Maha Paduma Jataka

No. 472

MAHĀ-PADUMA-JĀTAKA119

Sumber : Indonesia Tipitaka Center

 

[187] “Tidak ada raja yang seharusnya,” dan seterusnya. Kisah ini diceritakan oleh Sang Guru ketika berada di Jetavana, tentang Ciñcamāṇavikā 120.

Ketika Dasabala mencapai kebijaksanaan yang maha tinggi untuk pertama kalinya, setelah para siswanya bertambah banyak, dewa dan manusia yang tidak terhitung jumlahnya mengalami tumimbal lahir di alam menyenangkan, dan benih-benih kebajikan telah disebarkan, kehormatan dan anugerah yang besar diberikan pula kepada-Nya.

Para penganut ajaran yang lain sama seperti kunang-kunang setelah matahari terbit; mereka tidak memiliki kehormatan maupun anugerah. Mereka hanya berdiri di jalan dan berteriak kepada orang-orang, “Apa, apakah petapa Gotama adalah Sang Buddha? Kami juga adalah para Buddha! Apakah anugerah itu hanya membawakan hasil yang besar, yang diberikan kepadanya? Anugerah yang diberikan kepada kami juga dapat membawakan hasil yang besar bagi kalian! Berikanlah kehormatan kepada kami dan bekerjalah pada kami!” Meskipun mereka meneriakkan ini sesuka hati, mereka tetap tidak mendapatkan kehormatan dan anugerah. Kemudian mereka berkumpul bersama secara rahasia dan  membahas: “Bagaimana caranya agar kita dapat menuang noda pada diri petapa Gotama di hadapan orang-orang untuk mengakhiri kehormatan dan anugerahnya?”

Pada waktu itu di kota Savatthi ada seorang petapa (pengembara) wanita bernama Ciñcamāṇavikā, yang berparas cantik, anggun, ramping, cahaya seperti memancar dari seluruh tubuhnya. Seseorang mengucapkan ide yang kejam seperti ini: “Dengan bantuan Ciñcamāṇavikā, kita akan menuangkan noda pada diri petapa Gotama dan mengakhiri kehormatan serta anugerah yang telah didapatkannya.” “Ya,” mereka semua menyetujuinya, “itulah cara yang akan kita lakukan.”

Ciñcamāṇavikā datang ke tempat tinggal para penganut pandangan yang salah tersebut, menyapa mereka dan berdiri tegak. Mereka tidak mengatakan apa-apa kepadanya. Ia berkata, “Noda apa yang terdapat dalam diriku? Saya telah tiga kali menyapa Anda sekalian!” Ia berkata lagi, “Guru sekalian, noda apa yang saya miliki? mengapa Anda tidak mau berbicara kepadaku?” Mereka menjawab, “Bhaginī 121, apakah Anda tidak tahu bahwa petapa Gotama sedang menguasai situasi dan membuat kami terluka, dengan mengambil semua kehormatan dan kebebasan yang seharusnya ditujukan kepada kami?”— “Saya tidak mengetahuinya, Guru, tetapi apa yang dapat saya lakukan?”—“Jika Anda menginginkan kami menjadi baik kembali, Bhaginī , dengan perbuatanmu sendiri tuanglah noda pada diri petapa Gotama untuk mengakhiri kehormatan dan anugerah yang telah diterimanya.” Ia menjawab, “Baiklah, Guru sekalian,  biar saya yang selesaikan ini, jangan khawatir.” Setelah mengucapkan ini, ia pun berangkat.

Setelah pertemuan mereka hari itu, Ciñcamāṇavikā menggunakan semua keahlian seorang wanita dalam tipuan. Di saat penduduk Savatthi telah selesai mendengarkan khotbah Dhamma dan berjalan pulang dari Jetavana, ia malah sebaliknya baru akan datang ke Jetavana dengan mengenakan pakaian yang telah diberi gincu merah dan dengan membawa kalung bunga yang harum di tangannya. [188] Ketika ditanya oleh siapa saja, “Anda hendak kemana pada jam segini?” Ia akan menjawabnya, “Apa hubunganmu dengan kemana saya hendak datang dan pergi?” Ia bermalam di tempat tinggal para penganut pandangan salah itu, yang dekat dengan Jetavana.

Dan di pagi harinya, rombongan para upasaka datang dari kota untuk memberikan salam hormat kepada Sang Buddha di pagi hari, ia berjumpa dengan mereka seolah-olah seperti ia bermalam Jetavana dan menuju ke kota. Jika ditanya dimana ia bermalam, ia menjawab, “Apa hubunganmu dengan dimana saya bermalam?”

Tetapi setelah enam bulan berlalu, ia menjawab, “Saya bermalam di Jetavana, dengan petapa Gotama, di dalam gandhakuṭi.” Kemudian orang-orang mulai bertanya-tanya apakah hal ini benar. Setelah tiga atau empat bulan, ia mengikat kain perban di di bagian perutnya dan membuatnya kelihatan seperti sedang mengandung, dan mengenakan jubah merah. Kemudian ia mengumumkan bahwa ia mengandung anak dari petapa Gotama dan membuat para pengikut yang dungu tersebut percaya. Setelah delapan atau sembilan bulan, ia mengikat potongan kayu dalam sebuah bundelan di sekeliling jubah merahnya; kaki, tangan, dan punggungnya dipukul dengan tulang dari kerbau agar dapat menimbulkan kebengkakan; dan membuat seolah-olah semua inderanya merasa kelelahan.

Suatu sore, ketika Sang Tathagata sedang duduk di tempat ia membabarkan khotbah Dhamma, Ciñcamāṇavikā datang bersama kerumunan orang-orang dan dengan berdiri di hadapan Sang Tathagata berkata, “O petapa agung! Anda memberikan khotbah Dhamma kepada banyak orang, suaramu begitu manis, bibir yang melapisi gigimu itu sangat lembut. Akan tetapi, Anda telah menghamili diriku dan waktu untuk melahirkan sudah dekat, tetapi Anda tidak menyiapkan ruangan untuk melahirkan, Anda juga tidak memberikanku mentega cair (gi) atau minyak. Apa yang tidak akan Anda lakukan sendiri itu tidak juga Anda minta para bhikkhu untuk melakukannya, raja Kosala, atau Anathapindika, atau Visakha, upasika yang agung. Mengapa Anda tidak meminta salah satu dari mereka untuk melakukan hal yang seharusnya dilakukan untukku? Anda tahu bagaimana caranya bersenang-senang, tetapi tidak tahu bagaimana caranya menjaga keselamatan atas apa yang akan lahir nantinya!” Demikianlah ia mencerca Sang Tathagata di tengah berdirinya kerumunan orang, seperti seseorang yang berusaha mengotori permukaan bulan dengan tangan yang penuh kotoran.

Sang Tathagata menghentikan khotbah-Nya, dan dengan bersuara seperti seekor singa yang mengaum dengan suara nyaring, Beliau berkata, “Bhaginī, hanya kita berdua yang tahu apakah yang Anda katakan itu adalah benar atau salah.” Ia berkata, “Ya, memang benar ini terjadi karena sesuatu yang hanya kita berdua ketahui.”

Persis pada waktu itu, tahta Dewa Sakka menjadi panas. Setelah melihat keadaan, Sakka mengetahui penyebabnya: Ciñcamāṇavikā sedang memberikan tuduhan palsu terhadap Sang Tathagata.” Dengan bertekad untuk menyelesaikan masalah ini, Sakka datang ke sana ditemani oleh empat dewa.

Para dewa tersebut mengubah wujudnya menjadi tikus, [189] dan dengan segera mereka semua menggerogoti tali yang mengikat bundelan potongan kayu tersebut; angin menghembus naik jubah yang dikenakan wanita tersebut, dan bundelan kayu itu terlihat dan terjatuh di kakinya. Jari kedua kakinya terpotong. Orang-orang berteriak—“Seorang penyihir memfitnah Sang Buddha Yang Maha Tinggi!” Mereka meludah di kepalanya, dan mengaraknya dari Jetavana dengan menggunakan tongkat kayu dan gumpalan tanah di tangan mereka.

Dan ketika ia melewati Sang Tathagata, bumi yang besar ini terbuka dan membuat celah yang lebar, kobaran api muncul dari alam Neraka terendah, dan Ciñcamāṇavikā terbungkus di dalamnya seperti mengenakan pakaian 122 yang seharusnya dipakaikan padanya, terjatuh ke alam Neraka terendah dan mengalami tumimbal lahir berulang-ulang kali di sana. Kehormatan dan anugerah daripada para penganut ajaran lain tersebut pun tidak mereka dapatkan lagi, sedangkan kepunyaan Dasabala malah semakin berlimpah ruah.

Keesokan harinya, mereka berbicara di dhammasabhā: “Āvuso, Ciñcamāṇavikā memberi tuduhan palsu terhadap Sang Buddha Yang Maha Tinggi, yang besar kebajikan-Nya, yang  pantas menerima semua anugerah! dan akhirnya ia mengalami kehancuran yang mengerikan.” Sang Guru masuk ke dalam dan menanyakan apa yang mereka sedang bicarakan.

Mereka memberitahukan Beliau. Beliau berkata, “Bukan hanya kali ini, para bhikkhu, wanita tersebut memberikan tuduhan palsu terhadap diriku dan akhirnya mengalami kehancuran yang mengerikan, tetapi juga di masa lampau terjadi hal yang sama.”

Setelah berkata demikian, Beliau menceritakan sebuah kisah masa lampau.

____________________

Dahulu kala, ketika Brahmadatta menjadi raja Benares, Bodhisatta terlahir menjadi putranya dari ratu utamanya. Dan wajahnya yang sama seperti bunga teratai yang mekar, mereka memberinya nama Paduma-Kumāra, yang juga artinya adalah Pangeran Teratai.

Ketika dewasa, ia diajarkan tentang semua ilmu pengetahuan dan keahlian. Kemudian ibunya meninggal; raja mengambil istri lain, dan menunjuk putranya sebagai wakil raja.

Setelah hal ini berlalu, bersiap-siap untuk memadamkan pemberontakan yang timbul di perbatasan, raja berkata kepada ratu, “Ratu, Anda tetap tinggal di sini selagi saya pergi untuk memadamkan pemberontakan yang timbul di daerah perbatasan.” Tetapi ratu menjawab, “Tidak, Paduka, saya tidak mau tinggal di sini, saya ingin pergi dengan Anda.”

Kemudian raja menunjukkan kepadanya bahaya yang terdapat di medan pertempuran, sambil menambahkan ini: “Tinggal di sini saja tanpa ada rasa kesal kepadaku sampai saya kembali, dan saya akan menugaskan pangeran Paduma agar ia selalu teliti dalam mengerjakan segala sesuatu untukmu, saya akan pergi sekarang.” Setelah berkata demikian, raja berangkat.

Ketika raja berhasil menghancurkan musuh-musuhnya dan menentramkan negerinya, ia kembali dan mendirikan tenda di luar kota. Bodhisatta yang mengetahui tentang kepulangan ayahnya, [190] menghiasi kota, dan setelah menugaskan orang untuk menjaga istana kerajaan, ia pergi sendiri untuk menjemput ayahnya.

Ratu yang selalu memperhatikan ketampanan penampilan pangeran, menjadi terpikat kepadanya. Sewaktu meminta izin darinya, Bodhisatta berkata, “Adakah yang bisa saya lakukan untukmu, Ibu?” “Kamu memanggilku dengan kata Ibu?” katanya. Ratu bangkit dan memegang tangan pangeran, seraya berkata, “Berbaringlah di kursiku!” “Mengapa?” tanya pangeran. “Hanya sampai raja datang,” katanya, “mari kita nikmati kebahagiaan dari cinta ini!” “Ibu, Anda adalah Ibuku, dan Anda masih memiliki seorang suami. Hal seperti ini belum pernah terdengar sebelumnya, bahwa seorang wanita, yang bersuami, melanggar sila (moral) karena pengaruh nafsu inderawi. Bagaimana bisa saya lakukan hal yang demikian tercela dengan Anda?” Ratu membujuknya sebanyak dua atau tiga kali, dan di saat ia terus menolak, ratu berkata, “Kalau begitu kamu menolak apa yang saya minta?”—“Saya benar-benar menolaknya.”—“Kalau begitu, saya akan memberitahu raja, dan memintanya untuk memenggal kepalamu.” “Lakukan sesuka hatimu,” jawab Sang Mahasatwa, dan ia meninggalkannya dengan rasa malu.

Kemudian dalam ketakutannya, ratu berpikir, “Jika ia yang memberitahu raja duluan, saya pasti akan mati! saya yang harus mengatakan hal ini sendiri kepada raja duluan.” Oleh karena itu, ia tidak menyentuh makanannya, ia mengenakan pakaian yang lusuh, dan membuat bekas cakaran kuku di badannya, kemudian memberi perintah kepada pelayannya bahwa ketika raja bertanya dimana ia berada, mereka harus mengatakan bahwa ia sedang sakit. Ia pun pura-pura berbaring karena sakit.

Setelah berkeliling kota dalam suatu prosesi yang khidmat, raja kembali ke kediamannya. Di saat ia tidak melihat ratu, ia bertanya, “Dimana ratu?” “Ratu sakit,” jawab pelayannya. Raja masuk ke dalam ruang utama dan bertanya kepadanya, “Ada apa denganmu, ratu?” Ia bertingkah seolah-olah tidak mendengar apa-apa.

Kemudian raja bertanya untuk kedua bahkan ketiga kalinya, dan ia menjawab, “O raja yang agung, mengapa Anda bertanya? Diamlah. Wanita lain yang bersuami pasti sama nasibnya dengan diriku.” “Siapa yang telah membuatmu kesal?” katanya. [191] “Cepat beritahu saya, dan saya akan menghukumnya dengan memenggal kepalanya.”— “Siapa yang Anda tinggalkan bersamaku di kota ini di saat Anda pergi?”—“Pangeran Paduma.” “Dan ia,” lanjut ratu, “masuk ke dalam ruanganku, dan saya katakan jangan lakukan itu, anakku, saya adalah Ibumu; tetapi ia mengatakan bicaralah sesuka hatiku, tidak ada raja di sini selain diriku, saya akan membawamu ke tempatku dan kita akan menikmati cinta ini. Kemudian ia menjambak rambutku, memasukkan dan mengeluarkan itu secara berulang-ulang, dan di saat saya tidak mau mengikuti keinginannya, ia melukai dan memukul diriku, kemudian ia pergi.”

Raja tidak menyelidiki masalah ini, langsung marah seperti seekor ular dan memberi perintah kepada pengawalnya, “Pergi dan ikat pangeran Paduma, kemudian bawa ia kemari ke hadapanku!” Mereka pergi ke tempat kediaman pangeran, mengikat tangannya di belakang dengan ketat, meletakkan kalung bunga warna merah123 di lehernya, membuatnya menjadi penjahat yang bersalah, menuntunnya ke sana sambil memukulnya. Jelas bagi pangeran bahwa ini disebabkan oleh perbuatan ratu, dan di saat ia dibawa, ia berteriak, “Hai, teman-temanku, bukan saya yang bersalah terhadap raja! saya tidak bersalah.” Seluruh kota heboh dengan berita ini: “Kata mereka, raja akan mengeksekusi pangeran karena permintaan seorang wanita!” Mereka berkumpul bersama, jatuh di kaki pangeran, sambil meratap sedih dengan suara yang keras, “Anda tidak pantas menjalani ini, Tuanku!”

Akhirnya, mereka membawanya ke hadapan raja. Sewaktu melihatnya, raja tidak bisa menahan apa yang ada di dalam hatinya dan berkata dengan keras, “Orang ini bukan raja, tetapi ia memainkan peran raja dengan bagus! Ia adalah putraku, tetapi ia telah menghina ratu. Bawa ia pergi, buang ia di tebing pencuri, bunuh ia!” Tetapi pangeran berkata kepada ayahnya, “Saya tidak melakukan perbuatah jahat itu, ayah. Jangan membunuhku hanya karena perkataan seorang wanita.” Raja tidak mau mendengar perkataannya. Kemudian semua selir raja, yang berjumlah enam belas ribu orang, mengeluarkan suara ratapan yang keras, mengatakan, “O Paduma, pangeran yang agung, Anda tidak pantas mendapatkan penyelesaian seperti ini!”

[192] Dan semua ksatria petinggi, para tokoh terkemuka, dan para pejabat istana berkata dengan keras, “Paduka! pangeran adalah orang yang selalu berbuat kebaikan dan kebajikan di dalam hidupnya, selalu menjalankan tradisi dari sukunya, ahli waris dari kerajaan! Jangan membunuhnya hanya karena perkataan seorang wanita tanpa mendengar yang lainnya! Tugas seorang raja adalah bertindak dengan segala kehati-hatian.” Setelah berkata demikian, mereka mengucapkan tujuh bait kalimat berikut ini:

“Tidak ada raja yang seharusnya memberikan hukuman
tanpa mendengar pernyataan orang yang dituduh,
Tidak menyelediki sendiri semua bukti,
baik yang besar maupun yang kecil124.

“Ksatria tinggi yang memberikan hukuman
terhadap suatu kasus tanpa diadili terlebih dahulu,
Sama seperti seseorang yang dilahirkan buta,
yang memakan semua tulang dan daging dari makanannya.

“Barang siapa yang menghukum orang yang tidak bersalah
dan membebaskan orang yang bersalah, memiliki pengetahuan
Yang tidak lebih dari seorang buta
yang berjalan melewati jalan yang tidak rata.

Ia yang memeriksa suatu kasus dengan teliti,
baik besar maupun kecil,
Dan menyelesaikannya, barulah pantas
menjadi seorang pemimpin.

Ia yang menempatkan dirinya sebagai seorang petinggi
tidak boleh terlalu lembut
Ataupun terlalu kejam: Akan tetapi,
kedua hal tersebut harus berjalan dengan seimbang.

“Banyak yang dapat dikatakan oleh seseorang yang sedang marah, O raja,
dan banyak juga yang dapat dikatakan oleh seorang penjahat:
Oleh karena itu, Anda tidak seharusnya menghukum mati putra Anda
hanya karena mendengar perkataan seorang wanita.”

[193] Walaupun banyak yang mereka katakan dengan berbagai cara, para pejabat istana tidak dapat mengubah keputusan raja. Bodhisatta juga sama halnya, tidak dapat membujuk raja untuk mendengar perkataannya meskipun telah memohon berkali-kali: Tidak, kata raja, orang dungu yang buta— “Pergi! Buang ia di jurang pencuri tersebut!” sambil mengucapkan bait kedelapan:

“Meskipun semua orang menentang,
tinggal ratu seorang diri;
Saya tetap akan setia kepadanya:
buang ia ke bawah jurang itu, dan pergilah kalian semua!”

Setelah raja mengatakan ini, tidak ada satupun dari enam belas ribu wanita tersebut yang dapat tetap berada di sana. Sedangkan para penduduk menjulurkan tangan-tangan mereka dan menarik rambut mereka sendiri, sambil terus meratap sedih.

Raja berkata, [194] “Buang juga ke jurang tersebut orang-orang yang mencoba untuk mencegah jalannya hukuman ini!” dan di tengah-tengah para pengawalnya, walaupun semua orang menangis, raja menyuruh mereka mengangkat pangeran dan membuangnya ke bawah tebing dengan posisi kepala duluan.

Kemudian dewa yang menghuni di sekitar bukit di sana, dengan kekuatan dari kebaikannya, menghibur pangeran dengan berkata, “Jangan takut, Paduma!” Dan ia mengambil kedua tangannya diletakkan di dadanya untuk menyembuhkan dirinya, kemudian menempatkannya di kediaman ular delapan arah, dalam perlindungan raja ular.

Raja ular itu menerima Bodhisatta untuk tinggal di dalam sarangnya, bahkan memberikan setengah dari kepemilikan dan kekuasaannya. Pangeran tinggal di sana selama satu tahun. Kemudian ia berkata, “Saya akan kembali dalam kehidupan manusia.” “Dimana?” tanya mereka. “Ke Himalaya, tempat dimana saya akan menjalankan kehidupan suci.” Raja ular tersebut memberikan persetujuannya dan juga memberikan kebutuhan dalam kehidupan suci nantinya, kemudian kembali ke dalam sarangnya.

Maka pangeran mengarah ke Himalaya dan menjalankan kehidupan suci. Ia mengembangkan indera untuk mencapai kebahagiaan abadi. Ia tinggal di sana, bertahan hidup dengan memakan buah dan akar yang tumbuh liar di dalam hutan.

Waktu itu ada seorang pencari kayu, yang tinggal di Benares, datang ke tempat tersebut dan mengenali Sang Mahasatwa. Ia bertanya, “Apakah Anda pangeran Paduma yang agung, Tuanku?” “Ya, Tuan,” jawabnya. Kemudian ia memberi salam hormat kepadanya dan tinggal di sana selama beberapa hari. Kemudian ia kembali ke Benares dan berkata kepada raja, “Paduka, putra Anda, telah menjalani kehidupan suci di dalam hutan di daerah pegunungan Himalaya dan tinggal di dalam sebuah gubuk daun. Saya pernah tinggal bersamanya dan saya datang dari sana tadi.” “Apakah kamu melihatnya dengan matamu sendiri?” tanya raja. “Ya, Paduka.” Raja beserta dengan rombongan besar pergi ke sana, dan di luar daerah hutan ia membuat kemahnya.

Kemudian ditemani oleh para pejabat istananya, ia pergi memberi salam hormat kepada Sang Mahasatwa, yang sedang duduk di pintu gubuk daunnya, bercahaya keemasan, duduk di satu sisi. Para pejabat istana juga memberi salam hormat kepadanya, berbicara dengan ramah kepadanya dan duduk di satu sisi. Bodhisatta menawarkan raja untuk makan buah-buahan yang dikumpulkannya dan berbincang dengannya. Kemudian raja berkata, “Anakku, [195] karena diriku, Anda dibuang ke bawah tebing yang curam. Bagaimana Anda bisa tetap hidup?” Sambil menanyakan pertanyaan tersebut, raja mengucapkan bait kesembilan berikut ini:

“Seperti ke dalam pintu neraka,
Anda dibuang ke bawah jurang yang dalam,
Tidak ada yang menolong–hanya ada banyak pohon palem:
bagaimana Anda bisa bertahan hidup?”

Berikut ini adalah sisa lima bait kalimat, tiga di antaranya diucapkan oleh Bodhisatta dan dua oleh raja, diucapkan secara bergantian:

“Seekor ular yang memiliki kekuatan luar biasa,
yang tinggal di bawah kaki gunung,
Menyelamatkanku dalam lilitannya: dan demikianlah
sekarang saya berada di sini dengan selamat.”

“Lo! Saya akan membawamu kembali,
O pangeran, ke rumahku sendiri:
Dan di sana–apalah artinya hutan ini bagimu?–
kamu akan memiliki kekuasaan.”

Seperti seseorang yang telah menelan duri dan
mencabutnya keluar bersama dengan darah,
Mencabutnya dengan bersih, merasa gembira:
demikianlah diriku yang terlihat dalam kebahagiaan dan kebaikan ini.”

“Mengapa membicarakan tentang duri,
mengapa membicarakan tentang darah,
Mengapa membicarakan tentang mencabutnya keluar?
saya mohon beritahu saya.”

“Nafsu keinginan adalah duri:
saya melihat gajah dan kuda adalah darah;
Dengan meninggalkan semua ini,
saya telah mencabutnya keluar;
hal ini pasti Anda tahu, Paduka.”

[196] “Demikianlah, O raja yang agung, menjadi seorang raja tidaklah penting lagi bagiku. Akan tetapi Anda juga harus menyetujuinya, tidak bertentangan dengan sepuluh rajadhamma, tidak melakukan perbuatan jahat, dan memerintah dengan benar.” Dengan perkataan tersebut, Sang Mahasatwa memberikan nasehat kepada raja.

Dengan meratap dan menangis, raja pergi dan ia bertanya kepada para pejabat istananya di tengah perjalanan: “Karena siapa saya dulu memberikan hukuman pelanggaran yang demikian terhadap seorang putra yang demikian bajik?” Mereka menjawab, “Karena ratu.” Setelah mendengar penyebab kejadian tersebut yang sampai menghukum anaknya dibuang di tebing pencuri tersebut, raja masuk ke dalam kota dan memerintah dengan benar sejak saat itu.

____________________

Setelah menyampaikan uraiannya, Sang Guru berkata, “Demikianlah, para bhikkhu, wanita ini memfitnah diriku di masa lampau dan berakhir dengan kehancuran,” dan kemudian Beliau mempertautkan kisah kelahiran ini dengan mengucapkan bait terakhir berikut:

“Nona Ciñcā adalah ibuku,
Devadatta adalah ayahku,
Saat itu saya adalah pangeran, putra mereka;
Sariputta adalah dewa penolong,
Dan raja ular, saya katakan, Adalah Ananda.
Saya telah menyelesaikannya.”

____________________

Catatan kaki :

119 Cerita pembukanya, dengan sedikit pengantar cerita lainnya, diberikan di dalam Dhammapada, hal. 238 ff.

120 Yang memberikan tuduhan palsu terhadap Sang Buddha Yang Maha Agung: Hardy, Manual, hal.275.

121 sapaan untuk petapa (pengembara) wanita; paribbājikā.

122 Arti dari frasa ini agak meragukan: di vol. ii hal. 28 dan 120, ditulis ‘pakaian mewah yang terbuat dari wol’: yang dapat berarti ‘pakaian pernikahan’ yang diberikan kepada pengantin wanita oleh teman-teman dari pengantin laki-laki (Grierson’s Bihar Peasant Life, § 1322).

123 Ini adalah vajjhamālā, yang diletakkan di kepala atau leher penjahat yang akan dihukum mati. Di dalam Toy Cart, seseorang yang dibawa menuju hukuman mati harus mengenakan kalung bunga Karavira. Dalam bahas pali ada kata Kaṇavera, yang tidak dikenal sebagai bunga. Hal ini mungkin merupakan suatu kata dari kata sansekerta.

124 Baris-baris ini muncul di dalam Dhammapada, hal. 341.

Leave a Reply 0 comments