kerajaan itu teringat akan istrinya dan meratap sedih dengan mengucapkan bait kedua berikut:—
[419] Rumah istriku yang setia dekat sekali:
cintaku akan membuatku menjadi pucat
dan kurus seperti Parantapa,
ketika cabang pohon bergoyang.
Ratu menanyakan apa sebenarnya yang sedang ia katakan. Ia menjawab, “Saya hanya sedang berpikir sendiri.”
Akan tetapi pada hari berikutnya, ia mengucapkan bait ketiga berikut:—
Istriku tercinta berada di Benares;
ketidakberadaannya sekarang ini
membuatku sedih,
membuatku pucat seperti Parantapa,
ketika cabang pohon bergoyang.
Kemudian pada hari berikutnya lagi, ia mengucapkan bait keempat berikut:—
Mata hitamnya yang bersinar,
dengan memikirkan ucapan
dan senyumannya membuat diriku sekarang
menjadi pucat seperti Parantapa,
ketika cabang pohon bergoyang.
Seiring berjalannya waktu, pangeran muda itu tumbuh dewasa dan berusia enam belas.
Kemudian brahmana itu memintanya membawa tongkat kayu dan pergi ke tempat pemandian bersama dengannya, di sana ia membuka matanya dan dapat melihat. [420] “Bukankah Anda buta, Brahmana?” tanya pangeran. “Saya tidak buta, tetapi dengan cara ini saya telah menyelamatkan hidupku. Apakah Anda tahu siapa ayahmu?” “Ya.” “Laki-laki itu bukanlah ayahmu, ayahmu adalah Raja Benares dan laki-laki itu adalah pelayan di rumahmu, tetapi ia berzina dengan ibumu, dan di tempat ini juga ia membunuh dan mengubur mayat ayahmu,” sambil berkata demikian ia mengeluarkan tulang-belulang raja dan menunjukkannya kepada dirinya.
Pangeran menjadi sangat marah dan bertanya, “Apa yang harus kulakukan?” “Lakukanlah seperti apa yang dilakukannya kepada ayahmu di sini,” sembari menunjukkan dan mengajarkan kepadanya semua cara menggunakan pedang dalam beberapa hari.
Kemudian pada suatu hari, pangeran membawakan pedang dan pakaian mandi ayahnya dan berkata, “Ayah, mari kita pergi mandi.” Parantapa menyetujuinya dan pergi bersama dengannya. Sewaktu ia hendak turun untuk mandi, pangeran memegang rambutnya dengan tangan kiri dan pedang dengan tangan kanan, dan berkata, “Di tempat ini Anda mencekik ayahku dengan rambutnya dan membunuhnya sewaktu ia berteriak; dan saya akan melakukan hal yang sama kepadamu.”
Parantapa meratap karena takut akan kematiannya dan mengucapkan dua bait kalimat berikut:—
Pastinya suara ribut tersebut
telah mendatangimu dan
memberitahukanmu apa yang telah terjadi:
Pastinya orang yang membuat cabang itu patah
telah datang kepadamu, menceritakannya kepadamu.Pikiran bodoh yang sempat terpikir olehku
telah diketahui oleh dirimu:
Hari itu, seorang saksi, orang ataupun hewan,
berada di sana dan mematahkan cabang itu.
Kemudian pangeran mengucapkan bait terakhir berikut:—
[421] Setelah berkata demikian, pangeran membunuhnya di tempat itu, menguburnya dan menutupi tempat itu dengan ranting-ranting pohon. Kemudian setelah mencuci pedangnya dan mandi, ia kembali ke gubuk daun. Ia memberitahukan pendeta kerajaan bagaimana ia membunuh Parantapa. Ia mencela ibunya, dan berkata, “Apa yang harus kita lakukan sekarang?” dan ketiganya kembali ke Benares.Demikian Anda membunuh ayahku
dengan kata-kata bohong, tidak setia;
Anda menyembunyikan mayatnya di dalam semak-semak:
sekarang rasa takut itu telah mendatangimu.
Bodhisatta kemudian menjadikan pangeran muda itu sebagai wakil raja. Dan dengan selalu memberikan derma, melakukan kebajikan lainnya membuatnya melewati jalan yang menuju ke alam surga.
____________________
Setelah uraian-Nya selesai, Sang Guru mempertautkan kisah kelahiran mereka: “Pada masa itu, Devadatta adalah raja tua (yang melarikan diri ke tepi sungai), dan saya sendiri adalah raja muda (yang memenangkan pertempuran).”