Kebhikkhuan Sebagai Sikap Hidup

 

IMG_4100_1

 

 

Kebhikkhuan Sebagai Sikap Hidup

Masyarakat Buddhis mengenal dua cara hidup yaitu mereka yang tinggal di vihara sebagai bhikkhu atau bhikkhuni dan mereka yang tinggal dalam rumah tangga sebagai upasaka jika pria dan upasika jika wanita. Kedua bagian besar masyarakat Buddhis ini saling bekerja sama dan saling membantu demi mewujudkan kelestarian Ajaran Sang Buddha. Para viharawan selama hidupnya selalu berjuang untuk mengatasi ketamakan, kebencian serta kegelapan batin dengan pengendalian diri secara total. Para upasaka dan upasika yang sekaligus juga perumahtangga selalu bekerja giat di semua bidang ekonomi. Mereka sering menyisihkan sebagian dari penghasilan yang diperoleh untuk mendukung kehidupan para viharawan. Mereka biasa datang ke vihara untuk mempersembahkan dana makanan, tempat tinggal, jubah maupun obat-obatan. Tidak jarang, para umat juga menyediakan berbagai sarana transportasi sehingga para bhikkhu dapat lebih leluasa bergerak membina umat serta simpatisan Buddhis yang jauh dari vihara. Dengan dukungan seperti itu, para viharawan selain mampu melanjutkan kehidupan mereka dalam pengendalian diri, mereka juga mampu membagikan Dhamma serta memberikan pelayanan sosial secara terus menerus kepada masyarakat. Pembabaran Dhamma serta dorongan moral para viharawan kepada masyarakat diharapkan mampu membangkitkan semangat para perumah tangga untuk selalu untuk melaksanakan Ajaran Sang Buddha dalam kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, segala bantuan yang telah diberikan kepada para bhikkhu atau viharawan ini dapat diwujudkan dalam bentuk pelayanan sosial yang mampu mengkondisikan timbulnya kebahagiaan masyarakat secara lahir dan batin. Upaya bersama agar dapat saling memberikan manfaat dan kebahagiaan inilah yang menjadikan hubungan para viharawan dengan para perumahtangga semakin akrab serta saling membutuhkan.

Di Indonesia terdapat berbagai organisasi viharawan. Sangha Theravada Indonesia adalah salah satu organisasi viharawan atau kebhikkhuan yang pada tahun 2006 ini telah genap tiga puluh tahun mengabdi kepada masyarakat. Anggota Sangha Theravada Indonesia adalah para bhikkhu yang telah meninggalkan keduniawian. Sikap hidup meninggalkan keduniawian ini dilakukan dengan antara lain : meninggalkan rumah tangga yaitu tidak menikah, mencukur habis rambut, mengenakan jubah dimanapun berada serta melaksanakan ratusan aturan berperilaku layak sebagai bhikkhu. Dalam kehidupan sebagai anggota Sangha Theravada Indonesia, para bhikkhu selain melatih kesadaran agar dapat membebaskan diri dari ketamakan, kebencian serta kegelapan batin, mereka juga mempergunakan banyak waktu untuk berbagi Dhamma kepada masyarakat dari semua lapisan di seluruh penjuru tanah air. Diharapkan dengan adanya pembabaran Ajaran Sang Buddha akan lebih banyak anggota masyarakat yang mampu melaksanakannya dalam kehidupan sehari-hari sehingga mereka mencapai kebahagiaan di dunia. Selanjutnya, setelah masyarakat mampu mewujudkan kebahagiaan dunia, mereka juga dapat diarahkan sesuai Dhamma agar mencapai kebahagiaan surgawi yaitu terlahir di alam surga atau alam bahagia setelah kehidupan ini. Bahkan, dengan bimbingan dan dorongan moral yang baik akan semakin banyak anggota masyarakat Buddhis yang mencapai kebahagiaan tertinggi atau Nibbana dalam kehidupan ini pula. Kebahagiaan tertinggi karena terbebas dari kelahiran kembali inilah menjadi tujuan hidup utama seorang umat Buddha.

Untuk mencapai berbagai tujuan di atas, Sangha Theravada Indonesia telah menyusun banyak program pembinaan. Salah satu program pembinaan yang rutin dilaksanakan beberapa kali dalam setahun adalah latihan menjadi calon bhikkhu (samanera). Latihan ini dilakukan secara serentak di banyak propinsi. Saat ini baru diadakan latihan samanera dengan masa latihan minimal dua minggu dan maksimal tiga bulan. Tampaknya dari tahun ke tahun semakin besar minat para umat Buddha untuk mengikuti program tersebut. Diharapkan pelaksanaan program ini mampu memasyarakatkan sikap hidup sebagai viharawan. Dengan demikian, setelah para peserta latihan kembali ke masyarakat, kiranya mereka akan menjadikan kebhikkhuan sebagai sikap hidup. Sikap hidup seperti bhikkhu inilah yang akan mampu mewujudkan kebahagiaan diri sendiri maupun masyarakat luas.

Agar menjadikan kebhikkhuan sebagai sikap hidup, seseorang perlu mengamati terlebih dahulu kehidupan seorang bhikkhu. Telah disebutkan di atas bahwa para bhikkhu adalah mereka yang telah meninggalkan rumah tangga dengan hidup tidak menikah. Sikap hidup ini apabila dilaksanakan oleh perumah tangga, maka mereka bukan berarti harus tidak menikah maupun meninggalkan pasangan hidupnya. Bukan demikian. Para upasaka dan upasika boleh saja tetap tinggal dalam keluarga bersama dengan pasangan hidup maupun anak-anaknya, namun mereka hendaknya berusaha mengendalikan diri agar tidak terjadi kemelekatan. Mereka berusaha menyadari bahwa segala sesuatu adalah tidak kekal, demikian pula dengan hidup ini. Semua yang dicintai maupun dibenci pada suatu saat pasti akan ditinggalkan. Oleh karena itu, seseorang hendaknya tidak kecewa maupun sedih apabila ia bertemu dengan yang dibenci ataupun berpisah dengan yang dicinta. Ia hendaknya justru berusaha mengisi kehidupan secara maksimal ketika ia masih berkumpul dengan yang dicinta dan belum bertemu dengan yang dibenci. Memiliki sikap hidup demikian, seseorang akan selalu bersemangat untuk mengisi setiap waktu hidupnya dengan kebajikan melalui badan, ucapan dan juga pikiran. Batinnya tetap merasa tenang walau suatu saat pasangan hidup atau anaknya sedang sakit, misalnya. Ketenangan batin ini justru diperlukan agar ia dapat mengambil keputusan penting secara bijaksana di saat keadaan darurat. Apabila tahap ketenangan dalam menghadapi berbagai kesulitan rumah tangga ini dapat dicapai, maka sesungguhnya ia telah dapat menjadikan kebhikkhuan sebagai sikap hidup walaupun ia tetap tinggal dalam keluarga.

Masalah membebaskan diri dari kemelekatan ini masih dapat diperluas. Bahwa para bhikkhu selama hidupnya hanya mengenakan satu set jubah kemanapun ia pergi. Sikap hidup ini dapat pula diteladani oleh seorang perumah tangga. Para upasaka dan upasika hendaknya memiliki pengertian bahwa pakaian sesungguhnya hanya sebagai sarana penutup tubuh agar ia terhindar dari pengaruh perubahan cuaca maupun gangguan serangga. Pakaian yang dikenakan bukanlah untuk menunjukkan kekuasaan ataupun kelebihan seseorang. Sudut pandang terhadap pakaian yang dikenakan sendiri ini hendaknya juga dikembangkan terhadap pakaian yang dikenakan oleh orang lain. Dengan memiliki sikap hidup seperti ini, upasaka dan upasika secara bertahap akan dapat mengurangi bahkan melenyapkan kemelekatan atas pakaian. Mereka telah mampu melihat fungsi dasar pakaian sebagaimana adanya. Mereka telah menjadikan kebhikkhuan sebagai sikap hidup.

Demikian pula ketika memperhatikan rambut para bhikkhu yang selalu dicukur habis. Upasaka dan upasika yang mampu merenungkan ketidakkekalan terhadap rambutnya akan lebih mudah menerima perubahan yang dialami. Batinnya tetap tenang tanpa kemelekatan ketika menyadari bahwa rambut mulai beruban dan rontok seiring bertambahnya usia. Para perumah tangga yang mampu menerima kenyataan ini sebagaimana adanya adalah mereka yang mampu menjadikan kebhikkhuan sebagai sikap hidup walaupun mereka tetap tinggal dalam masyarakat dan keluarga.

Para bhikkhu setiap harinya mempunyai kebiasaan makan sekali atau dua kali sebelum tengah hari. Salah satu tujuan peraturan ini adalah agar para bhikkhu dapat merenungkan bahwa kebutuhan makanan hanyalah sebagai penambah tenaga agar ia dapat melanjutkan perjuangan untuk mengendalikan badan dan batin. Makanan bukan untuk memuaskan diri dengan mengikuti hawa nafsu keinginan. Dengan demikian, apabila seorang perumah tangga mempunyai pola pikir seperti itu terhadap makanan yang disantapnya setiap hari, maka ia sudah dapat dikatakan menjadikan kebhikkhuan sebagai sikap hidup. Ia sudah belajar membedakan antara kebutuhan dan keinginan makan. Ia mampu mengendalikan diri terhadap keinginan makan yang berlebihan. Ia kemudian lebih mudah melaksanakan berbagai latihan kemoralan yang lain, termasuk tidak makan setelah tengah hari seperti yang dilakukan oleh para bhikkhu.

Sedangkan sebagai upaya menjaga kesehatan maupun mengobati penyakit, para bhikkhu menggunakan urine atau air kencing sendiri. Kebiasaan demikian ini dalam masyarakat modern dikenal sebagai ‘therapi urine’. Salah satu tujuan penggunaan urine sebagai sarana kesehatan ini adalah untuk melatih para bhikkhu mempunyai pengertian tentang obat sebagaimana adanya. Bahwa obat hanyalah untuk mempertahankan maupun memperbaiki kondisi tubuh sehingga seseorang mampu melanjutkan tugas dan kewajibannya. Tentu saja, para upasaka dan upasika tidak harus menggunakan urine sebagai obat, namun, ia hendaknya mampu menerima dan menggunakan berbagai sarana kesehatan yang ada dalam masyarakat tanpa harus menyikapi secara berlebihan atas kondisi fisik yang dideritanya. Perilaku sedemikian ini dapat dikatakan bahwa ia telah menjadikan kebhikkhuan sebagai sikap hidup.

Seperti telah disebutkan di atas bahwa dalam melaksanakan kehidupan sehari-hari, para bhikkhu mempunyai paling sedikit 227 aturan kemoralan. Banyaknya aturan yang harus ditaati ini bertujuan agar para bhikkhu lebih mudah menjaga kelayakan dalam bertindak, berbicara maupun berpikir. Pelaksanaan peraturan kebhikkhuan ini menjadi keharusan dan konsekuensi logis ketika seseorang memilih jalan hidup sebagai bhikkhu. Demikian pula apabila para perumah tangga mampu menyadari dan menjalani berbagai kesepakatan maupun aturan yang berlaku dalam masyarakat tempat ia bertinggal, maka sesungguhnya ia juga telah menjadikan kebhikkhuan sebagai sikap hidup.

Tentu saja masih sangat banyak contoh yang dapat diuraikan di sini. Namun kiranya dari berbagai contoh yang telah disebutkan di atas dapatlah ditarik suatu kesimpulan bahwa kebhikkhuan bukan hanya tampak secara fisik yang ditandai dengan pencukuran rambut, penggunaan jubah kebhikkhuan, tidak menikah serta tinggal dalam vihara belaka, namun ternyata, dapat pula dilakukan sebagai sikap hidup oleh mereka yang masih tinggal dalam masyarakat. Pelaksanaan kebhikkhuan sebagai sikap hidup ini ditandai dengan upaya yang bersemangat untuk membebaskan diri dari segala aspek kemelekatan yang biasa dimiliki oleh para perumah tangga. Upaya ini dapat dicapai dengan pemahaman bahwa segala sesuatu dalam hidup ini adalah tidak kekal. Oleh karena itu, seseorang hendaknya selalu bersiap diri untuk menerima kenyataan apabila ia harus berpisah dengan yang dicinta maupun bertemu dengan yang dibenci. Apabila upaya keras ini dilakukan tanpa kenal putus asa, maka tidak tertutup kemungkinan seorang upasaka atau upasika mampu untuk mencapai kesucian. Telah banyak contoh para perumah tangga yang berhasil mencapai kesucian di jaman Sang Buddha seperti Visakha, Raja Bimbisara, Anathapindika serta masih banyak lainnya. Semua kisah indah tentang para upasaka dan upasika yang telah menjadikan kebhikkhuan sebagai sikap hidup ini dapat dibaca dalam buku Riwayat Buddha Gotama.

Dengan demikian, setelah membaca tulisan singkat ini diharapkan lebih banyak umat Buddha menyadari potensi yang ada dalam dirinya sehingga selalu berusaha melaksanakan Buddha Dhamma dalam kehidupan sehari-hari. Ia hendaknya berusaha keras mengatasi berbagai belenggu kemelekatan seperti halnya para bhikkhu melepaskan kemelekatan dengan rela meninggalkan rumah tangga, mencukur habis rambut dan mengenakan jubah kebhikkhuan. Pelaksanaan Dhamma secara sungguh-sungguh inilah yang akan mengkondisikan lebih banyak umat Buddha mencapai kebebasan terakhir dan kebahagiaan tertinggi yaitu Nibbana.

Di satu sisi yang lain, tentu masih sangat diharapkan minat para generasi muda Buddhis di manapun mereka berada untuk terus mengikuti berbagai program latihan samanera atau calon bhikkhu yang diselenggarakan secara rutin oleh Sangha Theravada Indonesia. Dengan pengalaman berlatih menjadi samanera sementara, kiranya akan lebih banyak lagi generasi muda Buddhis yang tertarik dan berniat menjadi bhikkhu generasi penerus Sangha Theravada Indonesia. Dengan demikian, kehidupan para bhikkhu bukan lagi hanya sebagai lambang pembebasan diri dari kemelekatan yang dapat dilaksanakan oleh para perumah tangga saja. Para pemuda Buddhis dapat menjadi bhikkhu sebagai jalan hidup yang sebenarnya. Jalan hidup yang diawali dengan pelepasan keduniawian untuk menjadi contoh dan teladan kebajikan serta pelepasan bagi para umat Buddha lainnya.

Dirgahayu Sangha Theravada Indonesia.
Semoga Sangha Theravada Indonesia semakin maju dan jaya.
Semoga Sangha Theravada Indonesia menjadi wadah para bhikkhu sebagai pelaksana Buddha Dhamma secara total.
Semoga Sangha Theravada Indonesia semakin mampu memberikan manfaat dan kebahagiaan kepada masyarakat luas.
Semoga demikianlah adanya.

 

Panti Semedi “Balerejo”
Akhir masa vassa ke duapuluh
2006

 

 

 

Leave a Reply 0 comments