KEHIDUPAN SANG BUDDHA
203. Mungkin jalan yang terbaik, untuk dapat mengerti, bagaimana tipe manusia yang telah dapat mewujudkan Nibbana, adalah dengan mempelajari, kehidupan dan kepribadian dari Sang Buddha. Kehidupan Sang Buddha tidak hanya menunjukkan bahwa Nibbana adalah suatu yang mungkin (dicapai), tapi juga menunjukkan bagaimana sebenarnya perwujudan itu. Di dalam Tipitaka tidak ditemukan biografi (riwayat hidup, yang ditulis orang lain) aktual dari Sang Buddha, walaupun banyak bahan-bahan autobiografi (riwayat hidup, sesuai penuturan orangnya sendiri) dan informasi berupa suntingan-suntingan biografi tersebar di dalam bagian-bagian kitab ini. Sewaktu Sang Buddha hidup, dan mungkin satu generasi setelah kemangkatan-Nya, suatu biografi tidaklah diperlukan, sebab Sang Buddha masih ada, atau setidaknya sejumlah orang yang pernah mengenal Beliau masih dapat memberi informasi tentang Beliau. Dengan perjalanan waktu, seperti layaknya orang-besar, orang-orang kemudian ingin mengetahui secara lebih rinci setiap aspek kehidupan Sang Buddha, dan Tipitaka ternyata hanya merekam kejadian-kejadian utama dalam kehidupan Beliau. Legenda-legenda kemudian bermunculan untuk menutupi kekurangan itu. Dan waktu itu, suatu biografi telah dibutuhkan. Orang yang pertama kali berusaha mewujudkannya adalah Mahavastu, yang menghasilkan suatu karya yang bercampur-aduk antara kenyataan dan fiksi, sejarah dan legenda. Dalam riwayat-hidup ini Sang Buddha terkadang tampil sebagai manusia, tapi dalam beberapa bagian Beliau dilukiskan semakin menyerupai manusia super. Tulisan riwayat-hidup lain, Lalitavistara berisikan legenda yang dilebih-lebihkan dan bertele-tele sedemikian rupa, sehingga sisi sejarah dari riwayat Beliau telah kabur sama sekali. Kemungkinan tulisan riwayat hidup yang terbaik, Buddhacarita adalah karya pujangga Asvaghosa sekitar abad pertama sesudah Masehi.1 Di dalam karyanya, Asvaghosa sebagai pujangga, akhirnya menghasilkan biografi yang tepat dan dapat diterima. Semua keterangan mengenai Sang Buddha setelah itu didasarkan atas informasi Tipitaka dan bahan-bahan legendaris darinya serta karya-karya yang muncul belakangan. Kita akan melihat informasi tentang kehidupan Sang Buddha sesuai Tipitaka, tanpa mencampur-adukkan dengan laporan legendaris yang muncul belakangan.
204. Suku Sakya adalah suku ksatria yang bertempat tinggal di suatu kerajaan kecil yang dibatasi di sebelah Utara oleh kaki pegunungan Himalaya. Ibu-kotanya Kapilavatthu “kaya, bermasa-depan cerah, terkenal, banyak lelaki, serta dihuni oleh banyak orang”.2 Tampaknya, orang-orang Sakya diperintah raja, yang diangkat bukan berdasar keturunan, tapi dipilih oleh dan diantara sesepuh. Salah satu dari raja itu, Suddhodana, mempunyai dua permaisuri, Maha Maya dan Maha Pajapati Gotami, yang adalah bersaudara. Sewaktu Ratu Maha Maya hamil dan hampir tiba waktunya melahirkan, beliau meninggalkan Kapilavatthu untuk mengunjungi orang-tuanya, untuk melahirkan ditempat mereka, sesuai tradisi di masa itu. Sewaktu ratu dan rombongannya mendekati Taman Lumbini, rasa sakit sebagai tanda kelahiran mulai dirasakan oleh ratu, oleh karenanya mereka memutuskan untuk berhenti di taman itu. Maha Maya diistirahatkan dinaungan pohon sal dan dengan dikelilingi oleh para dayang-dayang, beliau melahirkan seorang anak laki-laki. Saat itu adalah bulan purnama dibulan Mei (Vesaka) di tahun 563 sebelum Masehi.
205. Pada saat itu, ditempat lain, seorang pertapa bernama Asita, terhentak karena menyadai bahwa semua makhluk di surga serentak bersorak gembira, dia lalu menanyakan alasan kegembiraan mereka itu, mereka menjawab:
Disuatu desa bernama Lumbini di wilayah suku Sakya, seorang Bodhisattva telah dilahirkan, suatu permata tanpa bandingan. Inilah yang menyebabkan kami begitu gembira, begitu senang, bersorak-riang.
Dia adalah yang terbesar diantara makhluk, terpuncak, pemimpin diantara manusia, yang tertinggi. Raja para makhluk, terkuat, mengaum seperti singa, akan memutar roda Dhamma di Isipatana.3
Lalu, Asita bergegas meninggalkan tempatnya untuk menemui anak yang khusus ini. Sementara itu, ratu dan rombongannya telah meninggalkan Taman Lumbini, pulang kembali ke Kapilavatthu. Dikarenakan bayi yang baru lahir ini adalah laki-laki, Suddhodana dan seluruh isi istana bergembira merayakannya, dan sementara perayaan berlangsung, pertapa Asita tiba dan bermohon agar dapat melihat pangeran yang masih bayi itu.
Jadi mereka memperlihatkan anak itu pada Asita. Dia begitu bersinar, berkilauan dan cantik. Melihat anak itu, bagaikan melihat mas yang masih panas diambil dari tungku oleh pandai-mas.
Begitu melihat anak itu, berkilat bagaikan api, bercahaya bagaikan bintang yang melintasi langit di malam hari, bersinar bagaikan matahari dilangit yang cerah, sang pendeta merasakan kegembiraan dan kebahagiaan.4
Kekuatan meditasi Asita yang telah dilatihnya bertahun-tahun dan juga kehidupannya yang suci, memungkinkan dia memiliki kekuatan yang dapat menerawangi bahwa Sang Pangeran tidaklah seperti anak biasa pada umumnya, dan bahwa di kemudian hari akan mencapai Pencerahan dan mempermaklumkan ajaran baru demi kebaikan semua orang. Tetapi setelah dia menyadari bahwa dia telah akan mati sebelum peristiwa itu terjadi dan karenanya dia tidak akan dapat mendengarkan ajaran baru itu, dia mulai meratap sedih. Suddhodana menyaksikan semua ini dengan cemas, karena berpikir bahwa mungkin Asita telah melihat tanda tidak baik pada diri sang pangeran di hari depannya; Asita kemudian menjelaskan pada raja, hal yang menyebabkan dia menangis, dan kembali menenangkan raja.
Melihat orang-orang Sakya bersusah-hati, pendeta kemudian berkata: “Saya tidak melihat nasib sial pada diri pangeran. Ataupun halangan yang akan merintanginya. Sebab dirinya adalah bayi yang amat istimewa. Oleh karenanya janganlah kwatir.
“Pangeran ini akan mencapai Pencerahan Sempurna dan dengan penglihatan agung dia akan memutar roda Dhamma demi welas-asih pada semua makhluk. Dia akan mengajarkan kehidupan suci secara menyeluruh.
“Tapi tinggal sedikit usia kehidupan saya. Saya akan mati sebelum kejadian itu terjadi dan tidak akan mendengarkan Dhamma. Inilah yang menyebabkan saya demikian sedih dan tidak berbahagia.5
206. Segera setelah itu, upacara pemberian nama dilaksanakan, sang pangeran diberi nama Siddhattha, yang berarti ‘dia yang mencapai cita-citanya’. Nama keluarganya adalah Gotama, dengan demikian nama lengkapnya adalah Siddhattha Gotama. Tujuh hari setelah kelahirannya ibu pangeran meninggal dunia, dan selanjutnya beliau dirawat dan dibesarkan oleh bibinya, Pajapati Gotami.
207. Sebagai anak raja, Pangeran Siddhattha terlatih baik dalam latihan keperkasaan, pula dalam hal tradisi dan kesusasteraan suku Sakya. Dia dikawinkan pada usia muda pada seorang gadis bangsawan bernama Yasodhara6, dan hidup dalam kemewahan dan keagungan.
Saya dibesarkan dengan kelembutan, sangat lembut dibesarkan, teramat lembut dibesarkan. Kolam dengan teratai biru, putih dan merah, dibuat di rumah ayahku semata-mata untukku. Saya tidak menggunakan kayu cendana selain yang didatangkan dari Benares, turban, serban, jubah, pakaian bawah dan jubah-luar semuanya buatan Benares. Payung putih senantiasa menaungiku siang dan malam, sehingga tidak ada dingin atau panas, debu, kotoran atau embun yang akan mengotoriku. Saya memiliki tiga istana – satu untuk musim dingin, satu untuk musim panas, dan satu untuk musim hujan. Di dalam istana untuk musim hujan, saya dihibur oleh para pemusik wanita, dan selama empat bulan di musim hujan itu, saya tidak pernah meninggalkan istana. Dirumah-rumah orang lain, hanya serpihan nasi dan sup miju-miju yang diberikan pada para pelayan, tapi dirumah ayahku, para pelayan memakan nasi putih yang baik dan daging.7
Namun, walaupun memperoleh semua kekayaan dan kekuasaan yang dapat dibelinya, Pangeran Siddhattha tidaklah berbahagia. Secara berangsur Beliau menyadari bahwa kebahagiaan sebenarnya datang dari kepuasan batin, bukan dari pemilikan dan penghormatan semata, oleh karenanya dari hari ke bari Beliau tambah tidak tertarik lagi pada kesenangan duniawi yang disediakan untuknya. Suatu hari, sewaktu perayaan panen, ketika ayahanda-Nya menanam benih pertama pada upacara tersebut, Pangeran Siddhattha merasa masuk ke dalam keadaan meditasi yang dalam dan damai. Sejak saat itu, Beliau tambah tertarik pada kehidupan rohaniah dibanding kehidupan jasmaniah. Menurut legenda, suatu hari ketika mengendarai kereta-Nya melewati jalan-jalan di Kapilavatthu, Beliau melihat apa yang kemudian disebut sebagai Empat Penglihatan: orang-tua disanggah oleh tongkatnya, pengemis berpenyakit, mayat yang diusung menuju perabuan, dan seorang pertapa pengembara. Bagi Pangeran Siddhattha, tiga pemandangan yang pertama melambangkan penderitaan manusia, sedang pemandangan ke empat melambangkan usaha untuk mengatasi penderitaan-penderitaan itu. Dia melukiskan pengalamannya sebagai berikut:
Sekarang, sebelum Pencerahan, ketika saya masih seorang bodhisatta, belum tercerahi, masih akan mengalami kelahiran, umur-tua, penyakit, kematian, penyesalan dan ketidakmurnian, saya masih mencari hal-hal yang menyebabkan kelahiran, umur-tua, penyakit, kematian, penyesalan dan ketidakmurnian. Lalu, saya berpikir: “Kenapa saya lakukan ini? Menjadikan diri saya mengalami kelahiran, umur-tua, penyakit, kematian, penyesalan dan ketidakmurnian dan melihat kesulitan-kesulitan didalamnya, mengapa saya tidak mencari hal yang menyebabkan tidak terlahir, keamanan sempurna yang tak tertandingi – Nibbana?8
Pada usia ke dua puluh sembilan, Pangeran Siddhattha memutuskan untuk meninggalkan kehidupan duniawi dan menjadi pertapa. Isterinya Yasodhara baru saja melahirkan seorang putra, yang kemudian diberi nama Rahula; kelahiran putranya dan ketidaksetujuan ayahandanya, menyebabkan keputusan yang diambil itu adalah sesuatu yang teramat sulit dan menyakitkan. Tapi dia teguh dalam tekadnya:
Lalu, setelah melewati masa muda, dengan rambut hitam pekat, masa keceriaan pemuda, masa terbaik dalam hidup, dan walau diratapi dan ditangisi oleh orang-tuaku yang tak merelakanku, saya memotong rambut dan janggutku, mengenakan jubah kuning dan pergi jauh dari rumah menjadi tak-berumah.9
208. 20Beliau mengembara dari wilayah orang Sakya menuju kerajaan Magadha untuk mencari guru. Di India, pada masa itu, sangat banyak guru dan filsuf pengembara, semuanya mengemukakan teori yang berbeda dan berusaha menarik murid-murid diantara para pertapa maupun para perumahtangga. Pangeran Siddhattha memutuskan untuk belajar pada Alara Kalama, salah satu guru yang terkenal pada saat itu. Dia berkata:
Setelah pergi lebih jauh, menjadi pencari kebaikan, mencari jalan kedamaian yang tak terbandingkan, tak tertandingi, Saya mendekati Alara Kalama dan berkata: “Saya ingin kehidupan suci didalam ajaran dan asuhanmu.” Alara Kalama berkata pada saya: “Bila demikian, marilah, tuan, ajaran ini menjadikan orang pandai dengan segera, dengan bantuan guru, wujudkanlah, berdiamlah didalamnya.” Tidak lama kemudian, saya telah dapat menguasai ajarannya. Saya permaklumkan, sepanjang hanya menyangkut pengulangan dan penghafalan, saya dapat berbicara dengan pengetahuan dan kepastian. Saya tahu dan mengerti, dan tidak hanya saya.
Lalu saya berpikir: “Tidak berdasar keyakinan saja Alara Kalama mengajarkan ajaran, tapi karena dia mewujudkannya lewat pengetahuan langsung, dia mengetahui dan mengerti secara pasti.” Lalu, saya menemui Alara Kalama dan berkata padanya: “Bagaimana engkau dapat mengetahui dan mewujudkannya lewat pengetahuan langsung sendiri?” Lalu dia mengajarkan saya tentang masalah kekosongan. Lalu, saya berpikir: “Bukan Alara Kalama saja yang mempunyai keyakinan, tenaga, kemawasan, konsentrasi-pikiran dan pengertian; saya juga memilikinya. Bagaimana kalau saya berlatih mengendalikan dan mewujudkan ajaran yang telah diwujudkan lewat pengetahuan langsung?” Tak lama setelah saya melakukan ini, dan berhasil mewujudkannya saya memberitahu Alara Kalama, dan dia berkata: “Suatu keberuntungan, yang mulia, benar-benar suatu keberuntungan bahwa kami mempunyai sahabat seiring dalam kehidupan suci ini. Ajaran yang telah saya wujudkan lewat pengetahuan langsung, juga telah kau miliki. Apa yang saya tahu, engkau juga tahu; seperti saya, demikian pula engkau. Marilah, tuan yang mulia, mari kta pimpin bersama kelopok kita ini.” Kemudian Alara Kalama, guruku menempatkan saya, muridnya, pada derajat yang sama dengannya dan menganugerahi saya kehormatan tertinggi.10
209. Tetapi Pangeran Siddhattha tidak berkeinginan menjadi guru, pemimpin dalam kelompok ini; beliau ingin mencapai kebebasan batin sempurna. Dengan penuh rasa terima kasih pada Alara Kalama, namun karena yakin bahwa Alara Kalama tidak dapat mengajarnya lebih jauh, Pangeran lalu berpamit-diri untuk mencari guru lain lagi. Dia menemui Uddaka Ramaputta, seorang guru termahsyur lainnya kala itu, dan mulai belajar dibawah bimbingannya. Uddaka Ramaputta mengajarnya cara pencapaian tingkat meditasi yang disebutnya ‘Tingkat yang Bukan-Pencerapan, bukan pula Bukan-Pencerapan’, tapi juga Uddaka Ramaputta tidak dapat mengajarnya sesuatu yang lebih tinggi, beliau pun meninggalkannya lagi. Sesudah itu, beliau memutuskan untuk mencoba metoda ‘pemusnahan diri’ demi menghapus seluruh nafsu dan memurnikan batin. Pertama Beliau mencoba sekuat mungkin untuk menghentikan batin.
Lalu, saya berpikir: “Dengan mengatupkan gigi dan menekan lidah kelangit-langit, mengapa saya tidak dapat menundukkan, menahan dan mengendalikan batin saya?” Saya lalu melakukannya, begitu melakukannya, keringat bercucuran dari bawah bahuku bagaikan seorang kuat memukul seorang yang lebih lemah pada kepala dan bahunya serta menundukkan, menahan dan mengendalikannya.11
Berikutnya, beliau mencoba cara meditasi menahan napas:
Lalu saya berpikir: “Mengapa saya tidak mencoba cara meditasi penghentian-napas?” Jadi, saya mencoba berhenti napas, melalui hidung maupun mulut, begitu saya lakukan, timbul suara yang keras mendengung, bagaikan desis puputan pandai besi melewati telingaku.12
Berikutnya, beliau mencoba menundukkan badan dengan mengurangi makan.
Lalu saya berpikir: “Mengapa tidak saya ambil makananku, kacang-kacangan, biji-bijian, kacang-kecil atau sop-kacang, sedikit demi sedikit, secuil demi secuil?” Saya lalu melakukannya, begitu saya lakukan, badanku menjadi kurus kering. Karena saya makan sangat sedikit, anggota tubuhku seperti buku-buku tumbuhan menjalar; karena saya makan sangat sedikit, bokongku seperti kuku lembu; karena saya makan sangat sedikit, tulang belakangku menonjol seperti deretan bola; karena saya makan sangat sedikit, tulang rusukku yang cekung seperti kasau gubuk yang rubuh; karena saya makan sangat sedikit, mataku terbenam kedalam lobangnya; karena saya makan begitu sedikit, dahi di kulit kepalaku menjadi mengisut dan berkerut, bagaikan labu putih pahit yang dipotong sebelum matang mengisut dan berkerut karena udara panas. Bila saya berpikir: “Saya akan menyentuh perutku,” saya raih pula tulang-punggungku, dan bila saya pikir: “saya akan menyentuh tulang-punggungku,” saya raih pula perutku. Karena demikian kurus, sehingga perutku hampir berdempetan dengan punggungku. Bila saya pikir: “Saya akan ke peturasan,” saya terjatuh di wajahku, sebab saya makan sangat sedikit. Bila saya mengusap anggota tubuhku untuk menyejukkannya, rambut-rambut tercabut dari akarnya, terlepas, karena saya makan sangat sedikit.13
Selama masa itu, Pangeran Siddhattha ditemani lima pertapa lain yang terkesan pada kekerasan-hatinya, mereka berlima yakin cepat atau lambat, rekan mereka ini akan mencapai tingkat spiritual yang mulia. Enam tahun kemudian berlalu sejak mulai bertapa, beberapa tahun diantaranya dilewati dengan cara tapa penyiksaan-diri, namun Sang Pangeran belum juga mendapatkan Pencerahan-Sempurna. Beliau mulai ragu bahwa cara-cara yang dilakukanya akan dapat mengantarnya ke Pencerahan, dia lalu mengenang kedamaian yang dialaminya semasa muda dulu, dan memutuskan untuk mencoba seakan merasakannya kembali.
Lalu saya berpikir: “Beberapa pertapa dan Brahmin pada masa lalu mengalami, beberapa di masa mendatang mungkin akan mengalami, atau beberapa pada saat ini sedang mengalami, perasaan-perasaan yang demikian menyakitkan, tajam dan keras, tapi tidak lebih atau menyamai seperti yang saya rasakan ini. Namun, tetap saya belum mencapai tingkat manusia yang lebih tinggi, pengetahuan dan penglihatan sempurna yang dialami oleh Para Mulia sebagai hasil kesungguhannya. Apakah ada jalan lain untuk mencapai Pencerahan?” Saya lalu berpikir: “Saya ingat sewaktu ayahanda orang Sakya membajak, dan saya duduk di bawah naungan pohon, terbebas dari kesenangan indriawi dan batin yang tidak terlatih, saya memasuki dan berdiam di Jhana Pertama, yang masih ditandai oleh pikiran dan khayalan, dan diisi oleh kegembiraan dan kebahagiaan yang muncul dari keterlepasan,” dan saya berpikir: “Apakah ini jalan ke kebangkitan?” Dan sebagai hasil perenungan itu, saya menyadari bahwa sebenarnya inilah jalan ke kebangkitan.14
210. Walau demikian, beliau maklum, bahwa dia seharusnya beristirahat dan memulihkan kekuatan badannya terlebih dahulu sebelum mulai bermeditasi lagi. Begitu dia mulai makan secukupnya, lima rekan pertapanya menuduhnya, bahwa dia telah melemahkan tekadnya, mereka lalu meninggalkannya.
Lalu saya berpikir: ‘Adalah tidak mudah untuk mencapai kebahagiaan itu, bila badan demikian kurus tersiksa. Bagaimana kalau saya mulai makan – nasi dan susu asam?’ Jadi saya mulai makan. Sewaktu, lima pertapa dulu menemui saya, berpikir: “Apabila pertapa Gotama mewujudkan sesuatu, dia akan mengajarkan kita pula.” Tapi, sewaktu saya mulai makan, pertapa-pertapa itu memalingkan muka seakan jijik, seraya berkata: “Pertapa Gotama telah hidup dalam kemewahan, dia telah goyah dalam usahanya, dia telah kembali ke kehidupan mewah.”15
Sekarang Pangeran Siddhattha seorang diri, beliau lalu melewati beberapa waktu untuk memulihkan tenaga dari penyiksaan-diri sebelumnya, lalu mencari tempat yang cocok untuk mulai lagi bermeditasi. Akhirnya, dia tiba di sebuah desa kecil di Uruvela, yang sekarang disebut Bodh Gaya.
Lalu, untuk mencari kebajikan, mencari kedamaian yang tak tertandingi dan terbandingi, sewaktu dalam perjalanan melewati Magadha, saya tiba di Uruvela, kota para ksatria. Disana saya lihat sebidang tanah yang indah, lekukan tanah ditumbuhi pepohonan yang indah, sungai yang mengalir bening dapat diarungi dan sebuah desa didekatnya yang dapat menunjang. Saya berpikir: “Sebenarnya, inilah tempat yang indah. Sebenarnya, inilah tempat yang tepat untuk seorang muda mulai berjuang.” Oleh karenanya saya duduk disitu, berpikir: “Sebenarnya, inilah tempat yang tepat untuk berjuang.”16
Dibawah naungan pohon, Pangeran Siddhattha memulai meditasinya, mencoba untuk mengalami kembali jhana yang pernah dialaminya sewaktu muda. Tahun-tahun yang dilewati sebelumnya memungkinkan dia memiliki pengendalian mental yang kuat. Dia mencapai jhana pertama, ke dua, ke tiga dan ke empat, batinnya bertambah murni dan bercahaya setiap tingkat. Lalu, dengan batin yang “murni, jernih, tak-tercemar, sangat-bersih, dapat-ditempa, dapat-bekerja, mapan dan mantap,”17 Tiga kesadaran atau pengertian tiba-tiba muncul padanya. Tiga pengetahuan (tevijja) itu adalah: pengetahuan tentang kehidupan sebelumnya (pubbe nivasanussati ñana), yang dengannya Beliau dapat mengingat dengan rapih semua kehidupan sebelumnya dan membuktikan kebenaran kelahiran-kembali, pengetahuan tentang muncul dan matinya semua makhluk hidup (yatha kammupaga ñana), yang dengannya Beliau menyadari tata-kerja hukum Kamma, dan yang terpenting, pengetahuan tentang penghancuran kotoran batin (asava-kkhaya ñana).
Ketika Saya mengetahuinya semua, ketika Saya melihatnya, batin Saya terbebas dari kotoran-batin, dari kesenangan-indriawi, dari pembentukan-kembali dan dari ketidak-tahuan. Saya terbebas dan Saya tahu Saya bebas. Dan Saya tahu bahwa kelahiran-kembali telah berakhir, kehidupan suci telah hidup, Saya telah mencapai apa yang seharusnya dicapai, dan bahwa bagi Saya tidak ada lagi kedatangan-kembali.18
Dengan demikian, Pangeran Siddhattha menjadi Buddha, Manusia Yang-telah-sadar sepenuhnya.
211. Setelah melalui banyak pertimbangan, Beliau memutuskan untuk mengajarkan Dhamma yang telah diwujudkan-Nya, Sang Buddha lalu mulai memikirkan untuk menemui kedua guru-Nya yang pertama, Alara Kalama dan Uddaka Ramaputta, tapi setelah menyadari bahwa keduanya telah mati, Beliau kemudian memutuskan untuk mengajar ke lima pertapa pengikut-Nya yang telah meninggalkan-Nya. Karena mengetahui, bahwa mereka berlima tinggal di taman yang disebut Isipatana, dekat kota Benares, Beliau pun memulai perjalanan-Nya ke sana. Dalam perjalanan Beliau bertemu dengan seorang pertapa pengembara.
Lalu pertapa telanjang bernama Upaka melihat Saya datang dari jalan antara Gaya dan tempat Pencerahan-Ku, dia berkata: “Tuan Yang Mulia, indra-Mu murni dan wajah-Mu bersinar dan bercahaya. Pada siapa Engkau belajar? Siapa guru-Mu? Dhamma siapa yang Engkau ikuti? Saya pun menjawab:
Pemenang dari segalanya, mengetahui segalanya,
Tak ternoda dari segalanya, melepaskan segalanya,
Dan dengan meleburkan keserakahan, Saya terbebas.
Dengan melakukannya sendiri, siapa yang menunjukkan?Saya tidak punya guru,
Sebab tiada suatu di dunia ini, dewa sekali pun yang menyamai-Ku.Saya sempurna, Guru tertinggi di dunia ini.
Saya sendiri mencapai Pencerahan.
Nafsu telah kupadamkan, Saya telah mencapai Nibbana.Sekarang Saya akan ke Benares untuk memutar Roda Dhamma,
Menabuh genderang keabadian. Di dunia yang telah menjadi buta.Dan Upaka menjawab: “Menurut apa yang Engkau katakan, Engkau pastilah Pemenang alam-semesta.
Pemenang sejati adalah mereka yang telah menghancurkan kekotoran-batin,
Olehnya, Saya adalah Pemenang.Ketika Saya katakan demikian, Upaka berkata: “Mungkin, demikian,” sambil menggoyangkan kepalanya, dia pun berlalu mengambil jalan lain.19
Kejadian di atas adalah sangat penting sebab melambangkan sikap Sang Buddha pada mereka yang diajar-Nya selama empat puluh tahun yang berikut. Sang Buddha tidak mengejar Upaka untuk mencoba meyakinkannya pada kebenaran Pencerahan-Nya, juga tidak melaknat atau mengutuk dia karena menolaknya. Pada kejadian ini dan dimanapun, Sang Buddha senantiasa berbicara mengenai kebenaran-Nya secara datar dan tenang, selanjutnya terserah pada Upaka (dan kita) untuk mempertimbangkannya.
212. Setelah pertemuan-Nya dengan Upaka, Sang Buddha meneruskan perjalanan-Nya ke Benares. Pada akhirnya, Dia berhasil menemui lima pertapa pengikut-Nya di Isipatana, kira-kira delapan mil dari Benares. Isipatana juga disebut Taman Kijang (Migadaya) sebab tempat itu dihuni oleh banyak hewan liar, terutama kijang.
Lima pertapa melihat Saya datang dari kejauhan, dan mereka sepakat, berkata: “Pertapa Gotama datang. Dia sudah hidup dalam kemewahan, Dia tidak kokoh lagi dalam usaha-Nya, Dia telah kembali pada kehidupan duniawi. Dia tidak pantas diberi salam, kita tidak usah berdiri, tidak usah mengambilkan mangkuk dan jubah-Nya. Namun, biarkan Dia duduk, bila Dia mau duduk.” Tapi begitu Saya mendekat, mereka tidak lagi melaksanakan kesepakatan-nya. Ada yang mengambilkan mangkuk dan jubah-Ku, ada yang menyiapkan tempat duduk, ada yang mengambilkan air untuk mencuci kaki-Ku, dan mereka semua menyapa-Ku sebagai “yang terhormat”. Lalu, saya berkata pada ke limanya: “Jangan menyapa Tathagatha sebagai “yang terhormat”, sebab Tathagatha adalah “Yang Mulia” (Arahat), yang Tercerahi. Dengarkanlah, keabadian telah ditemukan, dan Saya akan menuntun, Saya akan mengajar Dhamma.”20
Tapi kelima pertapa tidak mempercayai bahwa sahabat lama mereka benar-benar telah mencapai Pencerahan. Mereka berkata kepada-Nya:
Tapi, Gotama yang baik, Engkau tidak mencapai keadaan Yang Mulia atau pun pengetahuan dan penglihatan yang lebih tinggi dari pada manusia biasa, yang dicapai melalui latihan dan tata-tertib yang teguh. Bagaimana Engkau dapat mencapainya dengan hidup mewah, tidak teguh dalam usaha dan kembali dalam kemewahan?21
213. Tiga kali Sang Buddha memberitahu mereka bahwa Beliau benar-benar Tercerahi dan bahwa Beliau tidak hidup dalam kemewahan dan berfoya-foya, akhirnya Beliau berkata pada mereka: “Apakah engkau merasa Saya pernah berkata seperti ini sebelumnya pada engkau?” Ternyata mereka berlima mengakui, bahwa Beliau tak pernah berkata seperti itu, dan menyadari bahwa Beliau berkata yang sebenarnya, mereka lalu duduk mendengarkan-Nya. Sang Buddha, lalu mempermaklumkan Dhamma pada dunia untuk pertama kalinya. Khotbah-Nya yang pertama, yang menggarisbawahi Empat Kebenaran Mulia dan konsep Jalan Tengah kemudian dikenal sebagai “Khotbah Pemutaran Roda Dhamma” (Dhammacakkapavattana Sutta)22. Sebutan ini didasarkan pada pemahaman bahwa Dhamma menyerupai roda besar, yang sekali berputar, akan berputar terus tanpa rintangan di seluruh penjuru dunia. Berselang kemudian Sang Buddha menyampaikan khotbah yang ke dua yang disebut “Khotbah Ketiadadirian” (Anattalakkhana Sutta),23 setelah mendengarkan khotbah itu, lima pertapa – Kondañña, Vappa, Bhaddiya, Mahanama dan Assaji mencapai pencerahan. Sang Buddha kemudian menganjurkan agar mereka berangkat ke dunia luar, mengajarkan Dhamma supaya seluruh dunia mendapat kesempatan mengalami kebebasan dan kebahagiaan Nibbana.
Pergi jauhlah, demi kebaikan orang banyak, demi kebahagiaan orang banyak, demi welas-asih bagi dunia, demi kesejahteraan, demi kebajikan dan kebahagiaan dewa dan manusia. Janganlah dua darimu mengambil jurusan yang sama. Ajarkanlah Dhama yang indah pada awalnya, pada pertengahannya dan pada akhirnya. Permaklumkan isi dan semangat kehidupan suci nan murni sempurna dan lengkap terisi.24
214. Selama kurun-waktu empat puluh tahun kemudian, Sang Buddha mengembara disebelah utara India menyampaikan Dhamma kepada yang ingin mendengarkannya. Biasanya didampingi oleh dua siswa utamanya, Sariputta dan Moggallana, dan dalam dua puluh tahun terakhir dalam kehidupan-Nya oleh Ananda, sahabat yang selalu setia mendampingi-Nya. Sejak masa-masa awal Beliau mengajar, orang-orang senantiasa berkerumun mendengar-Nya, diakhir hidup-Nya Beliau mempunyai ratusan ribu orang murid-murid, terdiri atas bhikkhu, bhikkhuni dan perumahtangga biasa. Apa yang diajarkan dan diperbuat Beliau selama empat puluh tahun tidak mungkin dirangkum dalam satu bab, satu buku atau satu perpustakaan sekalipun; karena demikian penuh dan istimewanya. Selanjutnya, kita akan melangkah hanya membahas riwayat Beliau pada beberapa bulan terakhir kehidupan-Nya.
215. Pada usia ke delapan puluh, Beliau meninggalkan Rajagaha yang kemudian ternyata menjadi perjalanan terakhir-Nya. Beliau melewati desa-desa dan kota-kota yang masih ada sampai saat ini – Nalanda, Pataligama (sekarang disebut Patna), Vesali dan lainnya. Namun, Beliau sudah demikian lemah dan renta, setelah mengembara di India Utara selama empat puluh tahun lamanya. Pada tahap kehidupan-Nya ini, Beliau melukiskan diri-Nya sebagai berikut:
Saya sekarang tua, sudah letih, dimuliakan, seorang yang telah menjalani Jalan, Saya telah mencapai akhir hidup-Ku, pada usia ke delapan puluh ini. Seperti pedati tua yang hanya dapat berjalan dengan mengikatkan tali disetiap bagiannya, demikian pula tubuh Tathagata hanya dapat berjalan dengan pembalut.25
Beliau tiba di Vesali, ketika musim hujan tiba, dan oleh karenanya Beliau memutuskan untuk melewati musim hujan di sebuah desa di dekatnya yang bernama Beluva.
Selama musim hujan, Yang Mulia diserang penyakit yang berat dan menusuk, menyebabkan kesakitan. Tetapi Beliau bertahan dengan penuh kesadaran, mawas sempurna dan tidak mengeluh.26
Setelah musim hujan, bersama rombongan bhikkhu yang sangat besar jumlahnya mereka meneruskan perjalanan ke arah timur-utara, tampaknya menuju Kapilatthu. Namun karena Sang Buddha demikian tua dan sakit, rombongan sering-sering berhenti dan beristirahat. Ketika rombongan tiba di Pava, mereka menginap di hutan mangga milik Cunda, tukang besi. Oleh Cunda Beliau diundang makan, dan disajikan sukaramaddava, namun setelah menyantapnya “Beliau diserang penyakit luar biasa, murus bercampur darah disertai rasa sakit yang keras dan menusuk, tetapi Beliau tetap bertahan dengan kesadaran penuh, mawas sempurna, tanpa keluhan.”27
216. Semua ini terjadi sehari sebelum Beliau mangkat, sering orang berpendapat bahwa kemangkatan Beliau disebabkan memakan makanan yang tidak baik dan beracun. Sebenarnya ini tidak benar. Seperti disebutkan di depan Sang Buddha telah berusia delapan puluh tahun dan telah berkali-kali jatuh sakit. Beliau mati wajar karena usia tua. Salah pengertian lain adalah menyangkut makanan terakhir itu. Sukaramaddava berasal dari dua akar kata, ‘sukara’ (babi) dan ‘maddava’ (lunak, lembut, lemas) yang mungkin adalah makanan yang terdiri dari daging babi atau makanan yang disukai babi – kemungkinan semacam cendawan/jamur. Umat Buddha yang menganjurkan vegetarisme berpendapat bahwa itu adalah sejenis makanan vegetaris. Mereka yang salah duga karena mengira Sang Buddha adalah vegetarian dan mereka yang kwatir pada tersebarnya hal yang menurut mereka adalah kemunafikan, karena berpikir bahwa makanan terakhir Sang Buddha adalah suatu yang memalukan bagi kaum Buddhis, menafsirkan bahwa istilah sukaramaddava bukanlah daging babi sebagai usaha menutup kebenaran. Dua kelompok ini tidak memahami bahwa dalam Tipitaka banyak rekaman kejadian, malah sekali waktu Beliau menolak untuk menjadikan vegetarisme sebagai kewajiban diantara murid-murid-Nya (lihat 92). Kebenaran yang sebenarnya sederhana dalam hal ini adalah bahwa tidak seorang pun mengetahui pasti, makna sukaramaddava itu.
217. Walau demikian, Sang Buddha menyadari bahwa Cunda mungkin merasa bersalah karena menganggap dirinya bertanggung jawab pada kematian-Nya. Lalu, dengan welas-asih, Beliau meyakinkan Cunda lewat murid-Nya.
Ananda, ada kemungkinan Cunda, tukang besi itu merasa menyesal berpikir: “Ini adalah kesalahanmu, Cunda, ini perbuatan salah, yang menyebabkan Sang Buddha memasuki Nibbana-akhir, setelah memakan sajianmu.” Tapi hendaknya engkau menawarkan penyesalannya, katakan: “Ini adalah suatu jasa, Cunda, ini adalah hasil perbuatan baikmu bahwa Sang Buddha memasuki Nibbana-akhir, setelah menyantap santapan terakhir darimu. Sepanjang yang saya dengar dan ketahui dari bibir Yang Mulia sendiri, adalah bahwa ada dua kali pemberian makan yang paling berbuah kebajikan, tidak ada makanan-pemberian yang lebih berbuah dari keduanya ini. Apa yang dua itu? Makanan-pemberian sebelum Tathagata mencapai Pencerahan-sempurna, dan makanan pemberian sebelum Beliau mencapai Nibbana-akhir. Dua makanan-pemberian inilah yang paling berbuah dan paling baik dari yang lainnya. Kebajikan Cunda akan berbuah berupa umur-panjang, kecantikan, kebahagiaan, kemahsyuran, surga dan kekuatan.” Dengan cara ini, penyesalan Cunda hendaknya dihapuskan.28
Kejadian menarik lain yang terjadi sebelum Nibbana-akhir adalah perubahan wajah Sang Buddha. Setelah Beliau mengajar Dhamma pada seorang yang bernama Pukkusa, yang kemudian memutuskan berlindung pada Tiga Perlindungan. Lalu sebagai ungkapan terima kasih, Pukkusa ingin memberi persembahan pada Sang Buddha.
Lalu Pukkusa berseru pada orangnya: “Pergi dan ambilkan saya dua jubah yang dibuat dari benang keemasan terbaik, terpoles dan siap dikenakan.” Baik, tuan, kata orang tersebut, dan dia melakukannya. Lalu Pukkusa menawarkan jubah itu pada Yang Mulia, seraya berkata: “Ini, Yang Mulia, dua jubah yang terbuat dari benang emas terbaik. Semoga Yang Mulia berkenan menerimanya.”
“Baik, Pukkusa, Saya terima dan yang satunya persembahkanlah pada Ananda.”
“Baik, Yang Mulia,” kata Pukkusa, dia pun melakukannya. Lalu Sang Buddha mewejangkan, menggugah dan membahagiakan Pukkusa dengan Dhamma, kemudian Pukkusa bangkit dari tempat duduknya, menghormat Sang Buddha, berjalan disamping kanan, berjalan meninggalkan tempatnya. Segera setelah, Ananda mengenakan jubah tersebut pada Sang Buddha, jubah malah tampak kusam dibanding kulit tubuh Sang Buddha. Ananda berkata: “Sangat menakjubkan, benar-benar mengagumkan, betapa bersih dan bersinar kulit Yang Mulia! Tampak lebih bersinar daripada jubah keemasan yang dikenakan-Nya.” “Memang demikian, Ananda. Ada dua peristiwa, dimana kulit Sang Tathagata akan tampak bersih dan bersinar secara khusus. Apa dua peristiwa itu? Pada malam Dia mencapai Pencerahan Sempurna, dan pada malam Dia mencapai Nibbana Sempurna.29
218. Segera setelah itu, rombongan Sang Buddha tiba di Kusinara, dimana mereka berhenti di suatu hutan kecil yang ditumbuhi pohon sal.
Di situ Yang Mulia berkata pada Ananda: “Sediakan pembaringan untuk-Ku diantara dua pohon sal ini. Dengan kepala menghadap ke Utara. Saya capai dan berharap dapat berbaring.30
Telah semakin jelas, bahwa Sang Buddha tidak dapat pergi lebih jauh lagi, dan telah dekat pada kematian. Ketika suku Malla dari Kusinara mendengar berita ini, mereka datang berkelompok ke hutan sal tersebut untuk menyampaikan hormat. Pada saat yang sama, seorang pertapa pengembara bernama Subhadda, yang sementara berada di Kusinara, mendengar bahwa Sang Buddha akan mangkat, diapun memutuskan untuk mengunjungi-Nya untuk bertanya beberapa pertanyaan yang dianggapnya penting. Ketika dia tiba di hutan sal tersebut, walau sulit mendekat karena kerumunan orang, dia akhirnya berhasil juga, namun disapa oleh Ananda dengan berkata: “Cukup, kawan Subhadda, jangan ganggu Tathagata, sebab Beliau sangat capai.” Tapi ketika Sang Buddha mendengar ini, Beliau berkata:
Cukup Ananda, jangan menghalangi Subhadda, biarkan dia mendekati Tathagata. Sebab apapun yang dia akan tanyakan, dia lakukan itu dengan tulus demi mencari pengetahuan, bukan untuk mengganggu Saya, dan jawaban Saya padanya akan cepat dia pahami.31
Walau telah berada di ranjang kematian, Sang Buddha tetap mengajarkan Dhamma pada Subhadda, Subhadda pun mencapai Pencerahan. Dengan demikian Subhadda adalah murid Sang Buddha yang terakhir.
219. Tidak lama setelah itu, Sang Buddha mengucapkan kata-kata terakhir-Nya pada siswa-siswa-Nya.
Sekarang, para bhikkhu, Saya katakan pada engkau sekalian: Semua yang berprasyarat tidaklah kekal-berusahalah dengan sungguh-sungguh.
(Vayadhamma sankhara. Appamadena sampadetha).32
Setelah Sang Buddha mangkat, para murid yang belum menanggulangi nafsunya meratap dan mencabut rambutnya, memukul-mukulkan tangannya, terjatuh dan melempar-lemparkan badannya, meratap: “Terlalu cepat Mata Dunia berlalu.”33
Tapi mereka yang sudah bebas dari kemelakatan, tetap sadar dan menguasai diri, berkata: “Semua benda yang terbentuk dan merupakan gabungan tidaklah kekal, jadi apa gunanya bersedih?” Bhikkhu Anuruddha berkata: “Sahabat-sahabat, cukup tangis dan ratap itu! Apakah Yang Mulia belum cukup mengajarkan bahwa semua yang menyenangkan dan menggembirakan akan berubah, akan berurai dan menjadi sesuatu yang lain? Jadi mengapa berkelakuan seperti itu, para sahabat? Semua yang terlahir, datang dan tergabung, akan lapuk; tidak akan terjadi hal yang lain dari itu.”34
Lalu sepanjang malam itu bhikkhu melewatkan waktu dengan membahas Dhamma, dan pada pagi harinya Ananda mengumumkan kemangkatan Sang Buddha pada suku Malla di Kusinara. Begitu mereka mendengar berita ini, mereka terliputi kesedihan serta mulai meratap tersedu-sedu. Mereka kemudian berdatangan membawa dupa dan bunga, memainkan musik untuk menghormati Sang Buddha. Pada hari ke enam upacara kremasi dilaksanakan. Setelah upacara kremasi, utusan dari Raja Ajasattu, suku Licchavi dari Vesali, keluarga-keluarga Sang Buddha sendiri dari suku Sakya, suku Bulaya, suku Koliya, dan Brahmin Vethadipa yang sangat dihormati serta suku Malla dari Pava, semuanya tiba dan mohon dibagikan abu dari jenasah Sang Buddha untuk mereka letakkan dalam stupa, untuk penghormatan. Namun suku Malla dari Kusinara tidak menyetujui permintaan itu. Akhirnya Brahmin Dona mengangkat suara:
Dengarkan, tuan-tuan, saranku ini.
Kesabaran adalah salah satu ajaran Sang Buddha.
Sangatlah tidak pantas terjadi suatu percekcokan.
Dikarenakan pembagian abu jazad dari Orang yang terbaik ini.
Hendaknya timbul kedamaian dan keselarasan
Demi persahabatan, marilah kita membaginya dalam delapan bagian,
Dan dibangunkan stupa tersendiri dan besar,
Sehingga semua dapat melihat dan bangkit dalam keyakinan.35
Semua akhirnya menyetujuinya dan meminta agar Dona yang membaginya dalam delapan bagian. Atas jasanya, dia lalu menerima kendi, tempat abu sebelumnya dikumpulkan. Setelah semua selesai, suku Moriya dari Pipphalavana tiba, mereka terlambat mendengar berita kemangkatan Sang Buddha, namun mereka pun berharap mendapatkan abu jenazah Sang Buddha. Karena tiada lagi abu yang tersisa, mereka hanya mengambil abu bekas kayu bakar dari perabuan. Sepuluh stupa kemudian dibangun untuk menyimpan relik-relik ini, dan inilah yang kemudian merupakan sepuluh stupa yang pertama; dalam perjalanan sejarah berabad-abad kemudian stupa-stupa dibangun dimana-mana sebagai penghormatan pada kebesaran Sang Buddha.