K A R M A
26. Telah disebutkan di depan, bahwa setelah mati, kita akan lahir kembali di salah satu dari enam alam kehidupan. Lalu, keadaan-keadaan bagaimanakah yang mensyaratkan kelahiran di masing-masing alam itu? Sebelum menjawab pertanyaan tersebut; marilah kita lihat pandangan agama Buddha tentang penyebab semua keadaan umumnya terjadi. Sebagian masyarakat akan menyandarkan jawaban atas segala keadaan yang terjadi, baik atau buruk, kepada Tuhan. Namun agama Buddha menyangkal ciri ketuhanan seperti itu; lalu bagaimana menerangkan kehidupan alam-semesta yang demikian dinamis, alam-semesta yang selalu penuh pergolakan, interaksi dan kejadian-kejadian? Agama Buddha, seperti halnya ilmu pengetahuan, mengajarkan sebab-musabab yang alami. Menurut agama Buddha, semua fenomena di alam-semesta ini bekerja menurut salah satu dasar lima hukum alam (niyama).1 Hukum-hukum fisika (utu niyama) mengatur keberaturan fisik anorganik, mengatur temperatur didih air, kecepatan cahaya, siklus musim, dan sebagainya. Hukum-hukum biologis (bija niyama) mengatur pertumbuhan, reproduksi, hukum genetika/penurunan sifat dan semua aspek makhluk hidup. Hukum-hukum psikologik (citta niyama) mengatur fungsi-fungsi kesadaran serta fenomena ekstrasensorik seperti telepati, kewaskitaan (Inggeris: clairvoyance) dan sebagainya. Dibawah hukum-hukum semesta (dhamma niyama) bekerja hukum gaya-berat, termodinamik dan segala fenomena semacamnya diseluruh alam-semesta ini. Namun hukum yang sangat menarik adalah hukum karma (kamma niyama). Selama berabad-abad, doktrin agama Buddha tentang karma (Pali: Kamma), telah sering disalah-artikan sebagai paham deterministik/takdir. Saat ini pun, masih sering didengar diantara orang-orang, rohaniawan Buddhis sekalipun, yang mengatakan bahwa segala sesuatu terjadi atas kehendak kamma. Karenanya, banyak tafsiran tentang kamma yang agak janggal bila dibandingkan dengan ajaran Sang Buddha sendiri. Hal ini disebabkan karena pada umumnya, doktrin kamma yang diajarkan saat ini tidak berdasarkan ajaran Sang Buddha langsung, tapi berdasarkan kepustakaan komentar, yang sebagian besar diantaranya ditulis ribuan tahun setelah era Sang Buddha. Kita akan mencoba menelusuri doktrin kamma, seperti apa yang digambarkan oleh Sang Buddha dalam bentuk pemahaman moderen yang sederhana.
27. Istilah ‘kamma‘ berarti tindakan (Inggeris: action) serta mengacu pada kehendak (cetana) pikiran, ucapan dan tindakan jasmani kita. Sang Buddha bersabda:
Saya katakan, kehendak adalah kamma, karena didahului oleh kehendak seseorang lalu bertindak dengan jasmani, ucapan dan pikiran.2
Istilah ‘vipaka‘ berarti hasil atau dampak serta mengacu pada hasil tindakan berdasar kehendak kita. Dengan demikian, menolong seseorang (suatu kamma) akan menghasilkan persahabatan baru yang baik (suatu vipaka). Pula sebaliknya, berdusta (suatu kamma) berakibat ketahuan dan oleh karenanya dipermalu dan dimaki (suatu vipaka). Tentunya, kehendak untuk berbuat sesuatu (belum dilaksanakan) berbeda dari bila telah dilaksanakan, walau keduanya akan berdampak, yang pertama (kehendak saja) lebih ringan dari kedua (telah melaksanakannya). Setiap kali kita dengan sengaja berpikir, berkata dan bertindak, maka jelas telah terjadi perubahan pada kesadaran kita. Dengan demikian, tipe manusia bagaimana kita saat ini tergantung dari timbunan perbuatan yang telah dilakukan masa-masa sebelumnya, demikian pula apa yang kita lakukan sekarang akan membentuk watak kita di hari kemudian.
Kita adalah apa yang telah kita perbuat.
Apa yang akan kita perbuat adalah demikian kita akan jadinya.
Watak kita saat ini dibentuk dan dipengaruhi oleh hubungan kita dengan sesama kita, reaksi kita pada berbagai situasi, yang kemudian pada gilirannya menentukan berbahagia atau tidaknya kita sendiri. Sang Buddha mengatakan, sebagai berikut:
Semua makhluk adalah pemilik kamma-nya sendiri, pewaris kamma-nya, kamma-nya adalah kandungan yang melahirkannya, dengan kamma-nya dia berhubungan, kamma-nya adalah pelindungnya. Apapun kamma-nya, baik atau buruk, mereka akan mewarisinya.3
28. Dengan demikian adalah penting untuk membedakan pengerttian antara faktor-faktor penentu (Inggeris: determining factors) dari faktor-faktor prasyarat (Inggeris: conditioning factors). Bila dikatakan, bahwa keadaan kita kini hanya ditentukan oleh tindak-tanduk kita sebelumnya dan keadaan masa mendatang ditentukan hanya oleh tindak-tanduk saat ini, berarti seluruh kehidupan telah diputuskan dan ditentukan sebelumnya; kita tidak bebas lagi untuk berprakarsa dan merubah segalanya. Namun, kamma tidaklah memutuskan keberadaan kita. Tindak-tanduk kita masa lampau turut menentukan saat sekarang, lalu tindak-tanduk saat sekarang turut menentukan masa depan, dengan kata lain tindak-tanduk mempengaruhi dalam derajat yang besar atau kecil. Dengan demikian masih ada kesempatan untuk melatih kemauan dan berusaha berubah. Hukum kamma, dengan demikian, lebih berarti suatu kecenderungan, bukan sekadar suatu konsekwensi yang tak dapat diubah dan dielakkan. Ajaran Buddha tidak mengajarkan paham “takdir” (niyativada), juga tidak mengajarkan paham “bebas kehendak” (attakiriyavada), tapi suatu ‘kehendak-berprasyarat’ (Inggeris: conditioned).
Hukum kamma turut (menjadi prasyarat) dalam menentukan tiga hal apakah kita terlahir kembali atau tidak, di alam mana kita akan terlahir, dan pengalaman bagaimana yang akan dialami di kehidupan yang akan datang tersebut. Kita akan menelusurinya satu persatu.
29. Menurut Sang Buddha, tindak-tanduk manusia-biasa pada dasarnya bercirikan keserakahan (lobha), kebencian (dosa) dan kegelapan-batin (moha), atau seperti sering disebutkan oleh Sang Buddha, semuanya berakar pada ketidaktahuan (avijja) dan keinginan-rendah (tanha). Tindakan baik pun bila dijejaki kadang-kadang masih terwarnai oleh kekotoran batin tersebut. Keserakahan, kebencian dan kegelapan batin mendasari tindakan kita sehari-hari, tapi tidak semua tindakan itu akan berbuah akibat pada kehidupan sekarang ini; daya/energi yang tidak berbuah pada kehidupan sekarang ini akan mendorong kita ke kehidupan baru sesudah kita mati. Sebagai analogi sehari-hari, mobil bergerak karena adanya mesin, bila mesin tiba-tiba terhenti, energi sisa tetap akan mendorong mobil sebentar, sampai mesin dapat dihidupkan kembali. Sang Buddha berkata:
Ada tiga sumber asal dari tindakan seseorang. Apa yang tiga itu? Keserakahan, kebencian dan kegelapan batin. Setiap tindakan yang dilahirkan, berasal dan timbul dari keserakahan, kebencian dan kegelapan batin akan berbuah, dimanapun dia terlahir kembali; dimanapun tindakan itu berbuah, dia akan mengalami hasilnya, pada kehidupan ini ataupun dikehidupan mendatang.4
Selama kita bertindak dengan didasari keserakahan, kebencian dan kegelapan-batin, selama itu pula kita membuat kamma, baik ataupun buruk, dan oleh karenanya kita terlahir kembali. Dengan tercapainya Pencerahan; keserakahan, kebencian dan kegelapan-batin telah terkikis habis, dan dengan sendirinya walau kita tetap bertindak, kita tidak menghasilkan kamma baru lagi, dan setelah kematian kita tidak akan terlahir kembali.
30. Lebih lanjut Sang Buddha bersabda:
Ada tiga sumber asal dari tindakan seseorang. Apa yang tiga itu? Bebas dari keserakahan, kebencian dan kegelapan-batin. Setiap tindakan yang dilahirkan, berasal dan timbul dari keadaan terbebas dari keserakahan, kebencian dan kegelapan-batin oleh karena keserakahan, kebencian dan kegelapan-batin tiada lagi kamma terhenti, terpotong pada akarnya, seperti sisa potongan pohon palma yang tak dapat tumbuh lagi di kemudian hari.5
Kamma yang menyebabkan kita terlahir lagi, dan bila terlahir kembali, akan terlahir di salah satu dari enam alam-kehidupan. Kamma yang telah kita timbun akan menjadi prasyarat di alam mana kita akan terlahir. Semua tindakan yang dilakukan dengan sengaja mempunyai sisi etis, yang dikelompokkan atas empat tipe oleh Sang Buddha. Beliau bersabda:
Ada empat macam kamma, yang saya telah terawangi melalui kebijaksanaan-Ku dan kupermaklumkan pada dunia. Apa yang empat itu? Yakni kamma gelap berbuah gelap, kamma terang berbuah terang, kamma terang dan gelap berbuah terang dan gelap, kamma yang tidak terang pula tidak gelap berbuah tidak terang pula tidak gelap.6
“Kamma gelap” mengacu pada perilaku yang didasari keserakahan, kemarahan, ketaksabaran dan keadaan batin negatif lainnya, kesemuanya akan berbuah kegelisahan dan kesusahan, yang disebut Sang Buddha sebagai “berbuah gelap”. “Kamma terang” mengacu pada perilaku yang didasari pada keadaan batin yang positif, seperti kebajikan, kemurahan-hati dan kejujuran, akan berbuah ketenangan dan kebahagiaan atau “berbuah terang”. “Kamma terang dan gelap” mengacu pada perilaku yang didorong oleh campuran oleh kehendak positif dan kehendak negatif, dan oleh karenanya berdampak campuran pula. “Kamma yang tidak terang, tidak pula gelap” mengacu pada perilaku yang netral, yang kemudian berbuah netral pula. Apabila kamma tertentu menonjol dalam perilaku kita sehari-hari, kita akan tertarik, pada waktu mati, kepada salah satu dari enam alam-kehidupan diatas. Sang Buddha bersabda:
Dan apa beragam kamma itu? Adalah kamma yang akan berbuah di alam-neraka, di alam-binatang, di alam roh-lapar, di alam manusia, pula ada kamma yang berbuah di alam dewa.7
Manusia yang kejam, ganas dan penuh kebencian, dapat terlahir di alam neraka atau terlahir sebagai manusia dengan kesengsaraan seumur hidupnya. Manusia yang tujuan hidupnya hanya makan, pemuasan seks dan kesenangan duniawi serta tidak berusaha mengembangkan kecerdasan dan kebajikan, dapat terlahir sebagai binatang atau manusia yang akan mengalami kehidupan yang penuh kemalangan. Manusia yang berambisi buruk, tak pernah terpuaskan, serta terikat pada seks, alkohol dan ganja akan cenderung terlahir sebagai Roh-lapar, atau sebagai manusia yang tersiksa oleh ketidak-puasan; sedangkan mereka yang hidupnya senantiasa dipenuhi oleh rasa cemburu, dan iri-hati akan terlahir di alam Roh-cemburu atau sebagai manusia yang terikat dan tersiksa pada kecemburuannya. Mereka yang senantiasa berbahagia, tak berbuat buruk dan senantiasa mencintai mereka yang lain, akan terlahir sebagai dewa atau manusia yang senantiasa bergembira dan bahagia.
31. Namun tentunya; kita tidak akan terlahir di Alam Neraka disebabkan hanya karena berbohong sekali ataupun beberapa kali; pula kita tidak akan terlahir di Alam Surga disebabkan karena bermurah hati dari waktu ke waktu. Sang Buddha menjelaskan bahwa, perilaku tertentu yang berpengaruh kuat, menjadi kebiasaan dan menonjol di batin seseorang (atau seperti yang Beliau katakan tindakan yang “terbiasa, terikat dan sering dilaksanakan”8) yang akan menentukan kelahiran di alam-alam yang lebih rendah atau di alam-alam yang lebih tinggi. Kebanyakan manusia adalah tipe rata-rata, yakni jarang berperilaku sangat baik juga jarang berperilaku sangat buruk, lalu sisa waktu diisi dengan perilaku yang sedikit baik dan sedikit buruk, mereka ini kemungkinan juga akan terlahir sebagai manusia rata-rata pada umumnya dan akan mengalami hal yang biasa-biasa pula dalam kehidupannya. Namun, seseorang melaksanakan Dhamma secara tulus dan benar, maka besar kemungkinan baginya untuk terlahir di Alam Surga atau sebagai manusia dengan lingkungan yang baik.
32. Hal ke tiga yang turut ditentukan oleh hukum kamma adalah pengalaman yang akan dialami selama hidup kita. Sering dikatakan, bahwa apa yang dialami pada kehidupan setiap orang saat ini adalah hasil dari apa yang diperbuatnya di kehidupan sebelumnya, pula apa yang diperbuat pada kehidupan sekarang akan berbuah pada kehidupan yang akan datang. Pengertian tersebut, yakni bahwa semua yang dilakukan akan berbuah pada salah satu kehidupan mendatang (tidak pada kehidupan saat ini), ternyata salah. Sang Buddha berkata:
Hasil dari suatu kamma ada tiga macam. Apa yang tiga itu? Yang berbuah pada kehidupan sekarang, yang berbuah pada kehidupan berikut, dan yang berbuah pada kehidupan-kehidupan yang selanjutnya.9
Seperti kenyataan yang kita alami sehari-hari, malah banyak perbuatan membawa akibat seketika atau segera. Tidak selamanya harus menunggu sampai kehidupan yang akan datang.
Salah pengertian lain tentang kamma, ialah anggapan bahwa setiap perbuatan pasti berakibat; tindakan negatif, misalnya, pasti tak terelakkan berbuah negatif. Walau Sang Sang Buddha seringkali memberi kesan seperti itu, namun Beliau juga menjelaskan bahwa akibat dari setiap perbuatan bukanlah tak terelakkan seperti itu. Beliau berkata:
Bila seseorang berkata, bahwa hanya apa yang diperbuat itulah yang diperolehnya, maka bila hal itu benar, maka menuntut kehidupan suci tidaklah berarti – sebab tak ada kesempatan untuk mengatasi penderitaan. Tapi bila seorang berkata, bahwa bila seorang berbuat demi apa yang akan diperolehnya, lalu itulah yang diperolehnya, maka menuntut kehidupan suci adalah berarti ada kesempatan untuk menghancurkan penderitaan. Contohnya, suatu kejahatan kecil dilakukan seseorang, tindakan itu bisa berbuah pada kehidupan ini atau sama sekali tidak berbuah. Sekarang, manusia yang bagaimana, yang walau dengan kejahatan kecil sekalipun tetap akan membawanya ke neraka? Seorang yang tidak berhati-hati dalam mengembangkan tindakan jasmani, pikiran dan ucapannya. Dia tidak mengembangkan kebijaksanaan, dia seorang yang tidak berarti, dia tidak mengembangkan dirinya sendiri, hidupnya sempit dan dapat diukur. Perbuatan kecil saja dapat membawanya ke neraka. Lalu sekarang, seorang yang dengan hati-hati mengembangkan tindakan jasmani, pikiran dan ucapannya. Dia mengembangkan kebijaksanaan, dia seorang yang berarti, dia mengembangkan dirinya sendiri, hidup tanpa batas dan tidak terukur. Bagi orang seperti ini, sebuah kejahatan kecil bisa berbuah dikehidupan ini atau tidak sama sekali. Seandainya seorang menaruh sejumput garam kedalam sebuah cawan kecil. Air tersebut tidak akan bisa diminum. Mengapa? Karena cawan itu kecil. Nah, sekarang seandainya seorang menaruh sejumput garam ke sungai Gangga. Airnya akan tetap dapat diminum. Karena banyaknya air di sungai tersebut.10
Jadi jelas, pada seorang yang watak baiknya menonjol, maka perbuatan buruk kecil yang dilakukannya hanya akan berbuah akibat yang tak berarti atau mungkin sama sekali tidak berbuah; sebaliknya pada seorang yang selama hidupnya ternodai oleh perbuatan buruk, maka perbuatan baik kecil yang dilakukannya akan terselubungi. Pula, buah dari suatu perbuatan bisa saja tidak jadi masak dan berbuah, karena terhapus atau terlarut oleh perbuatan yang lain. Sebagai contoh, seorang mencuri sesuatu, namun kemudian menyadari kekeliruannya. Dia mengembalikan barang tersebut, lalu berusaha berbuat baik dan berjanji tidak akan berbuat demikian lagi di kemudian hari. Pada keadaan seperti ini, buah hasil dari perbuatan buruk (mencuri) tersebut terhapus oleh perbuatan baiknya yang belakangan (insaf dan mengembalikan barang tersebut). Seperti disebutkan sebelumnya, hukum kamma adalah sesuatu yang menyangkut kecenderungan, bukan suatu konsekwensi yang tak dapat dirubah serta tak dapat dielakkan.
33. Namun salah pengertian yang paling umum tentang hukum kamma adalah kepercayaan bahwa setiap kejadian yang kita alami; tersandung, jatuh sakit, menang undian, terlahir tampan, semuanya adalah hasil kamma lampau semata-mata. Dengan alasan yang sangat tepat Sang Buddha menolak kepercayaan salah tersebut. Sebab bila demikian halnya, maka sia-sia untuk berbuat baik dan menghindari perbuatan tercela, sebab keseluruhan hidup ditentukan sebelumnya. Sang Buddha bersabda:
Ada beberapa pertapa dan kaum Brahmin, yang mempercayai dan mengajarkan bahwa apapun yang dialami seseorang, menyenangkan, menyakitkan atau netral, semua disebabkan oleh kamma lampau. Saya menemui mereka dan bertanya apakah benar mereka mengajarkan sedemikian, mereka ternyata mengiyakan, saya berkata: “Bila demikian, tuan yang terhormat, seseorang membunuh, mencuri dan berzina disebabkan kamma lampau, mereka berbohong, berfitnah, berkata kasar dan tak berharga disebabkan kamma lampau. Mereka menjadi serakah, membenci dan penuh pandangan salah disebabkan kamma lampau.” Mereka yang mendasarkan segala sesuatu pada kamma lampau sebagai unsur penentu akan kehilangan keinginan dan usaha untuk berbuat ini atau tak berbuat itu.11
Berdasarkan pengetahuan bahwa ada lima hukum yang mengatur semesta (26), jelas bahwa kamma hanyalah salah satu dari beberapa penyebab yang menjadikan kita. Terlahir cantik, jelek, utuh atau cacat mungkin disebabkan oleh turunan (hukum Biologis), bukan semata-mata oleh perbuatan yang baik atau buruk di masa lampau. Cerdas atau bodoh mungkin disebabkan karena keadaan sosial dan pengaruh orang-tua (hukum Fisika dan hukum Psikologik), bukan semata-mata oleh perbuatan baik atau buruk. Mati muda atau berumur panjang mungkin karena gabungan antara masalah gisi (hukum Biologis), lingkungan yang sehat (hukum Fisika) dan mungkin pula sikap dan pandangan hidup (hukum Psikologik), bukan semata-mata karena perbuatan yang baik atau buruk di masa lampau. Menghubungkan semua yang terjadi pada kita (baik ataupun buruk) sebagai melulu akibat perbuatan masa lampau, menurut Sang Buddha, berarti menutup mata pada kaidah sebab dan akibat yang telah dibenarkan oleh pengalaman kita sendiri. Beliau bersabda:
Sehubungan dengan itu, ada penderitaan yang ditimbulkan oleh empedu, oleh lendir, dari udara, oleh kecelakaan, oleh keadaan yang tak dapat diketahui sebelumnya, dan juga oleh hasil perbuatan lampau seperti diketahui dari pengalamanmu sendiri. Dan kenyataan bahwa penderitaan timbul dari berbagai penyebab telah diketahui dunia sebagai suatu kebenaran. Oleh karenanya pertapa dan kaum Brahmin yang berkata: “Apapun kesenangan atau penderitaan atau keadaan batin yang dialami seseorang, kesemuanya disebabkan karena masa lampau,” maka pernyataan mereka bertentangan dengan pengalaman setiap orang yang telah diakui kebenarannya oleh dunia. Oleh karenanya, Saya katakan, bahwa mereka itu salah.12
Sang Buddha mengajar kita hukum kamma, oleh karenanya kita dapat memaklumi keadaan seperti sekarang ini, oleh karenanya kita dapat merubah diri sendiri, dan oleh karenanya kita dapat menciptakan prasyarat-prasyarat yang membantu pencapaian Nibbana.