TAHAP-TAHAP DALAM MENEMPUH JALAN
189. Setelah teori agama Buddha diterima dan dimengerti, seseorang melaksanakannya, dan dengan pelaksanaan akan muncul realisasi atau perwujudan/pengejawantahan. Kita menciptakan penderitaan bagi diri kita sendiri dan bagi orang lain, karena keserakahan dan ketidak-tahuan kita. Dengan menjalani Jalan, keserakahan berubah menjadi kepuasan dan ketidak-tahuan berubah menjadi pengertian. Namun, ini adalah proses yang panjang, bertahap, berlangsung secara berangsur dengan penuh kesabaran sepanjang kehidupan kita, malah mungkin memerlukan beberapa kehidupan.
Ibarat lautan besar melandai secara berangsur, menjadi dalam secara berangsur tanpa kecuraman tiba-tiba, demikian pula, Dhamma dan tata-tertib ini, dilaksanakan bertahap, dilatih bertahap, dipraktekkan bertahap; tidak ada pengetahuan yang dapat ditembus tiba-tiba.1
190. Kadang-kadang kita menjadi tidak sabar menunggu hasil latihan kita, ketidak sabaran pada gilirannya mengacaukan dan menyebabkan kekecewaan, yang malah mempersulit kedamaian batin. Bila kita melaksanakannya tanpa perasaan cemas, karena selalu memandang ke depan – melihat seberapa jauh lagi kita harus berjalan, maka kepercayaan diri yang tumbuh dan merubah kita hari demi hari, secara berangsur akan menyelesaikan perjalanan kita. Sang Buddha sering mengingatkan kebenaran ini.
Tukang kayu atau pembantunya memegang peralatannya yang telah usang disebabkan jari-jari dan ibu-jarinya, tapi dia tidak perlu mengetahui berapa kali peralatannya terpakai hari ini, berapa kali kemarin dan berapa kali lagi di lain waktu. Demikian pula halnya, seseorang dengan tekun melaksanakan meditasi tidak perlu mengetahui, berapa banyak kotoran batin terhapus hari ini, berapa banyak kemarin dan berapa lagi di lain waktu. Cukup, bahwa dia mengetahui bahwa kotoran itu sedang terhapus.2
Juga di dalam Dhammapada, Sang Buddha menasehati kita:
Janganlah memandang remeh kebajikan, dengan berkata:
“Kebajikan kecil ini tidak akan berbuah pada saya.”
Setetes demi setetes tempayan air terisi.
Demikian pula, sedikit demi sedikit,
Seorang bijaksana dipenuhi kebajikan.3
Perubahan atau transisi dari keberadaan samsara ke realisasi Nibbana adalah suatu yang bertahap, dan selama masa transisi ini, kita dengan jelas melalui empat tahapan. Kita akan menelusuri empat tahapan itu.
191. Tahap pertama yang kita capai dan lalui dalam perjalanan berangsur ke Nibbana adalah apa yang disebut Pemenang-Arus (sotapatti). Sebelum mencapai tingkat ini, pencapaian Nibbana belumlah sesuatu yang pasti, tetapi begitu seorang menjadi Pemenang-Arus, Nibbana pasti dapat dicapai, tidak ada kejatuhan kembali, seorang hanya akan maju terus – makanya disebut Pemenang-Arus. Seperti halnya orang yang mengikuti aliran sungai yang dahsyat dan terbawa arus walau tanpa usaha. Sang Buddha berkata, sekali mencapai tahap ini, seorang akan mencapai Nibbana dalam tujuh kali kehidupan, dan dengan demikian ini adalah suatu keberhasilan terbesar diantara semua pencapaian duniawi lainnya. Beliau bersabda:
Lebih mulia dibanding menjadi penguasa tunggal dunia
Lebih mulia dibanding terlahir di surga
Lebih mulia dibanding menjadi tuan tanah dunia-dunia
Keberhasilan seorang Pemenang-Arus.4
192. Untuk menjadi seorang Pemenang-Arus, seorang harus mengatasi terlebih dulu tiga dari sepuluh belenggu (dasa samyojana): percaya bahwa badan adalah diri, keraguan dan ketergantungan pada moralitas dan peraturan-peraturan. Belenggu pertama, percaya bahwa badan adalah diri (sakkaya ditthi), menahan kita dari belakang sebab dengan identifikasi badan, kita mengabaikan batin. Badan selalu dimanjakan, sebaliknya tiada usaha untuk mengisi batin. Belenggu ke dua, keraguan (vicikiccha), menyebabkan kita senantiasa bingung dan goyah serta melemahkan energi dan kepercayaan-diri kita untuk menjalani Jalan. Belenggu ke tiga, ketergantungan pada moralitas dan peraturan (silabbata paramasa), memperdaya kita dengan berpikir bahwa moralitas sendiri sudah cukup, atau berpikir bahwa pelaksanaan upacara ritual (diluar) dapat merubah batin kita (didalam). Oleh karenanya, kadang-kadang kita bertindak salah, karena lebih mengutamakan upacara-upacara dari pada sesuatu yang lebih penting, yakni makna dan semangat yang terkandung di dalamnya.
193. Dalam menanggulangi tiga belenggu ini, seseorang hendaknya mengembangkan Empat Lengan dari Pemenang-Arus (sotapatti-yanga): keyakinan teguh (veccapasada) pada Buddha, keyakinan teguh pada Dhamma, keyakinan teguh pada Sangha dan kebajikan yang utuh. Bila dengan mengatasi tiga belenggu, kita telah memurnikan pengertian kita; maka pengembangan Empat Lengan dari Pemenangan-Arus memperkuat rasa kepastian dan memurnikan perilaku kita, menggerakkan energi spiritual yang kemudian menuntun kita ke Nibbana. Sekali lagi dengan mengibaratkan aliran sungai, Sang Buddha berkata:
Ketika dewa langit menuangkan hujan deras, airnya mengalir turun dan mengisi parit, celah dan retakan bumi dan lalu mengisi kolam kecil, lalu kolam besar, lalu danau; terisinya danau mengisi sungai kecil, sungai kecil mengisi sungai besar, sungai besar mengisi lautan. Demikian pula, Siswa yang memiliki keyakinan teguh pada Buddha, Dhamma dan Sangha, dan memiliki kebajikan Arahat, kesemuanya ini akan mengalir terus dan mencapai pantai yang lebih jauh dan menuntun penghancuran kekotoran batin.5
194. Bila kita memahami nilai keyakinan sejati (saddha), kita akan sangat menghargai nilainya. Mengapa? Sebab bila keyakinan-sejati digabung dengan kebajikan, maka akan dapat menghancurkan Belenggu-belenggu dan menghantar ke pencapaian Nibbana. Dalam tradisi agama lain, seseorang akan diselamatkan oleh keyakinan, sebab keyakinan adalah bukti kesetiaan sepenuhnya pada Tuhan, dan oleh karenanya Tuhan akan menjawabnya dalam bentuk keselamatan padanya. Keyakinan seperti itu adalah bukti kepatuhan dan kesetiaan mutlak pada Tuhan, dan karenanya akan dianugerahi keselamatan. Dalam agama Buddha “keyakinan” dipandang sangat berbeda.
195. Secara nalar, keyakinan adalah penerimaan doktrin-doktrin yang tidaklah dapat dibuktikan kebenarannya dengan segera oleh pengalaman langsung. Dibutuhkan kesungguhan untuk menunggu dengan sabar dan penuh keyakinan, sampai kesenjangan pembuktian terisi. Ketika kita pertama mendengar ajaran Sang Buddha, pengalaman hidup kita akan membenarkan ajaran itu. Kebenaran Mulia yang pertama dan ke dua, misalnya, sangatlah jelas bagi seorang yang dapat menalar. Dengan melaksanakan Jalan Berjalur Delapan, pengalaman kita kemudian akan mengatakan pada kita bahwa Jalan tersebut benar ampuh memperkecil nafsu-keinginan dan meninggikan kebahagiaan dan kepuasan batiniah. Namun, beberapa ajaran, seperti kamma, kelahiran-kembali dan realisasi Nibbana, memang tak dapat langsung dibuktikan, oleh karenanya kita terima sementara sebagai keyakinan. Namun, keyakinan sedemikian adalah keyakinan rasional/masuk-akal, (akaravati saddha)6 sebab pengalaman membuktikan bahwa Sang Buddha memperlihatkan kebenaran dalam banyak hal. Apabila keyakinan kurang, kita menjadi skeptis pada Dhamma, bingung dan tidak berkeinginan untuk membuktikannya. Keyakinan memberi kita kesempatan-kesempatan yang ditawarkan oleh Dhamma kepada siapa saja yang mau melaksanakannya; keyakinan menghendaki agar kita tetap mencoba sampai berhasil, dan mendorong kita untuk melaksanakannya sampai apa yang sebelumnya hanya kepercayaan berubah menjadi pemahaman. Nagajuna dengan indahnya melukiskan hubungan antara keyakinan dan pemahaman. Dengan berkata:
Seseorang bergabung dengan Dhamma tanpa keyakinan,
Tapi dia mengetahui lewat pemahaman;
Pemahaman adalah pemimpin dari keduanya,
Tapi keyakinan mendahuluinya.7
196. Walau keyakinan sangatlah penting, tapi bila tidak disertai keterbukaan dan keingintahuan, maka hanya akan menyebabkan pikiran-sempit, yang malah menjadi ciri tradisi lain. Sebaliknya, orang yang intelektual atau daya-nalarnya berlebih-lebihan dan berkeyakinan tipis, umumnya tidak sepenuh-hati mengadakan pendekatan pada Dhamma. Kebijaksanaan menghindarkan keyakinan berkembang menjadi fanatisme, dan keyakinan menghindarkan kebijaksanaan berkembang menjadi skeptisme. Buddhagosa berkata:
Seseorang yang kuat dalam keyakinan tapi lemah dalam kebijaksanaan memiliki kepercayaan-diri yang genting dan tak terpijak. Seseorang yang kuat dalam kebijaksanaan tapi lemah dalam keyakinan, keliru diatas kelicikan, dan sulit terobati seperti seorang yang sakit dikarenakan karena obat-obatan. Bila keduanya berimbang, seseorang akan memiliki kepercayaan-diri dimana ada tempat berpijak untuk itu.8
197. Dengan sendirinya, keyakinan adalah kekuatan dan keteguhan hati dalam kemauan yang dapat memusatkan seluruh energi kita demi cita-cita dihadapan kita yang belum tercapai. Keyakinan memberi rasa percaya-diri, kekuatan dan ketak-gentaran yang membuat kita memandang Dhamma sebagai terpenting dibanding segalanya. Bhikkhu Punna adalah lambang keyakinan teguh seperti ini. Setelah belajar Dhamma, dia memutuskan pergi dan menetap diantara orang-orang yang terkenal kasar dan keras, untuk mengajarkan Dhamma pada mereka. Ketika Sang Buddha mendengar rencana Punna, Beliau bertanya:
“Ke dusun mana engkau akan pergi menetap, Punna, setelah belajar Dhamma secara singkat dari Saya?” “Ada dusun yang bernama Sunaparanta. Saya akan tinggal disana.”
“Tapi Punna, orang di Sunaparanta sangat keras dan kasar. Apa yang akan engkau perbuat bila mereka menghina dan mengabaikan engkau?”
“Saya akan berkata: ‘Alangkah baik, sangatlah baik orang-orang di Sunaparanta ini sebab mereka tidak memukul saya dengan tinjunya.'”
“Lalu bila mereka memukul engkau dengan tinjunya?”
“Saya akan berkata: ‘Alangkah baik, sangatlah baik orang-orang ini sebab mereka tidak melempari saya dengan bongkahan tanah.'”
“Lalu bila mereka melemparimu dengan bongkahan tanah?”
“Saya akan berkata: ‘Alangkah baik, sangatlah baik orang-orang ini sebab mereka tidak memukul saya dengan tongkat.'”
“Lalu bila mereka memukul engkau dengan tongkat?”
“Saya akan berkata: ‘Alangkah baik, sangatlah baik orang-orang ini sebab mereka tidak menusuk saya dengan belati.'”
“Lalu bila mereka menusuk engkau dengan belati?”
“Saya akan berkata: ‘Alangkah baik, sangatlah baik orang-orang ini sebab mereka tidak membunuh saya dengan belati.'”
“Lalu bila mereka membunuh engkau dengan belati?”
“Bila orang-orang di Sunaparanta membunuh saya dengan belati, saya akan berkata: ‘Beberapa murid Tuanku, karena jijik dan malu pada tubuh dan hidupnya, mengambil belati bagi dirinya sendiri. Dan saya disini, didatangi belati tanpa harus mencarinya.'”
“Bagus, Punna, bagus. Engkau akan dapat hidup di dusun itu diantara orang-orang Sunaparanta, berkat hatimu yang lembut dan tenang.”9
Diceritakan kemudian, sebagai hasil keputusan Punna menetap Punna diantara orang-orang kasar ini, sekitar lima ratus orang diantara mereka kemudian mencapai Pencerahan.
Aspek penguatan dan penanaman rasa percaya diri oleh keyakinan juga dilukiskan oleh Nagasena, yang menggambarkannya pada Raja Milinda sebagai bercirikan ketenangan dan sebagai suatu lompatan ke depan.
Lalu Raja Milinda berkata: “Yang Mulia Nagasena, apa ciri dari keyakinan?”
“Keyakinan, Tuanku, memiliki ketenangan dan lompatan ke depan sebagai cirinya.”
“Bagaimana ketenangan merupakan ciri keyakinan?”
“Bila keyakinan timbul, dia akan menghancurkan rintangan-rintangan batin, bila pikiran bebas dari rintangan-rintangan, dia akan jernih, murni dan tenang.”
“Berilah perumpamaan.”
“Seorang raja, mengadakan perjalanan sepanjang jalan-kota bersama pasukannya yang terdiri dari empat bagian- pasukan gajah, pasukan kuda, kereta-kereta dan pasukan-bersenjata – menyeberangi sungai kecil, olehnya air menjadi keruh, kotor dan berlumpur. Lalu, raja berkata: ‘Ambilkan air, orang-orangku yang baik; saya ingin minum.’ Mereka menjawab: ‘Baik, Yang Mulia.’ Dan mengambil permata pembersih-air, meletakkannya di dalam air, dan karenanya semua tumbuhan air menghilang, Lumpur mengendap dan air menjadi jernih kembali, murni dan tenang. Lalu mereka menawarkan air itu pada raja, seraya berkata: ‘Minumlah, Yang Mulia.’ Pikiran adalah seperti air, pasukan-pasukan bagaikan siswa pemeditasi yang cermat, kotoran-batin adalah bagaikan permata pembersih-air. Begitu tumbuhan-air menghilang, lumpur mengendap, dan air menjadi jernih, murni dan tenang setelah permata pembersih-air diletakkan di dalamnya – demikian pula, timbulnya keyakinan menghancurkan rintangan-rintangan batin, dan pikiran tanpa rintangan-batin adalah jernih, murni dan tenang.”
“Bagaimana, Tuan Yang Mulia, lompatan kedepan merupakan ciri dari keyakinan?”
“Bagaikan, Tuanku, siswa pemeditasi yang cermat, begitu melihat batin mereka yang lain telah terbebas melompat ke depan sebagai buah dari Pemenangan-Arus, Yang-Kembali-sekali, Yang-Tidak-kembali dan Arahat, lalu melaksanakan meditasi untuk mencapai yang belum tercapai, menguasai yang belum dikuasai, mewujudkan yang belum terwujud – sama halnya dengan lompatan ke depan merupakan ciri dari keyakinan.”
“Berilah perumpamaan.”
“Awan mendung mencurahkan hujan deras diatas gunung, lalu dengan derasnya air mengalir ke bawah, mengisi parit, lembah dan sungai kecil di atas lereng, mengisi sungai dengan derasnya, memecahkan pinggiran sungai, tanpa mengetahui lebar dan dalamnya, mereka akan berdiri kebingungan dan ketakutan di pinggiran sungai. Lalu, bila ada seorang yang percaya pada kekuatan dan kemampuannya sendiri mendekati pinggiran sungai, lalu meringkaskan pakaian sebatas pinggang, berenang dan menyeberangi sungai; dengan melihat ini, kumpulan orang tadi lalu mengikutinya menyeberangi sungai pula. Demikian pula, Tuanku, siswa pemeditasi yang cermat, dengan melihat batin mereka yang terbebas melompat ke depan sebagai buah dari Pemenangan-Arus, Yang-Kembali-sekali, Yang-Tidak-kembali dan Arahat, lalu melaksanakan meditasi untuk mencapai yang belum tercapai, menguasai yang belum dikuasai, mewujudkan yang belum terwujud – sama halnya dengan lompatan ke depan merupakan ciri dari keyakinan.”10
198. Secara emosional, keyakinan adalah sikap tenang dan ceria yang membebaskan kita dari keraguan dan ketidak-pastian yang mematikan. Bila keyakinan demikian kuat dalam batin, kita seakan melambung kegirangan, bukannya tertekan karena menyadari ketidak-sempurnaan kita, sebab kita yakin bahwa kita mengambil jalan yang benar. Selain dengan cara merenungkan kehidupan dan teladan-teladan dari Sang Buddha, maka ada beberapa hal yang dapat membangkitkan aspek emosional dari keyakinan, misalnya melakukan peribadatan Puja, ataupun sekadar membayangkan patung Sang Buddha. Hal lain yang dapat membangkitkan keyakinan adalah perjalanan ziarah ke empat Tempat Suci: Lumbini, tempat Beliau dilahirkan; Bodh Gaya, tempat Beliau mencapai Pencerahan; Sarnath, tempat Beliau mengajarkan Dhamma pertama kalinya; dan Kusinara, tempat Beliau mencapai Nibbana akhir. Ketegaran dan pengorbanan yang diperlukan untuk perjalanan ziarah, suasana spiritual yang kuat di Tempat-tempat Suci, dan pengetahuan bahwa kita telah mengikuti langkah kaki jutaan manusia yang telah mengunjungi tempat-tempat ini sebelum kita, membuat perjalanan ziarah menjadi suatu pembangkit keyakinan dan kemurnian dari segalanya. Tidaklah mengherankan mengapa Sang Buddha menyarankan Siawa-siswa-Nya untuk mengunjungi Tempat-tempat suci setidaknya sekali dalam hidup mereka. Beliau bersabda:
Ada empat tempat, yang bila dilihat, menimbulkan perasaan yang kuat. Apa empat itu? “Disini Sang Tathagata dilahirkan,” adalah yang pertama. “Disini Sang Tathagata mencapai Pencerahan Sempurna,” adalah yang ke dua. “Disini Sang Tathagata memutar Roda Dhamma,” adalah yang ke tiga. “Disini Sang Tathagata mencapai Nibbana akhir,” adalah yang ke empat. Bhikkhu-bhikkhu, bhikkhuni-bhikkhuni, para umat awam yang berkeyakinan, hendaknya mengunjungi tempat-tempat ini. Dan siapa pun yang mati sewaktu perjalanan ziarah di kuil-kuil dengan hati yang bersungguh-sungguh, maka setelah meninggalkan raganya, dia akan terlahir di alam surga.11
Keyakinan adalah penting sebab akan melibatkan dan memacu intelektual, kemauan dan emosi kita dalam pencarian Nibbana. Keyakinan sendiri tidak akan membawa ke Nibbana, tapi bila digabung dengan kebajikan, akan menghancurkan tiga dari Sepuluh Belenggu yang pertama dan menjadikan pencapaian Nibbana sesuatu yang telah pasti. Keyakinan adalah benih (saddha bijam)12 yang darinya bunga kebebasan akan tumbuh.
199. Tahap berikut yang dicapai dan dilalui secara berangsur dalam perjalanan ke Nibbana, adalah apa yang disebut Yang-Kembali-Sekali (sakadagami). Tahap ini dicapai bila seorang, selain telah mengembangkan Empat Lengan Pemenang-Arus yang menghancurkan tiga Belenggu diatas, juga telah melemahkan dua belenggu berikutnya, nafsu-indriawi dan kehendak-jahat. Yang-Kembali-Sekali akan, seperti sebutannya, terlahir hanya sekali lagi di dunia, walau mungkin saja terlahir lebih dulu di alam dewa beberapa kali, sebelum akhirnya mencapai Nibbana. Bila nafsu-indriawi telah hancur secara lengkap dan kehendak-jahat telah terganti cinta, tahap Yang-Tak-Kembali (anagami) tercapai. Manusia seperti ini, sewaktu mati akan terlahir di alam dewa, dan dari sini akan mencapai Nibbana tanpa terlahir kembali di dunia.
Dengan terhapusnya Sepuluh Belenggu secara keseluruhan berkat pengembangan kebijaksanaan, seseorang akan mencapai Pencerahan-penuh dan disebut sebagai Arahat. Istilah ‘Arahat’ secara harfiah berarti ‘Yang Mulia’, nama yang sangat tepat bagi seorang yang telah mencapai tingkat tertinggi dari pencapaian spiritual manusia. Arahat telah meleburkan semua kotoran-batin lewat kebijaksanaan yang mendalam, dan telah memiliki nilai-nilai spiritual, seperti welas-asih, tak-tergantung, kejujuran dan kebijaksanaan seutuhnya. Seorang Arahat, sewaktu kematian raganya, mencapai kedamaian dan kebahagiaan abadi Nibbana. Hal lain yang penting diketahui, ialah bahwa setelah menjadi Pemenang-Arus, seorang bisa dapat menyelesaikan tiga tahap selanjutnya dalam beberapa tahun, satu kehidupan, beberapa kehidupan, paling banyak dalam tujuh kali kehidupan.
200. Apa perbedaan antara seorang Arahat dan Buddha? Ciri khas dari seorang Buddha adalah pengejawantahan dari kebijaksanaan yang sempurna (pañña) dan welas-asih yang sempurna (karuna). Kebijaksanaan sempurna adalah realisasi Buddha dari Pengetahuan Lipat-tiga (tevijja), pengetahuan kehidupan-kehidupan sebelumnya, pengetahuan muncul dan matinya makhluk-makhluk, dan pengetahuan tentang hancurnya kotoran-kotoran batin (lihat 210). Welas-asih yang sempurna mendorong dan merembes setiap aspek dalam perilaku seorang Buddha. Seorang Buddha mengungkapkan Dhamma yang ditemukan-Nya sendiri “terbit dari perasaan cinta-kasih dan welas-asih pada semua makhluk”, Beliau mengajarkannya dikarenakan “perasaan yang terbit dari welas-asih”, Beliau mengunjungi, menghibur dan menyembuhkan orang sakit karena “perasaan yang terbit dari welas-asih”, dan Beliau merukunkan mereka yang berselisih karena “perasaan yang terbit dari welas-asih” Beliau sendiri berkata pada kita:
Apapun yang hendaknya dilakukan seorang guru dikarenakan rasa welas-asih pada murid-muridnya, demi kesejahteraan mereka; telah Saya lakukan padamu.13
Matrceta mengagungkan welas-asih yang mulia dari Sang Buddha lewat sajaknya yang indah, bernama Satapañcasatka:
Dikau baik, walau tidak dipinta,
Dikau mencintai tanpa alasan,
Dikau sahabat bagi yang asing tercampakkan,
Dan Dikau menjadi sanak bagi yang tak bersanak.Perbuatan baik Dikau puji,
Perbuatan buruk Dikau persalahkan,
Tapi pada mereka yang bertindak demikian,
Dikau bebas dari ‘memihak’ atau ‘tidak memihak’.Walau Dikau lebih menyenangi ketenangan menyendiri
Welas-asih mendorong-Mu melewati waktu
Bersama kerumunan orang-banyak.Bagaikan naga yang perkasa,
Keluar dari danaunya dengan pesona
Welas-asih mendorong-Mu pindah dari hutan ke kota
Demi keselamatan mereka yang akan belajar.Dikau memperingatkan yang keras-kepala, menahan yang gegabah.
Dan meluruskan yang menyimpang.
Dikau memberi semangat pada yang lamban dan mengekang yang gegabah
Sebenarnyalah, Dikau adalah penuntun yang tiada bandingannya bagi manusia.Permusuhan malah membangkitkan kehangatan-Mu,
Kebejatan menerima bantuan-Mu,
Yang ganas menemukan kelembutan-Mu.
Betapa mempesona hati-Mu yang agung!Dengan batin yang tak-terikat.
Dikau bekerja tenang demi kesejahteraan dunia.
Betapa mengagumkan seorang Buddha – keberadaan alami seorang Buddha!Dikau makan makanan miskin, terkadang kelaparan.
Dikau menelusuri jalan-jalan kasar dan Dikau tidur beralas tanah,
Yang keras terinjak oleh kaki ternakDikau adalah Raja,
Tapi Dikau tidak bertindak seolah kuasa pada lainnya
Semua dapat menggunakan Dikau seakan pelayannya
Untuk mendapatkan bantuan yang mereka butuhkanDikau membantu mereka yang ingin mencelakakan-Mu
Melebihi orang yang membantu dia yang baik padanya.
Kepada musuh yang berkehendak jahat,
Dikau adalah sahabat yang berkehendak baik padanya.
Kepada mereka yang senang mencari kesalahan-kesalahan
Dikau malah, mencari kebajikan-kebajikannya.14
201. Seorang Arahat tidak berbeda dari seorang Buddha; arahat juga mencapai Pengetahuan Lipat Tiga dan mewujudkan Welas-Asih yang sama. Perbedaannya adalah: Seorang Buddha menemukan Kebenaran tanpa bantuan siapapun, sedang Arahat menemukan Kebenaran setelah mendengar atau membaca pelajaran seorang Buddha. Sekali waktu, Sang Buddha menanya Siswa-siswa-Nya tentang perbedaan alami antara Beliau dan Siswa-siswa yang mencapai Pencerahan, Beliau menjawab:
“Tathagata, seorang Arahat, Buddha yang Tercerahi penuh adalah Penyebab munculnya Jalan yang belum muncul, Yang mempermaklumkan Jalan yang belum dipermaklumkan, Yang mengetahui Jalan, Yang mengerti Jalan, Yang terlatih dalam Jalan. Dan Siswa-siswa adalah yang mengikuti-Nya. Inilah perbedaan, penyebab perbedaan antara Tathagata, seorang Arahat, Buddha yang tercerahi penuh dan seorang bhikkhu yang membebaskan dirinya lewat kebijaksanaan.15
Sang Buddha bagaikan perintis yang membuka jalan di dalam hutan dan menemukan lembah subur nan indah, sedang para Arahat lain bagaikan mereka yang mengikuti jalan yang dibuka perintis itu dan lalu pindah menetap ke lembah itu pula. Seorang Buddha dan Arahat sama-sama berjalan di jalan yang sama dan juga sama-sama tiba di tujuan yang sama yakni Nibbana. Letak perbedaannya adalah Buddha adalah penemu dan tiba terlebih dahulu di Nibbana, sedang Arahat menemukannya sebagai hasil rintisan Buddha. Pada hakekatnya, tiada perbedaan penting diantaranya. Untuk menemukan Nibbana dan Jalan yang menuju ke Nibbana, seorang diri tanpa bantuan siapapun; seorang Buddha harus mengembangkan ketahanan, tekad yang kuat, kebijaksanaan dan cinta-kasih pada tingkat yang tidak seharusnya sederajat dengan seorang Arahat biasa. Jadi dapat dikatakan, seorang Arahat memiliki nilai-nilai dan mewujudkan hal-hal yang sama dari seorang Buddha, namun seorang Buddha memiliknya dalam derajat yang lebih tinggi. Beliau adalah tertinggi didalam satu persamaan. Sang Buddha bersabda:
“Ibarat seekor ayam betina mempunyai delapan, sepuluh atau selusin telur yang dierami dengan baik, dihangati dengan baik dan ditetaskan dengan baik. Apakah anak ayam yang pertama memecahkan cangkangnya dengan cakar dan paruh, dan muncul dengan selamat, disebut anak ayam yang tertua atau yang termuda?”
“Yang pertama, Tuanku, disebut yang tertua.”
“Demikian pula, setelah memecahkan cangkang ketidak-tahuan demi keselamatan mereka yang hidup dalam ketidak-tahuan, memecahkan cangkang yang sebelumnya melingkupi, Sayalah yang pertama di dunia, Tercerahi dengan jerih payah dengan pencerahan yang tak terbandingi. Sayalah yang tertua didunia, yang tertinggi.”16
202. Pada zaman Sang Buddha, banyak istilah yang digunakan untuk melukiskan seorang yang telah mencapai Nibbana – Buddha (Dia yang telah bangun), Tathagata (Dia yang telah datang; ataupun, Dia yang telah pergi), Arahat (Dia yang mulia), Muni (Dia yang tenang), Brahmin (Dia yang tertinggi), Vedagu (Yang mengetahui) – dan semua istilah ini digunakan baik untuk Sang Buddha maupun Siswa-siswa-Nya yang telah Tercerahi. Lalu, secara berangsur istilah Buddha dan Tathagata hanya digunakan untuk Buddha sendiri, hal ini untuk membedakan-Nya dari Siswa Tercerahi, yang seperti dikatakan diatas, disebut Arahat. Lalu, berabad-abad setelah Parinibbana Sang Buddha, dirasakan oleh sebagian pengikut Sang Buddha bahwa perbedaan antara Buddha dan Arahat, lebih dari sekadar perbedaan antara perintis dan pengikut. Mereka percaya bahwa Sang Buddha mencapai Nibbana lebih tinggi, lebih lengkap dari pada yang dicapai para Arahat. Mereka menganut paham yang salah ini, dengan sendirinya menganggap adalah lebih baik menjadi Buddha dari pada mencapai ‘ke-Arahat-an kelas dua”. Mereka yang memahami ajaran Sang Buddha dengan tepat, tetap bertahan bahwa perwujudan Buddha dan Arahat adalah sama. Kelompok yang lain mempertahankannya sebagai berbeda. Sejumlah legenda-legenda fantastik kemudian dicangkokkan pada riwayat kehidupan Sang Buddha, demi untuk menekankan “perbedaan kedua tingkat” tersebut. Akhirnya, perpecahan tidak dapat dihindari. Kelompok yang berkehendak mengambil Jalan ke Pencerahan “yang lebih sempurna”, dan menyebut kelompoknya sebagai Mahayana, Jalan Besar atau Jalan Lebih-tinggi serta menyebut mereka yang memilih Jalan ke Pencerahan “kelas-dua” sebagai kelompok Hinayana, Jalan Kecil atau Jalan Lebih-rendah. Abad-abad berikutnya semakin ditandai dengan perbedaan-perbedaan pemahaman diantara ke dua kelompok ini, malah juga dalam kelompoknya sendiri masing-masing. Tetapi kenyataan sebenarnya, semua perbedaan ini timbul dari kemampuan untuk menyadari, bahwa hanya ada satu keadaan Nibbana dan bahwa hanya ada ‘mereka yang sudah’ dan ‘mereka yang belum’ Tercerahi.